Tambahan sedikit mas Awang,
  Pendapat bahwa Fatahillah adalah Fadhillah Khan (FK) dan bukannya Sunan 
Gunung Jati (SGJ) juga dianut oleh Imam Tantowi dan Chaerul Umam, dua sutradara 
yang secara bersama membesut film Fatahillah, sesaat sebelum runtuhnya orde 
baru.
   
  Di film ini, jelas-jelas digambarkan bahwa FK berbeda 1 generasi (lebih muda) 
dari SGJ. Kalau tidak salah ingat bahkan dikatakan bahwa FK adalah menantu dari 
SGJ.
  Mungkin memang film Fatahillah mengacu pada pendapat Prof Slamet Mulyana.
   
  Salam
  Oki
  (Lebih senang nonton ketimbang baca......)

Awang Harun Satyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
                22 Juni, hari ini, adalah hari ulang tahun kota Jakarta. 
Tanggal tersebut ditentukan sejak tahun 1956 ketika hasil penelitian Mr. Dr. 
Soekanto, ahli sejarah, diterima Pemerintah dan badan legislatif saat itu. 
Gubernur Jakarta Sudiro pada tahun 1954 meminta Mr. Mohammad Yamin (negarawan 
dan ahli hukum), Sudarjo Tjokrosiswono (wartawan senior Jakarta), dan Mr. Dr. 
Soekanto (ahli sejarah) meneliti kapan sebenarnya kota Jakarta lahir. Tahun 
1527, tahun saat Fatahillah mengalahkan Portugis di Teluk Jakarta telah 
dianggap sebagai asal Jakarta (Jayakarta sebenarnya), tinggal hari tepatnya 
kapan yang belum diketahui. Lalu, dari ketiga tokoh itu, Sukanto mengumumkan 
hasilnya : 22 Juni 1527. Sukanto mempublikasikan hasil penelitiannya ke dalam 
buku berjudul, “Dari Jakarta ke Jayakarta : Sejarah Ibukota Kita” (Soekanto, 
1954).
   
  Hasil penelitian Sukanto segera direspon oleh para ahli sejarah lain. Yang 
merespon antara lain tak kurang dari Prof. Dr. Hoesin Djajadiningrat, doktor 
pertama Indonesia, yang sejak 1913 telah menjadi doktor sejarah melalui 
disertasinya yang terkenal tentang sejarah Banten : “Critische Beschouwing van 
de Sedjarah Banten” (Haarlem, 1913) – (Tinjauan Kritis Sejarah Banten). Argumen 
Hoesin Djajadiningrat atas penelitian Soekanto dimuat di Majalah “Bahasa dan 
Budaja” volume V no. 3 tahun 1956-1957, hal 3-9. Hoesin Djajadiningrat 
berkesimpulan bahwa hari lahir kota Jakarta (Jayakarta) adalah 17 Desember 
1526. Argumennya adalah bahwa hari itu adalah hari kemenangan Falatehan 
(Fatahillah) di Jakarta atas Portugis yang konon bertepatan dengan hari 
kemenangan Nabi Muhammad dalam perang merebut Mekkah. Falatehan adalah seorang 
ulama yang tawakal, maka sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah, ia 
mengucapkan ayat Al Quran “Inna fatahna laka fathan mubinan” seperti yang yang
 diucapkan Nabi Muhammad ketika berhasil merebut Mekkah.
   
  Lebih menarik lagi adalah argumentasi dari Prof. Dr. Slamet Muljana (ahli 
sejarah naskah kuno yang kerap hasil penelitiannya mengejutkan). Slamet Muljana 
menyerang pendapat Soekanto dan Hoesin Djajadiningrat dalam rangkaian tulisan 
ilmiah populer di Koran Suara Karya pada April-Mei 1979. Kemudian, seri tulisan 
ini dibukukan ke dalam buku berjudul : “Dari Holotan ke Jayakarta” (Yayasan 
Idayu, 1980) - sebuah buku Slamet Muljana yang kalah populer dibandingkan 
bukunya yang kontroversial “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya 
Negara-Negara Islam di Nusantara” (Bhratara, 1968). Di buku terakhir tersebut, 
Slamet Muljana berkesimpulan bahwa Majapahit runtuh oleh dominasi Islam, dan 
bahwa hampir seluruh wali dari Wali Sanga adalah berasal dari Cina atau 
keturunan Cina. Maka, karena saat itu Pemerintah ORBA sedang anti-Cina, buku 
Slamet Muljana langsung dilarang, tak sampai setahun sejak penerbitannya. Tiga  
puluh lima tahun kemudian, 2003, buku terlarang ini diterbitkan
 kembali oleh sebuah penerbit di Yogyakarta dan segera laku keras serta susah 
dicari di toko-toko buku kalau terlambat membelinya.
   
  Sebagai seorang pecinta buku dan punya kegemaran bermain-main di tukang loak 
buku, saya punya buku2 baik tulisan Soekanto (1954), Hoesin Djajadiningrat 
(1913), dan Slamet Muljana (1968, 1980). Tulisan ini terutama didasarkan kepada 
empat buku tersebut, didukung buku-buku lain yang berhubungan.
   
  Kembali ke buku “Holotan”. Slamet Muljana berargumen dan menolak 
tanggal-tanggal kelahiran Jakarta dari Soekanto maupun Hoesin Djajadiningrat, 
bahkan Slamet Muljana mengeluarkan kesimpulan yang mengejutkan : bahwa 
Falatehan atau Fatahillah itu tidak sama dengan Sunan Gunung Jati, salah 
seorang wali dari Wali Sanga. Saya cek buku-buku sejarah Jawa dari pelajaran SD 
sampai buku-buku besar seperti tulisan Dennys Lombard yang terkenal itu (“Le 
Carrefour de Javanais” – Jawa : Silang Budaya) semua menyebutkan bahwa 
Falatehan = Fatahillah = Sunan Gunung Jati. Tahun 1968, Slamet Muljana pun 
berkesimpulan seperti yang lain, tetapi di buku “Holotan” (1980) dia 
berkesimpulan bahwa Falatehan atau Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati. Itu 
didasarkannya kepada penelitian naskah-naskah kuno, keahliannya.
   
  Argumen Slamet Muljana terutama didasarkan kepada naskah “Purwaka Tjaruban 
Nagari” tulisan Pangeran Arya Tjarbon (1720). Ini adalah naskah sejarah (babad) 
lokal wilayah Cirebon. Naskah ini sudah diterjemahkan langsung dari bahasa 
aslinya ke dalam bahasa Indonesia oleh Sulendraningrat, penanggung jawab 
Sejarah Cirebon, dan diterbitkan oleh Bhratara (1972).
   
  Naskah Purwaka Caruban Nagari menguraikan dengan jelas bahwa Panglima Demak 
yang berasal dari Pasai dan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kalapa pada 
tahun 1526 dan 1527 bernama Fadillah Khan. Slamet Muljana mengatakan bahwa 
Falatehan ialah transliterasi (pergantian huruf dan bunyi) dari nama asli 
Fadillah Khan. Nama aslinya adalah : Maulana Fadillah Khan Ibnu Maulana Makhdar 
Ibrahim al-Gujarat. Kemudian, naskah Purwaka Caruban Nagari pun sama sekali tak 
menyinggung pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta seperti diberitakan 
di banyak buku sejarah ketika Falatehan menduduki Sunda Kalapa dan mengusir 
Portugis. Nama Sunda Kalapa tetap dipakai sampai akhir tahun 1500-an. Tahun 
1628, ketika pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia yang saat itu 
sudah diduduki Belanda (nama Batavia dipakai sejak  tahun 1613), naskah Purwaka 
menyebut nama Jayakarta. Artinya ada pergantian nama dari Sunda Kalapa ke 
Jayakarta, tetapi itu terjadi sekitar akhir 1500-an dan awal
 1600-an, bukan sejak 1527.
   
  Slamet Muljana pun berargumen bahwa Falatehan itu adalah ulama sekaligus 
panglima perang Islam yang pernah hidup di Pasai , Demak, dan Banten sebelum ke 
Sunda Kalapa. Bagi ulama Islam seperti Fadillah Khan, nama Arab lebih cocok 
daripada nama Sanskerta. Seandainya ia mau mengganti nama Sunda Kalapa saat 
didudukinya, tak mungkin nama Sanskerta yang berbau Hindu seperti “Jayakarta” 
yang akan dipilihnya. Setelah menaklukkan Sunda Kalapa, Falatehan diangkat 
menjadi bupati Sunda Kalapa oleh Susuhunan Gunung Jati (Sunan Gunung Jati). 
   
  Lalu, dari mana asal nama Jayakarta kalau itu bukan mengartikan “kemenangan 
(jaya) Falatehan atas Portugis di Sunda Kalapa” ? Dalam hal ini, Jayakarta 
bukanlah toponim (asal nama geografi), tetapi itu adalah nama seorang pangeran 
dari Banten yang ditugaskan menjadi penguasa Sunda Kalapa, yaitu Pangeran 
Wijayakarta/Jayawikarta/Wijayakrama. Ayah pangeran ini adalah Ki Bagus Angke, 
menantu Sultan Hasanuddin penguasa Banten pada tahun 1550-an (Sultan Hasanuddin 
adalah anak Sunan Gunung Jati). Ki Bagus Angke ditugaskan Hasanuddin menjadi 
bupati di Sunda Kalapa. Kemudian, Ki Bagus Angke digantikan Pangeran Jayakarta. 
Begitulah, sebelum Belanda menguasai Jakarta, saat itu Pangeran Jayakarta 
tengah menjadi penguasa di Sunda Kalapa. Falatehan menetap di Cirebon sejak 
1546 dan ia berkawan dengan seniornya – Sunan Gunung Jati.
   
  Falatehan/Fatahillah dan Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayattullah adalah dua 
orang yang berbeda. Kedua orang ini memang dua sahabat sebagai sesama ulama 
Islam.  Ini dua orang yang berbeda karena di atas gunung Sembung, sebuah bukit 
di sekitar Cirebon, tempat makam para leluhur Cirebon ditemukan baik makam 
Sunan Gunung Jati maupun makam Fadillah Khan. Sunan Gunung Jati wafat pada 
tahun 1568, sedangkan Fadillah Khan (Falatehan/Fatahillah) wafat pada tahun 
1570. 
   
  Lalu, dari mana nama Jakarta sendiri ? Dari Piagam Banten yang bertarikh awal 
1600-an., sesudah 1602, yaitu sesudah VOC dibentuk sebab di dalam Piagam Banten 
itu termuat satu kata bukan asli Sunda-Banten. Dr.  van der Tuuk (1870), ahli 
bahasa dan sejarah, menyebutkan pemuatan kata “Jakarta” itu. Ini adalah kutipan 
dari Piagam Banten (van der Tuuk, 1870)
   
  “Lamon ana wong Djaketra angambil daon atawa kaju atawa angambil wiru, iku 
aweja ruba-ruba adjen-adjen sarejal; lamon sih wong Djaketra iku ora anggawa 
tjap dalem lan surate kumendur, iku tjegahen patjuwun den wehi mandjing ing 
muwara Putih; lamon maksa ora kena den tjegah, den gelis-gelis matura ing Bumi 
olija den sih”
   
  (Jika ada orang Jakarta mengambil daun, atau kayu atau nipah, supaya 
memberikan uang pengganti. Jika orang Jakarta itu tidak membawa cap istana dan 
surat dari komandan, supaya ditolak dan dimasukkan ke dalam muara sungai Putih. 
Jika ia memaksa dan tidak mau ditolak, supaya segera memberitahu Mangku Bumi).
   
  Laporan Cornelis de Houtman (dalam de Jonge, 1862 : De opkomst van het 
Nederlandsche gezag in Oost-Indie 1595-1610 – ‘s Gravenhage) pada tanggal 14 
November 1596 menyebut nama Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta) sebagai 
“koning van Jacatra” (raja Jakarta). Ternyata, bahwa nama Jakarta sudah muncul 
sejak akhir 1500-an.
   
  Begitulah, berdasarkan uraian di atas, tahun kelahiran Jakarta bukanlah 1527, 
tetapi 50 atau 60 tahun sesudah itu; bukan mulai pada saat Falatehan menduduki 
Sunda Kalapa (Sunda Kalapa kala itu adalah pelabuhan Kerajaan Pakuan yang 
beragama Hindu) pada tahun 1527, tetapi pada masa Pangeran Jayakarta menjadi 
bupati di Sunda Kalapa, yaitu sesudah tahun 1570.
   
  Tetapi, tokh Pemerintah DKI Jakarta masih tetap mengakui 22 Juni 1527 sebagai 
hari lahir Jayakarta-Jakarta sekalipun banyak naskah kuno menunjukkan 
kesimpulan-kesimpulan lain. Mengutip sebuah tulisan : 
   
  “Historical reality is often too bitter to swallow or too hot to stand. 
History is a large mirror that reflects the facts of the past, and all that has 
been etched into the glass of history can never be erased. If you don't like a 
particular historical fact, you may try to cover it up or forget it, but you 
can never remove it. A  historical fact can be interpreted in a variety of 
ways, but regardless of the interpretation, the fact will never change.”
   
  Semoga bermanfaat. “Selamat ulang tahun Jakarta-ku !” Semoga kau segera 
mendapatkan gubernur yang baik.
   
  Salam,
  awang



       
---------------------------------
Sick sense of humor? Visit Yahoo! TV's Comedy with an Edge to see what's on, 
when. 

Kirim email ke