Widya Purnama: Urusan Saya Bukan dengan Wapres
WIDYA Purnama berusaha tampil kompak pada konferensi pers di Ruang Perwira, Kantor Pusat Pertamina, Jumat lalu. Widya didampingi oleh Wakil Direktur Utama Pertamina Mustiko Saleh, Direktur Hulu Hari Kustoro, Direktur Keuangan Alfred Rohimone, Direktur Niaga dan Pemasaran Ari Sumarno, serta Direktur Umum dan Sumber Daya Manusia Suprijanto. Hanya wajah Direktur Pengolahan Suroso Atmomartoyo yang tak tampak. Rupanya Suroso sedang ada di kantor Menteri Perdagangan untuk mempersiapkan kunjungan ke Beijing. ''Direksi sangat solid hari ini, bagaimana kita bersatu padu mengamankan BBM, meningkatkan pendapatan, dan menjaga efisiensi,'' ujar Widya dengan mimik bangga. Satu per satu hasil kerja direksi setahun ini dijabarkan dengan sabar oleh Widya. Salah satunya, Pertamina mencatat laba bersih Rp 8,6 trilyun pada semester I 2005. "Kami memprediksi, akhir tahun bisa memperoleh Rp 17,7 trilyun. Ini jauh lebih tinggi daripada realisasi 2004, sebesar Rp12,8 trilyun," kata Widya. Tidak ada tanda-tanda Widya sedang pamitan, walaupun sudah santer terdengar bahwa dia akan diganti. ''Ini bukan hanya karya saya. Ini perlu acungan jempol untuk semua teman di hulu dan hilir,'' kata pria kelahiran Pare-pare, Sulawesi Selatan, 26 Juli 1954, itu. Sehari sebelumnya, wartawan Gatra Astari Yanuarti, Irwan Andri Atmanto, dan pewarta foto Wisnu Prabowo mewawancarai Widya di kantornya. Berikut petikannya: Bagaimana kondisi Pertamina sekarang? Pertamina hari-hari ini sudah soft semuanya. Tinggal kita gedein saja. Soal Blok Cepu, mengapa Anda seperti menentang hasil tim negosiasi pemerintah? Anda jangan banding-bandingkan begitu. Saya hanya menjalankan perintah rapat umum pemegang saham. Ini keputusan yang dinotariskan. (Widya menunjukkan buku hasil keputusan RUPS Pertamina pada 30 Juni 2005. RUPS itu memutuskan pembagian saham 55% untuk Pertamina dan pemerintah daerah. Sisanya untuk Mobil Cepu Ltd dan Ampolex, pengelola Blok Cepu). Jadi, sesuai dengan RUPS, Blok Cepu dikelola oleh Pertamina dengan ExxonMobil. Keputusan RUPS adalah keputusan tertinggi untuk Pertamina. Sedangkan memorandum of understanding (MoU) yang memberi saham ke pemerintah daerah itu tidak mengikat. Pertamina hanya tunduk pada hasil RUPS, bukan pada MoU. Bukankah isi MoU sudah diadopsi dalam keputusan RUPS? Isi MoU berbeda dengan keputusan RUPS. MoU bilang, kepemilikan saham di Cepu 50:50. Sedangkan keputusan di RUPS menyebutkan 55:45. Tidak ada kata-kata bahwa saya mesti menyetujui MoU. Yang ada, saya disuruh menindaklanjuti RUPS. Kalau dilihat dari sisi pemerintah, bukankah komposisi saham 45:45:10 sama saja dengan 55:45? Beda dong. Kalau dengan bagian 55%, maka Pertamina yang ngasih ke pemda sebesar 10%. Jadi, Pertamina dan badan usaha milik daerah itu satu keranjang, sedangkan Exxon di pihak lain. Dengan kepemilikan 55%, Pertamina menjadi single majority, penting untuk voting kalau terjadi perbedaan pendapat. Ini berbeda dengan pembagian saham 45:45:10 karena ada tiga pihak. Nanti yang 10% ini ikut siapa? Mengapa Pertamina ngotot ingin menjadi operator di Blok Cepu? Pertamina mesti jadi tuan rumah di negara sendiri. Kami sudah 48 tahun berpengalaman di minyak. Kurang apa lagi? Lagi pula, Blok Cepu itu mudah pengerjaannya, sudah ketahuan tempatnya, tinggal bor saja. Biaya operasi kami pasti akan lebih murah. Mereka kan perlu mendatangkan dari Amerika, sedangkan kami cukup dari Jakarta. Berapa dana untuk mengelola Blok Cepu? Untuk tahap awal kalau kami punya US$ 100 juta yang bisa digunakan. Pokoknya, dalam waktu sesingkat-singkatnya, kami sudah bisa full on stream. Dari mana sumber dananya? Untuk ladang Cepu, cari dananya semudah membalikkan tangan. Sudah banyak bank yang datang ke saya. Juga banyak penasihat keuangan yang mau bantu untuk danai ini. Kita tak perlu khawatir. Jadi, Anda tak tunduk pada keinginan pemerintah? Lho, saya pasti tunduk dong. Kita jelas menghormati republik ini. Tapi MoU ini kan mesti dinegosiasikan lagi. Dan saya ditugasi RUPS untuk menindaklanjuti lagi semua masalah itu. Tapi Jusuf Kalla kan minta Pertamina mengikuti keputusan pemerintah? Anda jangan menyebut-nyebut Pak Jusuf Kalla. Saya tidak mau itu. Sudahlah. Ini kan urusannya sama tim negosiasi pemerintah, bukan dengan wapres. Anda pernah konflik dengan Menteri Keuangan Jusuf Anwar terkait distribusi BBM? Pak Yusuf Anwar itu kan berpegang pada APBN. Pertamina berpegang pada distribusi, stok, penyediaan, dan pembayaran. Ada selisih antara yang harga yang dipatok dalam APBN dan harga realisasinya. Jadi, ada cara pandang yang berbeda. Nah, sekarang ini semuanya sudah lancar. Setelah kasus Cepu, Anda kelihatannya tidak akur dengan para menteri? Sering kok saya rapat dengan Pak Aburizal. Juga dengan Pak Sugiharto, Pak Purnomo, dan Pak Jusuf Anwar. Pertamina itu menjalankan misi pemerintah yang begitu besar. Subsidinya gila-gilaan, sehingga semua pihak menyoroti. Jadi, saya harus bisa berkomunikasi dengan seluruh stakeholder dan shareholder. Tapi, mengapa Anda sering mengambil keputusan yang berlawanan dengan pemerintah? Saya kan orang baru di minyak. Jadi, saya lebih jernih dan objektif melihat masalah. Anda masuk ke ruangan saya, bisa lihat ada foto yang miring, tapi saya yang tiap hari di sini tak bisa melihatnya. Soal Karaha Bodas sepertinya juga menjadi amunisi untuk menurunkan Anda. Tanggapan Anda? Waktu saya diangkat pada 11 Agustus 2004, tanggal 13 saya putuskan untuk tak bayar Karaha Bodas. Saya bukan tak mau bayar. Saya mau bayar, tapi bayar yang bener. Ngitung-nya jangan seperti orang yang ketabrak kambingnya. Nanti 20 tahun lagi, kambing saya punya anak sekian... padahal kambingnya laki. Nah, Karaha itu juga mengitung opportunity lost. Iyalah kalau untung, kalau nggak? Kami sudah panggil independent appraisal dari Italia dan BPKP untuk mengetahui berapa sih biaya sebenarnya. Ternyata, paling mahal US$ 50 juta. Padahal, mereka klaim sampai US$ 300 juta. Itu yang saya tidak mau. Saat ini, bagaimana kelanjutan kasus Karaha Bodas? Biar terusin saja. Pertamina masih bisa menang, kok. Di Amerika Serikat, kan ada undang-undang antikorupsi, sehingga kalau ada bukti korupsi di Karaha Bodas, maka kita bisa menang. Benarkah Anda tak mau bayar pengacara Karaha Bodas? Saya tak mau komentar itu, nanti malah menambah konflik. Tanya saja ke Menteri BUMN. Anda siap diganti? Saya siap dengan risikonya. Saya ini anak tentara. Jadi, saya harus loyal. Saya juga tak mau bikin polemik. Saya memang tak mau menjelaskan di depan umum. Tapi saya bicarakan saja sama-sama dengan yang bersangkutan. Tapi, kalau yang dijelaskan masih tak mau mengerti, ya, sudah. Kalau akhirnya nanti pemegang saham memutuskan Anda diganti? Mau diganti atau tidak, jabatan itu amanah. Kalau Allah SWT bilang saya mau diganti melalui tangan siapa saja, saya ikhlas, kok. Kalau saya masih dipercaya, ya, saya akan jalankan dengan baik. Ini kan haknya pemegang saham. Anda masih punya pekerjaan rumah untuk membuat laporan keuangan yang belum selesai? Nah iya, itu saja yang menjadi ganjalan. Neraca awal belum ada. Sebab penilaian aset-aset Pertamina belum selesai. Dulu sudah diaudit oleh konsultan Ujatek. Tapi hasilnya belum bisa digunakan dengan sempurna. Jadi, mau dinilai lagi oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kalau bisa diselesaikan dengan cepat, kami senang. Karena kalau tidak ada neraca awal, auditor independen pun tidak bisa masuk. Bukankah revaluasi aset itu sudah selesai dan diserahkan ke Menteri Purnomo Yusgiantoro? Ya. Tapi masih ada yang diklarifikasi. Angkanya masih turun-naik, kadang Rp 125 trilyun, kadang Rp 114 trilyun. Kami sih menerima saja. Kami ingin pemerintah hitung aset Pertamina yang free and clear. Kami ingin yang dihitung adalah aset di core business. Kapan selesainya? Wah, saya belum tahu. Saya sih inginnya sesegera mungkin. Tapi ini kan semuanya tergantung Ditjen Pajak. Menolak Kesepakatan Tanpa Nama AGUSTUS tahun lalu, beberapa jam setelah menjabat sebagai Direktur Utama PT Pertamina, Widya Purnama langsung melontarkan pernyataan menantang. Pria bertubuh tinggi besar ini bertekad melawan siapa saja yang merugikan Pertamina. "Saya akan lawan mereka, bahkan saya siap mati melawan mafia perminyakan," katanya di hadapan wartawan cetak dan elektronik. Masih belum puas. ''Aparat dapat bertindak tegas terhadap penyelundup. Kalau perlu, tembak saja!'' katanya bersemangat. Sebagai orang dengan bekal nol pengalaman di bidang perminyakan, tekad Widya itu terdengar nekat. Pria 51 tahun ini juga menyatakan akan menolak pihak lain yang mengobok-obok Pertamina. Kenyataannya, selama satu tahun menjabat, kursi Widya justru sering digoyang. Pekan lalu, goyangan untuk melengserkan Widya makin kencang. Menteri Negara BUMN, Sugiharto, memberi isyarat bahwa jabatan Widya tak bisa diperpanjang lagi. ''Insya Allah, akan diganti sebelum akhir bulan ini,'' katanya. Seperti sadar akan nasibnya, Jumat pekan lalu Widya mengundang wartawan ke kantornya. Tapi jumpa pers itu tidak didesain sebagai pertemuan perpisahan. Semua anggota direksi Pertamina hadir lengkap. Seolah-olah ingin menyatakan bahwa direksi kompak dan tidak ada masalah serius di Pertamina. Dengan tetap bersemangat, Widya memaparkan kinerja Pertamina selama berada di bawah kekuasaannya. Misalnya, ia menyebutkan pemasukan bersih Pertamina di luar pajak, depresiasi, dan pengeluaran non-kas lain (EBITDA) dari sektor hulu mencapai Rp 6,72 trilyun hingga pertengahan tahun ini. Widya yakin akan melampaui target pemerintah Rp 10 trilyun di akhir tahun. EBITDA sektor hilir juga melampaui target. Sekadar mengingatkan, ketika tiga bulan pertama menjabat sebagai direktur utama, Widya pernah mendapat surat teguran dari Sugiharto. Ia dinilai belum mampu menghasilkan EBITDA sesuai target pemerintah. Dengan pemaparan itu, Widya seperti hendak menunjukkan bahwa kinerjanya selama ini makin baik. Tapi, selantang apa pun pernyataan Widya, kekuatan yang hendak mencopotnya sulit tertandingi. Selain Sugiharto, Menteri Koordinator Perekonomian, Aburizal Bakrie, pun menyatakan bahwa Widya tidak akan dipertahankan lagi. Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah memberi lampu hijau. Kepada lingkaran dalamnya, Aburizal dan Kalla beberapa kali mengungkapkan kejengahannya terhadap gaya kepemimpinan Widya. Widya pun dianggap membangkang pada pemerintah dalam kasus sumur minyak Cepu. Blok yang mengandung 1,4 milyar barel minyak itu sempat ditelantarkan ExxonMobil Oil Indonesia selama empat tahun. Perusahaan ini semula memiliki konsensi menggarap sumur Cepu sampai 2010. Namun perusahaan asal Amerika itu meminta perpanjangan kotrak hingga 20 tahun. Exxon mengaku telanjur menggelontorkan uang hingga US$ 450 juta untuk pembelian saham Humpuss dan biaya eksplorasi. Jika masa konsesinya hanya sampai 2010, Exxon mengaku tekor. Tapi Pertamina menganggap pengeluaran Exxon tak lebih dari US$ 147 juta. Adalah Widya yang berani menghentikan kerja sama dengan ExxonMobil, 26 Agustus tahun lalu. Alasannya, ExxonMobil tidak beriktikad baik. ''Semua anggota direksi Pertamina setuju. Jadi, ini keputusan resmi,'' kata Widya. Keputusan itu diambil melalui kajian finansial dan teknis. Keputusan Widya mengundang kegeraman ExxonMobil. Sampai-sampai, kasus ini menjadi agenda pembicaraan antara Presiden Amerika Serikat George W. Bush dan Susilo Bambang Yudhoyono, saat keduanya berjumpa di pertemuan APEC, Cile, November tahun lalu. Pulang dari Cile, pemerintah langsung berbenah. Menteri BUMN Sugiharto membentuk tim perunding dengan ExxonMobil, 29 Maret 2005. Tim itu diketuai Martiono Hadianto, yang kini menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina. Anggota tim 10 orang, terdiri dari Martiono, Roes Aryawijaya, Lin Che Wei, Muhammad Abduh, Umar Said, Mustiko Saleh, Iin Arifin Takhyan, Achmad Rochjadi, M. Ikhsan, dan Rizal Mallarangeng. Dalam daftar itu tidak tampak nama Widya. Direksi Pertamina hanya diwakili oleh Mustiko Saleh, Wakil Direktur Utama Pertamina. Sedangkan semua anggota komisaris Pertamina ada di sana. Lin Che Wei adalah tenaga ahli Sugiharto yang menjabat sebagai sekretaris dalam tim tersebut. Saat ini, Lin sudah menjabat sebagai Direktur Utama Danareksa. Jauh sebelum terlibat di Cepu, Lin Che Wei pernah menjadi anggota tim pemerintah untuk berunding dengan Cemex dalam kasus Semen Gresik. Sedangkan Ikhsan dan Rizal tercatat sebagai tenaga ahli Aburizal di Kementerian Perekonomian. Penunjukan anggota tim itu juga diikuti penetapan tiga anggota yang memiliki kapasitas istimewa, yakni Martiono, Lin Che Wei, dan Roes Aryawijaya. Tanpa ketiga orang ini, negosiasi dianggap tidak valid. Bahkan rapat sudah dianggap kuorum asal ketiganya hadir dalam perundingan. Tapi, kepada Gatra, Martiono menyatakan bahwa sebagian besar anggota tim hadir setiap ada rapat. Pembentukan tim oleh pemerintah itu menyudutkan Widya. Dia berpendapat, seharusnya Pertamina-lah yang menjadi perunding dengan ExxonMobil. Sikapnya itu didukung para anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang merasa bahwa pemerintah sedang dikadali oleh Amerika. ''Kami tak mengakui tim perunding itu,'' kata Alvin Lie dari Komisi VII DPR-RI yang membidangi energi. Dalam perjalanan selanjutnya, Martiono makin tampak berseberangan dengan Widya. Tiba-tiba saja, Martiono mengumumkan dicapainya kesepakatan dengan ExxonMobil. Pengelola Blok Cepu adalah konsorsium yang terdiri dari Pertamina, ExxonMobil, dan pemerintah daerah. Pertamina mendapat saham 45%, ExxonMobil 45%, dan pemda 10%. Konsep kesepakatan itu tertanggal 25 Juni lalu. Widya merasa dirugikan dengan kepemilikan Pertamina yang minoritas itu. Jika ada kasus, posisi Pertamina jadi lemah. Ia khawatir, asing akan menyetir perusahaan. Kesepakatan itu juga dianggap janggal, karena melibatkan tiga pemda yang berhak ikut dalam Blok Cepu. Yakni Bojonegoro dan Tuban --keduanya di Jawa Timur-- serta Blora, Jawa Tengah. Kenyataannya, pemda tidak punya cukup uang untuk ikut mengelola minyak. Pemda mengundang pihak ketiga. Kabupaten Bojonegoro, misalnya, mendirikan PT Asri Dharma untuk mengelola Cepu. Perusahaan ini menggandeng PT Surya Energi Raya milik Surya Paloh, pengusaha yang juga Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar. Menurut versi Widya, pemda seharusnya tidak ikut mengelola. Sebaiknya pemda mendapat jatah dari Pertamina. ''Semua kendali ada di Pertamina,'' katanya. Bila saham pemda masuk ke Pertamina, maka Pertamina menjadi mayoritas tunggal, dengan kepemilikan saham 55%. Dalam kesepakatan itu, Widya tidak ikut tanda tangan. Yang nongol adalah tanda tangan Martiono, tanpa nama. Hanya tertulis "ketua tim perunding Blok Cepu" dalam bahasa Inggris. Pada posisi wakil pemerintah tertulis Menteri Koordinator Perekonomian plus tanda tangan Aburizal Bakrie di atasnya. Anehnya, tak ada tanda tangan pejabat penting lainnya yang selama ini membidangi minyak dan gas. Misalnya Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), Kardaya Warnika, atau Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro. Sedangkan dari pihak ExxonMobil terdapat tanda tangan pejabat dari Mobil Cepu Ltd dan seorang Managing Director Ampolex Pte Ltd. Semuanya tanpa nama jelas. Ampolex adalah perusahaan asal Australia, mitra ExxonMobil di Cepu. Penolakan Widya atas hasil kesepakatan dengan ExxonMobil adalah salah satu sikap ketegasannya kepada pemerintah. Tapi, bagi para menteri, sikap Widya malah bikin pusing. Apalagi bukan kali ini saja Widya membangkang perintah. Dalam kasus Karaha Bodas, Widya menolak membayar US$ 300 juta atas kerugian akibat pembatalan proyek ini. Meski di tingkat Arbitrase Internasional, Indonesia dinyatakan kalah, Widya tetap ogah membayar sebanyak itu. Menurut dia, Pertamina hanya pantas membayar sekitar US$ 50 juta, sesuai dengan biaya yang telah dikeluarkan Karaha. Kasus Karaha Bodas ini sampai sekarang belum kelar (lihat: Copot Pucuk, Cari Celah). Widya juga sempat dituduh sebagai biang keterlambatan pasokan bahan bakar minyak, Juni lalu. Waktu itu, di beberapa daerah terjadi antrean panjang kendaraan di SPBU. Menteri Keuangan, Jusuf Anwar, menyangka ada problem manajemen pembelian BBM di Pertamina. Taken from Gatra. =========================== Dalam kasus ini, Widya tak balik menyerang Jusuf. Tapi Widya menolak kalau dikatakan ada masalah manajemen pembelian BBM. Ia hanya mengatakan, dana untuk mengimpor BBM biasanya ditransfer ke Pertamina pada awal bulan. Faktanya, uang untuk membeli BBM tidak cukup. Ketika terjadi kelangkaan itu, pemerintah kembali menyetor uang pada 24 Juni, sehabis sidang kabinet, atas perintah presiden. Besarnya kucuran uang dari Departemen Keuangan dengan kebutuhan Pertamina memang kadang berbeda. Sebab Jusuf Anwar menggunakan harga minyak yang dipatok anggaran. Sedangkan Pertamina membeli minyak berdasar harga pasar. Saat ini, kelangkaan BBM sudah tidak terjadi lagi. Masih soal BBM, Widya juga pernah dituduh mendahului pemerintah, ketika Pertamina menaikkan harga Pertamax dan elpiji, akhir tahun lalu. Ketika itu, pemerintah baru merencanakan menaikkan bensin dan solar. Kenaikan harga Pertamax itu langsung diantisipasi masyarakat untuk memprotes rencana kenaikan harga bensin dan solar. Pemerintah akhirnya menunda kenaikan premium dan solar. Widya pun mendapat peringatan dari Sugiharto. Dalam hal ini, Widya sebetulnya tidak bersalah, sebab tanggung jawab kenaikan harga Pertamax memang ada di Pertamina. Pasalnya, Pertamax tidak mendapat subsidi dari pemerintah. Kalau harganya tidak dinaikkan, Pertamina bisa rugi hingga Rp 500 juta per tahun. Kekeliruan Widya saat itu, ia tidak berkonsultasi dengan menteri lain. Widya pun tidak melapor pada Sugiharto ketika mengangkat direksi dan komisaris salah satu anak perusahaan Pertamina. Sederet dosa Widya itu menyeretnya ke ujung jurang. Pemerintah kini tengah menggodok nama-nama pengganti Direktur Utama Pertamina. Kali ini, proses uji kelayakan dan kepatutan tidak seperti biasa. Kata Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu, pihaknya tidak lagi menyodorkan daftar pendek calon kepada Tim Penilai Akhir (TPA) seperti yang sudah-sudah. "Kelihatannya TPA sudah punya daftar sendiri," ujar Said. Kementerian BUMN menangani administrasinya saja. Calon terkuat adalah Martiono, kawan serumah Widya di Pertamina. TPA yang diketuai presiden itu dikabarkan sudah setuju dengan Martiono. Aburizal dan Jusuf Kalla pun mendukung. Namun masih ada calon lain yang pantas dipertimbangkan. Antara lain, Direktur Jenderal Migas Iin Arifin Takhyan dan Kepala BP Migas Tubagus Haryono. Ketika dikonfirmasi, Martiono tidak berani menyatakan kansnya untuk menjadi Direktur Utama Pertamina. ''Pejabat yang berwenang saja belum menentukan, kok,'' katanya. Pengamat perminyakan, Kurtubi, menyatakan bahwa Martiono tahu isi perut Pertamina. Saat menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina di bawah Presiden B.J. Habibie, Martiono dikenal sebagai tokoh yang dekat dengan karyawan dan pejabat lain. ''Di saat senggang, dia kan pintar nyanyi. Direktur-direktur lain nggak pernah menyanyi," ujarnya. Tapi Alvin Lie mempertanyakan mengapa harus Martiono. ''Apakah kita kekurangan kader sehingga harus daur ulang?'' katanya sengit. Widya yang sedang menghadapi kemungkinan kehilangan jabatan mencoba tegar. ''Saya anak tentara, hidup di asrama. Saya akan loyal dan bilang: yes Sir!'' [Laporan Utama, Gatra Nomor 41 Beredar Senin, 22 Agustus 2005] Rihad Wiranto, Astari Yanuarti, Hatim Ilwan, dan Arief Ardiansyah [Laporan Utama, Gatra Nomor 41 Beredar Senin, 22 Agustus 2005]