Saya kira soal kerja di ITB itu bisa saja untuk orang industri, yang penting
dia itu bisa membawa financial sponsor-nya, seperti Shell dll, dan suatu
professorship dapat dibentuk seperti di UBD.
Jadi kalau sekiranya ada yang berminat jadi professor di ITB adalah selain
kwalifikasi yang diterima ITB adalah mendapatkan sponsor yang membiayai,
apakh pribadi, apakah Exxon-Mobil, atau George Sorous.
Sekarangpun sedang dalam perdebatan  adanya ITB  Panigoro School of Business
yang akan dibiayai oleh Arifin Panigoro. (USD 5 juta menurut khabar burung,
untuk dibentuk trustfund) yang membiayainya.
Jadi silahkan rame-rame cari financial sponsor.
Wassalam
RPK
----- Original Message -----
From: "Darman, Herman H BSP-TSX/4" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Monday, March 15, 2004 12:35 PM
Subject: RE: [iagi-net-l] Profesor termuda Nelson Tansu - pengalaman Houston


> Abah,
>
> Saya juga pernah ke Houston, ikut pertemuan IATMI-Houston dan berjumpa
dengan orang Indonesia, lulusan ITB jurusan Sipil kalau tidak salah yang PhD
thesisnya dipatent-kan. Namanya saya lupa sayangnya. Dia buat formula
menghitung kestabilan konstruksi sipil dengan pengaruh ombak. Jadi software
yang dibuat dipakai untuk mendesain konstruksi struktur offshore.
>
> Saya juga sempat tanya kawan ini apakah dia punya rencana pulang ke
Indonesia dan mengangkat nama Indonesia dari Indonesia bukan dari negeri
paman Sam. Menurut dia kalau dia pulang, kesempatan dia untuk menerapkan dan
mengembangkan ilmunya akan hilang. Beberapa oceanographic laboratory yang
dimiliki Indonesia seperti PT PAL dan satu lagi di Jakarta sudah 'mati',
bahkan sudah jadi lapangan badminton karyawan. Padahal, menurut dia, lab
tersebut cukup baik. Unocal juga menggunakannya untuk percobaan deep water
well mereka.
>
> Kalau kita punya orang-orang seperti ini dibidang geologi, apakah mereka
bisa kita terima dalam system pendidikan di Indonesia? Jawabnya tentu tidak.
Mereka mesti mulai dari bawah (assisten dosen) dulu rasanya.
>
> Saya juga menunggu perkembangan privatisasi ITB. Siapa tau mereka bisa
buka kesempatan untuk orang-orang Industri untuk kerja di ITB sebagai
pengajar. Kalau di Brunei, mereka bisa terima high qualified geologist dari
industri untuk kerja di sana.
>
> Herman
>
> -----Original Message-----
> From: Yanto R. Sumantri [mailto:[EMAIL PROTECTED]
> Sent: 15 March 2004 12:44
> To: [EMAIL PROTECTED]
> Subject: [iagi-net-l] Profesor termuda Nelson Tansu
>
>
> Rekan rekan IAGI- net
>
> Berikut informasi yang mungkin  berguna , bagi yang rajin mendengar
> Delta FM , ybs pernah diwawancara  pagi ini.
>
> Si Abah
>
>
> Nelson Tansu, Profesor Termuda asal Indonesia di Lehigh University, AS
>
>
> Jago Seminar di Mancanegara, tapi Dikira Mahasiswa S-1
> Banyak orang di berbagai penjuru dunia yang berusaha menggapai mimpi
> Amerika. Salah seorang yang berhasil merengkuhnya adalah warga negara
> Indonesia. Dia bernama Nelson Tansu. Di AS, dia termasuk ilmuwan ternama
> dengan tiga hak paten di tangannya.
>
>
> RAMADHAN POHAN, Washington DC
>
> NAMA lengkapnya adalah Prof Nelson Tansu PhD. Setahun lalu, ketika baru
> berusia 25 tahun, dia diangkat menjadi guru besar (profesor) di Lehigh
> University, Bethlehem, Pennsylvania 18015, USA. Usia yang tergolong
> sangat belia dengan statusnya tersebut.
>
> Kini, ketika usianya menginjak 26 tahun, Nelson tercatat sebagai
> profesor termuda di universitas bergengsi wilayah East Coast, Negeri
> Paman Sam, itu. Sebagai dosen muda, para mahasiswa dan bimbingannya
> justru rata-rata sudah berumur. Sebab, dia mengajar tingkat master
> (S-2), doktor (S-3), bahkan post doctoral.
>
> Prestasi dan reputasi Nelson cukup berkibar di kalangan akademisi AS.
> Puluhan hasil risetnya dipublikasikan di jurnal-jurnal internasional.
> Dia sering diundang menjadi pembicara utama dan penceramah di berbagai
> seminar. Paling sering terutama menjadi pembicara dalam
> pertemuan-pertemuan intelektual, konferensi, dan seminar di Washington
> DC. Selain itu, dia sering datang ke berbagai kota lain di AS. Bahkan,
> dia sering pergi ke mancanegara seperti Kanada, sejumlah negara di
> Eropa, dan Asia.
>
> Yang mengagumkan, sudah ada tiga penemuan ilmiahnya yang dipatenkan di
> AS, yakni bidang semiconductor nanostructure optoelectronics devices dan
> high power semiconductor lasers. Di tengah kesibukannya melakukan
> riset-riset lainnya, dua buku Nelson sedang dalam proses penerbitan.
> Bukan main. Kedua buku tersebut merupakan buku teks (buku wajib
> pegangan, Red) bagi mahasiswa S-1 di Negeri Paman Sam.
>
> Karena itu, Indonesia layak bangga atas prestasi anak bangsa di negeri
> rantau tersebut. Lajang kelahiran Medan, 20 Oktober 1977, itu sampai
> sekarang masih memegang paspor hijau berlambang garuda. Kendati belum
> satu dekade di AS, prestasinya sudah segudang. Ke mana pun dirinya
> pergi, setiap ditanya orang, Nelson selalu mengenalkan diri sebagai
> orang Indonesia. Sikap Nelson itu sangat membanggakan di tengah banyak
> tokoh kita yang malu mengakui Indonesia sebagai tanah kelahirannya.
>
> "Saya sangat cinta tanah kelahiran saya. Dan, saya selalu ingin
> melakukan yang terbaik untuk Indonesia," katanya, serius.
>
> Di Negeri Paman Sam, kecintaan Nelson terhadap negerinya yang dicap
> sebagai terkorup di Asia tersebut dikonkretkan dengan memperlihatkan
> ketekunan serta prestasi kerjanya sebagai anak bangsa. Saat berbicara
> soal Indonesia, mimik pemuda itu terlihat sungguh-sungguh dan jauh dari
> basa-basi.
>
> "Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan merupakan bangsa yang
> mampu bersaing dengan bangsa-bangsa besar lainnya. Tentu saja jika
> bangsa kita terus bekerja keras," kata Nelson menjawab koran ini.
>
> Dia adalah anak kedua di antara tiga bersaudara buah pasangan Iskandar
> Tansu dan Lily Auw yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara. Kedua
> orang tua Nelson adalah pebisnis percetakan di Medan. Mereka adalah
> lulusan universitas di Jerman. Abang Nelson, Tony Tansu, adalah master
> dari Ohio, AS. Begitu juga adiknya, Inge Tansu, adalah lulusan Ohio
> State University (OSU). Tampak jelas bahwa Nelson memang berasal dari
> lingkungan keluarga berpendidikan.
>
> Posisi resmi Nelson di Lehigh University adalah assistant professor di
> bidang electrical and computer engineering. Di AS, itu merupakan gelar
> untuk guru besar baru di perguruan tinggi. "Walaupun saya adalah
> profesor di jurusan electrical and computer engineering, riset saya
> sebenarnya lebih condong ke arah fisika terapan dan quantum
> electronics," jelasnya.
>
> Sebagai cendekiawan muda, dia menjalani kehidupannya dengan tiada hari
> tanpa membaca, menulis, serta melakukan riset. Tentunya, dia juga
> menyiapkan materi serta bahan kuliah bagi para mahasiswanya.
> Kesibukannya tersebut, jika meminjam istilah di Amerika, bertumpu pada
> tiga hal. Yakni, learning, teaching, and researching. Boleh jadi, tak
> ada waktu sedikit pun yang dilalui Nelson dengan santai. Di sana, 24 jam
> sehari dilaluinya dengan segala aktivitas ilmiah. Waktu yang tersisa tak
> lebih dari istirahat tidur 4-5 jam per hari.
>
> Anak muda itu memang enak diajak mengobrol. Idealismenya berkobar-kobar
> dan penuh semangat. Layaknya profesor Amerika, sosok Nelson sangat
> bersahaja dan bahkan suka merendah. Busana kesehariannya juga tak
> aneh-aneh, yakni mengenakan kemeja berkerah dan pantalon.
>
> Sekilas, dia terkesan pendiam. Pengetahuan dan bobotnya sering
> tersembunyi di balik penampilannya yang seperti tak suka bicara. Tapi,
> ketika dia mengajar atau berbicara di konferensi para intelektual, jati
> diri akademisi Nelson tampak. Lingkungan akademisi, riset, dan kampus
> memang menjadi dunianya. Dia selalu peduli pada kepentingan serta dahaga
> pengetahuan para mahasiswanya di kampus.
>
> Ada yang menarik di sini. Karena tampangnya yang sangat belia, tak
> sedikit insan kampus yang menganggapnya sebagai mahasiswa S-1 atau
> program master. Dia dikira sebagai mahasiswa umumnya. Namun, bagi yang
> mengenalnya, terutama kalangan universitas atau jurusannya mengajar,
> begitu bertemu dirinya, mereka selalu menyapanya hormat: Prof Tansu.
>
> "Di semester Fall 2003, saya mengajar kelas untuk tingkat PhD tentang
> physics and applications of photonics crystals. Di semester Spring 2004,
> sekarang, saya mengajar kelas untuk mahasiswa senior dan master tentang
> semiconductor device physics. Begitulah," ungkap Nelson menjawab soal
> kegiatan mengajarnya.
>
> September hingga Desember atau semester Fall 2004, jadwal mengajar
> Nelson sudah menanti lagi. Selama semester itu, dia akan mengajar kelas
> untuk tingkat PhD tentang applied quantum mechanics for semiconductor
> nanotechnology.
>
> "Selain mengajar kelas-kelas di universitas, saya membimbing beberapa
> mahasiswa PhD dan post-doctoral research fellow di Lehigh University
> ini," jelasnya saat ditanya mengenai kesibukan lainnya di kampus.
>
> Nelson termasuk individu yang sukses menggapai mimpi Amerika (American
> dream). Banyak imigran dan perantau yang mengadu nasib di negeri itu
> dengan segala persaingannya yang superketat. Di Negeri Paman Sam
> tersebut, ada cerita sukses seperti aktor yang kini menjadi Gubernur
> California Arnold Schwarzenegger yang sebenarnya adalah imigran asal
> Austria. Kemudian, dalam Kabinet George Walker Bush sekarang juga ada
> imigrannya, yakni Menteri Tenaga Kerja Elaine L. Chao. Imigran asal
> Taipei tersebut merupakan wanita pertama Asian-American yang menjadi
> menteri selama sejarah AS.
>
> Negara Superpower tersebut juga sangat baik menempa bakat serta
> intelektual Nelson. Lulusan SMA Sutomo 1 Medan itu tiba di AS pada Juli
> 1995. Di sana, dia menamatkan seluruh pendidikannya mulai S-1 hingga S-3
> di University of Wisconsin di Madison. Nelson menyelesaikan pendidikan
> S-1 di bidang applied mathematics, electrical engineering, and physics.
> Sedangkan untuk PhD, dia mengambil bidang electrical engineering.
>
> Dari seluruh perjalanan hidup dan karirnya, Nelson mengaku bahwa semua
> suksesnya itu tak lepas dari dukungan keluarganya. Saat ditanya mengenai
> siapa yang paling berpengaruh, dia cepat menyebut kedua orang tuanya dan
> kakeknya. "Mereka menanamkan mengenai pentingnya pendidikan sejak saya
> masih kecil sekali," ujarnya.
>
> Ada kisah menarik di situ. Ketika masih sekolah dasar, kedua orang
> tuanya sering membanding-bandingkan Nelson dengan beberapa sepupunya
> yang sudah doktor. Perbandingan tersebut sebenarnya kurang pas. Sebab,
> para sepupu Nelson itu jauh di atas usianya. Ada yang 20 tahun lebih
> tua. Tapi, Nelson kecil menganggapnya serius dan bertekad keras
> mengimbangi sekaligus melampauinya. Waktu akhirnya menjawab imipian
> Nelson tersebut.
>
> "Jadi, terima kasih buat kedua orang tua saya. Saya memang orang yang
> suka dengan banyak tantangan. Kita jadi terpacu, gitu," ungkapnya.
>
> Nelson mengaku, mendiang kakeknya dulu juga ikut memicu semangat serta
> disiplin belajarnya. "Almarhum kakek saya itu orang yang sangat baik,
> namun agak keras. Tetapi, karena kerasnya, saya malah menjadi lebih
> tekun dan berusaha sesempurna mungkin mencapai standar tertinggi dalam
> melakukan sesuatu," jelasnya.
>
> Sisihkan 300 Doktor AS, tapi Tetap Rendah Hati
> Nelson Tansu menjadi fisikawan ternama di Amerika. Tapi, hanya sedikit
> yang tahu bahwa guru besar belia itu berasal dari Indonesia. Di sejumlah
> kesempatan, banyak yang menganggap Nelson ada hubungan famili dengan
> mantan PM Turki Tansu Ciller. Benarkah?
>
> NAMA Nelson Tansu memang cukup unik. Sekilas, sama sekali nama itu tidak
> mengindikasikan identitas etnis, ras, atau asal negeri tertentu. Karena
> itu, di Negeri Paman Sam, banyak yang keliru membaca, mengetahui, atau
> berkenalan dengan profesor belia tersebut.
>
> Malah ada yang menduga bahwa dia adalah orang Turki. Dugaan itu muncul
> jika dikaitkan dengan hubungan famili Tansu Ciller, mantan perdana
> menteri (PM) Turki. Beberapa netters malah tidak segan-segan
> mencantumkan nama dan kiprah Nelson ke dalam website Turki. Seolah-olah
> mereka yakin betul bahwa fisikawan belia yang mulai berkibar di
> lingkaran akademisi AS itu memang berasal dari negerinya Kemal Ataturk.
>
> Ada pula yang mengira bahwa Nelson adalah orang Asia Timur, tepatnya
> Jepang atau Tiongkok. Yang lebih seru, beberapa universitas di Jepang
> malah terang-terangan melamar Nelson dan meminta dia "kembali" mengajar
> di Jepang. Seakan-akan Nelson memang orang sana dan pernah mengajar di
> Negeri Sakura itu.
>
> Dilihat dari nama, wajar jika kekeliruan itu terjadi. Begitu juga wajah
> Nelson yang seperti orang Jepang. Lebih-lebih di Amerika banyak profesor
> yang keturunan atau berasal dari Asia Timur dan jarang-jarang memang
> asal Indonesia. Nelson pun hanya senyum-senyum atas segala kekeliruan
> terhadap dirinya.
>
> "Biasanya saya langsung mengoreksi. Saya jelaskan ke mereka bahwa saya
> asli Indonesia. Mereka memang agak terkejut sih karena memang mungkin
> jarang ada profesor asal aslinya dari Indonesia,"jelas Nelson.
>
> Tansu sendiri sesungguhnya bukan marga kalangan Tionghoa. Memang, nenek
> moyang Nelson dulu Hokkien, dan marganya adalah Tan. Tapi, ketika lahir,
>
> Nelson sudah diberi nama belakang "Tansu", sebagaimana ayahnya, Iskandar
> Tansu.
>
> "Saya suka dengan nama Tansu, kok,"kata Nelson dengan nada bangga.
>
> Nelson adalah pemuda mandiri. Semangatnya tinggi, tekun, visioner, dan
> selalu mematok standar tertinggi dalam kiprah riset dan dunia
> akademisinya. Orang tua Nelson hanya membiayai hingga tingkat S-1.
> Selebihnya? Berkat keringat dan prestasi Nelson sendiri. Kuliah tingkat
> doktor hingga segala keperluan kuliah dan kehidupannya ditanggung lewat
> beasiswa universitas.
>
> "Beasiswa yang saya peroleh sudah lebih dari cukup untuk membiayai semua
> kuliah dan kebutuhan di universitas," katanya.
>
> Orang seperti Nelson dengan prestasi akademik tertinggi memang tak sulit
> memenangi berbagai beasiswa. Jika dihitung-hitung, lusinan penghargaan
> dan anugerah beasiswa yang pernah dia raih selama ini di AS.
>
> Menjadi profesor di Negeri Paman Sam memang sudah menjadi cita-cita dia
> sejak lama. Walau demikian, posisi assistant professor (profesor muda,
> Red) tak pernah terbayangkannya bisa diraih pada usia 25 tahun. Coba
> bandingkan dengan lingkungan keluarga atau masyarakat di Indonesia,
> umumnya apa yang didapat pemuda 25 tahun?
>
> Bahkan, di AS yang negeri supermaju pun reputasi Nelson bukan fenomena
> umum. Bayangkan, pada usia semuda itu, dia menyandang status guru besar.
>
> Sehari-hari dia mengajar program master, doktor, dan bahkan post
> doctoral. Yang prestisius bagi seorang ilmuwan, ada tiga riset Nelson
> yang dipatenkan di AS. Kemudian, dua buku teksnya untuk mahasiswa S-1
> dalam proses penerbitan.
>
> Tapi, bukan Nelson Tansu namanya jika tidak santun dan merendah.
> Cita-citanya mulia sekali. Dia akan tetap melakukan riset-riset yang
> hasilnya bermanfaat buat kemanusian dan dunia. Sebagai profesor di AS,
> dia seperti meniti jalan suci mewujudkan idealisme tersebut.
>
> Ketika mendengar pengakuan cita-cita sejatinya, siapa pun pasti akan
> terperanjat. Cukup fenomenal. "Sejak SD kelas 3 atau kelas 4 di Medan,
> saya selalu ingin menjadi profesor di universitas di Amerika Serikat.
> Ini benar-benar saya cita-citakan sejak kecil," ujarnya dengan mimik
> serius.
>
> Tapi, orang bakal mahfum jika melihat sejarah hidupnya. Ketika usia SD,
> Nelson kecil gemar membaca biografi para ilmuwan-fisikawan AS dan Eropa.
>
> Selain Albert Einstein yang menjadi pujaannya, nama-nama besar seperti
> Werner Heisenberg, Richard Feynman, dan Murray Gell-Mann ternyata sudah
> diakrabi Nelson cilik.
>
> "Mereka hebat. Dari bacaan tersebut, saya benar-benar terkejut, tergugah
> dengan prestasi para fisikawan luar biasa itu. Ada yang usianya muda
> sekali ketika meraih PhD, jadi profesor, dan ada pula yang berhasil
> menemukan teori yang luar biasa. Mereka masih muda ketika itu," jelas
> Nelson penuh kagum.
>
> Nelson jadi profesor muda di Lehigh University sejak awal 2003. Untuk
> bidang teknik dan fisika, universitas itu termasuk unggulan dan papan
> atas di kawasan East Coast, Negeri Paman Sam. Untuk menjadi profesor di
> Lehigh, Nelson terlebih dahulu menyisihkan 300 doktor yang resume
> (CV)-nya juga hebat-hebat. "Seleksinya ketat sekali, sedangkan posisi
> yang diperebutkan hanya satu," ujarnya.
>
> Lelaki penggemar buah-buahan dan masakan Padang itu mengaku lega dan
> beruntung karena dirinya yang terpilih. Menurut Nelson, dari segi gaji
> dan materi, menjadi profesor di kampus top seperti yang dia alami
> sekarang sudah cukup lumayan. Berapa sih lumayannya?
>
> "Sangat bersainglah. Gaji profesor di universitas private terkemuka di
> Amerika Serikat adalah sangat kompetitif dibandingkan dengan gaji
> industri. Jadi, cukup baguslah, he...he...he...," katanya, menyelipkan
> senyum.
>
> Riwayat hidup dan reputasinya memang wow. Nelson sempat menjadi incaran
> dan malah "rebutan" kalangan universitas AS dan mancanegara. Ada yang
> menawari jabatan associate professor yang lebih tinggi daripada yang dia
> sandang sekarang (assistant professor). Ada pula yang menawari gaji dan
> fasilitas yang lebih heboh daripada Lehigh University. Tawaran-tawaran
> menggiurkan itu datang dari AS, Kanada, Jerman, dan Taiwan serta berasal
> dari kampus-kampus top.
>
> Semua datang sebelum maupun sesudah Nelson resmi mengajar di Lehigh
> University. Tapi, segalanya lewat begitu saja. Nelson memilih konsisten,
> loyal, dan komit dengan universitas di Pennsylvania itu. Tapi, tentu ada
> pertimbangan khusus yang lain.
>
> "Saya memilih ini karena Lehigh memberikan dana research yang sangat
> signifikan untuk bidang saya, semiconductor nanostructure optoelectronic
> devices. Lehigh juga memiliki leaderships yang sangat kuat dan ambisinya
> tinggi menaikkan reputasinya dengan memiliki para profesor paling
> berpotensi dan ternama untuk melakukan riset berkelas dunia,"papar
> pengagum John Bardeen, fisikawan pemenang Nobel, itu.
>
> Perusahaan-perusahaan industri Amerika juga menaruh minat dan
> mengiming-imingi Nelson dengan gaji dan fasilitas menggiurkan. Itu pun
> dia tampik.
>
> "Bukan apa-apa. Saya memang tidak tertarik untuk masuk ke industri.
> Seperti saya bilang tadi, profesor sudah cita-cita saya. Lagi pula,
> kompensasi finansial yang diberikan Lehigh memang sudah bagus banget dan
> saya happy," tuturnya.
>
> Nelson tinggal di sebuah apartemen yang tak jauh dari kampusnya
> mengajar. Dia tinggal sendiri. Karena itu, semua urusan rumah dan segala
> keperluannya dilakukan sendiri.
>
> Ditanya soal pacar, Nelson tersipu-sipu dan mengaku belum punya.
> Padahal, secara fisik, dengan tinggi 173 cm, berat 67 kg, dan wajah yang
> cakep khas Asia, Nelson mestinya gampang menggaet (atau malah digaet)
> cewek Amerika. Banyak kriteria kah?
>
> "Ha...ha...ha.... Pertama, saya ini nggak ganteng ya. Tapi, begini,
> mungkin karena memang belum ketemu yang cocok dan jodoh saja. Saya sih,
> kalau
> bisa, ya dengan orang Indonesia-lah. Saya sih nggak melihat orang
> berdasarkan kriteria macem-macem. Yang penting orangnya baik, pintar,
> bermoral, pengertian, dan mendukung," paparnya panjang lebar, geli
> karena topik pembicaraan menyimpang dari dunia fisikanya ke soal wanita.
>
> Nelson hampir tiap tahun pulang ke Medan, bertemu orang tuanya dan
> teman-teman lamanya. Pemilik email [EMAIL PROTECTED] dan alamat alamat
> website http://www3.lehigh.edu/engineering/ece/tansu.asp itu dengan
> segudang prestasi dan reputasinya memang membanggakan Indonesia.
>
>
> Menumpang Nelson Tansu
>
> Ada lagi ilmuwan muda asal Indonesia yang berhasil di AS. Dia adalah
> Nelson Tansu. Usianya baru 26 tahun. Masih muda. Namun, dia sudah
> menjadi profesor di Universitas Lehigh, Pennsylvania. Anak muda itu
> berasal dari Medan.
>
> Kita bangga terhadap Nelson. Bukan hanya disebabkan dia yang berusia
> masih sangat muda itu sudah diakui keilmuannya di negeri raksasa iptek
> (AS). Melainkan, melalui dia, kita ingin menumpang kampanye. Agar, dia
> menjadi salah satu sumber inspirasi moral bahwa negeri ini masih genah.
>
> Apalagi, menurut laporan koran ini dari AS, Nelson masih memegang paspor
> cap garuda. Dia masih cinta dan bangga dengan Indonesia. Meskipun,
> dengan satu dekade tinggal di AS dan dengan prestasi yang cemerlang itu,
>
> sesungguhnya dia bisa mudah menjadi warga negara AS.
>
> Kita ingin menumpang prestasi Nelson agar turut mencerahkan pikiran
> orang asing bahwa Indonesia tidak hanya gelap gulita. Bahwa negeri ini
> tak hanya identik dengan gudang koruptor.
>
> Indonesia masih mempunyai anak negeri yang memiliki kemampuan
> intelektual yang sejajar, bahkan lebih tinggi daripada anak negeri lain.
>
> Nelson sudah membuktikan kemampuan tersebut.
>
> Dia juga diharapkan bisa sedikit menghapus anggapan buruk orang asing
> yang sarat stigma serta prasangka. Sebab, ternyata negeri ini bukan
> merupakan sarang teroris yang begitu gampang meledakkan bom.
>
> Kemampuan dan penguasaan ilmu yang tinggi memang sering bisa sangat
> berperan mengangkat prestasi serta prestise bangsa dan suatu negeri.
> Sebab, ilmu merupakan salah satu instrumen eksplorasi perabadan dan
> kebudayaan. Sehingga, dengan itu, suatu bangsa dan negeri akan cepat
> menggapai kemajuan sosial.
>
> Karena itu, negeri-negeri tempat ilmuwan besar dilahirkan dan selama
> hidupnya mengabdikan ilmunya untuk orang banyak serta kemajuan sosial
> sering identik dengan negeri-negeri industri maju.
>
> Misalnya, AS, Prancis, Inggris, dan Jepang identik dengan negara iptek
> karena banyak melahirkan ilmuwan besar yang semasa hidupnya mengabdikan
> ilmunya untuk kemajuan negerinya.
>
> Seharusnya, Nelson dengan ilmunya juga memberikan kontribusi bagi
> kemajuan bangsanya. Tetapi, karena negeri ini tidak kondusif bagi
> pengembangan iptek, orang-orang muda seperti Nelson harus hijrah atau
> menetap di negeri orang. Tinggal di AS. Negeri yang memberikan lahan
> subur bagi pengembangan ilmunya.
>
> Seharusnya pula, dengan prestasi Nelson secemerlang itu, banyak
> perguruan tinggi besar di sini yang mau memanggil dirinya untuk pulang
> kampung. Lalu, dia diberi lahan garapan agar ilmu yang dimilikinya
> segera bisa bermanfaat bagi bangsa serta anak-anak negeri yang masih
> ketinggalan jauh.
>
> Tetapi, perguruan tinggi mana yang sanggup memulangkan Nelson? Selain
> tidak memiliki sarana yang memadai untuk memberikan tempat bagi dia,
> lembaga tersebut tidak mampu memberikan isentif yang setara dengan
> kemampuannya.
>
> Persoalannya ada pada perspektif itu. Di satu pihak, ternyata bangsa ini
> bisa melahirkan anak-anaknya yang berotak cemerlang. Namun, di pihak
> lain, karena kemiskinan dan keterbelakangan yang masih luas, ketika
> anak-anak yang cemerlang tersebut lahir, mereka tak betah bertahan di
> negerinya. Karena itu, yang bisa diperbuat adalah menumpang prestasi
> cemerlang si anak bangsa.
>
>
>
****************************************************************************
******
> --------- End Forwarded Message ---------
>
> __________________________________
> Do you Yahoo!?
> Yahoo! Mail - More reliable, more storage, less spam
> http://mail.yahoo.com
>
>
> --[YONSATU - ITB]---------------------------------------------
> Arsip           : <http://yonsatu.mahawarman.net>  atau
>                   <http://news.mahawarman.net>
> News Groups     : gmane.org.region.indonesia.mahawarman
> Other Info      : <http://www.mahawarman.net>
>
> ---------------------------------------------------------------------
>
> To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
>
> Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
>
> IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
>
> IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
>
>
>
> Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan
Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
>
> Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
>
> Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
>
> Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
>
> Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau
[EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
>
> Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
>
> ---------------------------------------------------------------------
>
>
> ---------------------------------------------------------------------
> To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]
> Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
> IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
> IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
>
> Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan
Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id
> Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])
> Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])
> Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])
> Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau
[EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])
> Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])
> ---------------------------------------------------------------------
>


---------------------------------------------------------------------

To unsubscribe, e-mail: [EMAIL PROTECTED]

Visit IAGI Website: http://iagi.or.id

IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/

IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi



Komisi Sedimentologi (FOSI) : F. Hasan Sidi([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id

Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED])

Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED])

Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED])

Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif 
Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED])

Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED])

---------------------------------------------------------------------

Reply via email to