Judul subyek di atas adalah  judul sebuah buku relatif baru (Desember
2006) tentang Pramoedya Ananta Toer, banyak dianggap sebagai sastrawan
terbesar Indonesia dan dunia luar mengakuinya sebagai sastrawan kelas
dunia,  terbitan Kepustakaan Populer Gramedia. Buku ini memuat
serangkaian wawancara antara Andre Vltchek dan Rossie Indira dengan Pram
pada Desember 2003-Maret 2004, dua tahun lebih sebelum Pram meninggal
dunia pada akhir April 2006.  Andre adalah seorang penulis, wartawan,
sineas, dan analis politik asal Eropa Tengah. Rossie adalah penulis,
sineas dan arsitek Indonesia. Kedua orang ini mahir berbahasa Rusia dan
Ceko, bahasa yang dipakainya ketika ngobrol dengan adik Pram yang pernah
lama tinggal di Rusia. Wawancara dengan Pram sendiri diadakan dalam
bahasa Indonesia sebab Pram menolak berbahasa Inggris, seperti juga ia
menolak menulis buku2-nya dalam bahasa Inggris, walaupun buku2nya telah
diterjemahkan kedalam banyak bahasa.

 

Wawancara bersifat langsung, menukik ke semua pokok persoalan, termasuk
masalah2 kritis seperti komunisme, atheisme, pembantaian Cina di
Indonesia, dan borok-borok rekayasa politik Indonesia. Tegang
membacanya, bersiaplah dengan berbagai guncangan ! Tetapi, akan juga
kita temukan di dalamnya sebuah nasionalisme ala Pram, yang disebutnya
Pramisme. Akan juga kita temukan sebuah keunggulan individualisme yang
memukau, semangat pantang menyerah yang patut diteladani, tak kenal
kompromi, keras, dan penghargaan yang hebat terhadap bahasa Indonesia.

 

Berikut  beberapa pendapat dari buku tersebut menurut analisis politik
Andre Vltchek.

 

Abad kedua puluh ditandai dengan hampir tiada hentinya pesta terror dan
kekerasan serta penipuan dan pangkhianatan. Setiap manusia di berbagai
belahan dunia menyadari bahwa kebohongan yang diulang seribu kali pada
akhirnya dapat menjadi kebenaran, bahwa pendudukan yang brutal dapat
diartikan sebagai pembebasan, dan membunuh jutaan orang tak berdosa
dapat dibenarkan oleh para pemimpin negara-negara adikuasa atau bukan
adikuasa sebagai harga yang harus dibayar demi kemajuan kemanusiaan,
peradaban, dan kepentingan nasional. Jutaan orang lenyap di
krematorium-krematorium, di kamp-kamp konsentrasi, di medan perang,
ataupun di puing-puing kota yang hancur oleh bom.

 

Tetapi, di tengah-tengah penjarahan dan kesemrawutan, ada
manusia-manusia luar biasa yang berpendirian teguh dan terus melawan
arus demi membela mereka yang teraniaya, mereka yang tersudut, dan para
korban pemerintahan yang kejam dan sewenang-wenang. Ini adalah
manusia-manusia yang menentang demagogi, militerisme, dan kekuatan
ekonomi dengan dua alat perlawanan terkuat yang diciptakan dan dikenal
manusia : pengetahuan dan kebenaran.

 

Orang-orang luar biasa ini melawan kebohongan dengan kata-kata sederhana
yang masuk akal, melawan mitos-mitos yang membahayakan dengan
fakta-fakta, melawan fanatisme agama dengan kebenaran. Sebagian dari
mereka menghadapi kegilaan ini dengan senyuman sarkastik di bibir,
sebagian lagi dengan ekspresi keras dengan mulut terkatup.

 

Indonesia adalah negeri kepulauan terluas di dunia dengan ragam budaya,
suku, dan bahasa yang menakjubkan. Keragaman ini dipersatukan setelah
Perang Dunia II. Sebelumnya, Indonesia dijajah dan diperas oleh
kekuatan-kekuatan penjajah selama ratusan tahun. Tahun 1945 Indonesia
merdeka, sebuah awal yang membanggakan. Tetapi, 20 tahun kemudian, 1965,
mulailah terror kediktatoran militer !

 

Guru-guru dibunuh, studio film dan teater ditutup, bahasa Mandarin dan
hampir semua simbol kebudayaan Cina dilarang. Ratusan ribu, bahkan
mungkin jutaan orang kehilangan nyawa : orang-orang Cina, orang-orang
komunis, orang-orang atheis, orang-orang berpikiran maju, dan kaum
minoritas. Ketidaktoleransian politik, etnik, dan agama mencengkeram
negeri ini sejak itu, dan semakin memburuk. Kemampuan orang
berargumentasi, bertanya, dan membandingkan sudah hilang, kreativitas
dihancurkan dan didiskreditkan, keanekaragaman tidak didukung. 

 

Lalu Indonesia pun mengalami kehancuran sosial. Mayoritas penduduk hidup
dalam kondisi mengenaskan : tidak punya air layak minum, tidak menikmati
aliran listrik, lebih daripada setengah penduduk hidup dengan
penghasilan kurang daripada dua dollar AS per hari. Di Indonesia semua
penduduk diwajibkan menganut salah satu agama, tetapi di Indonesia juga
terjadi ketidakberperikemanusiaan dan kebrutalan. Kebenaran jarang
sekali mengemuka, para seniman harus tunduk kepada aturan, media massa
melakukan sensornya sendiri.

 

Tetapi, seorang lelaki asal Blora bernama Pramoedya Ananta Toer, selama
40 tahun ini terus menulis, mencoba merumuskan inti dan sejarah
bangsanya yang masih belia dan menderita. Pram menulis di penjara, di
kamp militer, di rumahnya sebagai terpidana tahanan rumah. Pram menulis
dalam "pengasingan diri", menulis dalam keadaan marah dan ngeri melihat
situasi dan kondisi negerinya. Banyak bukunya dibakar, yang selamat dari
api kemudian dilarang beredar. 

 

Beberapa cuplikan wawancara : 

 

T : Apakah perbedaan antara penjajahan Belanda dan Jepang ?

J : Belanda mementingkan hukum sedangkan Jepang tidak. Dalam waktu tiga
hari setelah mendarat di Jawa, hampir semua serdadu Jepang terlibat
dalam pemerkosaan wanita-wanita lokal. Pada saat itu wanita2 banyak yang
mencoreng-moreng mukanya sendiri dengan arang agar tidak dikenali
sebagai wanita. Nenek2 pun melakukannya. Sejak awal invasi banyak
kejadian aneh. Serdadu Jepang membuka pintu2 toko orang Cina dan
mempersilakan para gerombolan pribumi untuk mengambil barang2nya. Lalu,
tiga hari kemudian gerombolan2 itu ditembak mati. Yang baik dari
penjajahan Jepang hanya satu : kewajiban berbahasa Indonesia. Bahasa
Indonesia berkembang pesat sejak saat itu.

 

T : Jika kita menganalisis kudeta 1965 setelah hampir 40 tahun, ada dua
teori dasar yang mengemuka tentang apa yang terjadi. Versi pertama, yang
resmi, bahwa PKI-lah dalang G30S, bahwa PKI-lah yang menculik dan
membunuh para jenderal. Versi kedua adalah yang terwakili dalam "Cornell
Paper", bahwa peristiwa G30S pada pokoknya merupakan konflik intern di
tubuh Angkatan Darat. Namun demikian, ada pula versi lain yang sekarang
mulai diadopsi oleh berbagai pihak di dunia, termasuk oleh para
sejarahwan terkemuka di Indonesia, yaitu bahwa kudeta tersebut dilakukan
oleh salah satu faksi di militer yang pro-Soeharto, dan didukung oleh
Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya. Apa pendapat Bung
mengenai hal ini ?

J : Tentu saja tujuan utama negara-negara Barat adalah menggulingkan
Soekarno karena tiga prinsipnya : anti-klonialisme, anti-imperialisme,
anti-kapitalisme. Dan mereka yang ingin menjatuhkan Soekarno dan yang
mau berkuasa mengambil kesempatan dari adanya friksi di dalam militer,
yang terpecah antara pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Pada
saat kudeta, salah satu faksi merencanakan dan melaksanakan pembunuhan
jenderal-jenderal, dan hal inilah yang memicu pembunuhan missal dan
pendekanan-penekanan yang yang dilakukan oleh pendukung Soeharto.
Korban2 pada saat itu termasuk orang-orang komunis, cina, dan pendukung
Soekarno. Jadi, menurut saya, ini yang terjadi : Militer dan Soeharto
melakukan kudeta, dan kemudian mereka membunuh dua juta orang, dan
menimpakan kesalahannya kepada orang lain. Anda mengerti tidak ? Mereka
membunuh dua juta orang untuk balas dendam terhadap apa yang sebenarnya
mereka lakukan sendiri !

Di zaman kerajaan dahulu, kita punya cerita yang sama, yaitu cerita
tentang Kebo Ijo, Ken Arok, dan Tunggul Ametung. Setelah Ken Arok
membunuh Tunggul Ametung, Ken Arok cuci tangan, dan setelah mengambil
alih kekuasaan, Ken arok memerintahkan untuk menghukum mati Kebo Ijo,
temannya karena menuduh Kebo Ijolah pembunuh Tunggul Ametung. Ken Arok
sengaja meminjamkan keris Mpu Gandring yang haus darah itu kepada Kebo
ijo beberapa hari sebelum Ken Arok membunuh Tunggul Ametung. Sialnya
Kebo ijo, dia suka pamer kepada siapa pun dan mengaku2 bahwa keris bagus
itu adalah kerisnya sendiri. Maka ketika di tubuh Tunggul Ametung
tertancap keris Ken Arok, orang tahu itu adalah keris Kebo Ijo. 

 

T : Berapa orang yang dibunuh setelah kudeta itu ?

J : Menurut Sudomo jumlahnya dua juta orang. Tapi pembunuhan tersebut
terutama dilakukan di bawah perintah Sarwo Edhie Wibowo, yang pada saat
itu dengan bangga mengatakan pasukannya telah membunuh tiga juta orang.
Dan dia hanya mengatakan soal korban di Pulau Jawa saja.

 

T : Ada beberapa dokumen yang menunjukkan dan beberapa ilmuwan yang
berpendapat bahwa militer amerika dan Indonesia merencanakan bersama
kudeta 1965...

J : jangan lupa senjata Amerika yang paling ampuh adalah dollarnya. Dan
jangan lupa pula bahwa Eisenhower, Presiden AS pada saat itu,
memerintahkan untuk menyingkirkan Soekarno. Dia mengatakan hal ini dalam
beberapa pidatonya. Dan CIA memperalat Soeharto untuk melaksanakan hal
ini. Amerika punya pengaruh yang sangat besar terhadap militer
Indonesia, dan kemudian pada Golkar. Walaupun pada saat itu kami sudah
menjadi tahanan politik, kami selalu tahu bahwa Amerika pasti berada di
belakang hal ini.

 

T : Apakah Bung seorang Marxis ?

J : Bukan, saya bukan Marxis, tapi "Pramis". Saya tidak pernah menganut
suatu ajaran apa pun, saya hanya mengikuti ajaran saya sendiri. Belajar
dari pengalaman hidup sendiri. Tapi saya percaya pada keadilan dan
kesetaraan sosial.

 

T : Apakah bung setuju dengan pendapat bahwa hal paling luar biasa yang
bisa dilakukan oleh seorang penulis untuk bangsanya adalah ketika ia
bisa mengungkapkan bagian paling kelam bangsanya itu ?

J : Tidak, saya tidak setuju dengan pendapat itu. Saya selalu melihat
dunia ini secara dialektik. Jadi saya tidak pernah menggambarkan
kejelekannya saja, tapi juga kebaikannya. Kalau saya gambarkan
keburukannya saja, mungkin saya bisa sakit.

 

T : Baru2 ini Gus Dur mengatakan pada kami bahwa dia sangat menghormati
Bung dan merencanakan untuk membuat yayasan dengan nama Bung. Yayasan
ini dimaksudkan untuk membantu para korban 1965 dan keluarganya. Apakah
Bung punya harapan bahwa hal ini dapat memmbawa perubahan ?

J : Sebagai mantan Ketua NU, Gus Dur ikut merasa berdosa atas apa yang
terjadi di masa lalu (pembantaian orang-orang yang dianggap komunis
pasca kudeta 1965). Dia merasa bersalah, walaupun secara pribadi dia
tidak terlibat dalam pembunuhan2 itu. Itu sih bagus-bagus saja, Cuma
masalahnya Gus Dur itu terlalu dekat dengan militer, karena dia masih
membutuhkan dukungan politik dan perlindungan dari mereka sebelum
pemilu. Paling tidak dia membutuhkan perlindungan. Semua politikus kita,
kan, sangat oportunis.

 

Akhir wawancara.

 

T : Jadi Bung hidup terasing di negeri Bung sendiri ?

J : Ya, saya hidup di dunia saya sendiri. Di luar itu yang ada hanya
korupsi. Satu-satunya pemimpin, Soekarno, sudah tidak ada lagi. Inilah
balasan Indonesia pada saya. Negara yang dulu saya perjuangkan sekarang
dalam proses pembusukan, jadi bagaimana saya tidak marah ? Sangat
bertolak-belakang dengan negara yang kami cita-citakan dahulu. Hari-hari
ini semakin banyak memori yang kembali. Kebanyakan teman saya sudah
tidak ada lagi. Saya teringat akan dua juta orang yang dibunuh dan
sungai-sungai penuh dengan mayat sehingga airnya menjadi merah karena
darah. Bagaimana orang bisa membunuh sesamanya seperti itu ? Saya tidak
bisa bicara lagi soal hal ini. Terlalu emosional bagi saya.

 

Ada ratusan tanya-jawab yang sangat kritis dan menukik pada pokok
persoalan dapat ditemukan di buku ini tentang sejarah, kolonialisme,
Soekarno, kudeta 1965, Jawanisme, Soeharto, Timor, Aceh, dan masa depan
Indonesia. Walaupun Pram tidak percaya kepada agama, berpendapat bahwa
berdoa adalah seperti mengemis, hanya percaya kepada dirinya sendiri dan
hanya bisa bergantung kepada dirinya sendiri - membaca buku-buku sastra
dan roman sejarah yang ditulisnya kita akan menemukan nasionalisme dan
humanisme di dalamnya. Dan, kekuatan individual seorang Pram sangat
mengagumkan !

 

Sebuah proyek buku "Ensiklopedia Kepulauan Indonesia" akan
dikerjakannya dengan berbekal kepada referensi sepanjang empat meter
yang telah dikumpulkannya. Apa daya, maut menjemputnya lebih dahulu saat
usianya 81 tahun pada 30 April 2006. Konsisten, tidak kenal kompromi,
kekuatan, dan semangat sampai akhir !  

 

Sayang, sering kita selalu terlambat menghargai jasa seseorang.
Negara-negara lain lebih dahulu menghargai Pram. Inilah daftar
penghargaan buat Pram :

 

1988 PEN/Barbara Goldsmith Freedom to Write Award. 

1989 The Fund for Free Expression Award, New York, USA. 

1992 English P.E.N Centre Award, Great Britain. 

1992 Stichting Wertheim Award, Netherland. 

1995 Ramon Magsaysay Award for Journalism, Literature, and Creative
Communication Arts. 

1999 Doctor Honoris Causa from the University of Michigan. 

1999 Chancellor's Distinguished Honor Award from the University of
California, Berkeley. 

2000 Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France. 

2000 11th Fukuoka Asian Culture Prize. 

2004 Norwegian Authors' Union award for his contribution to world
literature and his continuous struggle for the right to freedom of
expression. 

2005 Global Intellectuals Poll by the Prospect.

 

Pram juga beberapa kali masuk nominator hadiah Nobel. Tetapi, seperti di
buku ini, mengenai penghargaan Pram hanya bilang : "tak pernah
mengharapkannya". "Saya mencoba untuk tidak terlalu mengharapkan apa-apa
dari dunia luar. Saya belajar untuk mengandalkan diri saya sendiri.
Bahkan saya tidak pernah minta apapun dari orang tua saya sendiri" 

 

Berikut adalah karya utama Pram, masih banyak karya2nya yang di luar
ini. 

 

Kranji-Bekasi Jatuh (1947) 

Perburuan (The Fugitive) (1950) 

Keluarga Gerilya (1950) 

Bukan Pasarmalam (1951) 

Cerita dari Blora (1952) 

Gulat di Jakarta (1953) 

Korupsi (Corruption) (1954) 

Midah - Si Manis Bergigi Emas (1954) 

Cerita Calon Arang (The King, the Witch, and the Priest) (1957) 

Hoakiau di Indonesia (1960) 

Panggil Aku Kartini Saja I & II (1962) 

The Buru Quartet 

Bumi Manusia (This Earth of Mankind) (1980) 

Anak Semua Bangsa (Child of All Nations) (1980) 

Jejak Langkah (Footsteps) (1985) 

Rumah Kaca (House of Glass) (1988) 

Gadis Pantai (The Girl from the Coast) (1982) 

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (A Mute's Soliloquy) (1995) 

Arus Balik (1995) 

Arok Dedes (1999) 

Mangir (1999) 

Larasati (2000)

 

"Soliloquy" - Nyanyi Sunyi, novelnya tentang penderitaan yang tak bisa
terucapkan di kamp konsentrasi Buru, tak hendak selamanya akan sunyi.
Karya2 Pram sekarang bisa ditemukan cukup mudah di mana saja, bahkan ada
penerbit yang khusus menerbitkan buku2nya, yang bertahun-tahun lalu
dilarang.

 

 "Memukau...pilu tiada akhir" (Noam Chomsky)

 

Salam,

awang

 

 

 

Kirim email ke