SURAT TERBUKA KEPADA KETUA UMUM IAGI (3-habis)
Saya berpendapat bahwa untuk menguak kebenaran penyebab semburan lumpur
Sidoarjo ini tidak dapat diselesaikan dengan suatu workshop dengan
menghasilkan suatu kesepakatan pendapat atau kompromi sebagaimana dilakukan
dalam masalah sosial politik. Kontroversi akan berjalan terus, dan ini
adalah biasa saja dalam geosciences, bahkan kadang-kadang menyangkut hal-hal
yang prinsipiil (simak buku: "Controversies in Modern Geology" eds: D.W.
Mueller et al, 1991, Academic Press). Adakalanya suatu masalah dapat
diselesaikan secara tuntas, tetapi memakan waktu bertahun-tahun dengan biaya
yang sangat besar. Contohnya saja untuk menentukan apakah tsunami di Samudra
Hindia yang dipicu oleh gempa Aceh itu disebabkan longsor bawah laut atau
karena terjadinya sesar yang aktif itu memakan waktu lebih dari 2 tahun
dengan mengerahkan suatu kapal penelitian (research vessel) berbulan-bulan
di daerah perairan laut sebelah barat Aceh dan melibatkan puluhan
geoscientists dan engineers, dan tentu memakan biaya puluhan juta USD. Dari
situ diketahui 'the smoking gun' berupa adanya gawir sepanjang puluhan
kilometer yang naik pada waktu yang sangat resen. Ini adalah murni demi
science karena tidak mempunyai dampak apapun pada masyarakat. Apakah kita
dapat mengumpulkan dana sebesar itu?
Untuk menentukan 'the smoking gun' dalam masalah LUSI dan sekali gus
menghentikan semburan mungkin satu-satunya adalah dengan melakukan pemboran
relief well yang langsung ditujukan kepada lubang bor pas di atas top Kujung
atau gejala apapun yang telah menyebabkan loss & kick, dengan hypothesa
kerja bahwa penyebab semburan lumpur itu adalah air dari Kujung atau
reservoir apapun. Mengenai kemampuan teknik pemboran untuk melakukan itu dan
mampu mem-pint-point' tepat pada lubang bor di kedalaman 9000 kaki dan dari
jarak mungkin lebih dari 500 m (di luar daerah amblasan) saya tidak akan
berkomentar karena itu merupakan kompentensi dari pakar teknik pemboran.
Kalau usaha ini berhasil menyetop semburan lumpur, maka hipotesa kerja
terbukti dan 'the smoking gun' diketemukan, namun jika tidak berhasil
menghentikan, kontroversi tidak akan berakhir, karena orang bisa
berargumentasi bahwa kekhilafan operasi pemboran hanya penyebab permulaan
(initial cause) dari semburan lumpur dan selanjutkan memicu rekahan pada
Formasi Kunjung sehingga menjadi liar. Untuk pembuktian hipotesa ini dengan
relief well akan memakan biaya USD 50 juta. Mungkin instansi/ masyarakat
ilmiah di luar negeri mau dan dapat menggalang dana sebesar itu untuk
membuktikan suatu hipotesa sebagai mana dilakukan pada masalah penyebab
tsunami di Aceh?
Yang menyedihkan lagi adalah bahwa kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat
antara para anggota IAGI yang tidak lagi didasarkan atas kaidah-kaidah
ilmiah, tetapi didasarkan pada kepentingan-kepentingan nongeologi.
Bahwasanya seorang geologiawan akan memihak suatu pendapat yang dipengaruhi
oleh lingkungan kerjanya itu adalah wajar saja dan bersifat manusiawi,
tetapi jika lingkungan kerjanya itu sudah mempunyai kepentingan pendanaan,
bisnis bahkan politik inilah yang sangat memprihatikan saya. Dalam renungan
balik (hindsight) mungkin sebaiknya IAGI tidak melibatkan diri dalam suatu
geological controversy kalau hal ini akan melibatkan kepenting-kepentingan
tertentu. Tentu ini tidak sejalan dengan gagasan mantan Ketua Umum IAGI, Dr.
Andang Bachtiar, yang ingin membumikan geologi untuk turut berperan-serta
memecahkan persoalan aktual yang terjadi di masyarakat. Soal membumikan
geologi adalah pandangan yang sangat baik, selama ini tidak menimbulkan
konflik dengan kepentingan-kepentingan nongeologi. Biarlah konflik politik
dan bisnis diselesaikan di pengadilan, walaupun menyangkut pendapat
ilmiah/geologi.
IAGI pernah mempunyai masalah pelik di masa lalu, hanya 3 tahun setelah
didirikan terjadi pergolakan kepentingan-kepentingan politik. Dengan sangat
bijaksana Bp,. Soetaryo Sigit, salah seorang pendiri dari IAGI, segera
menidurkan IAGI sampai tahun 1972, pada waktu mana saya ditugaskan untuk
membangkitkannya lagi dan diberi kepercayaan dan kehormatan untuk mengemban
jabatan Ketua dari tahun 1973 sampai tahun 1975. Dalam perjalanan sampai di
abad ke 21 ini IAGI memang sudah berkembang sangat pesatnya dan mau tidak
mau harus terlibat dalam pendanaan, fasilitas dan bahkan bisnis, serta juga
melibatkan diri untuk kepentingan nasional. Mungkin saja pemikiran saya ini
sudah usang dan ketinggalan zaman, namun demikian saya tetap prihatin dengan
perkembangan dewasa ini.
Sdr. Ketua yang Terhormat.
Sekali lagi dengan sangat berat dan menyesal sedalam-dalamnya saya
melayangkan surat terbuka ini. Terus-terang saja saya telah merenung dan
tidak dapat nyenyak tidur hampir satu minggu sebelum mengambil keputusan
ini. Namun akhirnya saya merasa terpanggil untuk melakukan hal ini demi IAGI
dan telah mempertimbangan konsekwensi apapun yang saya harus hadapi,
sehingga saya dapat tidur nyenyak kembali. Jika surat terbuka ini tidak
berkenan di hati Sdr., maka kami mohon maaf sebesar-besarnya.
Wassalam, Bandung, 25 Februari 2007
R.P.Koesoemadinata
Mantan Ketua IAGI 1973-1975
Anggota IAGI no. 0021
----------------------------------------------------------------------------
Hot News!!!
CALL FOR PAPERS: send your abstract by 30 March 2007 to [EMAIL PROTECTED]
Joint Convention Bali 2007 - The 32nd HAGI & the 36th IAGI Annual Convention and Exhibition,
Patra Bali, 19 - 22 November 2007
----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------