Baru respon lagi ni setelah jalan ke luar dua minggu ini.
 
Menarik menanggapi pendapat Dr. Etty Indriati dalam artikel yang di-posting 
Rovicky di bawah. 
 
copied : 

<<Klaim mengenai penemuan spesies baru manusia seperti di atas ditolak
oleh sejumlah ahli. Etty Indriati PhD dari UGM menyebutnya sebagai
dongengan tanpa dasar. Bagaimana bisa ada pernyataan spesies baru
hanya dari temuan sebuah tengkorak yang bahkan keliru diidentifikasi.
Mereka sebut perempuan sedang dari susunan geraham dan giginya jelas
itu lelaki dan juga manusia masa kini.

"Yang lebih tidak masuk akal, tidak mungkin otak manusia yang sudah
berkembang menjadi Homo sapiens, kemudian berubah mengecil dan lantas
muncul menjadi spesies baru, tertinggal sebagai kelompok manusia
purba," jelasnya.>>
 
Komentar :
 
Menurut saya, pendapat itu dilatarbelakangi oleh miskonsepsi dalam memahami 
evolusi. Pemahaman evolusi banyak ditandai dengan miskonsepsi. Misalnya, 
miskonsepsi dalam nature selection : bigger is better, newer is better, natural 
selection always works, there is inevitable direction in evolution. Dengan 
miskonsepsi ini, maka disalahpahami bahwa volume otak hominid harus bertambah 
besar dengan berjalannya evolusi karena memang trend/arahnya demikian. 
Miskonsepsi ini banyak disebabkan oleh idea populer abad ke-19, yaitu 
"orthogenesis" : bahwa evolution would continue in a given direction because of 
a vaguely defined nonphysical inner force. Jadi menurut idea ini maka perubahan 
evolusi akan berlanjut dalam arah yang sama sampai tercapai struktur yang 
sempurna atau sampai spesies punah.
 
Karena idea orthogenesis pula maka ada common belief bahwa hominid atau manusia 
akan berevolusi dengan otak yang semakin besar sebab meneruskan trend 
sebelumnya. Idea ini sebenarnya telah dibuktikan tidak selalu berlaku. Ada 
banyak fossil record yang menunjukkan nonlinear change, dan banyak contoh 
bahkan menunjukkan pembalikan dalam ukuran2 struktur.
 
Dalam kasus manusia/hominid, volume otak sebenarnya berhenti membesar sekitar 
50.000 tahun yang lalu (dari Australopithecus afarensis sampai Homo soloensis 
memang membesar terus). Ukuran rata-rata otak manusia bahkan sejak itu 
cenderung sedikit berkurang sebagai konsekuensi penurunan umum dalam ukuran 
rangka (Henneberg, 1988 : decrease of human skull size in the Holocene, dalam 
Human Biology 60, p. 395-405). Nah, harap diperhatikan bahwa umur fosil Homo 
floresiansis itu ada di sekitar 50.000 tahun yang lalu juga. 
 
Orthogenesis (linear trend of evolution) tak selalu berlaku, itu akan 
dipengaruhi oleh tiga faktor : environment, present genetic variation, dan 
basic biological limits. Perubahan evolusi juga akan dipengaruhi oleh relative 
costs dan benefits perubahan itu sendiri. Volume otak manusia bisa saja terus 
membesar, tetapi itu juga harus diimbangi oleh pembesaran tulang2 sekitar 
panggul (pelvic). Nah, pembesaran pelvic yang proporsional dengan pembesaran 
volume otak, akan menyulitkan manusia berjalan. 
 
Kalau ingat gambar2 manusia masa depan di film/komik science-fiction maka 
sering ditampilkan berkepala ekstra besar (karena anggapan bahwa volume otak 
semakin bertambah dengan semakin cedas) tetapi dengan tubuh ukuran biasa 
seperti sekarang. Nah, inilah salah kaprah karena orthogenesis.
 
Menurut saya, idea orthogenesis pula lah yang menyebabkan silang pendapat fosil 
Homo floresiansis itu. Dengan kata lain, saya berpendapat bahwa Homo 
floresiansis bisa saja lebih cerdas dari Homo erectus (dulu disebut 
Pithecanthropus erectus) sekalipun ukuran volume otak Homo floresiansis lebih 
kecil dibandingkan volume otak Homo erectus walaupun hominid2 Flores ini jauh 
lebih moderen di evolusi hominid. Buat saya, penemuan Homo floresiansis sekali 
lagi menunjukkan bahwa evolusi tak selalu terjadi dengan linier ala 
orthogenesis. Maka, bukan suatu hal yang tak masuk akan kalau volume manusia 
moderen mengecil dibanding manusia purba. 
 
Tentang perkampungan pygmi yang ditemukan tak jauh dari Liang Bua itu, dan 
dicurigai bahwa fosil Homo floresiansis itu bagian dari masyarakat perkampungan 
itu gampang saja mengetesnya, lakukan saja tes radiometric age dating pada 
fosil tsb dan perbandingan anatomi tengkoraknya dengan masyrakat pygmi itu. 
Perbedaan umur 40.000 tahun mestinya sudah menunjukkan bahwa fosil ini memang 
spesies baru dan bukan bagian dari masyarakat pygmi. Homo sapien berkembang 
10.000 tahun yl sejak Holosen. Kalau Homo floresiansis kemudian menurunkan 
masyarakat pygmi itu, nah skenario evolusinya pas..
 
Salam,
awang

Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
Cukup menarik berita ini. Kalau bener bahwa floresiensis ini sebenernya 
"masih hidup", maka pertempuran T Jacob masih berlanjut terus. Flores banyak 
menyimpan "pygmi" (kerdil). Mungkin kondisi alamnya yg unik sehingga 
meninggalkan "fosil hidup".

RDP
===================
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0504/28/humaniora/1714417.htm

KEBERADAAN perkampungan masyarakat pygmi (katai) di Kabupaten
Manggarai, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), amat menarik
sekaligus menyisakan misteri. Dalam konteks temuan arkeologis berupa
kerangka manusia prasejarah dari Liang Bua di Flores-sempat
dipublikasikan secara luas sebagai spesies bernama Homo floresiensis-
keberadaan masyarakat pygmi di Dusun Rampasasa, Kelurahan Waemulu,
Kecamatan Waeriri, itu boleh jadi bisa mematahkan semua argumentasi
terdahulu.

"Keberadaan masyarakat pygmi di sana sangat menarik sekaligus
mengejutkan. Selama bertahun-tahun, para ahli dari berbagai penjuru
dunia hanya sempat melihat jejak-jejak mereka, ternyata sekarang kita
bisa menemukan mereka hidup bermasyarakat. Artinya, selama ratusan
atau bahkan mungkin ribuan tahun, masyarakat katai tersebut tetap
menetap di tempat itu tanpa pernah berpindah-pindah," kata Prof Dr
Teuku Jacob, guru besar emiritus Universitas Gadjah Mada (UGM).

Jacob yang juga memimpin Laboratorium Bio dan Paleoantropologi UGM
lebih lanjut menjelaskan, "Orang katai memang sempat dilaporkan
pernah ada di Andaman dan Papua, tetapi tinggal beberapa orang dan
sudah sulit ditemukan sebab sudah hidup berpencar. Nah, sekarang kita
bisa menemukan mereka hidup bersama di satu desa."

Sudah sejak tahun 1920-an, wilayah NTT menjadi obyek minat para
antropolog, terutama dari Belanda, sesudah melihat kenyataan bahwa
penduduk setempat mempunyai ukuran tinggi badan agak pendek. Hasil
penelitian Biljmer tahun 1929 menunjukkan, lebih dari 50 persen
penduduk di wilayah tersebut memiliki ukuran tinggi badan sekitar 155
sampai 163 cm. Selain itu, di Flores memang sudah sejak lama beredar
cerita rakyat mengenai orang-orang bertubuh pendek dengan warna kulit
kehitam-hitaman (negrito) yang tinggal di perbukitan, bersembunyi
dalam gua-gua.

Dr Theodore Verhoeven, pastor dari Seminari Ledalero Maumere, pada
tahun 1958 bahkan memperkirakan orang-orang bertubuh pendek tersebut
adalah masyarakat Proto-Negrito. Istilah ini merujuk penelitian
Schebesta di Andaman, pelosok Borneo (Kalimantan), dan juga di
Filipina Selatan.

Menurut Teuku Jacob, kalau tinggi orang Negrito berkisar antara 155
sampai 163 cm, maka sebutannya pygmoid. Tetapi masyarakat di
Rampasasa adalah pygmi, katai, karena tinggi badan mereka di bawah
145 cm untuk laki-laki dewasa dan wanita dewasanya malah hanya
sekitar 135 cm. Berat badan pria maksimum 40 kg dan wanitanya rata-
rata 30 kg.

Katai memang beda dengan kerdil. Sebab, istilah kerdil menunjukkan
ukuran tubuh mengecil dengan proporsi rusak atau tidak beraturan.
Sementara katai ukurannya kecil secara proporsional.


AKHIR tahun lalu, tim bersama pimpinan Prof Dr RP Soejono dan Dr MJ
Morwood yang melakukan penggalian di Liang Bua, Flores, menemukan
tengkorak manusia dengan taksiran tinggi badan 130 cm dan besar otak
sepertiga manusia masa kini. Penemuan tersebut kemudian mereka
nyatakan sebagai spesies baru manusia yang disebut Homo floresiensis
(Manusia Flores).

Worwood, ahli lukisan gua dari Australia, bahkan menegaskan bahwa
hasil temuannya tersebut secara populer dia sebut hobbit; kelompok
manusia katai seperti muncul dalam film Lord of The Rings. Gambaran
mengenai Manusia Flores mini tersebut kemudian juga muncul sebagai
laporan utama dalam majalah National Geographic edisi bulan April
2005.

Klaim mengenai penemuan spesies baru manusia seperti di atas ditolak
oleh sejumlah ahli. Etty Indriati PhD dari UGM menyebutnya sebagai
dongengan tanpa dasar. Bagaimana bisa ada pernyataan spesies baru
hanya dari temuan sebuah tengkorak yang bahkan keliru diidentifikasi.
Mereka sebut perempuan sedang dari susunan geraham dan giginya jelas
itu lelaki dan juga manusia masa kini.

"Yang lebih tidak masuk akal, tidak mungkin otak manusia yang sudah
berkembang menjadi Homo sapiens, kemudian berubah mengecil dan lantas
muncul menjadi spesies baru, tertinggal sebagai kelompok manusia
purba," jelasnya.

Memang, untuk mamalia yang terjebak di pulau terpencil selama ratusan
tahun-dan bahan makanannya kurang-tubuhnya akan mengecil menyesuaikan
diri dengan lingkungan. "Tetapi, untuk manusia, menu mereka tidak
hanya satu jenis makanan. Meski terpencil, mereka akan berusaha
mencari atau menemukan jenis makanan lain, bukan mengecilkan tubuh,"
tambahnya.

Teuku Jacob bahkan menegaskan, "Orang katai di Flores bukan manusia
purba. Tim kami malah berhasil menemukan masyarakat katai hidup di
alam modern." Semakin ironis, perkampungan orang pygmi yang
disebutkan Jacob hanya sekitar satu kilometer jauhnya dari Liang Bua,
tempat hunian dari spesies manusia yang diberi nama Homo floresiensis
oleh Worwood.

Koeshardjono, ahli biologi yang pertama kali mengungkapkan adanya
perkampungan masyarakat katai di Flores, menyatakan, "Ekspedisi ini
diberi nama Ekspedisi Somatologi Pygmi Rampasasa. Karena, masyarakat
katai tersebut-jumlahnya sekitar 77 keluarga-tinggal semuanya di
Dusun Rampasasa, Kelurahan Waemulu, Kecamatan Waerii, Kabupaten
Manggarai, Flores Selatan."

Hasil penelitian tim antropologi ragawi pimpinan Teuku Jacob
mencatat, 80 persen warga Rampasasa tergolong katai. Catatan
sementara menunjukkan, terdapat 10 orang dengan tinggi badan 155 cm
dan dua orang dengan tinggi 160 cm. Ternyata, ukuran tubuhnya relatif
bisa lebih tinggi oleh karena kawin dengan warga luar dusun. Tim
peneliti dari UGM berada di Rampasasa sejak 18 April dan kembali ke
Yogya Minggu (25/4) malam. (jup)


-- 
Education can't stop natural disasters from occurring, 
but it can help people prepare for the possibilities ---


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke