Terima kasih Pak Kabul atas jawabannya.

Saya pribadi yang masih tergolong pendatang baru di industri kebumian
(angkatan 90-an) melihat predikat "rahasia" itu (data-data geologi,
sumberdaya migas, mineral, batubara, dll) adalah stigmatisasi peninggalan
pemerintahan Orba dulu yang militeristik sehingga apa-apa yg bisa
mempengaruhi "stabilitas nasional" seketika dianggap sebagai barang rahasia.
Celakanya, dulu cuma segelintir pihak yang boleh bikin stempel rahasia ini
dan menggunakannya, sementara masyarakat umum dianggap bodoh atau tidak
layak tahu, ataupun kalau nanti tahu, bisa mengganggu stabilitas dan
pembangunan nasional katanya. Tentu saja saya setuju jika data-data
eksplorasi geologi milik perusahaan yang masih memegang hak pengusahaan atas
suatu wilayah harus bersifat rahasia, namun tentu tidak bisa dipukulrata
terhadap semua data-data geologi umum terbitan pemerintah (yang notabene
dibiayai oleh negara) atau data eksplorasi terdahulu pada daerah yang sudah
kadaluarsa hak pengusahaannya. Ini sekedar uneg-uneg saja.

Maaf sedikit melenceng dari subjek. Jika bahan radioaktif ini takut
disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, tentu kini pemerintah
harus ekstra hati-hati atas penggunaan Caesium-137 misalnya yang banyak
dipakai oleh kalangan industri karena bisa dipakai sebagai bahan pembuat
dirty bomb. Saya tidak yakin pabrik-pabrik yg menggunakan bahan radioaktif
ini utk pengukur densitas/levelling misalnya, memiliki prosedur pengamanan
khusus agar tidak ada orang yang mencurinya.
Kasus pencurian dan penyelundupan batangan uranium dari reaktor penelitian
(bukan dari tambang) yang terakhir seingat saya terjadi di Kongo. Maaf jika
sudah tahu, bom atom yg dijatuhkan Amerika di Hiroshima dan Nagasaki tahun
1945 itu bahan radioaktifnya didatangkan dari tambang uranium di Katanga,
Kongo. Pemerintah Amerika lalu "menghadiahi" negeri eks jajahan Belgia yang
kaya sumberdaya mineral ini dengan fasilitas pusat penelitian atom di kampus
universitas untuk tujuan penelitian pada tahun 1958. Pemerintah Kongo bulan
Maret lalu katanya berhasil menangkap pelaku-pelakunya dan masih menyelidiki
sindikat perdagangan uranium ini.
Di Australia, beberapa bulan yang lalu juga diberitakan tentang adanya
pencurian 1 toples (jar) sampel yellow-cake dari salah satu lokasi
eksplorasi uranium, namun barang ini kemudian berhasil diketemukan dan
diamankan polisi.

Kembali ke subjek, membaca berita bahwa Australia bersedia memasok uranium
untuk pembangkit listrik tenaga nuklir Indonesia, sepertinya lebih punya
nuansa politis ketimbang teknis dan/atau ekonomis. Masalahnya setahu saya
Australia, meski 40% cadangan uranium dunia terpendam di negeri ini, tidak
punya satupun fasilitas pengayaan uranium komersial. Saya bukan
metallurgist, tapi setahu saya, yellow-cake (U-235 0.7%) hasil penambangan
uranium tentu harus diproses lanjut agar memiliki kadar 2-4% U-235 utk bahan
bakar reaktor. Sedang untuk hulu ledak nuklir katanya mesti diperkaya lagi
hingga kadarnya 90%, mohon dikoreksi kalau salah.
Lalu kalau tidak salah, cuma ada 6 fasilitas pengayaan uranium komersial di
dunia ini yang terdaftar pada Badan Atom Internasional (IAEA), yakni: CNNC
(Cina), Eurodif (Belgia, Perancis, Italia, Spanyol), Minatom (Rusia), JNFL
(Jepang), Urenco (Belanda, Jerman, Inggris) dan USEC (Amerika Serikat). Jadi
kalau Australia ingin memasok uranium ke Indonesia saya kira tentu tidak
serta merta bisa dipakai sebagai bahan bakar reaktor sebelum diperkaya di
salah satu fasilitas ini. Saya tidak tahu apakah negeri kita sudah bisa
memperkaya uranium sendiri di pusat-pusat penelitian atom yang dimiliki
pemerintah, ini tentu porsi teman-teman yang bekerja di BATAN untuk membantu
menjawabnya.

Pendapat saya, meskipun tidak punya tambang dgn sumberdaya/cadangan uranium
yang signifikan, tentu saja Indonesia sebagai salah satu negara
penandatangan Non-Poliferation Treaty (NPT) tetap bisa membangun pembangkit
listrik tenaga nuklirnya sendiri dengan cara membeli bahan bakarnya dari
fasilitas-fasilitas pengayaan komersial di atas. Korea Selatan, Mexico,
Swedia, dll adalah contohnya.

Saya sertakan tautan ke UIC - Australian Uranium
Association<http://www.uic.com.au>dimana bisa dibaca informasi
mengenai serba-serbi uranium dan tenaga nuklir.
Semoga bermanfaat.

Salam,
Noel


On 09/07/07, Kabul Ahmad <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

 Mas Noel, saya juga nggak tahu kenapa....
Kalau masih propspek dan potensi saja, belum sampai exploitasi ya memang
agak tertutup sifatnya, demikian juga migas khan ? Data G&G Oil & Gas jika
belum exploitasi masih rahasia juga. Batan lah yang berwenang untuk ini,
apakah sudah di publikasikan atau tidak kepada masyarakat ? Atau Direktorat
Geologi Pertambangan ??
Ingat juga waktu di Indonesia Timur tahun 90an saya harus bersumpah untuk
merahasiakan hasil temuan explorasi migas...wah ! Segitu gawat kah ? Saya
sendiri juga nggak ngerti.....Demikian pula Uranium....adakah publikasi
tambang ini secara terbuka di koran atau masyarakat ahli ? Dimana, nilainya,
dsb....Kalau ada semacam apa ? apakah rakyat umum sudah tahu ? Mungkin saya
salah, karena lebih sering ke migas, bukan tambang mineral.
Uranium yang berpotensi sebagai bahan radioaktif jika jatuh ke tangan
orang-orang tak bertanggung jawab dan tidak tahu, lalu apa jadinya ? Gitu
kira-kira....yang "lain" itu mas.
Nanti jika sudah jadi exploitasi, tentunya sudah diketahui umum...ya
seperti di Ranger Australia itu, cuma ya security nya tingkat tinggi....toh
masih tertutup buat umum juga untuk memasuki area tambang...artinya
ya.."rahasia" juga.
Saya sih bukan ahli keamanan negara atau keamanan bahan berbahaya....hanya
menduga saja. Bukan pula ahli tambang. Selain uranium, juga ada bahan lain
yang bersifat radioaktif...jika sudah diperkaya..
Berbeda dengan batubara, emas, perak, bauxite, nikel dsb,  buku-buku
Sekolah dasar dan SMP sudah bisa menyebut persis dimananya, berapanya dan
apanya. Lha uranium ? pernah dengar dimana ? berapa ? apa ? Kabar-kabar yll
adalah di Sintang, di Melawi Kalimantan, di Timor di Madura dsb,...tapi
sebatas berita, belum ada explorasi yang serius...mungkin Batan sudah bisa
memberitakan ? Atau BPPT, LIPI, IAEA ? Yang sering muncul adalah paper
tentang aplikasi teknologi nuklir di Indonesia. Berita tentang tambang itu
sendiri masih samar-samar, bahkan Dinas Pertambangan Provinsi terkait juga
"nggak tahu menahu"....
Saya nggak tahu...
Makanya kemungkinan besar Indonesia akan import dari Australia yang
nyata-nyata ada dan gedhe banget cadangannya....jika PLTN jadi dibangun.
Sorry, saya bukan ahli tambang atau nuklir....cuma pengamat
amatiran...hehe. Kang Rovicky mungkin lebih tahu...wong sudah ngasih
perintah HARUS secepatnya menginvetarisir cadangan uranium...Nah Lho !

----- Original Message -----
 *From:* Noel Pranoto <[EMAIL PROTECTED]>
*To:* iagi-net@iagi.or.id
*Sent:* Monday, July 09, 2007 2:19 PM
*Subject:* Re: [iagi-net-l] ASIA is increasingly going NUKLIR

Pak Kabul,
Kalau boleh saya tahu mengapa harus dirahasiakan? Mengapa di negara-negara
lain tidak tergolong rahasia, kira-kira apanya yang "lain" di negara kita
sehingga harus dirahasiakan?

Salam,
Noel




On 08/07/07, Kabul Ahmad <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>  Statusnya ?
>
> Berhubung uranium ini sifatnya adalah radioaktif, apalagi kalu sudah
> dilakukan pengayaan menjadi plutonium, ini bahan yang amat strategis, ultra
> vital dan "super bahaya", tentunya temuan tambang baik masih dugaan, maupun
> terbukti akan bersifat sangat rahasia. Dimana tempatnya di Indonesia kita
> juga belum ada litelatur yang buka-buka-an tentang ini. Aneka Tambang pun
> belum memplubikasikannya secara terbuka kepada umum, walau ada berita bahwa
> potensi - disebut sebagai prospek -  uranium Indonesia cukup besar yang bisa
> berasosiasi dengan bauxite, aluminium, atau emas ( ? ). Inco di Sorowako,
> Newmont atau Freeport hanya menyebut prospek. Aneka Tambang yang di Sumut,
> demikian juga bahwa pernah ada berita temuan "potensi" uranium di Sintang
> oleh Batan, tapi kelanjutan penilaian kandungannya belum ada berita lebih
> lanjut. Jikapun bernilai, tentunya juga agak bersifat rahasia agar
> keamanannya terjaga. Prospek yang pernah disebut-sebut  di Timor ( juga
> Timor Leste ) hingga sekarang tak ada kabar beritanya.( atau Batan belum
> perlu publikasi ?? ).
> Kalau di Australia ( 35% Uranium dunia dihasilkan dari negara benua ini
> ) memang sudah terbukti di Ranger, yang katanya mau dijual ke Indonesia jika
> PLTN Muria jadi dibangun, juga dari Africa, Rusia maupun di Amerika sendiri
> sisanya.
>
> Saya pernah diklat di Batan Pasar Jum'at dan Serpong, saya pikir nuklir
> kita aman dan ke depan energy nuklir gak bisa terlelakkan lagi di saat si
> emas hitam ini berangsur habis. Ini energy luar biasa bila digunakan untuk
> tujuan damai. Listrik, dll ! Toh saat ini kita sudah sehari-hari memakai
> sumber radiokatif, enggak terasa khan ?
> Masalahnya emang pendidikan rakyat kita yang ketinggalan, sehingga
> sosialisasi energi alternatif ini agak tersendat dan mendapat tentangan.
> Wong busway dan banjir kanal timur aja ditentang rakyat......apalagi PLTN.
> Emang kita masih jaauuuuuuuuuhhhhh...setengah primitif ngkali ?? Setengah
> penduduk Papua masih berkoteka...hehehhe ( eh kok jadi nglantur ke
> koteka.....hahaha )
>
> ----- Original Message -----
>  *From:* Ismail Zaini <[EMAIL PROTECTED]>
> *To:* iagi-net@iagi.or.id
>  *Sent:* Monday, July 09, 2007 10:53 AM
> *Subject:* Re: [iagi-net-l] ASIA is increasingly going NUKLIR
>
> Uranium di kita itu statusnya apa ya , apakah baru Kelas Sumberdaya atau
> sudah  Cadangan ( cadangan mungkin , cadangan terbukti ) , biasanya untuk
> menhitung / membuat detail desain suatu pembangkit itu diperlukan cadangan
> terbukti dari suatu sumber energi primernya.
> Sebetulnya banyak lho geologist geologist yang ada di Batan ( terutama
> dimasa lalu / thn 70 an / 80 an ) yng ikut aktif survey survey uranium waktu
> itu , bahkan beberapa sekarang sudah pada pensiun, mestinya laporannya sudah
> komplit , mungkin karena waktu itu Nuklir belum ramai jadinya tidak
> diperhatikan, sama waktu laporan ttg lokasi PLTN di jepara itu  di publish
> tahun 90 an Tidak ada yang mengompentari padahal sudah ada juga studi ttg
> geologinya ( kegempaan ). Kalau tidak salah studi tapak untuk menetukan
> Lokasi PLTN di Jepara ini ( terutama dari segi geologi/kegempaan ) dilakukan
> oleh konsultan Jepang bekerja sama dg pakar /konsultan Indonesia pada tahun
> 1990 an . Kalau seandanya pembangunan PLTN ini "mulus" mungkin saat ini
> listriknya sudah nyala., cuma tidak tahu dampak dampak lainnya yang akan
> timbul , apalagi dg gempa Jogya dulu  .apakah mempengaruhi PLTN kalau
> seandainya sudah dibangun. ( atau jangan jangan kalau PLTN nya sudah
> dibangun ,  Ndilalahe  pas ada kebocoran pada waktu hampir bersaman dg gempa
> Jogya , akan terjadi debat panjang seperti halnya peristiwa Lusi  untuk cari
> sebab musebabnya )
> Mungkin dimasa datang permasalahan pergeologian ( non Oil & gas ) yang
> akan banyak mendapatkan perhatian publik banyak perlu ditampilkan/diberi
> porsi labih banyak lagi ( misalnya di arena PIT atau yang lain )
>
> ISM
>
>
> ISM
>
> ----- Original Message -----
>  *From:* Rovicky Dwi Putrohari <[EMAIL PROTECTED]>
> *To:* iagi-net@iagi.or.id
> *Sent:* Sunday, July 08, 2007 12:30 AM
> *Subject:* Re: [iagi-net-l] Asia is increasingly going nuclear
>
> Razi,
> Saya rasa Indonesia HARUS memulai menginventarisasi cadangan uraniumnya,
> secepatnya. Angka 10 tahun yng anda sitir barangkali dari perkataan Pak
> Menteri beberapa waktu lalu. Angka durasi 10 tahun ini harus lebih spesifik
> lagi yang seharusnya cadangan uraniumnya 24 ribu ton, cukup untuk
> mengenerate 10 tahun seandainya digunakan untuk PLTN sebesar 3GW. Sedangkan
> PLTN yang direncanakan di Muria hanya 1 GW, ya jadinya bisa 30 tahun kalau,
> seandainya utk 1GW saja. (sumber KEN-Kebijakan Energi Nasional).
> Catatan tambahan dalam KEN adalah hanya utk KALBAR saja. Kita harus
> memulai eksplorasi (inventarisasi) berapa jumlah uranium di seluruh
> Indonesia.
> Bagaimana dengan Indonesia Timur ? Mungkin kawan2 dari pertambangan bisa
> memberikan masukan dimana dan berapa kira-kira estimasi (cadangan
> spekulatif) yang bisa kita peroleh di Indonesia Timur dll ?.
>
> Walaupun sekarang hanya 24Ribu Ton uranium saja, tap saya yakin dalam 50
> tahun kedepan cadangannya akan meningkat seperti cadangan migas yang  tahun
> 70 an dulu sudah diperkirakan habis tahun 90-an. Namun kenyataannya kita
> masih memiliki cadangan migas perolehan baru..
>
> rdp
>
> On 7/8/07, M Fakhrur Razi <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> >   australia katanya sudah siap untuk bantu pasok uranium untuk
> > indonesia dan agreement sudah dibuat tahun 2006. Jadi masalah dengan
> > cadangan uranium kita yang hanya 10 tahun sudah terjawab dong ya, tapi
> > industri strategis seperti ini kalo sangat tergantung dengan negara lain
> > bisa gawat juga ya?
> >
> >  Asia is increasingly going 
nuclear<http://www.gulfnews.com/opinion/columns/world/10137620.html>
> > Gulf News - Dubai,United Arab Emirates
> >
> > Asia is increasingly going nuclear
> >
> > By Abdullah Al Madani, Special to Gulf News
> > Published: July 08, 2007, 00:23
> >
> > In his recent survey, Professor Purnendra Jain, head of Asian Studies
> > at Australia's Adelaide University, holds that many Asian countries are
> > currently competing for nuclear status in a way not seen since the 1970s. He
> > supports his conclusion by reports suggesting that 17 of the 28 nuclear
> > power plants under construction around the world are in Asia.
> >
> > This is true. In addition to Asia's two giants, India and China, which
> > are enhancing their nuclear-power generation capabilities, almost all other
> > Asian states are either on the way to going nuclear or expressing their
> > intention to have civilian nuclear programmes.
> >
> > Vietnam, for example, has already decided to install two nuclear
> > reactors in the coming decade. Thailand is said to be conducting research
> > for nuclear power with the apparent aim of having a plant operational by
> > 2020. Malaysia has hinted that it might consider the nuclear-energy option
> > in the near future. The South Korean government has already announced its
> > decision to increase the number of nuclear power plants in the country. And
> > Japan, the world's third largest home to such plants after the United States
> > and France, seems to be ready to increase its dependency on power generation
> > from nuclear sources from the current 30 per cent to 40 per cent in the next
> > 10 years.
> >
> > The Japanese, however, are very careful in this regard, something that
> > can be attributed to their fear of nuclear accidents similar to the one in
> > their Tokaimura plant in 1999.
> >
> > On the other hand, the Hong Kong authorities are under immense
> > pressure to go nuclear by establishing their own nuclear power plants or
> > benefiting from those across the border in mainland China.
> >
> > This is aimed at improving the island's rapidly deteriorating air
> > quality, caused by its long reliance on fossil fuel for electricity on the
> > one hand and industrial pollution from mainland China on the other. As
> > Professor Jain correctly puts it, Hong Kong may lose its business to other
> > Asian countries if this environmental problem is not quickly dealt with.
> >
> > *Enough uranium available*
> >
> > Focusing on the reasons behind this new nuclear race in the Far East,
> > one can list numerous driving factors, including the rapidly growing demand
> > for power due to economic and industrial expansion and the improvement of
> > living standards; high oil prices in recent years; rising competition for
> > natural resources; the danger of over-reliance on imported oil and gas for
> > energy needs from the troubled Middle East; and pressure to use more
> > environmentally-friendly energy.
> >
> > Moreover, there is now enough uranium available to commence nuclear
> > programmes and, unlike fossil fuel, it is cheap. According to a report
> > published in 2005 by the Organisation for Economic Cooperation and
> > Development, production of uranium recorded significant increases between
> > 2003 and 2005 with 19 countries mining it, particularly Australia,
> > Kazakhstan and Namibia.
> >
> > The aforementioned justifications for going nuclear, however, have
> > been met with severe criticism and opposition from various local
> > organisations and political forces, despite the increasing support for
> > cleaner and greener power-generation options. Their argument often
> > concentrates on the high costs and risks associated with nuclear power,
> > citing the disastrous consequences of the 1979 accident at Three Mile Island
> > in the US and the 1986 Chernobyl explosion in the former Soviet Union. It
> > also concentrates on the difficulty of ensuring that nuclear technology once
> > obtained will not be used for purposes other than civilian.
> >
> > Perhaps the case of Indonesia is the best example of the ongoing
> > debate between pro and anti-nuclear option forces in Asia.
> >
> > Having received a nod from the International Atomic Energy Agency for
> > its civilian nuclear programmes, Indonesia is planning to start building its
> > first nuclear power plant by 2010 and four other such plants by 2017 with
> > the aim of producing at least 17 per cent of the country's power demand from
> > untraditional sources. It is reported that South Korea has already agreed to
> > help Indonesia build these plants and provide fissile material and
> > technology. It is also reported that Australia, the holder of 40 per cent of
> > world uranium deposits and the second-largest supplier of this commodity
> > after Canada, has expressed its readiness to cooperate with Indonesia in
> > this field under the 2006 bilateral security agreement.
> >
> > While Jakarta maintains that its going nuclear policy is significantly
> > important to ensure a steady supply power for more than 220 million people,
> > overcome power-generation crises in the country's most populous island of
> > Java, meet the potential threat of inadequate supplies of coal and natural
> > gas, and protect the environment from harmful pollution caused by the
> > massive use of fossil fuels, many individuals and groups including
> > legislators hold a different opinion.
> >
> > They argue that nuclear power plants are expensive and that they will
> > be funded at the expense of money allocated for promoting education, health
> > and housing. They also argue that Indonesia's knowledge base in the nuclear
> > field is extremely low. Their main concern, however, is about the risks
> > associated with nuclear power such as radioactive waste, leak or accident,
> > especially with fundamental Muslim groups targeting vital civilian
> > installations and the country being prone to natural disasters including
> > earthquakes and floods.
> >
> >
> >
>
>
>
> --
> http://rovicky.wordpress.com/
>
>

Kirim email ke