Pak Awang pengen konfirmasi..apakah Dr. Van der Tuuk orang yang sama yang pernah ke tanah Batak dan juga mempelajari bahasa setempat dan mentranslate bible ke bahasa Batak? yang saya tau orang Betawi memang akomodatif dengan kebudayaan orang pendatang (sunda, jawa, bugis, arab, cina,..) membuktikan siapa penduduk asli Jkt mungkin jadi 'agak' sulit untuk didefinisikan ...wah menarik dan salut atas pengetahuan sejarah Pak Awang! salam Sanggam --
oki musakti <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Tambahan sedikit mas Awang, Pendapat bahwa Fatahillah adalah Fadhillah Khan (FK) dan bukannya Sunan Gunung Jati (SGJ) juga dianut oleh Imam Tantowi dan Chaerul Umam, dua sutradara yang secara bersama membesut film Fatahillah, sesaat sebelum runtuhnya orde baru. Di film ini, jelas-jelas digambarkan bahwa FK berbeda 1 generasi (lebih muda) dari SGJ. Kalau tidak salah ingat bahkan dikatakan bahwa FK adalah menantu dari SGJ. Mungkin memang film Fatahillah mengacu pada pendapat Prof Slamet Mulyana. Salam Oki (Lebih senang nonton ketimbang baca......) Awang Harun Satyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote: 22 Juni, hari ini, adalah hari ulang tahun kota Jakarta. Tanggal tersebut ditentukan sejak tahun 1956 ketika hasil penelitian Mr. Dr. Soekanto, ahli sejarah, diterima Pemerintah dan badan legislatif saat itu. Gubernur Jakarta Sudiro pada tahun 1954 meminta Mr. Mohammad Yamin (negarawan dan ahli hukum), Sudarjo Tjokrosiswono (wartawan senior Jakarta), dan Mr. Dr. Soekanto (ahli sejarah) meneliti kapan sebenarnya kota Jakarta lahir. Tahun 1527, tahun saat Fatahillah mengalahkan Portugis di Teluk Jakarta telah dianggap sebagai asal Jakarta (Jayakarta sebenarnya), tinggal hari tepatnya kapan yang belum diketahui. Lalu, dari ketiga tokoh itu, Sukanto mengumumkan hasilnya : 22 Juni 1527. Sukanto mempublikasikan hasil penelitiannya ke dalam buku berjudul, Dari Jakarta ke Jayakarta : Sejarah Ibukota Kita (Soekanto, 1954). Hasil penelitian Sukanto segera direspon oleh para ahli sejarah lain. Yang merespon antara lain tak kurang dari Prof. Dr. Hoesin Djajadiningrat, doktor pertama Indonesia, yang sejak 1913 telah menjadi doktor sejarah melalui disertasinya yang terkenal tentang sejarah Banten : Critische Beschouwing van de Sedjarah Banten (Haarlem, 1913) (Tinjauan Kritis Sejarah Banten). Argumen Hoesin Djajadiningrat atas penelitian Soekanto dimuat di Majalah Bahasa dan Budaja volume V no. 3 tahun 1956-1957, hal 3-9. Hoesin Djajadiningrat berkesimpulan bahwa hari lahir kota Jakarta (Jayakarta) adalah 17 Desember 1526. Argumennya adalah bahwa hari itu adalah hari kemenangan Falatehan (Fatahillah) di Jakarta atas Portugis yang konon bertepatan dengan hari kemenangan Nabi Muhammad dalam perang merebut Mekkah. Falatehan adalah seorang ulama yang tawakal, maka sebagai ungkapan terima kasih kepada Allah, ia mengucapkan ayat Al Quran Inna fatahna laka fathan mubinan seperti yang yang diucapkan Nabi Muhammad ketika berhasil merebut Mekkah. Lebih menarik lagi adalah argumentasi dari Prof. Dr. Slamet Muljana (ahli sejarah naskah kuno yang kerap hasil penelitiannya mengejutkan). Slamet Muljana menyerang pendapat Soekanto dan Hoesin Djajadiningrat dalam rangkaian tulisan ilmiah populer di Koran Suara Karya pada April-Mei 1979. Kemudian, seri tulisan ini dibukukan ke dalam buku berjudul : Dari Holotan ke Jayakarta (Yayasan Idayu, 1980) - sebuah buku Slamet Muljana yang kalah populer dibandingkan bukunya yang kontroversial Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (Bhratara, 1968). Di buku terakhir tersebut, Slamet Muljana berkesimpulan bahwa Majapahit runtuh oleh dominasi Islam, dan bahwa hampir seluruh wali dari Wali Sanga adalah berasal dari Cina atau keturunan Cina. Maka, karena saat itu Pemerintah ORBA sedang anti-Cina, buku Slamet Muljana langsung dilarang, tak sampai setahun sejak penerbitannya. Tiga puluh lima tahun kemudian, 2003, buku terlarang ini diterbitkan kembali oleh sebuah penerbit di Yogyakarta dan segera laku keras serta susah dicari di toko-toko buku kalau terlambat membelinya. Sebagai seorang pecinta buku dan punya kegemaran bermain-main di tukang loak buku, saya punya buku2 baik tulisan Soekanto (1954), Hoesin Djajadiningrat (1913), dan Slamet Muljana (1968, 1980). Tulisan ini terutama didasarkan kepada empat buku tersebut, didukung buku-buku lain yang berhubungan. Kembali ke buku Holotan. Slamet Muljana berargumen dan menolak tanggal-tanggal kelahiran Jakarta dari Soekanto maupun Hoesin Djajadiningrat, bahkan Slamet Muljana mengeluarkan kesimpulan yang mengejutkan : bahwa Falatehan atau Fatahillah itu tidak sama dengan Sunan Gunung Jati, salah seorang wali dari Wali Sanga. Saya cek buku-buku sejarah Jawa dari pelajaran SD sampai buku-buku besar seperti tulisan Dennys Lombard yang terkenal itu (Le Carrefour de Javanais Jawa : Silang Budaya) semua menyebutkan bahwa Falatehan = Fatahillah = Sunan Gunung Jati. Tahun 1968, Slamet Muljana pun berkesimpulan seperti yang lain, tetapi di buku Holotan (1980) dia berkesimpulan bahwa Falatehan atau Fatahillah bukan Sunan Gunung Jati. Itu didasarkannya kepada penelitian naskah-naskah kuno, keahliannya. Argumen Slamet Muljana terutama didasarkan kepada naskah Purwaka Tjaruban Nagari tulisan Pangeran Arya Tjarbon (1720). Ini adalah naskah sejarah (babad) lokal wilayah Cirebon. Naskah ini sudah diterjemahkan langsung dari bahasa aslinya ke dalam bahasa Indonesia oleh Sulendraningrat, penanggung jawab Sejarah Cirebon, dan diterbitkan oleh Bhratara (1972). Naskah Purwaka Caruban Nagari menguraikan dengan jelas bahwa Panglima Demak yang berasal dari Pasai dan berhasil menguasai Banten dan Sunda Kalapa pada tahun 1526 dan 1527 bernama Fadillah Khan. Slamet Muljana mengatakan bahwa Falatehan ialah transliterasi (pergantian huruf dan bunyi) dari nama asli Fadillah Khan. Nama aslinya adalah : Maulana Fadillah Khan Ibnu Maulana Makhdar Ibrahim al-Gujarat. Kemudian, naskah Purwaka Caruban Nagari pun sama sekali tak menyinggung pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta seperti diberitakan di banyak buku sejarah ketika Falatehan menduduki Sunda Kalapa dan mengusir Portugis. Nama Sunda Kalapa tetap dipakai sampai akhir tahun 1500-an. Tahun 1628, ketika pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia yang saat itu sudah diduduki Belanda (nama Batavia dipakai sejak tahun 1613), naskah Purwaka menyebut nama Jayakarta. Artinya ada pergantian nama dari Sunda Kalapa ke Jayakarta, tetapi itu terjadi sekitar akhir 1500-an dan awal 1600-an, bukan sejak 1527. Slamet Muljana pun berargumen bahwa Falatehan itu adalah ulama sekaligus panglima perang Islam yang pernah hidup di Pasai , Demak, dan Banten sebelum ke Sunda Kalapa. Bagi ulama Islam seperti Fadillah Khan, nama Arab lebih cocok daripada nama Sanskerta. Seandainya ia mau mengganti nama Sunda Kalapa saat didudukinya, tak mungkin nama Sanskerta yang berbau Hindu seperti Jayakarta yang akan dipilihnya. Setelah menaklukkan Sunda Kalapa, Falatehan diangkat menjadi bupati Sunda Kalapa oleh Susuhunan Gunung Jati (Sunan Gunung Jati). Lalu, dari mana asal nama Jayakarta kalau itu bukan mengartikan kemenangan (jaya) Falatehan atas Portugis di Sunda Kalapa ? Dalam hal ini, Jayakarta bukanlah toponim (asal nama geografi), tetapi itu adalah nama seorang pangeran dari Banten yang ditugaskan menjadi penguasa Sunda Kalapa, yaitu Pangeran Wijayakarta/Jayawikarta/Wijayakrama. Ayah pangeran ini adalah Ki Bagus Angke, menantu Sultan Hasanuddin penguasa Banten pada tahun 1550-an (Sultan Hasanuddin adalah anak Sunan Gunung Jati). Ki Bagus Angke ditugaskan Hasanuddin menjadi bupati di Sunda Kalapa. Kemudian, Ki Bagus Angke digantikan Pangeran Jayakarta. Begitulah, sebelum Belanda menguasai Jakarta, saat itu Pangeran Jayakarta tengah menjadi penguasa di Sunda Kalapa. Falatehan menetap di Cirebon sejak 1546 dan ia berkawan dengan seniornya Sunan Gunung Jati. Falatehan/Fatahillah dan Sunan Gunung Jati/Syarif Hidayattullah adalah dua orang yang berbeda. Kedua orang ini memang dua sahabat sebagai sesama ulama Islam. Ini dua orang yang berbeda karena di atas gunung Sembung, sebuah bukit di sekitar Cirebon, tempat makam para leluhur Cirebon ditemukan baik makam Sunan Gunung Jati maupun makam Fadillah Khan. Sunan Gunung Jati wafat pada tahun 1568, sedangkan Fadillah Khan (Falatehan/Fatahillah) wafat pada tahun 1570. Lalu, dari mana nama Jakarta sendiri ? Dari Piagam Banten yang bertarikh awal 1600-an., sesudah 1602, yaitu sesudah VOC dibentuk sebab di dalam Piagam Banten itu termuat satu kata bukan asli Sunda-Banten. Dr. van der Tuuk (1870), ahli bahasa dan sejarah, menyebutkan pemuatan kata Jakarta itu. Ini adalah kutipan dari Piagam Banten (van der Tuuk, 1870) Lamon ana wong Djaketra angambil daon atawa kaju atawa angambil wiru, iku aweja ruba-ruba adjen-adjen sarejal; lamon sih wong Djaketra iku ora anggawa tjap dalem lan surate kumendur, iku tjegahen patjuwun den wehi mandjing ing muwara Putih; lamon maksa ora kena den tjegah, den gelis-gelis matura ing Bumi olija den sih (Jika ada orang Jakarta mengambil daun, atau kayu atau nipah, supaya memberikan uang pengganti. Jika orang Jakarta itu tidak membawa cap istana dan surat dari komandan, supaya ditolak dan dimasukkan ke dalam muara sungai Putih. Jika ia memaksa dan tidak mau ditolak, supaya segera memberitahu Mangku Bumi). Laporan Cornelis de Houtman (dalam de Jonge, 1862 : De opkomst van het Nederlandsche gezag in Oost-Indie 1595-1610 s Gravenhage) pada tanggal 14 November 1596 menyebut nama Pangeran Wijayakrama (Pangeran Jayakarta) sebagai koning van Jacatra (raja Jakarta). Ternyata, bahwa nama Jakarta sudah muncul sejak akhir 1500-an. Begitulah, berdasarkan uraian di atas, tahun kelahiran Jakarta bukanlah 1527, tetapi 50 atau 60 tahun sesudah itu; bukan mulai pada saat Falatehan menduduki Sunda Kalapa (Sunda Kalapa kala itu adalah pelabuhan Kerajaan Pakuan yang beragama Hindu) pada tahun 1527, tetapi pada masa Pangeran Jayakarta menjadi bupati di Sunda Kalapa, yaitu sesudah tahun 1570. Tetapi, tokh Pemerintah DKI Jakarta masih tetap mengakui 22 Juni 1527 sebagai hari lahir Jayakarta-Jakarta sekalipun banyak naskah kuno menunjukkan kesimpulan-kesimpulan lain. Mengutip sebuah tulisan : Historical reality is often too bitter to swallow or too hot to stand. History is a large mirror that reflects the facts of the past, and all that has been etched into the glass of history can never be erased. If you don't like a particular historical fact, you may try to cover it up or forget it, but you can never remove it. A historical fact can be interpreted in a variety of ways, but regardless of the interpretation, the fact will never change. Semoga bermanfaat. Selamat ulang tahun Jakarta-ku ! Semoga kau segera mendapatkan gubernur yang baik. Salam, awang --------------------------------- Sick sense of humor? Visit Yahoo! TV's Comedy with an Edge to see what's on, when. Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com