Penjualan Gas Alam Cair Tangguh
Kamis, 28 Juni 2007

Pemerintah dikabarkan menawarkan separuh dari rencana penjualan gas alam
cair (LNG) Tangguh, yang sebelumnya diperuntukkan bagi pembeli di Pantai
Barat Amerika Serikat, untuk "dialihkan" ke Jepang, Korea, dan negara lain,
termasuk untuk kebutuhan dalam negeri. Pengalihan ini dimungkinkan karena
pembangunan terminal di Pantai Barat Amerika lebih cepat daripada kilang
Tangguh (Koran Tempo, 12 Juni 2007). Kesediaan Sempra menerima pengurangan
jumlah yang akan diterimanya diimbangi dengan kompensasi yang akan diberikan
oleh BP Migas. Cuma, belum jelas benar berapa besar kompensasi yang akan
diterima oleh Sempra.

Sebagaimana diketahui, berdasarkan kontrak penjualan jangka panjang,
Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh kontraktor minyak Beyond Petroleum
yang telah ditunjuk oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta BP
Migas selaku operator proyek LNG Tangguh, harus memasok ke Pantai Barat
Amerika 3,7 juta ton LNG per tahun untuk masa 20 tahun dengan harga US$ 5,94
per MMBtu.

Kontrak penjualan jangka panjang LNG Tangguh juga dilakukan dengan Cina 2,6
juta ton per tahun untuk masa 25 tahun dengan harga US$ 3,35/MMBtu. Adapun
kontrak dengan SK Power dan Posco dari Korea berjumlah sekitar 1,2 juta ton
per tahun untuk masa 20 tahun dan dengan harga US$ 3,5/MMBtu.

Dari informasi tersebut, terlihat bahwa seluruh harga jual LNG Tangguh yang
berjumlah 7,5 juta ton untuk masa 20-25 tahun sangatlah murah, karena jauh
berada di bawah harga jual LNG yang wajar, termasuk di bawah harga jual LNG
Badak yang notabene sudah beroperasi lebih dari 30 tahun.

Kontrak ke Fujian merupakan harga yang termurah bila dibanding harga
penjualan ke Pantai Barat Amerika. Meskipun diketahui bahwa harga jual ke
Cina US$ 3,35/MMBtu, sebenarnya itu merupakan harga baru setelah dilakukan
renegosiasi dengan pihak Cina.

Pasalnya, harga sebelum negosiasi US$ 2,67/MMBtu, dengan patokan harga
minyak mentah maksimal US$ 25 per bbls untuk masa 25 tahun. Setelah
negosiasi, patokan harga "berhasil" dinaikkan menjadi US$38/bbls untuk masa
25 tahun. Dengan patokan harga minyak mentah US$ 38/bbls, harga jual LNG
Tangguh tetap tidak wajar mengingat harga minyak mentah saat ini saja sudah
sekitar US$ 70/bbls, apatah lagi untuk masa jauh 25 tahun ke depan. Naif
untuk mengharapkan harga minyak mentah dunia akan stabil pada kisaran US$
38/bbls untuk masa 25 tahun ke depan.

Bahkan harga jual ke Cina ini ternyata masih lebih murah ketimbang harga
jual dalam negeri. Saat ini harga jual dalam negeri US$ 4-5/MMBtu. Untuk
pembangkit listrik di Muara Karang, PLN membeli gas dengan harga US$
4,5/MMBtu.

Di sini terlihat bahwa manajemen gas alam nasional sangatlah buruk, bahkan
berpotensi melanggar konstitusi dan undang-undang. Penjualan LNG Tangguh ke
Cina dengan harga yang tidak wajar dan lebih murah daripada harga jual dalam
negeri mencerminkan bahwa pengelolaan kekayaan lama negara ini belum
ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat
Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.

Selain itu, persetujuan BP Migas atas harga jual yang sangat murah tersebut,
di samping tidak sesuai dengan fakta bahwa Cina pada hakikatnya sangat
membutuhkan gas impor--karena produksi dalam negeri yang sangat kecil,
sedangkan kebutuhannya terus meningkat--hal tersebut berpotensi melanggar UU
yang mengharuskan pengelolaan migas mendatangkan pendapatan negara yang
maksimal.

UU Migas Pasal 44 ayat 2 berbunyi, "Fungsi BP Migas dalam melakukan
pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu agar pengambilan sumber daya alam
migas milik negara dapat memberikan manfaat dan memberikan penerimaan yang
maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".

Ketentuan dalam pasal ini praktis dilanggar dengan alasan yang sangat sumir,
yakni pasar LNG yang lemah. BP Migas dan Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral dengan a-visioner menyetujui penjualan LNG Tangguh ke Cina dengan
formulasi harga jual yang merugikan negara. Kalaupun kondisi pasar LNG pada
saat kontrak ditandatangani betul-betul lemah, sangatlah tidak logis apabila
formulasi harga dipatok mati pada level harga minyak US$ 25/bbls untuk masa
25 tahun.

Sekarang, di tengah gencarnya dua negara "raksasa baru Asia", yakni Cina dan
India, mencari sumber-sumber energi guna menunjang pembangunan ekonomi
mereka serta di tengah kegusaran Jepang karena kontrak pembelian LNG jangka
panjangnya dengan Indonesia akan berakhir dalam waktu yang tidak terlalu
lama lagi, yakni sekitar 2011, BP Migas akan mengalihkan penjualan LNG
Tangguh dari Pantai Barat Amerika ke pasar Jepang dan Korea.

Langkah tersebut dapat menolong keekonomian proyek LNG Tangguh. Sebab, kalau
seluruh produksi LNG Tangguh tetap dijual dengan harga yang sangat murah
sesuai dengan kontrak semula, negara nyaris pasti tidak akan memperoleh
bagian yang wajar, bahkan boleh jadi tidak akan memperoleh bagian jika
prinsip First Trench Petroleum (FTP) tidak diterapkan. FTP adalah bagian (20
persen) dari produksi kotor yang harus diambil terlebih dulu untuk dibagi
sebelum produksi tersebut dipotong untuk cost recovery.

Dengan formulasi harga jual LNG Badak yang tidak membatasi fluktuasi harga
minyak mentah, harga jual saat ini menjadi sekitar US$ 9/MMBtu. Kalau harga
minyak mentah naik menjadi sekitar US$ 70/bbls, harga jual LNG Badak menjadi
sekitar US$ 10/MMBtu. Coba bandingkan dengan harga jual LNG Tangguh ke Cina
yang hanya US$3.35/MMBtu untuk masa 25 tahun, tanpa sedikit pun harga bisa
berubah, meskipun harga minyak mentah suatu saat nanti, misalnya, mencapai
US$ 100/bbls. Harga sekitar US$ 100/bbls untuk masa 25 tahun mendatang
adalah sangat mungkin. Kemungkinan ini seyogianya tidak boleh dibatasi dalam
formulasi harga jual LNG Tangguh.

Tentu negara akan lebih diuntungkan jika seandainya tidak hanya penjualan ke
Pantai Barat Amerika yang dapat "dialihkan". Tapi penjualan ke Fujian Cina
seyogianya juga dapat diusahakan "dialihkan" mengingat harga jual ke Fujian
Cina justru jauh lebih murah daripada ke Pantai Barat Amerika.

Pengalihan penjualan LNG Tangguh dari Cina ke Jepang merupakan salah satu
alternatif agar kekayaan alam milik negara dapat dihargai secara wajar.
Untuk diketahui, Cina, sejak puluhan tahun terakhir ini, laju pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan konsumsi energinya, khususnya minyak dan gas,
sangatlah tinggi. Padahal semua orang mengetahui bahwa produksi migas dalam
negeri Cina jauh di bawah yang dibutuhkan untuk konsumsi dalam negeri.
Dengan demikian, Cina, sejak puluhan tahun terakhir ini, jauh sebelum LNG
Tangguh dijual ke Cina, sangat bergantung pada minyak dan gas impor.

Sebagai contoh, Cina saat ini diketahui sedang berusaha sekuat tenaga untuk
bisa mengalirkan gas dari lapangan gas raksasa Kovykta di Siberia Timur,
yang sebelumnya dikuasai oleh BP, tapi kemudian diambil alih oleh pemerintah
Rusia melalui BUMN Gazprom.

Alternatif lain tentu saja Cina tetap meneruskan membeli LNG Tangguh, tapi
dengan formulasi harga yang wajar. Toh, yang membeli LNG Tangguh di Fujian
adalah CNOOC dan BP, yang keduanya juga merupakan penjual/shareholder dari
proyek LNG Tangguh.

Kalau penjualan LNG Tangguh yang tidak wajar ke Cina ini tidak bisa
dinegosiasikan lagi, sehingga Indonesia harus menerima harga US$ 3,35/MMBtu
untuk masa 25 tahun, sudah seyogianya Presiden mengambil langkah tegas untuk
mengevaluasi proyek LNG Tangguh secara menyeluruh, misalnya dengan membentuk
semacam tim independen. Atau Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengambil
inisiatif membentuk tim khusus guna meneliti "keanehan" dalam penjualan LNG
Tangguh ini.

Sebab, kalau evaluasi diserahkan ke Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral atau BP Migas, dikhawatirkan hasilnya tidak akan obyektif (bias),
mengingat justru mereka inilah yang menyetujui LNG Tangguh dijual murah ke
Cina.

Manajemen pengelolaan gas milik negara saat ini, yang berada di bawah
Undang-Undang Migas, sangat buruk. Di satu sisi, kekayaan gas milik negara
direncanakan dan direkayasa untuk dijual murah ke Cina dengan argumentasi
yang sangat lemah, di sisi lain industri dalam negeri berteriak kekurangan
gas. Bahkan pembeli LNG di Jepang yang sudah terbukti selama 30 tahun
membeli LNG Indonesia dengan harga yang sangat bagus kini sedang
mengharapkan tambahan LNG dari Indonesia.

Akhirnya, marilah kita serahkan kepada Presiden dan DPR, apakah penjualan
kekayaan alam milik negara dengan harga murah untuk masa 25 tahun mendatang
yang berpotensi melabrak konstitusi dan undang-undang ini akan dibiarkan
terus ataukah perlu segera ada langkah-langkah konkret untuk mengakhiri
ketidakwajaran ini? Mari kita tunggu.

Dr Kurtubi, PENGAJAR PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS
INDONESIA

Kirim email ke