Lagi-lagi sebuah tulisan di Pikiran Rakyat (lihat dibawah sana) yang bikin
jari-jari gatel untuk menanggapi :)

Buat aku sih simple saja, gunakan teorinya orang mining dalam mencari emas
... gunakan "trace element" !

Sebagai seorang pengguna produk sekolahan (lulusan) maka aku masih
menggunakan IPK dalam memilih pegawai. Tentusaja asumsinya IPK (Indeks
prestasi komulatif) "berkorelasi positip" dengan kesuksesan saya tetep akan
menggunakan IPK sebagai parameter untuk seleksi. Walaupun kadangkala nilai
koefisien korelasinya rendah, tetapi secara praktis lebih ada ukuran yang
lebih general. Karena softskill (yang mnurut tulisan dibawah) isinya salah
satunya kesopanan itu tidak terukur dengan mudah.
Mirip pemanfaatan mineral petunjuk (trace element) dalam teori geostatistik
di pertambangan. IPK hanyalah "trace element" yang akan menunjukkan lokasi
dimana (mungkin) akan dijumpai "precious metal (gold)". Misalnya mencari
emas ya cari saja trace-trace element untuk mencari emas. Trace element ini
lebih mudah diukur, lebih murah biayanya dan dapat dilakukan dalam sampel
yang buanyak.

Apakah trace element (untuk emas) selalu benar menunjukkan dimana ada emas ?
jelas tidak ! Tapi cara itu merupakan cara praktis yang mudah di audit dan
dievaluasi untuk proses selanjutnya. Jelas harus diingat IPK ini salah satu
parameter paling mudah "terukur", mudah diperoleh (sudah tersedia) dan
diketahui faktor relasinya dengan kemampuan seseorang.

Pehatikan yg dibawah ini :
Quote - Perolehan IPK tinggi mulai diragukan oleh banyak
kalangan. Dampaknya, konsumen cenderung tidak terlalu
bersemangat merekrut alumni PT yang IPK-nya terlalu
tinggi. -- end quote

Kalau hal ini terjadi yang keliru adalah yang mengeluarkan IPK. Hasil
(angka) IPK semestinya mencerminkan kemampuan "Cognitive" lulusan. Jadi,
para pengajar (dosen) mesti pinter memberikan nilai atau mengukur kemampuan
muridnya, sehingga IPK menjadi lebih bermakna. Jangan menyalahkan banyaknya
kalangan (misal rekruiter) yang salah telah menggunakan IPK dalam
seleksinya. Lah kalau institusi pendidikannya ngga memberikan rangking
lulusannya siapa lagi yang mesti melakukan ?

Mnurutku tulisan ini justru ditujukan (menjadi tantangan) buat institusi
pendidikan supaya mampu memberikan IPK yang bener-bener mencerminkan
kemampuan lulusannya. Bukan sekedar angka yang dicantumkan dalam kalung
leher alumninya tanpa makna.

Barangkali ada beberapa softskill (affective +behavioral) yang dapat
dimasukkan (ditempelkan) dalam memberikan nilai yang berdampak pada IPK,
misalnya
- Salah satu test dilakukan dengan membuat program komputer atau
memanfaatkan komputer (untuk menguji kemampuan komputer)
- Test (ujian) dengan cara dipresentasikan (menguji kecakapan komunikasi)
- Tugas (ujian) dilakukan dalam kelompok (menguji kemampuan
berorganisasi/teamwork).
- dll

Orang tua masih menggunakan IPK untuk melihat kemajuan studi anaknya.
Rekruiter masih mensyaratkan IPK dalam mencari pegawai baru. Jadi pak Asep
(penulis artikel ini) juga kawan pendidik jangan salahkan kalangan
masyarakat pengguna IPK kalau IPK tidak berarti. Justru saya berpikiran
terbalik, tugas dan tantangan institusi pendidikan yang semestinya
menjadikan IPK lebih berarti supaya ada gunanya. Saya sendiri tidak tahu apa
tolok ukur kemajuan proses pembelajaran ("learning process") di universitas
/ institusi pendidikan. Saya yakin IPK menjadi salah satu parameter utk
melihat kemajuan-kemunduran proses pembelajaran.

Sebagai dasar uraian diatas aku tampilkan sedikit hasil baca-baca ttg
pendidikan ksds (kalau salah dikoreksi saja). Dalam ilmu pendidikan yg
pernah saya baca paling tidak ada 3+1 faktor utama kemampuan manusia...
Cognitive, Affective, dan Behavioral (kadang ditambah Brain sebagai
fisik-nya). IPK memang mungkin hanya mengukur Cognitive saja, namun bisa
saja ada faktor afektif yang masuk didalamnya. Sedangkan behavioral
(perilaku) ini merupakan faktor yang akan juga mempengaruhi tingkat
kesuksesan sesorang, hanya saja tidak ada atau sangat sulit mengukurnya. Ke
3+1 faktor ini akan saling mempengaruhi, semuanya

Mudahnya pakai conto begini saja, bagaimana mengukur kesopanan dan
keberanian mengeluarkan pendapat. Satu sisi diperlukan pendorong dilain sisi
diperlukan penahan. Keduanya memang bisa complimentary, tapi ketika masuk
dalam sebuah community bisa-bisa malah dibaca kontradiksi.

MM dan MP

Saya pernah merasakan jadi MM (Mahasiswa Muda) ketika kuliah di Geologi UGM,
dan juga pernah merasakan sebagai MP (Mahasiswa Pegawai) ketika sambil kerja
ikutan kuliah lagi di Geofisika UI. Keduanya memiliki aspek pembelajaran
tersendiri. Namun saya masih banyak menghargai MM yang dengan "culun"nya
mengerjakan ketelitian angka hingga 0,000001 centimeter untuk menentukan
posisi atau lokasi sebuah sumur migas. Penting buat mereka ketelitian ini,
walaupun sakjane "in the real world" tidak dipakai tapi bagi MM masa-masa
itu perlu dilewati. menjadi MPpun jelas sangat berat saya rasakan. Bagaimana
pulang kantor harus mengerjakan PeeR yang isinya teori-teori yang barangkali
sangat sedikit saya pakai nantinya di kantor. tapi proses pembelajan ini
menjadikan MP untuk selalu berpikir berdasar logika, berdasar pemikiran
teoritis dan ilmiah. Bekerja secara real bukan hanya mengandalkan "rasa"
atau intuisi saja. Pekerjaan saya menuntut saya yang harus dipertahankan
nilai ilmiahnya juga.

Ijazah (gelar kesarjanaan) mungkin tidak berarti ketika bekerja, tetapi
selama proses mendapatkan ijazah inipun sudah cukup banyak membekali anak
didik (mahasiswa) ketika bekerja nantinya. Ijazah memang hanya sebagai bukti
pencapaian, apapun proses yang dilaluinya. Mental "njujug" (jalan pintas)
mendapatkan nilai ataupun ijazah ini memang menganggu. Seperti yang Pak Asep
tuliskan bahkan dikomersialisasikan, ini memang memprihatinkan.

IPK masih penting untuk mahasiswa

Jadi saran bagi mahasiswa ygmasih aktif di kampus ... kejarlah IPK tinggi
karena IPK itu merupakan password (keyword) yang akan membuka pintu karier.
Namun setelah berada didalam ruang kerja, IPK (kunci) itu memang mungkin
tidak terpakai lagi, kau harus menggunakan softskill itu. Itu hanyalah "rule
of the game .... nothing more".

RDP
"seorang bapak saya masih bangga punya anak IPK tinggi tapi juga juwara
lomba band di fakultas"

On 7/18/07, Yudi Rahayudin <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

FYI
Artikel yang bagus dari koran Pikiran Rakyat..moga2
bermanfaat

Salam

Yudi


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/18/0901.htm

IPK vs "Soft Skill"
Oleh ASEP SUMARYANA

"SOFT skill" mendadak sohor. Sebuah penelitian dari
National Association of College and Employee (NACE)
2002 menempatkan indeks prestasi kumulatif (IPK) di
perguruan tinggi (PT) pada urutan ke-17. IPK kalah
oleh kemampuan komputer, kemampuan berorganisasi,
kepemimpinan, kepercayaan diri, ramah, sopan, dan
bijaksana. Namun kemampuan komunikasi, bekerja sama,
interpersonal, etika, inisiatif, adaptasi, dan
analitik lebih penting daripada komputer. Bisa jadi
ada keraguan bahwa IPK tinggi adalah bagus, demikian
sebaliknya.

Perolehan IPK tinggi mulai diragukan oleh banyak
kalangan. Dampaknya, konsumen cenderung tidak terlalu
bersemangat merekrut alumni PT yang IPK-nya terlalu
tinggi. Bisa jadi IPK malah menyulitkan dalam setiap
penyelesaian pekerjaan lantaran egoisme diri tiap-tiap
individu terlalu tinggi sehingga mengabaikan kerja
sama dengan orang lain yang menjadi mitranya. Tentu
hal ini akan merugikan konsumen sebagai lembaga
sehingga produktivitas menjadi terganggu. Konsumen pun
pindah mencari figur yang dipandangnya mampu
mempertinggi produktivitas dan kemampuan team work
sebagai primadona baru seperti halnya soft skill.

Dalam dunia publik, posisi kesarjanaan menjadi penting
untuk karier para pejabatnya. Fenomena tersebut
didorong pula dengan persyaratan untuk menempati pos
lebih tinggi dengan gelar kesarjanaan mulai dari
strata 1 sampai strata 3. Bagi kalangan ini, soft
skill bukan hal yang asing termasuk berhadapan dengan
para pengajarnya. Dampak paling dekat, bisa jadi
kemampuan memperoleh IPK bagus bagi sebagian orang
cenderung disebabkan oleh soft skill-nya.

Kalangan mahasiswa muda (MM) sering kalah oleh
kalangan mahasiswa pegawai (MP) kendati kalangan
terakhir agak sulit membagi waktu kuliah dengan
bekerjanya. Bisa saja MP yang pejabat lebih diramahi
dosennya karena posisi publiknya. Tetapi tidak bisa MM
mengimitasi yang MP. Bagi MP kuliah dan lulus menjadi
persyaratan administratif untuk kariernya, sementara
bagi MM menjadi bekal hidupnya kelak dalam menjalani
hidup dan kehidupannya.

Dampak image bisa ke motivasi kuliah. Kejaran terhadap
nilai dan cepat lulus sering kali membuat MM lupa
bahwa ilmu dan wawasan menjadi lebih penting daripada
sekadar nilai tinggi. Cum laude mestinya ditafsirkan
sebagai penguasaan wawasan dan kekayaan sosial pun
menjadi paripurna. Kecenderungan konsumen mencari
pemilik soft skill mestinya mendorong MM menjadi
mahasiswa aktivis. Namun perlu dihindari kepercayaan
diri yang terlampau tinggi ketika menjadi aktivis
sehingga mengabaikan lingkungan sekitar. Pengabaian
ini bisa menciptakan stigma buruk sebagai mahasiswa
yang sombong dan meremehkan orang lain.

Pemupukan soft skill tentu melibatkan lembaga terkait
selevel Pembantu Rektor III, Pembantu Dekan III
ataupun Jurusan/Program Studi. Pembinaan dilakukan
supaya soft skill tidak melenceng menjadi kesombongan
pihak yang merasa memilikinya. Keterlibatan aktif
pembina, akan menyemarakkan kegiatan kemahasiswaan.
Tidak lagi terjadi mahasiswa aktif ketika penerimaan
mahasiswa baru dan musim ospek saja, sementara dalam
waktu yang lebih panjang paceklik dari kegiatan
kemahasiswaan. Mungkin tidak lagi terjadi organisasi
kemahasiswaan semacam HIMA, BEM, dan Senat sepi
peminat yang berdampak sepi pula kegiatannya.

Soft skill memang tidak ditentukan oleh prestasi
akademik (misalnya lulus cum laude) atau masa studi
singkat, seperti dikemukakan oleh Prof. Chaedar,
tetapi lebih dipengaruhi oleh sifat-sifat
kepemimpinan, kreativitas, kerapian tampilan, dan
kecerdasan sosial. Oleh sebab itu, beliau memandang
program BEM dan UKM menjadi program pemberdayaan
kapasitas sehingga disampaikannya tujuh prinsip yang
dapat dilakukan, mulai dari peningkatan kemampuan
kolektif, demokratisasi pengetahuan, keberpihakan pada
lingkungan masyarakat, perubahan pola pikir, komitmen
tanpa paksaan, sebagai subjek kegiatan, dan integrasi
hasil program dan kegiatan nyata ("PR", 15/05/07).

Asal Bapak(nya) Senang

Kemampuan menguliahkan anak ke PT tampaknya menjadi
ukuran status sosial kiwari. Memiliki anak kuliahan
cenderung lebih tinggi statusnya dibandingkan dengan
orang tua yang hanya mampu menyekolahkan sampai SLTA.
Demikian halnya kemampuan orang tua memiliki anak di
fakultas favorit lebih bangga ketimbang di fakultas
pasaran. Dampaknya sering kali orangtua menghendaki
anaknya agar kuliah di fakultas yang favorit.
Pandangan ini berkembang demikian luas ketika fenomena
sarjana mampu merebut pasaran kerja terus berkembang.
Dampaknya yang perlu dipikirkan adalah kecenderungan
anak kuliah demi memenuhi keinginan orang tua tanpa
mempertimbangkan potensi diri dan minat-bakatnya.

Posisi runding anak yang menjadi mahasiswa dengan
orang tuanya bisa menjadi tinggi ketika anak menjadi
kebanggaan orang tuanya. Untuk meraih nilai bagus bisa
tidak harus cerdas dengan kehadiran semester pendek
(SP) yang diplesetkan dengan semester pengampunan.
Dosen menjadi gamang untuk memberikan nilai buruk
dalam SP.

Dengan vakasi dan honorarium yang lebih tinggi, seakan
SP menjadi lebih menarik untuk dipertahankan oleh
sebagian komponen dosen. Kendati namanya berganti
menjadi semester alih tahun (SAT), image-nya masih
seperti yang dulu. Tentu saja hal ini memberikan
stigma yang kurang baik bagi dunia pendidikan tinggi
sehingga tidak sedikit kalangan berpendapat bahwa SP
ataupun SAT menjadi hama pendidikan.

Mungkin SAT dapat dimanfaatkan oleh oknum mahasiswa
ataupun oknum dosen untuk meraih untung beliung. Bisa
saja ada mahasiswa meminta uang lebih besar ketimbang
biaya SKS dalam SAT. Atau dapat terjadi oknum dosen
memperketat nilai di semester reguler untuk digiring
ke SAT. Dampaknya permainan akademik yang berbuntut
uang akan beranak pinak. Bila dibiarkan, kondisi ini
menjadi benih kebusukan di kemudian hari.
Komersialisasi pada dunia pekerjaan publik dapat
berhubungan dengan proses belajar di dunia pendidikan.
Kehidupan sosial yang bertumpu pada kegiatan
kelembagaan mahasiswa bisa berkurang, tergantikan
kehidupan yang lebih bernuansa uang.

Perubahan pola pikir

Perubahan ini dilakukan dengan beberapa hal.

Pertama, mengubah pandangan asal bapaknya senang.
Bakat dan minat anak berbeda sehingga tidak bisa
didorong untuk memenuhi prestise orang tua. Menghargai
kreativitas dan kecerdasan adalah kebutuhan yang perlu
dibangun secara kontinu. Mungkin saja ini akan menjadi
seleksi alam untuk membangun kelompok manusia mandiri
dan produktif. Ke depan perlu banyak variasi dan
keseimbangan antara pelaku kerja yang berhubungan
dengan orang serta yang tidak. Bisa jadi yang tidak
berhubungan dengan orang tidak membutuhkan soft skill
seperti laiknya pekerja yang selalu berhadapan dengan
orang.

Kedua, penghargaan terhadap material dapat menyebabkan
orang silau dan kabobodo tenjo kasamaran tingal. Soft
skill "katak" terbangun dalam komunitas seperti itu.
Menghargai prestasi dan kesederhanaan perlu
dikedepankan. Orang tidak dihormati lantaran mobil
bagus dan rumah mewah, tetapi dari kesalehan
sosialnya, tepo saliro, sareundeuk saigel sabobot
sapihanean. Bisa jadi kemewahan diperoleh melalui
kemurtadan sosial, urang seubeuh batur riweuh. Hidup
sebagai makhluk sosial yang membutuhkan lingkungan
perlu terus dipompakan dalam setiap nafas agar tidak
melupakan tetangga, baraya dan yang malarat.

Ketiga, meminimalisasi komersialisasi pendidikan.
Tokoh pendidikan, pemuka agama, dan tokoh masyarakat
adalah figur-figur keteladanan yang gerak-geriknya
menjadi anutan. Penggiringan ke SAT dan melakukan
bargaining dengan mahasiswa yang berujung uang bisa
membahayakan citra dunia yang seharusnya suci ini. MP
dan dosen pun berkewajiban menjaga citra pendidikan
agar nilai dan kelancaran studi tidak ditukar dengan
sejumlah kegiatan komersil. Tugas pemuka agama untuk
menjadi benteng pertahanan moral. Ketika pemuka agama
ada dalam dunia pendidikan ataupun politik, tentu
diharapkan dapat menaburkan rahmatan lil alamin dan
menyucikan dunia tersebut. Tokoh masyarakat lainnya
juga perlu mengajarkan nilai-nilai kesalehan sosial
dalam kehidupannya sehari-hari yang menjadi panduan
masyarakat sekaligus melakukan kontrol.

Soft skill tidak hanya perlu dimiliki mahasiswa,
tetapi juga pejabat, pemuka masyarakat, agamawan, dan
juga elemen masyarakat lainnya. Soft skill pendukung
etika dan moral bisa membuat hidup lebih gemah ripah
repeh rapih yang didasari oleh sikap landung kandungan
laer aisan. Ketika sulit dibangun seperti itu, bisa
jadi soft skill "katak" yang sedang berkembang biak.
Semoga tidak terjadi. Amin!***

Penulis, Lektor Kepala pada Jurusan Ilmu Administrasi
Negara FISIP Unpad serta Sekretaris LP3AN Unpad Bandung.



____________________________________________________________________________________Ready
for the edge of your seat?
Check out tonight's top picks on Yahoo! TV.
http://tv.yahoo.com/

----------------------------------------------------------------------------

Hot News!!!
CALL FOR PAPERS: send your abstract by 30 March 2007 to
[EMAIL PROTECTED]
Joint Convention Bali 2007 - The 32nd HAGI, the 36th IAGI, and the
29th IATMI Annual Convention and Exhibition,
Bali Convention Center, 13-16 November 2007

----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------




--
http://rovicky.wordpress.com/

Kirim email ke