Widya Purnama: Urusan Saya Bukan dengan Wapres


WIDYA Purnama berusaha tampil kompak pada konferensi pers di Ruang Perwira, 
Kantor Pusat Pertamina, Jumat lalu. Widya didampingi oleh Wakil Direktur 
Utama Pertamina Mustiko Saleh, Direktur Hulu Hari Kustoro, Direktur Keuangan 
Alfred Rohimone, Direktur Niaga dan Pemasaran Ari Sumarno, serta Direktur 
Umum dan Sumber Daya Manusia Suprijanto.

Hanya wajah Direktur Pengolahan Suroso Atmomartoyo yang tak tampak. Rupanya 
Suroso sedang ada di kantor Menteri Perdagangan untuk mempersiapkan 
kunjungan ke Beijing. ''Direksi sangat solid hari ini, bagaimana kita 
bersatu padu mengamankan BBM, meningkatkan pendapatan, dan menjaga 
efisiensi,'' ujar Widya dengan mimik bangga.

Satu per satu hasil kerja direksi setahun ini dijabarkan dengan sabar oleh 
Widya. Salah satunya, Pertamina mencatat laba bersih Rp 8,6 trilyun pada 
semester I 2005. "Kami memprediksi, akhir tahun bisa memperoleh Rp 17,7 
trilyun. Ini jauh lebih tinggi daripada realisasi 2004, sebesar Rp12,8 
trilyun," kata Widya.

Tidak ada tanda-tanda Widya sedang pamitan, walaupun sudah santer terdengar 
bahwa dia akan diganti. ''Ini bukan hanya karya saya. Ini perlu acungan 
jempol untuk semua teman di hulu dan hilir,'' kata pria kelahiran Pare-pare, 
Sulawesi Selatan, 26 Juli 1954, itu.

Sehari sebelumnya, wartawan Gatra Astari Yanuarti, Irwan Andri Atmanto, dan 
pewarta foto Wisnu Prabowo mewawancarai Widya di kantornya. Berikut 
petikannya:

Bagaimana kondisi Pertamina sekarang?

Pertamina hari-hari ini sudah soft semuanya. Tinggal kita gedein saja.



Soal Blok Cepu, mengapa Anda seperti menentang hasil tim negosiasi 
pemerintah?

Anda jangan banding-bandingkan begitu. Saya hanya menjalankan perintah rapat 
umum pemegang saham. Ini keputusan yang dinotariskan. (Widya menunjukkan 
buku hasil keputusan RUPS Pertamina pada 30 Juni 2005. RUPS itu memutuskan 
pembagian saham 55% untuk Pertamina dan pemerintah daerah. Sisanya untuk 
Mobil Cepu Ltd dan Ampolex, pengelola Blok Cepu).



Jadi, sesuai dengan RUPS, Blok Cepu dikelola oleh Pertamina dengan 
ExxonMobil. Keputusan RUPS adalah keputusan tertinggi untuk Pertamina. 
Sedangkan memorandum of understanding (MoU) yang memberi saham ke pemerintah 
daerah itu tidak mengikat. Pertamina hanya tunduk pada hasil RUPS, bukan 
pada MoU.



Bukankah isi MoU sudah diadopsi dalam keputusan RUPS?

Isi MoU berbeda dengan keputusan RUPS. MoU bilang, kepemilikan saham di Cepu 
50:50. Sedangkan keputusan di RUPS menyebutkan 55:45. Tidak ada kata-kata 
bahwa saya mesti menyetujui MoU. Yang ada, saya disuruh menindaklanjuti 
RUPS.



Kalau dilihat dari sisi pemerintah, bukankah komposisi saham 45:45:10 sama 
saja dengan 55:45?

Beda dong. Kalau dengan bagian 55%, maka Pertamina yang ngasih ke pemda 
sebesar 10%. Jadi, Pertamina dan badan usaha milik daerah itu satu 
keranjang, sedangkan Exxon di pihak lain. Dengan kepemilikan 55%, Pertamina 
menjadi single majority, penting untuk voting kalau terjadi perbedaan 
pendapat. Ini berbeda dengan pembagian saham 45:45:10 karena ada tiga pihak. 
Nanti yang 10% ini ikut siapa?



Mengapa Pertamina ngotot ingin menjadi operator di Blok Cepu?

Pertamina mesti jadi tuan rumah di negara sendiri. Kami sudah 48 tahun 
berpengalaman di minyak. Kurang apa lagi? Lagi pula, Blok Cepu itu mudah 
pengerjaannya, sudah ketahuan tempatnya, tinggal bor saja. Biaya operasi 
kami pasti akan lebih murah. Mereka kan perlu mendatangkan dari Amerika, 
sedangkan kami cukup dari Jakarta.



Berapa dana untuk mengelola Blok Cepu?

Untuk tahap awal kalau kami punya US$ 100 juta yang bisa digunakan. 
Pokoknya, dalam waktu sesingkat-singkatnya, kami sudah bisa full on stream.



Dari mana sumber dananya?

Untuk ladang Cepu, cari dananya semudah membalikkan tangan. Sudah banyak 
bank yang datang ke saya. Juga banyak penasihat keuangan yang mau bantu 
untuk danai ini. Kita tak perlu khawatir.



Jadi, Anda tak tunduk pada keinginan pemerintah?

Lho, saya pasti tunduk dong. Kita jelas menghormati republik ini. Tapi MoU 
ini kan mesti dinegosiasikan lagi. Dan saya ditugasi RUPS untuk 
menindaklanjuti lagi semua masalah itu.



Tapi Jusuf Kalla kan minta Pertamina mengikuti keputusan pemerintah?

Anda jangan menyebut-nyebut Pak Jusuf Kalla. Saya tidak mau itu. Sudahlah. 
Ini kan urusannya sama tim negosiasi pemerintah, bukan dengan wapres.



Anda pernah konflik dengan Menteri Keuangan Jusuf Anwar terkait distribusi 
BBM?

Pak Yusuf Anwar itu kan berpegang pada APBN. Pertamina berpegang pada 
distribusi, stok, penyediaan, dan pembayaran. Ada selisih antara yang harga 
yang dipatok dalam APBN dan harga realisasinya. Jadi, ada cara pandang yang 
berbeda. Nah, sekarang ini semuanya sudah lancar.



Setelah kasus Cepu, Anda kelihatannya tidak akur dengan para menteri?

Sering kok saya rapat dengan Pak Aburizal. Juga dengan Pak Sugiharto, Pak 
Purnomo, dan Pak Jusuf Anwar. Pertamina itu menjalankan misi pemerintah yang 
begitu besar. Subsidinya gila-gilaan, sehingga semua pihak menyoroti. Jadi, 
saya harus bisa berkomunikasi dengan seluruh stakeholder dan shareholder.

Tapi, mengapa Anda sering mengambil keputusan yang berlawanan dengan 
pemerintah?

Saya kan orang baru di minyak. Jadi, saya lebih jernih dan objektif melihat 
masalah. Anda masuk ke ruangan saya, bisa lihat ada foto yang miring, tapi 
saya yang tiap hari di sini tak bisa melihatnya.

Soal Karaha Bodas sepertinya juga menjadi amunisi untuk menurunkan Anda. 
Tanggapan Anda?

Waktu saya diangkat pada 11 Agustus 2004, tanggal 13 saya putuskan untuk tak 
bayar Karaha Bodas. Saya bukan tak mau bayar. Saya mau bayar, tapi bayar 
yang bener. Ngitung-nya jangan seperti orang yang ketabrak kambingnya. Nanti 
20 tahun lagi, kambing saya punya anak sekian... padahal kambingnya laki. 
Nah, Karaha itu juga mengitung opportunity lost. Iyalah kalau untung, kalau 
nggak?



Kami sudah panggil independent appraisal dari Italia dan BPKP untuk 
mengetahui berapa sih biaya sebenarnya. Ternyata, paling mahal US$ 50 juta. 
Padahal, mereka klaim sampai US$ 300 juta. Itu yang saya tidak mau.



Saat ini, bagaimana kelanjutan kasus Karaha Bodas?

Biar terusin saja. Pertamina masih bisa menang, kok. Di Amerika Serikat, kan 
ada undang-undang antikorupsi, sehingga kalau ada bukti korupsi di Karaha 
Bodas, maka kita bisa menang.

Benarkah Anda tak mau bayar pengacara Karaha Bodas?

Saya tak mau komentar itu, nanti malah menambah konflik. Tanya saja ke 
Menteri BUMN.

Anda siap diganti?

Saya siap dengan risikonya. Saya ini anak tentara. Jadi, saya harus loyal. 
Saya juga tak mau bikin polemik. Saya memang tak mau menjelaskan di depan 
umum. Tapi saya bicarakan saja sama-sama dengan yang bersangkutan. Tapi, 
kalau yang dijelaskan masih tak mau mengerti, ya, sudah.

Kalau akhirnya nanti pemegang saham memutuskan Anda diganti?

Mau diganti atau tidak, jabatan itu amanah. Kalau Allah SWT bilang saya mau 
diganti melalui tangan siapa saja, saya ikhlas, kok. Kalau saya masih 
dipercaya, ya, saya akan jalankan dengan baik. Ini kan haknya pemegang 
saham.

Anda masih punya pekerjaan rumah untuk membuat laporan keuangan yang belum 
selesai?

Nah iya, itu saja yang menjadi ganjalan. Neraca awal belum ada. Sebab 
penilaian aset-aset Pertamina belum selesai. Dulu sudah diaudit oleh 
konsultan Ujatek. Tapi hasilnya belum bisa digunakan dengan sempurna. Jadi, 
mau dinilai lagi oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kalau bisa diselesaikan 
dengan cepat, kami senang. Karena kalau tidak ada neraca awal, auditor 
independen pun tidak bisa masuk.

Bukankah revaluasi aset itu sudah selesai dan diserahkan ke Menteri Purnomo 
Yusgiantoro?

Ya. Tapi masih ada yang diklarifikasi. Angkanya masih turun-naik, kadang Rp 
125 trilyun, kadang Rp 114 trilyun. Kami sih menerima saja. Kami ingin 
pemerintah hitung aset Pertamina yang free and clear. Kami ingin yang 
dihitung adalah aset di core business.



Kapan selesainya?

Wah, saya belum tahu. Saya sih inginnya sesegera mungkin. Tapi ini kan 
semuanya tergantung Ditjen Pajak.

Menolak Kesepakatan Tanpa Nama



AGUSTUS tahun lalu, beberapa jam setelah menjabat sebagai Direktur Utama PT 
Pertamina, Widya Purnama langsung melontarkan pernyataan menantang. Pria 
bertubuh tinggi besar ini bertekad melawan siapa saja yang merugikan 
Pertamina. "Saya akan lawan mereka, bahkan saya siap mati melawan mafia 
perminyakan," katanya di hadapan wartawan cetak dan elektronik.



Masih belum puas. ''Aparat dapat bertindak tegas terhadap penyelundup. Kalau 
perlu, tembak saja!'' katanya bersemangat. Sebagai orang dengan bekal nol 
pengalaman di bidang perminyakan, tekad Widya itu terdengar nekat. Pria 51 
tahun ini juga menyatakan akan menolak pihak lain yang mengobok-obok 
Pertamina.

Kenyataannya, selama satu tahun menjabat, kursi Widya justru sering 
digoyang. Pekan lalu, goyangan untuk melengserkan Widya makin kencang. 
Menteri Negara BUMN, Sugiharto, memberi isyarat bahwa jabatan Widya tak bisa 
diperpanjang lagi. ''Insya Allah, akan diganti sebelum akhir bulan ini,'' 
katanya.

Seperti sadar akan nasibnya, Jumat pekan lalu Widya mengundang wartawan ke 
kantornya. Tapi jumpa pers itu tidak didesain sebagai pertemuan perpisahan. 
Semua anggota direksi Pertamina hadir lengkap. Seolah-olah ingin menyatakan 
bahwa direksi kompak dan tidak ada masalah serius di Pertamina.

Dengan tetap bersemangat, Widya memaparkan kinerja Pertamina selama berada 
di bawah kekuasaannya. Misalnya, ia menyebutkan pemasukan bersih Pertamina 
di luar pajak, depresiasi, dan pengeluaran non-kas lain (EBITDA) dari sektor 
hulu mencapai Rp 6,72 trilyun hingga pertengahan tahun ini. Widya yakin akan 
melampaui target pemerintah Rp 10 trilyun di akhir tahun. EBITDA sektor 
hilir juga melampaui target.

Sekadar mengingatkan, ketika tiga bulan pertama menjabat sebagai direktur 
utama, Widya pernah mendapat surat teguran dari Sugiharto. Ia dinilai belum 
mampu menghasilkan EBITDA sesuai target pemerintah. Dengan pemaparan itu, 
Widya seperti hendak menunjukkan bahwa kinerjanya selama ini makin baik.

Tapi, selantang apa pun pernyataan Widya, kekuatan yang hendak mencopotnya 
sulit tertandingi. Selain Sugiharto, Menteri Koordinator Perekonomian, 
Aburizal Bakrie, pun menyatakan bahwa Widya tidak akan dipertahankan lagi. 
Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah memberi lampu hijau. Kepada lingkaran 
dalamnya, Aburizal dan Kalla beberapa kali mengungkapkan kejengahannya 
terhadap gaya kepemimpinan Widya.

Widya pun dianggap membangkang pada pemerintah dalam kasus sumur minyak 
Cepu. Blok yang mengandung 1,4 milyar barel minyak itu sempat ditelantarkan 
ExxonMobil Oil Indonesia selama empat tahun. Perusahaan ini semula memiliki 
konsensi menggarap sumur Cepu sampai 2010.

Namun perusahaan asal Amerika itu meminta perpanjangan kotrak hingga 20 
tahun. Exxon mengaku telanjur menggelontorkan uang hingga US$ 450 juta untuk 
pembelian saham Humpuss dan biaya eksplorasi. Jika masa konsesinya hanya 
sampai 2010, Exxon mengaku tekor. Tapi Pertamina menganggap pengeluaran 
Exxon tak lebih dari US$ 147 juta.

Adalah Widya yang berani menghentikan kerja sama dengan ExxonMobil, 26 
Agustus tahun lalu. Alasannya, ExxonMobil tidak beriktikad baik. ''Semua 
anggota direksi Pertamina setuju. Jadi, ini keputusan resmi,'' kata Widya. 
Keputusan itu diambil melalui kajian finansial dan teknis.

Keputusan Widya mengundang kegeraman ExxonMobil. Sampai-sampai, kasus ini 
menjadi agenda pembicaraan antara Presiden Amerika Serikat George W. Bush 
dan Susilo Bambang Yudhoyono, saat keduanya berjumpa di pertemuan APEC, 
Cile, November tahun lalu.

Pulang dari Cile, pemerintah langsung berbenah. Menteri BUMN Sugiharto 
membentuk tim perunding dengan ExxonMobil, 29 Maret 2005. Tim itu diketuai 
Martiono

Hadianto, yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Anggota tim 
10 orang, terdiri dari Martiono, Roes Aryawijaya, Lin Che Wei, Muhammad 
Abduh, Umar Said, Mustiko Saleh, Iin Arifin Takhyan, Achmad Rochjadi, M. 
Ikhsan, dan Rizal Mallarangeng.

Dalam daftar itu tidak tampak nama Widya. Direksi Pertamina hanya diwakili 
oleh Mustiko Saleh, Wakil Direktur Utama Pertamina. Sedangkan semua anggota 
komisaris Pertamina ada di sana. Lin Che Wei adalah tenaga ahli Sugiharto 
yang menjabat sebagai sekretaris dalam tim tersebut.

Saat ini, Lin sudah menjabat sebagai Direktur Utama Danareksa. Jauh sebelum 
terlibat di Cepu, Lin Che Wei pernah menjadi anggota tim pemerintah untuk 
berunding dengan Cemex dalam kasus Semen Gresik. Sedangkan Ikhsan dan Rizal 
tercatat sebagai tenaga ahli Aburizal di Kementerian Perekonomian.

Penunjukan anggota tim itu juga diikuti penetapan tiga anggota yang memiliki 
kapasitas istimewa, yakni Martiono, Lin Che Wei, dan Roes Aryawijaya. Tanpa 
ketiga orang ini, negosiasi dianggap tidak valid. Bahkan rapat sudah 
dianggap kuorum asal ketiganya hadir dalam perundingan. Tapi, kepada Gatra, 
Martiono menyatakan bahwa sebagian besar anggota tim hadir setiap ada rapat.

Pembentukan tim oleh pemerintah itu menyudutkan Widya. Dia berpendapat, 
seharusnya Pertamina-lah yang menjadi perunding dengan ExxonMobil. Sikapnya 
itu didukung para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang merasa bahwa 
pemerintah sedang dikadali oleh Amerika. ''Kami tak mengakui tim perunding 
itu,'' kata Alvin Lie dari Komisi VII DPR-RI yang membidangi energi.

Dalam perjalanan selanjutnya, Martiono makin tampak berseberangan dengan 
Widya. Tiba-tiba saja, Martiono mengumumkan dicapainya kesepakatan dengan 
ExxonMobil. Pengelola Blok Cepu adalah konsorsium yang terdiri dari 
Pertamina, ExxonMobil, dan pemerintah daerah. Pertamina mendapat saham 45%, 
ExxonMobil 45%, dan pemda 10%. Konsep kesepakatan itu tertanggal 25 Juni 
lalu.

Widya merasa dirugikan dengan kepemilikan Pertamina yang minoritas itu. Jika 
ada kasus, posisi Pertamina jadi lemah. Ia khawatir, asing akan menyetir 
perusahaan. Kesepakatan itu juga dianggap janggal, karena melibatkan tiga 
pemda yang berhak ikut dalam Blok Cepu. Yakni Bojonegoro dan Tuban 
--keduanya di Jawa Timur-- serta Blora, Jawa Tengah.

Kenyataannya, pemda tidak punya cukup uang untuk ikut mengelola minyak. 
Pemda mengundang pihak ketiga. Kabupaten Bojonegoro, misalnya, mendirikan PT 
Asri Dharma untuk mengelola Cepu. Perusahaan ini menggandeng PT Surya Energi 
Raya milik Surya Paloh, pengusaha yang juga Ketua Dewan Penasihat Partai 
Golkar.

Menurut versi Widya, pemda seharusnya tidak ikut mengelola. Sebaiknya pemda 
mendapat jatah dari Pertamina. ''Semua kendali ada di Pertamina,'' katanya. 
Bila saham pemda masuk ke Pertamina, maka Pertamina menjadi mayoritas 
tunggal, dengan kepemilikan saham 55%.

Dalam kesepakatan itu, Widya tidak ikut tanda tangan. Yang nongol adalah 
tanda tangan Martiono, tanpa nama. Hanya tertulis "ketua tim perunding Blok 
Cepu" dalam bahasa Inggris. Pada posisi wakil pemerintah tertulis Menteri 
Koordinator Perekonomian plus tanda tangan Aburizal Bakrie di atasnya.

Anehnya, tak ada tanda tangan pejabat penting lainnya yang selama ini 
membidangi minyak dan gas. Misalnya Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu 
Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Kardaya Warnika, atau Menteri Energi dan 
Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro.

Sedangkan dari pihak ExxonMobil terdapat tanda tangan pejabat dari Mobil 
Cepu Ltd dan seorang Managing Director Ampolex Pte Ltd. Semuanya tanpa nama 
jelas. Ampolex adalah perusahaan asal Australia, mitra ExxonMobil di Cepu.

Penolakan Widya atas hasil kesepakatan dengan ExxonMobil adalah salah satu 
sikap ketegasannya kepada pemerintah. Tapi, bagi para menteri, sikap Widya 
malah bikin pusing. Apalagi bukan kali ini saja Widya membangkang perintah.

Dalam kasus Karaha Bodas, Widya menolak membayar US$ 300 juta atas kerugian 
akibat pembatalan proyek ini. Meski di tingkat Arbitrase Internasional, 
Indonesia dinyatakan kalah, Widya tetap ogah membayar sebanyak itu. Menurut 
dia, Pertamina hanya pantas membayar sekitar US$ 50 juta, sesuai dengan 
biaya yang telah dikeluarkan Karaha. Kasus Karaha Bodas ini sampai sekarang 
belum kelar (lihat: Copot Pucuk, Cari Celah).

Widya juga sempat dituduh sebagai biang keterlambatan pasokan bahan bakar 
minyak, Juni lalu. Waktu itu, di beberapa daerah terjadi antrean panjang 
kendaraan di SPBU. Menteri Keuangan, Jusuf Anwar, menyangka ada problem 
manajemen pembelian BBM di Pertamina.

Taken from Gatra.



===========================

Dalam kasus ini, Widya tak balik menyerang Jusuf. Tapi Widya menolak kalau 
dikatakan ada masalah manajemen pembelian BBM. Ia hanya mengatakan, dana 
untuk mengimpor BBM biasanya ditransfer ke Pertamina pada awal bulan. 
Faktanya, uang untuk membeli BBM tidak cukup. Ketika terjadi kelangkaan itu, 
pemerintah kembali menyetor uang pada 24 Juni, sehabis sidang kabinet, atas 
perintah presiden.

Besarnya kucuran uang dari Departemen Keuangan dengan kebutuhan Pertamina 
memang kadang berbeda. Sebab Jusuf Anwar menggunakan harga minyak yang 
dipatok anggaran. Sedangkan Pertamina membeli minyak berdasar harga pasar. 
Saat ini, kelangkaan BBM sudah tidak terjadi lagi.

Masih soal BBM, Widya juga pernah dituduh mendahului pemerintah, ketika 
Pertamina menaikkan harga Pertamax dan elpiji, akhir tahun lalu. Ketika itu, 
pemerintah baru merencanakan menaikkan bensin dan solar. Kenaikan harga 
Pertamax itu langsung diantisipasi masyarakat untuk memprotes rencana 
kenaikan harga bensin dan solar. Pemerintah akhirnya menunda kenaikan 
premium dan solar. Widya pun mendapat peringatan dari Sugiharto.

Dalam hal ini, Widya sebetulnya tidak bersalah, sebab tanggung jawab 
kenaikan harga Pertamax memang ada di Pertamina. Pasalnya, Pertamax tidak 
mendapat subsidi dari pemerintah. Kalau harganya tidak dinaikkan, Pertamina 
bisa rugi hingga Rp 500 juta per tahun. Kekeliruan Widya saat itu, ia tidak 
berkonsultasi dengan menteri lain. Widya pun tidak melapor pada Sugiharto 
ketika mengangkat direksi dan komisaris salah satu anak perusahaan 
Pertamina.

Sederet dosa Widya itu menyeretnya ke ujung jurang. Pemerintah kini tengah 
menggodok nama-nama pengganti Direktur Utama Pertamina. Kali ini, proses uji 
kelayakan dan kepatutan tidak seperti biasa. Kata Sekretaris Menteri BUMN, 
Said Didu, pihaknya tidak lagi menyodorkan daftar pendek calon kepada Tim 
Penilai Akhir (TPA) seperti yang sudah-sudah. "Kelihatannya TPA sudah punya 
daftar sendiri," ujar Said. Kementerian BUMN menangani administrasinya saja.

Calon terkuat adalah Martiono, kawan serumah Widya di Pertamina. TPA yang 
diketuai presiden itu dikabarkan sudah setuju dengan Martiono. Aburizal dan 
Jusuf Kalla pun mendukung. Namun masih ada calon lain yang pantas 
dipertimbangkan. Antara lain, Direktur Jenderal Migas Iin Arifin Takhyan dan 
Kepala BP Migas Tubagus Haryono. Ketika dikonfirmasi, Martiono tidak berani 
menyatakan kansnya untuk menjadi Direktur Utama Pertamina. ''Pejabat yang 
berwenang saja belum menentukan, kok,'' katanya.

Pengamat perminyakan, Kurtubi, menyatakan bahwa Martiono tahu isi perut 
Pertamina. Saat menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina di bawah Presiden 
B.J. Habibie, Martiono dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan karyawan dan 
pejabat lain. ''Di saat senggang, dia kan pintar nyanyi. Direktur-direktur 
lain nggak pernah menyanyi," ujarnya.

Tapi Alvin Lie mempertanyakan mengapa harus Martiono. ''Apakah kita 
kekurangan kader sehingga harus daur ulang?'' katanya sengit.

Widya yang sedang menghadapi kemungkinan kehilangan jabatan mencoba tegar. 
''Saya anak tentara, hidup di asrama. Saya akan loyal dan bilang: yes Sir!''

[Laporan Utama, Gatra Nomor 41 Beredar Senin, 22 Agustus 2005] Rihad 
Wiranto, Astari Yanuarti, Hatim Ilwan, dan Arief Ardiansyah

[Laporan Utama, Gatra Nomor 41 Beredar Senin, 22 Agustus 2005]

Kirim email ke