Saya agak merinding kalau media menyebutkan bahwa para ahli kebumian sudah dapat menduga atau memperkirakan kejadian gempa besar di Nias kemarin, dengan kontasi seolah2 kita (secara kolektif) tahu bahwa pada saat X akan terjadi gempa di daerah Y dengan magnitutude lebih besar dari Z skala Richter. Hal ini berpotensi menimbulkan pengharapan yang mungkin berlebihan pada komunitas kebumian dan bisa menimbulkan suatu hantaman balik (backlash) apabila kita dianggap 'kecolongan' dalam tidak memprediksi suatu gempa secara akurat.
Rasanya masyarakat perlu diberi pengertian bahwa 'dugaan' atau prediksi dalam dunia kebumian (apalagi menyangkut soal gempa) mempunyai rentang ketidak pastian yang jauh lebih besar daripada 'dugaan' LSI soal pemenang Pemilu. Bagaimanapun, artikel dibawah juga memberikan info yang mungkin bisa dipegang soal mengapa (syukurlah) tidak terjadi tsunami dalam gempa Nias kemarin. Salam Oki - - - - - - - - - - - http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0503/30/utama/1653780.htm Rabu, 30 Maret 2005 Gempa Besar Itu Telah Diduga GEMPA dan tsunami dahsyat di perairan Sumatera-Andaman tahun lalu sangat mungkin akan memicu gempa besar lagi. Hasil kalkulasi menunjukkan, distribusi tekanan ko-seismik akibat deformasi vertikal di Patahan Sumatera telah meningkatkan tekanan (stress) secara signifikan pada segmen-segmen di sekitarnya. Gempa 26 Desember 2004 juga meningkatkan potensi terjadinya zona subduksi besar di kawasan ini, yang bisa memicu tsunami. Maka sistem peringatan dini di Samudra Hindia menjadi amat penting." Begitulah abstrak penelitian John McCloskey, Suleyman S Nalbant, dan Sandy Steacy, ketiganya dari Sekolah Sains Lingkungan, Universitas Ulster, Coleraine, Inggris. Dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature terbitan 17 Maret 2005, prediksi mereka menjadi kenyataan sebelas hari setelah pemuatannya. Gempa besar berkekuatan 8,2 pada skala Richter kembali mengguncang kawasan Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara, Senin (28/3) malam. Meski tak diikuti tsunami, gempa besar itu kembali menelan korban. "Kalau gempa tahun lalu terjadi di segmen paling utara, sekarang di segmen bagian selatan. Tekanan ko-seismik rupanya mengarah ke selatan," kata Dr Nanang T Puspito, Kepala Laboratorium Seismologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. Dihubungi secara terpisah, Selasa, Kepala Pusat Sistem Data dan Informasi Geofisika Badan Meteorologi dan Geofisika Dr Prih Harjadi menyatakan, gempa yang baru saja muncul ini memang masih satu rangkaian dengan gempa dahsyat sebelumnya. "Perjalanan gempa tersebut kemungkinan terus menuju ke selatan-sesuai arah tekanan ko-seismik yang diterima-yang pasti akan diikuti oleh gempa-gempa susulan. Akan tetapi, belum tentu memicu munculnya gempa-gempa besar lain," kata Prih menambahkan. Jika dirunut dari sejarah kejadian gempa, maka gempa besar yang diikuti tsunami juga pernah terjadi di Pulau Siberut yang terletak di perairan Sumatera bagian selatan, tahun 1833. Mengutip penelitian Dr Danny Hilman Natawijaya dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tentang pola kegempaan di barat Sumatera yang dilakukan sejak 1992-dengan memantau pergerakan lempeng dan bentuk-bentuk karang laut mikroatol dekat pantai-maka Prih menyebutkan adanya kesenjangan seismik (seismic gap) di wilayah selatan. Kesenjangan seismik menggambarkan suatu kawasan yang jumlah sumber gempanya lebih sedikit dibandingkan dengan sumber-sumber gempa di daerah sekitarnya pada kurun waktu yang sama. "Maka kalau terjadi gempa di kawasan seismic gap, akumulasi energinya akan tinggi sehingga magnitudo gempanya juga besar," papar Prih. Kaitan dengan tsunami Namun, berbagai pertanyaan tetap muncul karena gempa dengan magnitudo sebesar itu ternyata tidak memicu tsunami. Padahal, berbagai persyaratan yang memunculkan tsunami sepertinya terpenuhi. Nanang mengungkapkan, ada lima persyaratan yang memungkinkan terjadinya tsunami, yaitu lokasi gempa, magnitudo, pusat gempa, mekanisme gempa, dan dampak deformasinya. "Lokasinya betul di laut, magnitudonya besar karena 8,2 pada skala Richter, pusat gempa dangkal, dan mekanismenya sesar naik. Hanya saja, karena dampak deformasi vertikalnya tidak muncul hingga ke permukaan dasar laut, maka permukaan air laut tidak terganggu. Mungkin ini penyebab tidak terjadi tsunami," tutur Nanang menjelaskan. Namun, menurut Prih, sistem deteksi dini yang dipantau dari Colombo, Sri Lanka, menunjukkan adanya kenaikan muka air laut hingga 23 sentimeter. "Bisa jadi deformasi vertikal yang diakibatkannya memang tidak mengubah permukaan dasar laut secara signifikan sehingga tidak mengganggu kondisi air lautnya," katanya. Deformasi vertikal adalah dua lempeng bersisihan yang ketika ada gempa salah satunya naik atau turun. Bila kenaikan atau penurunan ini terjadi hingga ke permukaan dasar laut, maka permukaan air laut pun sebagian ikut naik dan turun. Ini yang kemudian menimbulkan tsunami untuk mengembalikan keseimbangan. Deformasi vertikal akibat gempa 26 Desember lalu sudah dibuktikan melalui survei dasar laut hasil kerja sama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dengan Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (Jamstec). Dengan menggunakan robot yang bisa menyelam hingga kedalaman 3.000 meter, ditemukan longsoran-longsoran lokal pada struktur lipatan (antiklin) di kedalaman 2.518 meter. Longsoran ini disimpulkan sebagai bagian dari deformasi vertikal yang terjadi. Penelitian yang berlangsung 14 Februari hingga 25 Maret lalu juga menemukan sejumlah rekahan (rupture). "Karena rupture adalah suatu struktur yang mengalami diskontinuitas sehingga terjadi deformasi, maka survei itu membuktikan bahwa tsunami dahsyat akhir tahun lalu itu memang dipicu oleh suatu gempa bumi," papar Nanang. Mekanisme gempa Gempa sendiri terjadi jika ada pelepasan energi elastik- secara mendadak akibat aktivitas kerak bumi yang membentuk lempeng-lempeng. Gempa yang berasal dari aktivitas lempeng disebut gempa tektonik. Geolog Le Pichon membagi dunia menjadi enam lempeng utama, yaitu Lempeng Eurasia, India-Australia, Antartika, Pasifik, Afrika, dan Amerika. Semua lempeng selalu bergerak, tetapi pergerakannya tidak seragam, baik kecepatan maupun arahnya. Ada yang pelan, ada juga yang sangat aktif hingga bergerak sampai 10 sentimeter per tahun. Pergerakan yang tidak beraturan membuat sebagian lempeng saling tumbuk maupun saling geser secara paralel sehingga terjadilah patahan atau sesar. Di titik pertemuan antarlempeng itulah tertumpuk energi elastik. "Namun setiap gempa memiliki karakteristik unik, seperti halnya tsunami. Inilah yang jadi tantangan besar untuk bisa memahami proses terjadinya. Manusia masih harus belajar untuk mampu memecahkan misteri-misteri alam ini sehingga ke depan bisa meminimalkan dampak yang ditimbulkannya," kata Nanang. (nes) Santos Ltd A.B.N. 80 007 550 923 Disclaimer: The information contained in this email is intended only for the use of the person(s) to whom it is addressed and may be confidential or contain privileged information. If you are not the intended recipient you are hereby notified that any perusal, use, distribution, copying or disclosure is strictly prohibited. If you have received this email in error please immediately advise us by return email and delete the email without making a copy. --------------------------------------------------------------------- To unsubscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] To subscribe, send email to: [EMAIL PROTECTED] Visit IAGI Website: http://iagi.or.id IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/ IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi Komisi Sedimentologi (FOSI) : Deddy Sebayang([EMAIL PROTECTED])-http://fosi.iagi.or.id Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi([EMAIL PROTECTED]) Komisi Karst : Hanang Samodra([EMAIL PROTECTED]) Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo([EMAIL PROTECTED]) Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin([EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius([EMAIL PROTECTED]) Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono([EMAIL PROTECTED]) ---------------------------------------------------------------------