Salam sejati

Demikian juga mudah mudahan ini artikel perenungan yng di tulis dalam blog
sampeyan :
http://dimensi5.wordpress.com/2007/01/31/galau-dalam-hidup/



dodo
2008/7/15, dohan satria <[EMAIL PROTECTED]>:
>
>
>
> 2008/7/15, panji tisna [EMAIL PROTECTED]:
>
>
>
> Salam Sejati,
> Monggo loh diunjuk kopi dari saya dulu mas Panji ,sekalian tepangan ,saya
> dodo piantun yogya  .
>
> Monggo di lanjut rumiyen mungkin ada rekan lain yang bisa
> menambahkan..sambil ngopi2 dulu ngemil mendoang  tehnya Poci gula Batu ,,
>
>
> Dodo
>
> Dalam perjalanan mencari dan mencari akan sebuah Arti Secercah Kehidupan saya
> sering dihampiri pertanyaan-pertanyaan seperti 'untuk apa semua ini? Apakah
> makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja, berputar-putar dari
> hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan sedih? Mengapa saya
> seperti dikuasai oleh kehidupan saya?'
> apakah juga terbetik di hati kadhang semua.
>
>>  Setelah berkomunikasi dan bincang2 dengan beberapa kadhang seperjalanan
>> saya memberanikan diri untuk meneruskan kan kepada kadhang seperjalanan
>> dengan kesimpulan sementara bahwa sebenarnya, Allah setiap saat
>> 'memanggil-manggil' kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja.
>> Dia, dengan kasih sayang-Nya, terkadang membuat suasana kehidupan seorang
>> anak manusia sedemikian rupa sehingga Qalbunya dibuat-Nya 'menoleh' kepada
>> Allah. Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha
>> mendengarkan, panggilan-Nya ini.
>>
>
> Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus
> mempertanyakan 'Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna
> kehidupan saya?,' dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah
> sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran?
> Mencari 'Al-Haqq'? Allah, percayalah, akan selalu menurunkan
> pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.
>
>>  Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya
>> kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah
>> seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun
>> tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap
>> orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk
>> mencari hakikat kehidupan.
>>
>> Bentuk 'pancingan' semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun
>> para Nabi. Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi (ilah),
>> yang diabadikan dalam QS 6:74-79.
>>
>> Dan sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Nabi Musa as, misalnya. Setelah
>> hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang maha raja yang
>> terbesar sepanjang sejarah, Sethi I. Hidup dalam kemewahan, kecukupan, hanya
>> bersenang-senang. Tapi dia selalu 'galau' ketika melihat di sekelilingnya,
>> bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi warga mesir kelas rendahan,
>> sebagai budak. Dia yang hidup dengan ayah tirinya Sethi I, tentunya setiap
>> hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya, normal saja. Dia mungkin hanya
>> sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau menyembah ayah tirinya itu.
>>
>> Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur harta kita yang sangat
>> berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah diri kita sebenarnya. Kita
>> disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan, mengejar kesuksesan kerja,
>> atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau sekolah, atau nyaman bersama
>> keluarga. Sangat sering, ketika hal ini terjadi, pertanyaan-pertanyaan
>> esensial seperti itu, yaitu potensi pencarian kebenaran yang kita bawa sejak
>> lahir, yang ketika kanak-kanak sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu
>> saja seiring waktu kita menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah 'potensi
>> mencari Allah' yang Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita
>> harus meninggalkan semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua
>> itu menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan
>> pada kita semenjak lahir.
>>
>> Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak menyadari
>> bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari. Sekolah,
>> mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah, membesarkan
>> anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap hari, selama
>> bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar telah terjebak
>> kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja, tanpa makna?
>> Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti pola yang sama
>> dengan kita. Pada saatnya nanti, mungkin hidup mereka pun akan mengulangi
>> putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.
>>
>> Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum terkubur.
>> Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan, maka
>> kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri.
>>
>> Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri?
>> Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak
>> ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia 'menjerit' ingin mencari Al-Haqq,
>> dan 'rembesannya' kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan.
>>
>> Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi pencarian
>> kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena secara
>> psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk melupakannya, ia
>> semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam pekerjaannya,
>> kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi kegelisahannya dengan
>> berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau keluarga, menenggelamkan
>> diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya.
>>
>> Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti datang ke
>> pengajian bukan dengan niat mencari-Nya tapi hanya untuk melenyapkan
>> kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja: ketika sakit kepala, cari
>> obat. Kegelisahan hilang, dia pun pergi lagi..
>>
>> Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya: "Manusia diciptakan untuk
>> beribadah!! Segala jawaban telah ada di Qur'an!!" Oke, tapi ibadah yang
>> seperti apa? Bisakah kita benar-benar beribadah, tanpa mengetahui maknanya?
>> Atau lebih jauh lagi, mampukah ia menjangkau makna Qur'an?
>>
>> Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur'an benar, mengapa
>> kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur'an seperti kitab suci yang tidak
>> teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat, dari satu topik
>> ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman, apakah iman itu? Apakah
>> takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin? Apakah Shiratal Mustaqim?
>> Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur'an terasa abstrak dan tak
>> terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan
>> sama sekali bukan menghakimi qur'an.
>>
>> Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal qur'an
>> sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain
>> orang-orang yang disucikan/ Al-mutahharuun, (QS 56:77-79).
>>
>> [Q.S. 56] "Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia
>> (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali
>> hamba-hamba yang disucikan/ Al-muthahharuun (79)."
>>
>> Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah disucikan,
>> sehingga makna qur'an telah terbentang begitu jelas dihadapannya? Jika
>> demikian, apa implikasi pernyataan : "Semua jawaban telah ada di Qur'an"
>> baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri dengan membaca terjemahan
>> qur'an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia telah mendapatkan maknanya?
>>
>> Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara. Ia tidak ingin
>> mendengarkannya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang semakin
>> terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi
>> pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya 'jeritan jiwa' tersebut
>> didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi
>> bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti
>> menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa
>> anak kita menangis?
>>
>> Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun, sebagaimana kita
>> semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya.
>> Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya ada. Allah, untuk
>> menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak terkubur dalam
>> kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar
>> lagi.
>>
>> Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai jutaan bayi
>> lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap
>> Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut
>> diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri
>> ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas
>> dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang
>> Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia
>> seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang
>> lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir,
>> mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya.
>>
>> Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi
>> seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah dengan air
>> kegalauan: "Siapa diriku sebenarnya?".
>>
>> Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan sebagaimana
>> kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada
>> seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta'ala, yaitu Nabi
>> Syu'aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa
>> kepadanya.
>>
>> Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya "arafa
>> nafsahu", untuk "arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri". Dan dengan bimbingan
>> Syu'aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah 'arif), bahwa
>> dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil,
>> bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya,
>> tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah
>> menemukan untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
>>
>> "Setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan
>> untuk itu." (Shahih Bukhari no. 2026)
>>
>> Maka dari itu, sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin ingin
>> sekali bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq untuk
>> minta bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar mencari
>> Allah, mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan "Siapakan aku? Untuk
>> apa aku diciptakan?" harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita (dan itu
>> pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil). Anda memang
>> telah benar-benar butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak
>> demikian, atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak
>> akan ada seorang mursyid sejati yang akan mengutus anak-anaknya untuk
>> menjemput anda.
>>
>> "Man 'arafa nafsahu, faqad 'arafa rabbahu", bukan semata-mata artinya
>> "siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya." Kata " 'Arafa", juga
>> "Ma'rifat," berasal dari kata 'arif, yang bermakna 'sepenuhnya memahami',
>> 'mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya'; dan bukan sekedar
>> mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata 'nafs', salah satu dari tiga unsur
>> yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).
>>
>> Jadi, kurang lebih maknanya adalah "barangsiapa yang 'arif
>> (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan 'arif pula akan
>> Rabbnya". Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah
>> dengan mengenal nafs terlebih dahulu.
>>
>> Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu 'arif akan Rabb kita, maka
>> setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas 'Ad-diin'.
>>
>> 'Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut 'Ma'rifatullah' (meng-
>> 'arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal– perjalanan,
>> bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Salah
>> seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang terkenal:
>> "Awaluddiina ma'rifatullah", Awalnya diin adalah ma'rifat (meng-'arif-i)
>> Allah.
>>
>> Salam Harmonis Sejati
>>
>> H PandjiTisna
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>>
>> Pada 15 Juli 2008 02:57, dohan satria <[EMAIL PROTECTED]> menulis:
>>
>>> Salam Sejati
>>> Salam Harmonis
>>>
>>> Kita sejauh ini sudah melakukan perjalanan HIDUP. Pait ,.aasam ,,manis
>>> ,..dan Sering sekali kita menemukan krikil krikil hambatan yang selalu
>>> berada disaat kita melaju. Bagaimana sikap kita disaat menghadapai kondisi
>>> yang PAIT???ASAM???MANIS????Sebagai manusia selayaknya sangat  manusiawi
>>> kita dipenuhi ego yang  sangat bangga dengan kehebatan pola pikir kita.
>>> Disaat menemukan kePAITAN Kapaitan hidup apa yang kita lakukan??APakah yang
>>> menjadikan kendala utama dalam menyikapi arti sebuah hidup. Dan kenapa
>>> cenderung kita kehilangan MAKNA hidup sebenarnya.?
>>>
>>> Alangkah melekatnya kita sejauh ini selalu melihat hal hal kenyataan
>>> menajdi parameter laku hidup. Saat hidup  terpenuhi dengan batasan batsan
>>> materi kita akan semangat ..saat terjatuh kesetiaan  kepada Makna hidup itu
>>> mulai melemah bahkan akan luntur seketika disaat,,kenapa??Kenapa dengan
>>>  terbentur akan sebuah batasa MATERI kita sering kelimpungan ????.Apakah
>>>  SUdah sewajarnay manusia mengalami demikian. Namun sebagai pelaku spiritual
>>> alangkah pentingnya kita berusaha untuk mencoba SETIA kepada apa yang
>>> terjadi. Kita tidak bisa mungkiri memang sebuah keyataan itu adalah hal hal
>>> nyata,. Tapi perlu diingat HIDUP ini tidak sebatas KONSEP konsep kehidupan
>>> NYATA. Ada perlunya mencari jalan keluar dengan mulai koreksi dan melihat
>>> kedalam diri/ penyelaman diri . Mulailah jujru kepada diri sendiri . APakah
>>> iya " aku ini sudah setia dengan MISI dan MAKNA hidupku'? apakah iya aku ini
>>> Nrimo dengan apa yang terjadi padaku??Apakah sebanrnya yang menajdi
>>> panggilan hidupku??Cuman sangat disayangkan..kita terkadang masih enggan
>>> untuk melihat kedalam. Kita masih belum percaya kekauatan dalam diri kita.
>>> Masalahnya seakrang mulai dari mana ??Disaat kita menemukan kepaitan hidup
>>> yang sudah menajdi sangat wajar kalo hal hal duniawi menajdi batasan kita
>>> dalam melihat sebuah jalan keluar.Kita masih asik dengan kegagalan dan
>>> keruwetan yang trejadi. Kita masih asik memohon dan menyalahkan keadaan
>>> . Pikiran manusia adalah sebuah TOOLS yang sangat sangat Otomatis dalam
>>> bekerja . Dia jago dalam menerima sinyal sinyal dan jago dalam mengyuasai
>>> kita.. namun   sayang ,,terakdang tidak sensitif dan selektif disaat kita
>>> benar beanr mentok dengan sebuah jalan keluar kepaitan hidup. Karena
>>> apa????karena pikiran kita selalu dalam radius FAKTA.Dan pikiran kita tidak
>>> mampu menyeleksi utnk bsia sensitif saat Pikiran memposisikan sebagai RAJA
>>> dalam diri kita . Artinya sepak terjang kita dibatasi oleh Si OTAK belaka .
>>> Saat kita dalam kondisi tersungkur bila tidak ada perimbangan Iman akan
>>> Kebenaran Tuhan ...saat itu juga akan semakin gelap akan sebuah jalan
>>> kelaur.Hingga kita tersesat dalam sebuah maslaah hidup .DISaat kita pandai
>>> menjalani hidup dalam arti sebatas RADIUS pikrian tadi,EGO yang akan muncul
>>> hingga akan mucul ke Akuan . Dalam kasus disaat sepak terjang kita merasa
>>> aman secara tidak sadar akan terhambat karena sellau terbuai dengan batasan
>>> batasan MATERI yang sudah menina bobokkan .Disaat kita terjatuh Pikrian
>>> mudah sekali tersungkur hingga NGAWUR dalam mencari penyelesaian ..hingga
>>> terjadi penyelesaian secara sepihak. DIsinilah peran SENDIKO DAWUH kita
>>> kepada Tuhan,.Sendiko Dawuh tidak melihat sebuah batasan,.Sendiko Dawuh
>>> tidak melihat kejadian,,,atau kenyataan, Sendiko Dawuh terkait dengan
>>> kekauatan akan Keberadan Tuhan yang akan selalu siap sedia memebrikan KUASA
>>> nya ..
>>> Untuk itu Dalam menykapi hal hal demikian pelru adanya mulai mencari
>>> keseimbangan diri ( yang bagaimana ??) kedalam hingga keseimbangan secara
>>> siklus akan memberikan kseimbangan diri keluar.Ini sudah tidak bsia ditawar
>>> lagi.Dengan kita bisa memberikan keseimbangan ke dalam ..Posisi kita akan
>>> kokoh disaat menemukan sebuah hambatan. Disaat kita menemukan sebuah
>>> kemakmuran kita akan berlaku andap asor tidak mengunggulkan ke Akuannya..dan
>>> kseombongannya .Sebuah Prinsip Idealis bagus bahkan sangat bagus dengan
>>> catatan dalam  posisi seimbang,bukan sepihak.Dari uraian diatas manusia
>>> hidup dibatasi oleh  hidup Nyata dan cenderung melihat sebuah MATERI sebagai
>>> Tolak ukur kemakmuran sesoerang.Secara OTOMATIS cenderung dalam menyikapi
>>> sesuatu seseorang yang hidup berkelimpahan layak mendapatkan penghormatan
>>> dan ini sudah tidak bisa dipungkiri hingga manusia cenderung mencari JATI
>>> DIRI sebatas itu.
>>>
>>> Patut diakui ,,sebuah Laku spiritual layak mulai diposisikan dalam
>>> perjalanan hidup kita.Secara keseimbangan Spiritual akan membawa kemakmuran
>>> hidup . Kemakmuran hidup bahkan  yang paling sederhanapun dimana ada
>>> kehidupan batin yang tenang sangat patut disukuri.Lebih sederhana lagi kita
>>> masih diberikan nafas GRATIS saudah sangat bersukur. Sekali kita
>>> mengeluh,,,sekali itu juga kita menanam Panggawe kita yang artinya kita akan
>>> membyuka COBA dan GODA dalam hidup.Sekali kita menoleh kebelakang ,bimbang,
>>> Cemas , Ragu disaat kita terjatuh saat itu juga kita melemahkan Iman kita
>>> akan Kebenaran.Tuhan Maha Kasih ,Coba dan Goda merupakan buah laku Panggawe
>>> kita. APa yang kita lakukan itulah hasil entah saat itu ,,entah esok atau
>>> masa lampau,.
>>> Disaat kita melakukan sebuah perjalanan hidup sisi Keimanan akan
>>> Kebenaran Tuhan tidak bsia ditinggalkan.Saat kita meyakini / mengimani Tuhan
>>> saat itu juga Goda dan Coba berjalan berdampingan di setiap sepak terjang
>>> kita. Silahkan dibuktiokan bagaiman kita meyikapi sebuah Gioda dan Coba .
>>> Kita mau anggap itu sebuah Coba dari Yang Maha Kuasa????Atau kita mau
>>> menyikapi dengan Sumeleh dan selalu Eling kalo itu adalah hasil dari
>>> Panggawe kita???yang artinya kalo kita menganggapo COBA dan Goda dari
>>> yang Maha Kuasa kita akan selalu meyalahkan DIA . SUngguh tidak sopan kalo
>>> memang kita bersikap demikian.Bukankah Tuhan itu Maha Kasih??
>>>
>>> Sagnat diperlukan sebuah keseimbangan dalam laku maupun kawruh,.dalam
>>> arti sehebat apapun ajaran tanpa adanya laku yang benar tidak akan
>>> kekal.Sudah selayaknya kita mulai melihat Tuhan sebagai MITRA kita bukan
>>> sebagai ujung kesalahan. Sejauh apa kita memposisikan Diri dihadapan
>>> TUHAN????Monggo direnungkan ,Tuhan yang sudah MAHA Segalanya,,,apakah
>>> masih  butuh sesuatu???masih butuh dipuji???disanjung????
>>>
>>> Dodo
>>> bersambung,.....  disconnect koneksinya
>>>
>>>
>>>
>>>
>>> --
>>> Dodo Yogya
>>>
>>>
>>>
>>
>>
>> >>
>>
>
>
> --
> Dodo Yogya




-- 
Dodo Yogya

--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Quote: 
** In this age of Aquarius, science will become religious, and religion will 
become scientific. Disagreements between science and religion will come to an 
end, and people will begin to comprehend that both spirit and matter are 
derived from the same source, and are only modifications of the One Universal 
Energy **
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke