Sedikit pengalaman dengan geologist Vietnam. Pada tahun 1968, kebetulan saya
menghadiri CCOP conference di Bangkok. Seperti biasa setiap delegasi
memberikan paling tidak suatu "country report". Seorang geologist Vietnam
membawakan hasil pemetaannya disuatu daerah pedalaman Vietnam. Petanya
sangat sederhana, diwarnai dengan pensil berwarna dan tentunya dengan
tangan. Peta tersebut sangat jelas dan saya yakin bahwa peta tersebut benar.
Saya tanya kepadanya: Lho kamu kok bisa memetakan seperti ini, ya? Kan anda
sedang perang lawan Amerika? Dia menjawab: Bisa saja kan berperang sambil
memetakan, begitu bom-bom Amerika berhenti (barangkali pembomnya istirahat)
kami, geologist, cepat-cepat ambil palu dan kompas dan membawa bedil atau
pedang yang tidak pernah ketinggalan. Saya tertegun mendengar jawaban yang
demikian. Begitu semangatnya orang-2 Vietnam. Makanya sekarang mereka cepat
bangkit.
Pada tahun 1990-an saya kedatangan tamu seorang profesor geofisika Vietnam.
Ngobrol banyak ngalor ngidul yang tadinya dia bicara tentang geofisika, tapi
lama-lama tentang kehidupan di Indonesia. terakhir dia tanya gajih saya
berapa? Saya jawab seadanya (gajih PNS setelah saya dolarkan). Wah besar
sekali, katanya. Saya masih kurang dari itu. Ya Allah, masih kurang dari
gajih saya, tapi dia begitu semangat dan tekun terhadap bidang keahliannya.
Itulah yang membuat Vietnam cepat bangkit kembali.
M. Untung

Original Message -----
From: "Rovicky Dwi Putrohari" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <iagi-net@iagi.or.id>; "HAGI-Net" <[EMAIL PROTECTED]>;
<[EMAIL PROTECTED]>; "Intelektual Muda Fisika_UI"
<[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Tuesday, January 03, 2006 12:15 PM
Subject: [iagi-net-l] Opini akhir tahun Prof. MT Zen


> ---------- Forwarded message ----------
> Date: Dec 31, 2005 9:52 AM
> Subject: [IA-ITB] Opini akhir tahun Prof. MT Zen
> To: IA-ITB@yahoogroups.com
>
> Menjadi Bangsa Berdaya
>
> Di Indonesia sangat sukar berbicara tentang hewan-hewan yang dulu
> lazim banyak terlihat berkeliaran di sekeliling kita. Ini dikarenakan
> wabah flu-setan. Misalnya sapi, kambing, kelinci, domba, dan banteng.
> Sebab, sapi sudah berubah menjadi sapi perah; kambing menjadi kambing
> hitam; kelinci menjadi kelinci percobaan.
>
> Domba? Adu domba. Kalau banteng? Oh, banteng biasa sudah langka, yang
> banyak banteng moncong putih. Indonesia mengalami metamorfosis menjadi
> animal farm.
>
> Negara kambing hitam
>
> Hewan paling favorit adalah kambing hitam. Kadang kala sangat
> menguntungkan bagi yang berkepentingan. Contohnya kekacauan di animal
> farm kita sekarang.
>
> Bayangkan, seandainya di Indonesia ini tidak pernah terjadi tsunami
> Aceh, tidak ada busung lapar, demam berdarah, polio, flu burung, dan
> harga minyak bumi di pasaran internasional tidak mengamuk naik, matilah
> kita karena kambing hitam tidak laku. Sebab, siapa lagi yang mau
> disalahkan. Coba!
>
> Kambing hitam paling perkasa kini adalah Amerika Serikat, Eropa, dan
> lain-lain. Awal-awal Orde Baru dulu, komunis menjadi kambing hitam
> terbesar dan laku dijual. Kini kalau ada bom meletus, mesti Amerika
> yang mau mengadu domba.
>
> Negara-negara ASEAN, seperti Vietnam, Laos, Kamboja, dan Filipina
> senasib dengan Indonesia. Vietnam itu baru selesai perang. Namun,
> perangnya itu bukan dengan Belanda yang mengirimkan KNIL, melainkan
> Amerika Serikat yang mengirimkan B-52 dan bom napalm. Vietnam itu
> hancur luluh. Kini dia bangkit. Pada SEA Games 2005, Vietnam menduduki
> tempat ketiga. Lima tahun yang lalu Vietnam sudah memiliki sarjana
> fisika bergelar PhD sebanyak 15.000 orang. Bayangkan, fisikawan saja
> 15.000 orang, sedangkan sejarahnya diwarnai penuh pergolakan. Sebentar
> lagi ia menjadi singa-ekonomi.
>
> Hal lain lagi, harga minyak pernah mencapai 70 dollar AS/barrel.
> Vietnam tidak punya minyak sama sekali, tetapi tidak merengek-rengek
> seperti bangsa Indonesia dengan menipu bangsa sendiri. Mereka tidak
> mencoba menyihir minyak bumi menjadi kambing hitam. Namun, mereka
> berpikir, mengerahkan segala daya upaya, mengatur taktik dan strategi
> berjangka panjang, serta berpikir jauh ke depan. Tidak mencoba mencari
> jalan pintas dengan menunggang kambing hitam.
>
> Apa yang dimiliki negara-negara ASEAN lain yang tidak kita punyai?
> Penduduk Malaysia itu sepertiganya Melayu, sepertiga lagi keturunan
> India, selebihnya keturunan China. Keturunan India dan keturunan China
> lebih besar jumlahnya dari Melayu. Mereka itu rajin, hemat, suka
> menabung, dan kerja keras; mereka itu yang membuat Malaysia maju.
>
> Kenapa kita miskin?
>
> Kenapa bangsa-bangsa ASEAN lain maju, sedangkan bangsa Indonesia itu
> miskin dan ketinggalan dalam banyak hal?
>
> Hal ini banyak diperdebatkan oleh banyak ahli. Berbicara tentang soal
> ini tak habis-habisnya. Singkatnya, beberapa ciri dapat dikemukakan
> sebagai prasyarat kemajuan, antara lain: 1. Berpegang pada prinsip-
> prinsip etika yang kuat; 2. Berdisiplin tinggi; 3. Bertanggung jawab
> (accountable); 4. Menghormati hukum dan peraturan; 5. Menghargai hak
> warga lain; 6. Senang bekerja (Kerja itu Mulia); 7. Bekerja keras untuk
> dapat menabung dan berinvestasi; 8. Berkemauan untuk bertindak hebat;
> 9. Menghargai waktu; 10. Betul-betul memanfaatkan sains dan teknologi.
> Ini yang disebut sepuluh prasyarat untuk maju, sejahtera. dan kaya.
>
> Sobirin dkk (2005) mengatakan, bangsa Indonesia itu miskin karena
> tidak memiliki sikap dan tidak memiliki kemauan untuk melaksanakan
> serta mengajarkan prinsip-prinsip fungsional dari masyarakat maju dan
> kaya.
>
> Salah satu sikap dan kebiasaan yang sangat perlu dipupuk sejak kecil
> adalah kebiasaan menabung. Kita lihat sewaktu krisis moneter menerpa
> beberapa negara Asia di tahun 1997, Thailand, Korea Selatan, dan Taiwan
> cepat bangkit kem- bali karena mereka punya tabungan yang besar.
>
> Pada saat ini cadangan devisa RRC sudah mencapai 769 miliar dollar AS,
> Hongkong 122 miliar; sementara Indonesia cuma 31,2 miliar (The
> Economist, 10/12/2005). Negara-negara seperti RRC, India, Korea
> Selatan, Jepang, Singapura, Taiwan, dan Hongkong semuanya dicirikan
> oleh tabungan yang besar.
>
> Bangsa Indonesia itu boros, sangat boros, tidak suka menabung,
> complacent (cepat puas diri dan menjadi lengah), suka menganggap semua
> masalah itu enteng dan mudah (taking things easy); hanya puas dengan
> formalitas saja (jika ada masalah antara dua kelompok masyarakat,
> masalah tersebut diselesaikan dengan acara yang sangat formal dan
> superfisial, seperti menandatangani piagam bersama atau doa bersama
> tanpa mencoba mengerti dan memecahkan masalah dasarnya).
>
> Semasa Orde Baru muncul sikap arogan dan berkeyakinan bahwa kita
> bangsa super: paling beragama dan paling rukun; paling luhur budi
> pekertinya, paling ramah, Tanah Air kita paling kaya, paling indah; UUD-
> 45 itu adalah suatu masterpiece (tanpa menyadari bahwa UUD-45 tidak
> lain dari jiplakan konstitusi Belanda tahun 1814).
>
> Langkah ke depan
>
> Sekarang kita terpuruk menjadi salah satu negara paling korup di
> dunia; dikenal sebagai negara paling birokratik (in the worse sense),
> pegawai pemerintahan hanya tahu memeras/minta uang jasa saja; jiwa dan
> semangat melayani masyarakat tidak ada pada birokrasi pemerintahan. Ini
> yang perlu dirombak secara total. Dari jiwa pemeras menjadi jiwa
> pelayan masyarakat. Pegawai negeri kita, terutama yang di atas,
> dikatakan paling arogan dan manja (tas sekecil apa pun, sampai ke
> kacamata saja harus dibawakan ajudannya), sementara pemimpin negara-
> negara maju lain tidak berbuat seperti itu.
>
> Padahal, kita bukan apa-apa. Ini diakui dulu. Namun, kita harus sadar
> bahwa kita mempunyai banyak hal yang dapat membuat kita menjadi bangsa
> yang mandiri, berdaya, dan jaya asal saja kita jujur (kenal diri kita).
> Kita mempunyai tradisi dan budaya yang dapat dikembangkan. Ketahuilah,
> kita mendiami suatu Tanah Air berupa suatu benua maritim yang amat
> besar dengan letak yang sangat strategik. Benua maritim Indonesia itu
> dicirikan oleh keanekaragaman yang amat besar, yakni bio-geo-ethno-
> socio-cultural diversity. Keanekaragaman itu dapat dijadikan modal dan
> tempat berpijak awal untuk berkembang.
>
> Jika itu yang dikembangkan, Indonesia akan menjadi suatu pusat
> penelitian ilmiah dunia dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam. Itu yang
> dilakukan oleh orang-orang Belanda, Jerman, Perancis, dan lain-lain.
> Mereka meneliti kekhasan kepulauan Indonesia dan menjadi ilmuan
> ternama, seperti Vening Meinesz, Umbgrove, Kuenen, Du Bois,
> Weidenreich, Von Koeningswald, Eijkman, dan Wallace. Itu jauh lebih
> besar nilainya dari sumber daya minyak, gas, dan batubara karena sumber
> daya alam itu suatu waktu akan habis.
>
> Pengetahuan yang dikembangkan untuk mengembangkan sumber daya alam itu
> tak habis dipakai, bahkan semakin bertambah. Itu perbedaan antara
> sumber daya alam dan pengetahuan. Semakin banyak dipakai, pengetahuan
> itu kian berkembang, sumber daya yang tak habis-habisnya.
>
> Negara-negara maju berteriak sumber daya alam tidak penting lagi, yang
> penting kemampuan teknologi. Sikap kita seharusnya sebagai berikut:
> Kita kembangkan teknologi sambil kita kembangkan sumber daya alam dan
> lingkungan alam yang ada di sekitar kita secara optimum. Jangan sekali-
> kali kita berkata, sumber daya alam tidak penting lagi. Jangan sekali-
> kali! Bersyukurlah bahwa kita masih punya sumber daya alam yang sedikit
> itu.
>
> Kita harus tahu dengan sebenar-benarnya apa yang kita miliki, apa yang
> tidak kita miliki. Itu perlu pengetahuan, perlu sains, dan perlu
> teknologi. Kita harus belajar menjadi anggota masyarakat dunia karena
> kita hidup di Bumi.
>
> Kita harus insaf. Abad ke-21 ini sarat dan kental dengan sains dan
> teknologi. Masyarakat manusia memasuki kultur abad ke-21 di mana muncul
> modal dan industri virtual (maya); reduksionisme digantikan oleh
> sinergisme yang tinggi; fraktal dan kompleksitas menggantikan pikiran-
> pikiran yang linier dan geometrikal. Perubahan itu tidak menunggu kita.
>
> MT Zen Guru Besar ITB
> Sabtu, 31 Desember 2005
> Copyright (c) 2002 Harian KOMPAS
>
> --
> --Writer need 10 steps faster than readeR --
>
> ---------------------------------------------------------------------
> To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
> To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
> Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
> IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
> IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
> Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
> Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
> Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
> Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
> Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau
[EMAIL PROTECTED]), Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
> Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
> ---------------------------------------------------------------------
>
>


---------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
Komisi Sedimentologi (FOSI) : Ratna Asharina 
(Ratna.Asharina[at]santos.com)-http://fosi.iagi.or.id
Komisi SDM/Pendidikan : Edy Sunardi(sunardi[at]melsa.net.id)
Komisi Karst : Hanang Samodra(hanang[at]grdc.dpe.go.id)
Komisi Sertifikasi : M. Suryowibowo(soeryo[at]bp.com)
Komisi OTODA : Ridwan Djamaluddin(ridwan[at]bppt.go.id atau [EMAIL PROTECTED]), 
Arif Zardi Dahlius(zardi[at]bdg.centrin.net.id)
Komisi Database Geologi : Aria A. Mulhadiono(anugraha[at]centrin.net.id)
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke