penafsiran anda tentang pasal 6 KEJ dan kode etik AJI sangat berlebihan dan 
mengada-ada. menyamakan hasil kerja profesional (halal) dan amplop. kalau anda 
merasa angpao dari nara sumber itu halal, itu urusan anda. 

anda juga tidak perlu salut segala macam karena tak memahami permasalahan. 

verri


--- In gorontalomaju2020@yahoogroups.com, "N. Syamsu Panna" <n_syam...@...> 
wrote:
>
> Ana olo mo curhat ah...
> 
> Selain sebagai wartawan, ana juga bekerja (entah ini sampingan atau utama) di 
> bidang grafis, baik cetak maupun audio visual. Juga di bidang IT.
> Job yg paling banyak adalah di grafis ini. Dan job yang jarang datang tapi 
> sekali datang depe doi besar adalah pembuatan profile cetak atau video, baik 
> pribadi maupun lembaga.
> Di Gorontalo order yg begini biasanya bo datang dari pejabat atau lembaga 
> pemerintah. Hampir tidak pernah dari non pejabat. (Tanya jo pa wartawan2 yg 
> juga 
> penulis buku biografi).Kecuali video profile untuk pre-wedding..
> 
> Kembali ke soal independensi jurnalis... 
> Yg ana dengar dari bbrapa anggota AJI, organisasi ini membolehkan anggotanya 
> menulis biografi seseorang dan menerima pembayaran dari kerja2 profesionalnya 
> itu. (dalam hal ini klo ana mem-video-kan biografi). 
> 
> Lantas, bgmana kalo orang/lembaga yang ditulis biografinya (isi biografi 
> tentunya baik-baik semua) kemudian tersangkut sebuah kasus, korupsi 
> misalnya... 
> Kira2 bagemana sikap si penulis kemudian... di satu sisi, sebagai jurnalis 
> dia 
> harus memberitakan kasus tersebut, di sisi lain, berita itu selain akan 
> menjatuhkan orang yang pernah memberi duit kepada dia, juga akan bertentangan 
> dengan apa yang pernah dia tulis. Ini berarti, pembayaran atas kerja 
> profesional 
> sebagai penulis biografi, (yang dibolehkan oleh AJI) ternyata juga 
> berpengaruh 
> terhadap independensi penulis sebagai seorang jurnalis.
> 
> Kode Etik Jurnalistik pasal 6; Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan 
> profesidan tidak menerima suap (penafsiran;  Suap adalah segala pemberian 
> dalam 
> bentuk uang, benda atau fasilitas  dari pihak lain yang mempengaruhi 
> independensi.)
> Kode Etik Jurnalistik AJI nomor 14. Jurnalis tidak dibenarkan menerima 
> sogokan. 
> (Catatan: yang dimaksud  dengan sogokan adalah semua bentuk pemberian berupa 
> uang, barang dan  atau fasilitas lain, yang secara langsung atau tidak 
> langsung, 
> dapat  mempengaruhi jurnalis dalam membuat kerja jurnalistik.)
> 
> Maka, secara tidak langsung, bagi saya, menerima pembayaran atas pekerjaan 
> profesional menulis biografi seorang pejabat, akan terlihat berdampak sama 
> dengan menerima angpao lebaran dari pejabat tersebut. Dua-duanya diterima 
> tidak 
> dalam kondisi sedang meliput berita...
> 
> Jika pekerjaan sambilan seperti di atas tadi kemudian akhirnya dilarang oleh 
> organisasi kewartawanan, lantas hanya membolehkan jurnalis mencari sambilan 
> dengan membuka usaha dagang, apakah anda yakin bahwa usaha dagang juga tidak 
> akan mempengaruhi independensi seorang jurnalis.. Bagaimana jika klien 
> terbesar 
> kita -- yang selama ini telah membuat usaha dagang kita maju pesat sehingga 
> kita 
> punya hutang budi kepada klien tersebut -- di belakang hari tersangkut sebuah 
> kasus seperti korupsi?
> 
> Mungkin hal-hal tersebut akan sulit kita hadapi karena membawa kita ke posisi 
> dilematis, kecuali bagi salah seorang senior saya di Gorontalo yg saya salut 
> karena beliau berani melawan kondisi dilematisnya saat memberitakan istrinya 
> sendiri ketika membagi-bagikan beras saat kampanye... 
> 
> 
> Karena itulah akhirnya saya mencoba kembali ke hukum yang lebih tinggi dari 
> kode 
> etik, undang-undang, maupun undang-undang Dasar...
> 
> 
> 
> 
> Syamsu Panna
> GORONTALO
> 
> 
>  
> 
> 
> 
> 
> ________________________________
> Dari: Syam Sdp <syam...@...>
> Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
> Terkirim: Sen, 30 Agustus, 2010 02:06:50
> Judul: Re: Bls: [GM2020] Re: Jangan Beri THR kepada Wartawan (Profesinalisme)
> 
>   
> 
> Bung FT, 
> 
> sekedar curhat, saya pribadi  pernah mengalami pengalaman "traumatik" jadi 
> wartawan, terkait soal kesejahteraan, kapasitas serta profesionalisme seperti 
> yang bung rentetkan tadi.
> 
> 2005, saya pernah mendaftar    pada sebuah tabloid di Gorontalo, hari pertama 
> mendaftar , langsung diterima, dibuatkan id card, trus langsung disuruh cari 
> berita, mulus benar  karir perdana saya ini.
>  tapi ironis, di samping nyari berita , saya  juga sekalian bertugas 
> menawarkan 
> iklan, hasil sekian persen dari iklan itulah, yang dianggap sebagai gaji 
> saya. 
> saya juga pernah beberapa kali menerima amplop dari narasumber,  dengan pesan 
> lisan dari orang -orang dalam, "asal dikase, ente tak usah tolak).  
> 
> 
> alhasil, saya pun keluar hanya dalam hitungan 3 bulan, kapok jadi wartawan, 
> banting stir kerja serabutan,  ngajar teater di SMA sana sini, jadi tukang 
> jaga 
> buku di perpustakaan, nulis puisi dan artikel meski kadang dibayar kadang 
> tidak,    sebelum akhirnya memutuskan kembali jadi wartawan pada awal 2008.
> 
> saya kira banyak juga rekan2 wartawan yang juga mengalami hal serupa meski 
> tak 
> sama kasusnya.  bahkan wartawan yang bekerja di media yang tergolong bonafid 
> sekalipun, masih mengeluhkan soal "kok jadinya begini" terkait harapan mereka 
> soal profesionalisme, ada yang merasa terkungkung karena tidak bisa bebas 
> menulis, hanya perusahaannya karena terikat dengan MoU dengan pemerintah, ini 
> harus diakui bersama.
> 
> merujuk pada istilah pers sebagai "anjing penjaga", saya sempat meluncurkan  
> istilah "anjing rumahan" dan "anjing jalanan", bagi wartawan yang ngepos dan 
> yang tidak. yang "rumahan" tentu harus menjaga majikannya, jangan sampai ada  
>  
> orang yang masuk berbuat semena2 di halaman rumah yang menjaga, yang  
> "jalanan"  
> tentu lebih bebas mengonggong di sana-sini, namun inipun paradoksal.
> 
>  di satu  sisi, sadar atau tidak sadar muncul kelas-kelas bagi wartawan di 
> gorontalo, identifikasi seorang wartawan di bagi-bagi menjadi lokal dan 
> nasional, bahkan  wartawan yang berlabel nasional terkesan bersikap lebih 
> elit, 
> merasa diri sebagai anjing yang bebas mengonggong (dan konon setahu saya, 
> jika 
> menghadiri konferesi pers pejabat, amplop wartawan nasional diisi  lebih 
> tebal 
> dari yang berlabel lokal) . wartawan berlabel lokal, setahu saya juga punya  
> sinisme tersendiri terhadap wartawan nasional. aneh, lucu. 
> 
> 
> dan saya sedih dengan situasi ini. padahal kalau tidak salah, yang dimaksud 
> dengan pers sebagai anjing penjaga, adalah bagaimana pers mampu menggonggong 
> menjalankan fungsi kontrolnya terhadap tatanan masyarakat. 
> 
> 
> berbicara tentang seluk beluk wal  tindak tanduk  pers indonesia memang 
> hingga 
> kini belum  tuntas, meski baru-baru ini dewan pers telah memformulasikan 
> "kompotensi wartawan" agar hal-hal seputar profesionalisme yang pengertiannya 
> cukup kompleks itu mampu terjawab 
> 
> 
> wartawan secara bertahap dibagi-bagi tingkat profesionalismenya, berdasarkan 
> lama waktu bekerja, kualitas dan karya yang dihasilkan, dan untuk naik 
> jenjang, 
> diberlakukan sejumlah prosedur, seperti pihak  yang berhak menguji (dewan 
> pers, 
> organisasi wartawan resmi, universitas yang memiliki fakultas 
> komunikasi.jurnalistik). jenjang wartawan berikut kompotensinya itu dibagi 
> tiga. 
> muda, madya, dan utama.
> 
> namun terlepas dari hal-hal yang belum selesai, yang juga bung funco tangkap  
> itu,  kalau saya pribadi yakin, menolak amplop beserta isinya adalah ikhtiar 
> kecil dari apa yang namanya independensi seorang wartawan.
> 
> hanya sebuah ikhtiar kecil, yang terus-menerus saya doakan; semoga 
> mendatangkan 
> hikmah yang jauh lebih besar .amien.   
> 
> 
>        
> terrajana 
> 
> 
> 
> 
> --- Pada Ming, 29/8/10, funcotan...@... <funcotan...@...> menulis:
> 
> 
> >Dari: funcotan...@... <funcotan...@...>
> >Judul: Re: Bls: [GM2020] Re: Jangan Beri THR kepada Wartawan (Profesinalisme)
> >Kepada: gorontalomaju2020@yahoogroups.com
> >Tanggal: Minggu, 29 Agustus, 2010, 5:09 PM
> >
> >
> >  
> >
> >Ada beberapa hal yang saya garis bawahi dari diskusi ini.
> >
> >1. Kesejahteraan, saya kira kita sudah membicarakan walau belum detail. Saya 
> >sudah memposting pada postingan sebelumnya.
> >
> >2. Kapasitas personal, ini point kritis yang mesti diupgrade secepatnya. 
> >Kapasitas SDM Wartawan/pekerja media (tidak semua) saya lihat berada di 
> >level 
> >yang memprihatinkan. Wartawan punya tugas mencerahkan, sama fungsinya dengan 
> >ulama, dosen, guru dll. Substansi "tupoksi" berada di frame itu. 
> >Persoalannya, 
> >apakah ada semacam usaha kreatif lembaga/perkumpulan wartawan baik di AJI 
> >atau 
> >PWI atau yang lain untuk mengaktifkan capacity building ini. Kapasitas 
> >profesional tidak sekedar meliput, menulis, memberitakan, tetapi bagaimana 
> >"mengarahkan" opini publik ke arah yang "cerah".
> >
> >3. Regulasi, hal-hal yang diatur secara serius dalam regulasi yang ada baik 
> >UU 
> >Pers dll, mesti diterjemahkan dalam bentuk operasionalisasi yang cukup 
> >detail, 
> >jelas, mengikat dan  efektif. Regulasi kadang hanya menjadi instrumen jika 
> >mulai 
> >masuk ke ranah "yang haram" dan "yang halal".
> >
> >4. Struktur, kita mesti mengakui banyak wartawan bodrex baik yang halus 
> >maupun 
> >terang-terangan. Ada 2 struktur yang saya kira berbeda, tetapi menjadi 
> >instrumen 
> >organisasi. Perusahaan tempat dia bekerja secara administratif, dan 
> >perkumpulan 
> >wartawan yang mengikat dia secara ideologis/etis. Saya kurang paham 
> >bagaimana 
> >mensinkronkan kedua lembaga ini.
> >
> >5. Sistem sosial, sistem sosial lokal Gorontalo yang terlalu ramah dengan 
> >sesama 
> >dll, cukup membuat wartawan kadang tidak enak, kasian dll. Fasilitas 
> >"diberangkatkan" ke luar daerah mengikuti pejabat utk meliput, THR, dan 
> >macam 
> >fasilitas cukup membuat rasa ketidakenakan ini seringkali terjadi. Bukan 
> >cuma 
> >wartawan, tetapi juga yang lain. Ada prinsip "mobilohe" dll, yang terus 
> >terang 
> >disalahkaprahkan. Yang mestinya diletakkan dalam hubungan 
> >masyarakat/kekeluargaan, malah diletakkan ke hubungan  profesional. Dan 
> >banyak 
> >sistem sosial lokal kita yang cukup mengkonstruksi "budaya" wartawan menjadi 
> >permisif dengan hal-hal yang mesti dia jauhi.
> >
> >6.Ideologi, point ini cukup krusial. Saya melihat bahwa mentalitas wartawan 
> >seperti Tempo agak jarang di Gorontalo. Saya terus terang masih menjadikan 
> >Tempo 
> >sebagai "standar" kewartawanan dan pemberitaan utk konteks Indonesia. 
> >Misalnya 
> >seperti Metta Dharmasapputra yang mesti merogoh koceknya pribadi hanya untuk 
> >membayar dinner bersama Liem Sio Liong. Ideologi "pembebasan" saya kira 
> >kurang 
> >dieksplorasi cukup dalam di antara wartawan Gorontalo, dan Indonesia. 
> >Ideologi 
> >adalah benteng terakhir dari profesi itu. Tanpa itu, segala sesuatunya akan 
> >longgar adanya. Untuk beberapa person wartawan di Gorontalo saya melihat ada 
> >beberapa yang teguh memegang hal tsb. Hanya saja tidak disebarluaskan.
> >
> >Mohon maaf jika menyinggung perasaan. Sebab, sekarang ini lagi eranya cepat 
> >tersinggung. Seperti Indonesia yang  sering tersinggung dengan Malaysia...
> >
> >Sekali lagi, ini adalah kehendak untuk saling memperbaiki.
> >
> >
> >
> >
> >
> >
> >Powered by Telkomsel BlackBerry®
> ________________________________
> 
> >From:  "v_madjowa" <v_madj...@...> 
> >Sender:  gorontalomaju2020@yahoogroups.com 
> >Date: Sun, 29 Aug 2010 16:45:27 -0000
> >To: <gorontalomaju2020@yahoogroups.com>
> >ReplyTo:  gorontalomaju2020@yahoogroups.com 
> >Subject: Bls: [GM2020] Re: Jangan Beri THR kepada Wartawan (Profesinalisme)
> >
> >  
> >kembali ke soal THR (yang diskusinya jadi bercabang-cabang dan merupakan 
> >dinamika di milis ini) semuanya berujung pada profesionalisme. menerima dan 
> >menolak kembali pada masing-masing individu. 
> >
> >
> >Menjustifikasi bahwa bingkisan, amplop dan lain-lain bisa diterima 
> >bertentangan 
> >dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Seperti yang dikemukakan Anggota 
> >Dewan 
> >Pers, Agus Sudibyo,"Pers yang suka memeras atau sengaja beritikad tidak baik 
> >dalam menjalankan profesinya, masuk kategori pers tidak profesional." 
> >(beritanya 
> >terlampir)
> >
> >salam,
> >
> >verri
> >
> >http://www.antaranews.com/berita/1269789782/uu-pers-hanya-untuk-pers-profesional
> 
> >
> >UU Pers Hanya Untuk Pers Profesional
> >
> >Minggu, 28 Maret 2010 22:23 WIB | Peristiwa | Hukum/Kriminal | Dibaca 400 
> >kali
> >
> >Padang (ANTARA News) - Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, menegaskan bahwa 
> >penerapan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya untuk pers 
> >profesional dan berkerja sesuai aturan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
> >
> >"Di luar itu, sepertinya tidak perlu diterapkan," ujarnya dalam seminar 
> >kebebasan pers bertema "Membuka Akses Keadilan Melalui Peningkatan Kapasitas 
> >Jurnalis" di Padang, Minggu.
> >
> >Saat ini, kata dia, makna kebebasan pers banyak disalahartikan oleh 
> >segelintir 
> >pers. Mereka beranggapan bahwa kebebasan itu mutlak, dan malah ada yang 
> >terang-terangan melanggar ketentuan kode etik tersebut. 
> >
> >
> >"Hal itu jelas tidak dapat ditoleransi. Oleh karena itu, UU Pers tidak perlu 
> >diterapkan kepada mereka," katanya menegaskan.
> >
> >Ia menyebutkan Pasal 2 UU No.40/1999 bahwa kemerdekaan pers adalah salah 
> >satu 
> >wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, 
> >dan 
> >supremasi hukum.
> >
> >Maknanya, kata dia, penegakan hukum yang merawat kemerdekaan pers. "Jadi, 
> >bukan 
> >berarti memberikan hak-hak istimewa kepada pers, melainkan ikut menjaga dan 
> >menegakkan demokrasi," paparnya.
> >
> >Diakuinya, pers memang sudah teruji dan memiliki peran sangat strategis 
> >dalam 
> >pengawasan semua tahapan dan fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. 
> >
> >
> >Namun, lanjut dia, kemerdekaan pers dan perlindungan hukum hanya diberikan 
> >kepada pers yang profesional.
> >
> >"Di luar itu, seperti pers yang suka memeras atau sengaja beritikad tidak 
> >baik 
> >dalam menjalankan profesinya, masuk kategori pers tidak profesional," 
> >ujarnya. 
> >
> >
> >Menurut dia, mereka tak ubahnya "penumpang gelap" yang menjadikan 
> >kemerdekaan 
> >pers sebagai "topeng". Pasalnya, dalam menjalankan pekerjaannya sudah 
> >melanggar 
> >kode etik wartawan dan melawan hukum.
> >(T.KR-TSP/D007/P003)
> >COPYRIGHT © 2010
> >
> >
>


Kirim email ke