Jujur saja, hidup menjadi wartawan itu sulit, dituntut kerja profesional, bahaya setiap saat mengancam (tawuran, preman, bahan berbahaya, lokasi tidak aman).Selain itu pengaturan jam kerja juga tidak ada, yg namanya wartawan harus siap 24 jam. Di sini lain gaji yang diterima juga jauh dari memadai untuk hidup layak, apalagi berlebih.
Ada fakta lain, lembaga pembiayaan di Indonesia itu ogah melayani kredit untuk wartawan, mungkin karena banyak pengalaman wartawan ngemplang. Sekedar berbagi saja, untuk menutupi kekurangan keuangan banyak wartawan yang nyambi, mulai dari usaha Laundry (jadi teringat teman kantor yang punya perusahaan pencucian), agen/loper koran (aku lakukan saat di Manado, jualan koran mulai dari Politeknik Manado hingga desa-desa sekitar Talawaan yang rawan karena banyak org tambang yang mabuk/pura2 mabuk, tiap pagi disambut anjing galak pemilik rumah. Bisa diricek dengan anggota Polres Limboto yang bernama Briptu Jubersius Tongo-Tongo, dia salah satu loper koranku korban konflik Maluku Utara, berhasil jadi polisi), hingga usaha lain yang halal. Terpulang kembali ke diri, apakah mau berusaha mandiri.... Ini perlu dilakukan untuk menopang ekonomi, usaha ini halal dan bukan minta-minta.... ketergantungan ekonomi harus diselesaikan dulu dengan usaha mandiri produktif.... ________________________________ From: v_madjowa <v_madj...@yahoo.com> To: gorontalomaju2020@yahoogroups.com Sent: Mon, August 30, 2010 12:45:27 AM Subject: Bls: [GM2020] Re: Jangan Beri THR kepada Wartawan (Profesinalisme) kembali ke soal THR (yang diskusinya jadi bercabang-cabang dan merupakan dinamika di milis ini) semuanya berujung pada profesionalisme. menerima dan menolak kembali pada masing-masing individu. Menjustifikasi bahwa bingkisan, amplop dan lain-lain bisa diterima bertentangan dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Seperti yang dikemukakan Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo,"Pers yang suka memeras atau sengaja beritikad tidak baik dalam menjalankan profesinya, masuk kategori pers tidak profesional." (beritanya terlampir) salam, verri http://www.antaranews.com/berita/1269789782/uu-pers-hanya-untuk-pers-profesional UU Pers Hanya Untuk Pers Profesional Minggu, 28 Maret 2010 22:23 WIB | Peristiwa | Hukum/Kriminal | Dibaca 400 kali Padang (ANTARA News) - Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, menegaskan bahwa penerapan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya untuk pers profesional dan berkerja sesuai aturan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). "Di luar itu, sepertinya tidak perlu diterapkan," ujarnya dalam seminar kebebasan pers bertema "Membuka Akses Keadilan Melalui Peningkatan Kapasitas Jurnalis" di Padang, Minggu. Saat ini, kata dia, makna kebebasan pers banyak disalahartikan oleh segelintir pers. Mereka beranggapan bahwa kebebasan itu mutlak, dan malah ada yang terang-terangan melanggar ketentuan kode etik tersebut. "Hal itu jelas tidak dapat ditoleransi. Oleh karena itu, UU Pers tidak perlu diterapkan kepada mereka," katanya menegaskan. Ia menyebutkan Pasal 2 UU No.40/1999 bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Maknanya, kata dia, penegakan hukum yang merawat kemerdekaan pers. "Jadi, bukan berarti memberikan hak-hak istimewa kepada pers, melainkan ikut menjaga dan menegakkan demokrasi," paparnya. Diakuinya, pers memang sudah teruji dan memiliki peran sangat strategis dalam pengawasan semua tahapan dan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Namun, lanjut dia, kemerdekaan pers dan perlindungan hukum hanya diberikan kepada pers yang profesional. "Di luar itu, seperti pers yang suka memeras atau sengaja beritikad tidak baik dalam menjalankan profesinya, masuk kategori pers tidak profesional," ujarnya. Menurut dia, mereka tak ubahnya "penumpang gelap" yang menjadikan kemerdekaan pers sebagai "topeng". Pasalnya, dalam menjalankan pekerjaannya sudah melanggar kode etik wartawan dan melawan hukum. (T.KR-TSP/D007/P003) COPYRIGHT © 2010