Ikut nimbrung ya.. Soalnya belum ngantuk.

Menurut saya, ada hal yang luput dari pembicaraan teman-teman wartawan yang 
"kebetulan" dan "tumben" kompak ngobrol dalam satu thread.

Persoalan yang luput adalah bagaimana wartawan sejahtera, tetapi independensi 
tetap berdiri tegak. 

Dua hal ini yang kadang dipikirkan oleh perusahaan media. Perusahaan lebih 
memilih mengeksplorasi keuntungan untuk perusahaan/pemilik saham dibanding utk 
pekerja. Padahal, semestinya kesejahteraan pekerja media juga mesti diutamakan. 
Sebab, ini yang akan menentukan cita rasa news yang akan dihadirkan di publik 
setiap hari.

Kesejahteraan ini yang akan menjadi benteng ideologis pekerja media/wartwan.  

Kita tidak bisa tutup mata bahwa banyak wartawan yang mesti menggadaikan berita 
dengan recehan rupiah. Kita juga agak miris dengan aktifitas recehan itu. Yang 
akhirnya kita tidak bisa menemukan karakter berita yang benar-benar "bersih".

Larangan terhadap pemberian THR, uang dsb sebenarnya adalah bagian dari usaha 
untuk "membersihkan" wartawan dari jeratan sistematis. Tetapi, akar problemnya 
bukan ia melanggar atau tidak, tetapi peluang yang senantiasa hadir setiap saat.

Saya sepakat dengan kekuatan ideologi dalam membentengi "dada" wartawan, tetapi 
sindikat kejahatan yang ada disekeliling kita terlampau kuat dan bahkan 
melampaui kekuatan ideologi yang dikembangbiakkan.

Mungkin yang bisa dipikirkan kedepan bagaimana struktur kepemilikan perusahaan 
media, yang kini lebih banyak dimiliki taipan segala-galanya. Kita akui bahwa 
TV ONE akan beritakan hal-hal yang baik ttg Bakrie. Begitu juga dengan Metro 
yang senantiasa memberi space besar bagi kampanye Nasdem. Struktur kepemilikan 
ini yang mestinya dikritisi secara serius.

Mungkin (bo cita-cita tiyali) ada dana publik yang dikumpulkan baik melalui 
zakat atau dengan cara apa, untuk membiayai usaha media yang dikelola secara 
serius oleh wartawan, yang itu dijauhkan dari struktur kepemilikan saham yang 
mayoritas. Tidak ada yang mayoritas, semua sama.

Kepemilikan bersama ini yang menjadi pengatur kesejahteraan bersama pula. 
Dengan ini, pekerja media bukan saja pekerja, tetapi pengelola kesejahteraannya 
sendiri.

Daripada kita misalnya saling menyalahkan antar sesama pekerja media, kenapa 
tidak mencoba jalur alternatif yang memang terkesan agak diawang-awang.


Terima kasih.



 
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: Syam Sdp <syam...@rocketmail.com>
Sender: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Date: Sat, 28 Aug 2010 01:36:30 
To: <gorontalomaju2020@yahoogroups.com>
Reply-To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Subject: Bls: [GM2020] Re: Jangan Beri THR kepada Wartawan

hahahahahaha, berita lucu ini, hele dorang yang pos di istana wapres debo 
bagitu, apalagi...., tapi kalo wartawan daerah so barani babilang no untuk THR 
pemerintah apalagi amplop dari narasumber  , meski dengan   koadaan yang sorba 
momprihatinkan ini, maka sudah saatnya torang bisa berdiri dan berjalan tegak 
di atas bumi ini (meminjam istilah le fadli)

kapan e, torang bisa  sombong dan bangga berjamaah seperti itu?


terrajana

--- Pada Jum, 27/8/10, rully lamusu <rullylam...@yahoo.com> menulis:

Dari: rully lamusu <rullylam...@yahoo.com>
Judul: Bls: [GM2020] Re: Jangan Beri THR kepada Wartawan
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 27 Agustus, 2010, 5:18 PM







 



  


    
      
      
      Wapres Mendadak Datangi Ruang Wartawan
Antara - Sabtu, 28 Agustus


 

 Jakarta (ANTARA) -
Wakil Presiden Boediono mendadak mendatangi ruang wartawan yang berada
di lingkungan Istana Wapres usai buka puasa bersama jajaran pejabat dan
staf Sekretariat Wapres, Jumat.
 "Apa keluhannya di sini," kata
Wapres Boediono saat tiba di ruangan sambil menanyakan kepada belasan
wartawan yang berada di dalam ruang pers, di Istana Wapres Jakarta,
Jumat.
 Ditanya oleh Wapres seperti itu, para wartawan pun
sontak berkata "Kami perlu Wi-Fi, pak". Boediono pun tersenyum dan
mengatakan akan mengupayakan keinginan para wartawan itu.
 Di
ruangan wartawan Istana Wapres saat ini memang belum ada jaringan
"Wi-Fi" sehingga wartawan tidak bisa leluasa menggunakan internet untuk
membuat berita.
 Hanya ada dua komputer yang memiliki jaringan
komputer di ruangan itu dan apabila ada liputan, tak jarang wartawan
terpaksa harus rebutan dan mengantri.
 "Nanti biar Yopie (Juru
bicara Wapres.Red) yang atur ya," kata Wapres sambil melirik kearah
juru bicaranya yang berdiri di belakang.
 Wapres Bodiono
sebelumnya sempat menyalami seluruh wartawan yang kebetulan masih
berada di ruangannya, sementara beberapa wartawan yang ikut buka puasa
bersama sudah pulang.
 Kunjungan Wapres tersebut boleh jadi merupakan yang pertama kali semenjak 
Boediono menjabat sebagai Wapres pada Oktober 2009.
 Dalam
kunjungan sekitar dua menit tersebut, Wapres sempat pula menanyakan
apakah para wartawan sudah makan. Para wartawan pun tanpa sungkan
berteriak "Sudah Pak, terima kasih," kata sejumlah wartawan.
 Sebelum
meninggalkan ruangan wartawan, Wapres yang dikawal oleh sejumlah
anggota Paspampres sempat menanyakan lagi kepada wartawan apalagi yang
masih perlu dibantu.
 Seorang wartawati sempat mengatakan "THR
Pak". Wakil Presiden mendengar itu hanya tersenyum dan selanjutnya
meninggalkan ruangan wartawan dan kemudian menuju mobil RI 2 untuk
meninggalkan Istana Wapres.
sumber : 
http://id.news.yahoo.com/antr/20100827/tpl-wapres-mendadak-datangi-ruang-wartaw-cc08abe.html
Debo THR ini yang doraNG bataria akan biar dimuka Wapres....Hehehehe
 
 


RULLY LAMUSU
GORONTALO


--- Pada Jum, 27/8/10, Syam Sdp <syam...@rocketmail.com> menulis:

Dari: Syam Sdp <syam...@rocketmail.com>
Judul: Bls: [GM2020] Re: Jangan Beri THR kepada Wartawan
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 27 Agustus, 2010, 10:14 AM







 



    
      
      
      semoga seminar nanti bisa menghasilkan solusi, kontri outsourcing memang 
harus diperjuangkan kesejahteraannya, biar tidak ada lagi penafsiran liar 
tentang mana amplop yang boleh diterima dan mana yang tidak.

berjayalah jurnalis indonesia!!


terrajana 

--- Pada Jum, 27/8/10, v_madjowa <v_madj...@yahoo.com> menulis:

Dari: v_madjowa <v_madj...@yahoo.com>
Judul: Bls: [GM2020] Re: Jangan Beri THR kepada Wartawan
Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
Tanggal: Jumat, 27 Agustus, 2010, 4:57 PM







 



    
      
      
      Menerima bingkisan dan THR bertentangan dengan kode etik jurnalistik. 



Pemberian THR telah diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 4 Tahun 
1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan untuk Pekerja di Perusahaan. 
Peraturan ini berlaku untuk semua perusahaan, termasuk perusahaan media atau 
pers. Jadi, THR menjadi tanggungjawab media tempat wartawan ini bekerja. 



Apakah peraturan ini berlaku untuk kontributor di perusahaan pers? Bagaimana 
hubungan kerja kontributor menurut UU Tenaga Kerja Nomor 13 Tahun 2003? 
Kontributor media adalah sebuah jenis pekerjaan yang khas di media massa. 
Mereka direkruit sebagai penyedia informasi dalam bentuk tulisan, audio maupun 
visual, tanpa ikatan kontrak maupun hubungan kerja yang tegas dengan perusahaan 
pers. 



Menyambut Hari Raya Idul Fitri 1431 H, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) 
menyelenggarakan seminar dengan tema Tunjangan Hari Raya (THR) untuk 
Kontributor Media, Tanggung Jawab Siapa? 



masalah ini akan dibahas dalam seminar pada: 



Hari/Tanggal : Rabu, 1 September 2010 

Tempat : Sekretariat Federasi SP Media Independen d/a AJI Indonesia, Jl. 
Kembang Raya No.6, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat 10420

Waktu : Pukul 15.00-18.00 (diakhiri dengan Buka Puasa) 



Pembicara dalam seminar ini



PEMBICARA

1. Abdul Manan, Ketua Federasi Serikat Pekerja Media Independen



Akan berbicara dari perspektif buruh media, mengapa THR penting diberikan untuk 
kontributor, dan pengalaman selama ini. Manan juga akan menyampaikan kondisi 
riil para kontributor di lapangan, apa kesulitan mereka karena ketidakjelasan 
status dan jebakan pelanggaran kode etik yang jadi akibatnya.

 

2. Winuranto Adhi, Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia



Akan berbicara dari perspektif advokasi pekerja dan menguraikan alasan mengapa 
kontributor media harus dinilai sebagai pekerja dengan perjanjian kerja waktu 
tidak tertentu. 



3. Afni Jayaputra, Pemimpin Redaksi SUN TV 



Akan berbicara mengenai alasan media untuk menerapkan sistem kontributor, serta 
mencarikan solusi agar kontributor tidak menjadi pekerja liar yang merugikan 
medianya sendiri serta jurnalisme secara umum. 



4. Myra Hanartani, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial Kementerian Tenaga 
Kerja. 



Akan berbicara mengenai perspektif pemerintah dalam menyikapi masalah ini, 
alternatif solusi dan landasan hukum perburuhan yang melandasinya. 



salam,



verri





    
     



 





    
     



 





    
     

    
    


 



  






Kirim email ke