Iya Pak Iman, bahkan Pak Sartono almarhum telah mengajukan disertasi doktornya 
di UI tahun 1958 dengan judul, "Stratigrafi dan Sedimentasi Bagian Timur 
Pegunungan Sewu". Disertasi ini kemudian diringkas dan dipublikasikan dalam 
Sartono (1964) "Stratigraphy and sedimentation of the easternmost part of 
Gunung Sewu, East Java" - Publikasi Teknik Seri Geologi Umum. Kalau disertasi 
Pak Sartono alm. sekarang dipublikasikan tentu akan berguna juga, seperti 
halnya disertasi Pak Suyono Martodjojo (1984) "Evolusi Cekungan Bogor" oleh 
Penerbit ITB (2002). Penerus penelitian2 Pak Sartono sekarang adalah Pak Yahdi 
Zaim dan kawan2 keahlian paleontology di ITB. Barangkali Pak Zaim bisa 
berkomentar untuk pertanyaan dari Pak Iman tentang pembukuan disertasi Pak 
Sartono, silakan...

 

Salam,

awang

 

From: Iman Argakoesoemah [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, June 27, 2007 1:30 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: RE: [iagi-net-l] Ribuan Gunung Ribuan Artefak : Prasejarah Gunung 
Seribu (Sewu)

 

Kalau tidak salah, sewaktu hidupnya Prof. Sartono (alm) banyak juga meneliti 
aspek ini dan bekerjasama dengan Perancis. Bagaimana kelanjutan para penerusnya 
? Apakah ada rencana untuk dibukukan juga ?

 

Thanks. Iman

 

  _____  

From: Awang Harun Satyana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, June 27, 2007 12:52 PM
To: iagi-net@iagi.or.id; [EMAIL PROTECTED]
Subject: [iagi-net-l] Ribuan Gunung Ribuan Artefak : Prasejarah Gunung Seribu 
(Sewu)

 

Sebuah buku baru (2007) tentang geologi dan arkeologi bisa dilihat di toko-toko 
buku besar. Buku ini berjudul, "Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu : Prasejarah 
Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur", diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan 
Populer Gramedia) yang bekerja sama dengan banyak lembaga : Ecole Francaise 
de'Extreme-Orient, Institut de Recherche pour le Developpement, Pusat 
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas), dan Forum 
Jakarta-Paris. Buat rekan-rekan yang kemarin ini (mid-Juni 2007) sempat ke 
pameran buku selama seminggu di Istora Senayan, beruntunglah karena buku ini 
dijual dengan harga discount yang lumayan. Buku ini semula adalah disertasi 
doktor Hubert Forestier dari Museum National d'Histoire Naturelle, Paris yang 
mengajukan disertasinya pada tahun 1998 di Paris. Buku diterjemahkan oleh tiga 
orang dan disunting oleh Prof. Dr. Truman Simanjuntak, ahli arkeologi terkenal 
dari Puslitbang Arkenas.

 

Dalam pengamatan saya, tahun-tahun belakangan ini buku-buku populer maupun 
teknis tentang kepurbakalaan Indonesia masuk ke toko-toko buku umum.  Sebelum 
ini, ada Prasejarah Asia Tenggara (Belwood, 2004), buku bagus dan sangat 
lengkap - patut menjadi referensi-tentang kepurbakalaan Indonesia dan 
sekitarnya, lalu ada "Prasejarah Gunung Sewu" (Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 
2004) yang memuat puluhan artikel hasil penelitian arkeologi di Gunung Sewu, 
disunting oleh Prof. Truman Simanjuntak dkk. Lalu, tahun lalu pun ada 
"Arcahaeology, Indonesian Perspective : R.P. Soejono Festschrift" (LIPI dan 
International Center for Prehistoric and Austronesian Studies, 2006) yang 
memuat 45 paper penelitian arkeologi di Indonesia (ada tiga artikel geologi di 
dalamnya). Buku ini pun disunting oleh Prof. Truman Simanjuntak dkk. 
"Festschrift" (jerman) adalah mélange dalam bahasa Prancis, atau bancuh dalam 
bahasa Indonesia alias bunga rampai atau anthology - kumpulan tulisan 
macam-macam.

 

Buku-buku tentang prasejarah Cekungan Bandung hasil penelitian KRCB (Kelompok 
Riset Cekungan Bandung -Budi Brahmantyo, T. Bachtiar dkk.) juga bisa ditemukan 
di Gramedia Bandung (kalau masih ada). Menggembirakan, buku-buku kebumian sudah 
masuk ke toko-toko buku umum. Hanya, bidang arkeologi kelihatannya lebih 
agresif dibandingkan bidang geologi.

 

Kembali ke buku Prasejarah Song (Gua) Keplek, Gunung Sewu (Forestier, 1998, 
2007), ini adalah buku yang bagus dan komprehensif walaupun teknis. Meskipun 
wilayah penelitiannya lebih kepada industri litik Song Keplek termasuk analisis 
detail tipologis ribuan alat batu yang ditemukan di gua ini, cukup banyak 
keterangan tentang tatanan geologi dan arkeologi Gunung Sewu secara umum. 
Gunung Sewu adalah salah satu "taman firdaus" prasejarah Indonesia.

 

"Bahan alat-alat serpih ini semestinya berasal dari Pegunungan Selatan", 
demikian kurang lebih kata-kata salah seorang perintis penelitian arkeologi 
Indonesia G.H.R. von Koenigswald ketika dia menemukan artefak serpih di Bukit 
Ngebung, Sangiran pada tahun 1934. Setahun kemudian, Koenigswald bersama M.W.F. 
Tweedie dari museum Raffles di Singapura mengunjungi wilayah Punung, Pegunungan 
Selatan, dan di situlah taman firdaus situs arkeologi paleolitik yang sangat 
kaya baru terbuka : Kali Baksoko. Betapa senangnya Koenigswald kala itu, konon 
kabarnya sampai ia menggelar pertunjukan wayang tujuh hari tujuh malam untuk 
masyarakat Punung. Kala itu, 3000 artefak telah berhasil ditemukan dari wilayah 
Punung. Dan lebih dari 70 tahun kemudian sampai sekarang melalui berbagai 
penelitian arkeologi yang intensif kita menjadi tahu bahwa wilayah Gunung Sewu 
adalah suatu wilayah kompleks hunian prasejarah yang sangat luas, intensif, dan 
berkesinambungan dalam rentang Plistosen-Holosen.

 

Proses adaptasi terhadap lingkungan dan pengaruh luar telah menciptakan 
dinamika budaya yang berkembang, mulai dari yang bercorak paleolitik, 
mesolitik-preneolitik, neolitik, sampai paleometalik pada masa prasejarah. 
Manusia datang ke wilayah ini dan mendiami lembah-lembah sempit di antara 
perbukitan karst yang membentuk gua-gua dan daerah aliran sungai seperti Lembah 
Sungai Baksoko. Ketersediaan berbagai sumberdaya, seperti batuan yang baik 
untuk perkakas, air, fauna, dan flora di lingkungan sekitarnya menjadi penopang 
kehidupan berkelanjutan dalam rentang ratusan ribu-jutaan tahun.

 

Gunung Sewu dikenal sebagai tempat yang secara geologi dan geografi terpisah 
dari bagian Pulau Jawa lainnya. Daerah ini terjal dan memanjang antara 
Parangtritis dan Pacitan. Di tengah-tengah iklim yang cukup kering sepanjang 
tahun, relief bukit-bukit kapur yang bentuknya tidak seragam dan menghadap ke 
Lautan Hindia menyediakan banyak gua, aliran sungai serta rijang. Rijang 
berkualitas baik ini dipakai manusia prasejarah untuk membuat berbagai perkakas 
yang diperlukan. Gunung Sewu adalah tempat ideal bagi hunian masa lalu, 
bukit-bukitnya sangat sering didatangi oleh manusia prasejarah dari periode 
manapun. Alat-alat bifasial, kapak, dan aneka ragam alat padat merupakan karya 
dan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh Homo erectus, sebagai pembawa 
ketrampilan teknis dan kebudayaan Acheulean (Acheulean = sekuen kebudayaan 
Paleolitik Bawah yang dicirikan oleh perkakas kapak genggam dan kapak pembelah).

 

Benda-benda padat Acheulean yang juga ditemukan orang di Eropa, Afrika, 
negara-negara Iran-Irak, India, Nepal dan Cina lalu Indonesia menunjukkan bukti 
kedatangan Homo erectus setelah perjalanan jauh yang dimulai sedikit kurang 
dari dua juta tahun yang lalu dari daratan Afrika ("out of Africa" theory). 
Dan, justru di alur Sungai Baksoko, yang terletak tidak jauh dari kota Pacitan 
inilah perkakas Acheulean ini ditemukan. Situs ini kemudian menjadi sangat 
terkenal di dunia arkeologi dan memberikan nama pada salah satu kebudayaan 
Paleolitik Bawah yang termasyur : kebudayaan Pacitanian.

 

Dan itu ada di Pacitan, Jawa, tak jauh dari kita. Semoga kita mengenal dan 
menghargai situs-situs penting buat dunia ini. Buku-buku arkeologi yang 
belakangan banyak diterbitkan sangat membantu pengenalan akan hal itu.

 

Salam,

awang

 

Kirim email ke