Pak Awang,

Uraiannya sangat bagus; saya tidak menduga kalau kalau Pak Awang juga paham
"sirno ilang kertaning bhumi" (suryasengkala keruntuhan Majapahit) yang
begitu populer di kalangan pini-sepuh di daerah saya (Jateng). Yang pernah
saya ketahui, bahwa sirno = musnah alias nol, ilang juga sirna, sedangkan
bhumi melambangkan angka satu sehingga "sirno ilang kertaning bhumi"
diartikan tahun Caka 1400, tahun keruntuhan Majapahit Raya.

Ya, Prof. Samporno ITB pernah menulis makalah bahwa keruntuhan Majapahit
mungkin sekali karena bencana alam (mengacu buku babad Guntur Watugunung;
mungkin mirip dengan hilangnya kerjaan-2 Hindu di sekitar Merapi yha? Kalau
diadakan penelitian fisik di lapangan (sekitar Trowulan) secara bersama
antara geologist dan antropolog pasti hasilnya sangat menarik. Pak Awang kok
yha ingat KOmpas edisi 2-5-83?
Namun, di daerah saya masih ada kepercayaan bahwa keruntuhan Majapahit
karena gempuran kerajaan Demak (kerajaan Islam pertama di Tanah Jawa)
walaupun Raden Patah itu sebenarnya juga putra Majapahit. Konon (ini hanya
cerita) Raden Patah itu "berani melawan orang tua" sehingga, raja-2 penerus
Dinasti Demak tidak ada yang keturunan langsung dari Raden Patah. Setelah
Demak surut, mucullah kerajaan baru: Pajang (yang berseteru dengan Arya
Penangsang dari Kadipaten Jipang...bukan yang dari Star Energy lho) dengan
rajanya Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet alias Joko Tingkir) yang tak lain dan
tak bukan adalah hanya cucu-menantu saja.

Setelah kerajaan runtuh, para pangeran-2 Majapahit meninggalkan istana,
mengembara ke berbagai daerah (Jateng bagian selatan), menjadi rakyat biasa.
Mereka rela melepaskan semua gelar kebangsawanannya dengan syarat tidak
tunduk Demak dan tidak dipaksa masuk agama baru. Mereka tetap berkeinginan
agar keturunan Majapahit kembali memegang kekuasaan (menjadi raja). Maka mas
Karebet, putra Ki Ageng Pengging (20 km di sebelah barat Solo) yang masih
trah Majapahit, diatur sedemikian rupa supaya bisa masuk menjadi Tamtama di
istana Demak. Mungkin ada pendapat bahwa pemuda ini harus "dekat dengan
pusat kekuasaan". Sejarah Ki Ageng Pengging (yang makamnya masih sering
untuk ziarah, sejuk, banyak pepohonan dengan mata air dari Merapi) sangat
erat dengan tokoh sufi yang legendaris dan konroversial Syeh Siti Jenar
(kapan Pak Awang mengulas tokoh ini?).

Cerita makam, di daerah sekitar saya ada beberapa makam (keramat atau
dikeramatkan, yang dulu hanya sederhana, sekarang sudah lebih bagus dan
mewah) yang diyakini sebagai makam (petilasan) para pengeran Majapahit yang
sudah menjadi rakyat jelata tadi. Makam-2 ini mempunyai keistimewaan
bermacam-macam: ada yang dapat dimintai untuk mencari kekayaan (pesugihan),
kenaikan pangkat (rasanya kita tidak perlu ke sana, lha Pak Awang kan
pangkatnya sudah cukup, sedangkan saya sudah pensiun-he-he), gampang jodoh,
perdamaian orang berperkara, dan bahkan ada yang dimintai bantuan kalau
menjelang pemilihan lurah (kepala desa).
Saya agak lupa bagaimana bukunya Prof.Slamet Mulyana mengulas Majapahit.
Namun buku-2 Prof De Graaf sangat bagus. Saya mengoleksi: Masa Kejayaan
Mataram dan Runtuhnya Kerajaan Mataram. Saya tidak dapat membayangkan
bagaimana Sultan Agung "menyandra" pelaut-2 Belanda untuk bercerita
pengalamannya, menggambar Peta Dunia. Kelihatannya Sultan Agung sangat haus
pengetahuan. Di situ juga diceritakan bagaimana tawanan Belanda yang dihukum
mati lalu dilemparkan ke kandang buaya piaraannya. Anehnya binatang yang
mengerikan itu tidak mau menyentuhnya, maka almarhum terus dinyatakan tidak
bersalah ("not gulity"), lalu dimakamkan.
Dalam buku Runtuhnya Kerajaan Mataram lebih bnyak cerita yang memilukan
(ingat kelaliman Amangkurat). Betapa kuasanya seorang raja pada waktu itu.
Buku-2 De Graaf ini sudah ditulis sebagai trilogi novel sejarah oleh Romo
Mangunwijaya (Roro Mendut, Genduk Duku, dan Lusi Lindri) dengan bahasa
"gaul" yang jenaka tetapi tetap memikat (ketika saya baca novel ini di rig,
kawan yang tidur di dipan di atas saya suka terbangun karena dipannya
tergoncang...alur ceritanya dibuat sangat lucu).

Tokoh Joko Tingkir juga sangat pupuler di daerah saya. Walaupun hanya
prajurit krocuk, tetapi karena memang ada darah Majapahit, dia memang
berbeda dengan parajurit lainnya. Tidak heran kalau Bunga Istana Demak
(Sekar Pembayun?) dapat kesengsem sama dia. Hampir setiap malam Minggu si
prajurit ini suka "apel" dan mereka berduaan di taman sampai larut malam.
Dalam istana sudah biasa banyak gunjingan. Cerita ini pun sampai ke telinga
sang raja (Sultan Trenggana?). Sultan pun marah (mungkin tidak betulan) dan
ingin membuktikannya. Pada suatu malam, Sultan dengan memakai kain hitam
penutup wajah masuk, mengendap ke taman, dimana dua sejoli sedang duduk
berduaan sambil berpegangan tangan. Dalam hati Sultan terkejut, kok
bisa-bisanya parjurit ini masuk keputren. Sultan lebih terkejut lagi setelah
Karebet segera mendongakkan kepala pertanda dia tahu ada seseorang hadir,
padahal Sultan sudah menerapkan ilmu kesaktiannya. Sebelum Sultan bertindak,
Karebet sudah melompat menghadangnya sambil membentak-benta, sambil
menuduhnya sebagai pencuri (padahal beliau ini raja Demak!). Akhirnya
terjadilah perkelahian (duel) di keremangan malam. Sultan secara bertahap
mengeluarkan semua ilmu-2 nya, namun semuanya dapat di-imbangi dengan baik
oleh si Prajurit balok satu. Sampai-2 ilmu yang tidak lazim (ilmu hitan?:
Belut Putih dan Rog-rog asem) dari Sultan juga dapat dilayani Karebet.
Sang Sultan sudah tidak sabar lagi, segera membuka kedoknya. Sang Putri
segera ambruk, menangis, merangkul kaki Ayahhanda, sementara Karebet segera
duduk memohon ampun. Sang Putri segera dibawa masuk istana, si parjurit
segera digelandang masuk ruang tahanan. Belakangan, si prajurit ini menjadi
penguasa Pajang yang menurunkan dinasti Mataram.

Alangkah bagusnya kalau geologist dan arkeolog bekerja-sama melakukan
penelitian.
Selamat menikmati akhir pekan.

Sugeng
Nb. Pak Awang, sumur West Betara-5 sangat bagus.




----- Original Message ----- 
From: "Awang Harun Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>
To: <iagi-net@iagi.or.id>
Sent: Thursday, August 30, 2007 4:07 PM
Subject: [iagi-net-l] Sirna Ilang Krtaning Bhumi = Guntur Pawatugunung
=Akhir Majapahit oleh Bencana Geologi ?


Suryasengkala "Sirna Ilang Krtaning Bhumi" alias angka tahun 1400 Caka
(1478 Masehi) menjadi terbuka untuk ditafsir ulang. Tahun 1400 Caka
dipakai oleh beberapa ahli sejarah sebagai akhir Majapahit berdasarkan
dua babad sejarah terkenal "Serat Kanda" dan "Babad Tanah Jawi" dan
catatan2 perjalanan bangsa-bangsa asing yang pernah mampir ke Jawa pada
saat itu. Memang, masih ada raja-raja Majapahit terakhir setelah 1478 M,
seperti raja Girindrawardhana (1478-1498 M) dan Brawijaya VIII
(1498-1518 M), sebelum Majapahit benar2 bubar pada tahun 1518 M. Tetapi,
dari tahun 1478 M sampai 1518 M, Majapahit adalah kerajaan bawahan Demak
yang saat itu lebih kuat. Tahun 1518 M kekuasaan di Jawa sudah
didominasi penguasa2 Islam seperti Raden Patah dan adipati Unus.



Manurut buku de Graaf (1949) - Geschiedenis van Indonesie (Sejarah
Indonesia) - buku ini senilai seperti buku Geology of Indonesia van
Bemmelen (1949) - runtuhnya Majapahit terjadi pada tahun 1400 Caka atau
1478 M  sesuai dengan catatan sejarah Jawa. Tahun 1400 Saka diperingati
dengan sengkalan berbunyi "Sirna Ilang Krtaning Bhumi" atau 0041 (1400)
dalam Serat Kanda. Apa arti kalimat ini ? Kita tak akan kesulitan
mengartikan sirna, ilang, dan bhumi; pasti artinya sirna, hilang, bumi.
Yang menarik adalah "krta". Pengecekan dari buku kamus Kawi-Indonesia
susunan Wojowasito (1980) adalah sbb. :



"krta" /kerta berasal dari bahasa Sanskerta, yang punya beberapa arti  :
1) sudah dikerjakan, sudah dilakukan selesai, habis, baik, aman dan
tentram, jasa. 2) dadu dengan empat buah mata. "Ilang" : hilang binasa.
"Ni/ning" : partikel genitif. "Bhumi" : bumi, tanah. Menurut kamus
linguistik Harimurti-Kridalaksana (2001) : partikel =  kata yang
biasanya tidak dapat diderivikasikan atau diinfleksikan, yang mengandung
makna gramatikal dan tidak mengandung makna leksikal; sedangkan "genitif
partitif" =  penggunaan kasus genitif untuk menyatakan bagian dari
keseluruhan makna kata yang bersangkutan. Kasus genitif  adalah kasus
yang menandai makna 'milik' pada nomina atau yang sejenisnya.
Berdasarkan kamus Kawi-Indonesia susunan Purwadi (2003), "kerta" =
hasil, kemakmuran; kerta wadana : aman, sejahtera.



Maka, terbuka untuk menafsirkan "sirna ilang krtaning bhumi" sebagai :
(1) "sirna hilang sudah selesai pekerjaan bumi"  atau (2) "sirna hilang
kemakmuran bumi/di bumi". Makna yang banyak ditemukan di buku2 adalah
makna kedua. Makna no. 1 pengalimatannya tak semulus pengalimatan makna
kedua. Tetapi, kalau berkenaan dengan suatu bencana, maka makna no. 1
lebih tepat sebab "sirna hilang akibat pekerjaan bumi". Apa pekerjaan
bumi ? Ya bisa bencana sedimentasi, erupsi gunungapi, gempa, atau erupsi
gununglumpur.



Kita mungkin akan segera memilih makna no. 2 sebab lebih gampang
menerimanya, setelah Majapahit bubar, kemakmuran di bumi memang hilang
(dalam kacamata orang2 Majapahit). Tetapi, penjelasan yang mudah belum
tentu yang benar, dan penjelasan yang susah belum tentu yang salah.



Ada satu lagi penyerta "sirna ilang krtaning bhumi", yang kalah populer
dari sengkalan ini tetapi tercatat di suatu risalah kerajaan Majapahit
yang ditemukan belakangan. Risalah tersebut mencatat suatu peristiwa
"Guntur Pawatugunung". Peristiwa apa ini dan kapan terjadinya ? Ricklefs
(1999) - Ricklefs adalah ahli sejarah dari Australia yang banyak
meneliti sejarah Indonesia, bukunya "Sejarah Indonesia Moderen
1200-2004" sudah diterjemahkan oleh Serambi (2005), edisi pertamanya
oleh UGM - berdasarkan tulisan2 ahli sejarah Belanda C.C. Berg,
menyatakan bahwa peristiwa "Guntur Pawatugunung" terjadi pada tahun 1403
Saka (1481 M).



Apa makna "guntur pawatugunung" ? Banyak yang mengartikan, itu adalah
peristiwa yang mungkin sekali berkaitan dengan bencana letusan gunungapi
(C.C. Berg dalam Ricklefs, 1999) yang terjadi pada masa kemunduran
Majapahit. C.C Berg lebih lanjut menafsirkan bahwa Guntur Pawatugunung i
merupakan tanda alam tentang (akan) munculnya suatu kerajaan baru di
Jawa sebagai pengganti Majapahit (Kesultanan Demak). Berg meyakini bahwa
sejarah2 penting di Indonesia banyak ditandai dengan peristiwa2 alam.



Sekarang kita lihat tahun2 "sirna ilang krtaning bhumi" (1400 Caka) dan
"guntur pawatugunung" (1403 Caka), sangat berdekatan - hanya beda 3
tahun. Benar berbeda tiga tahun atau ada kesalahan pencatatan ? Dua2nya
mungkin. Ratusan tahun yang lalu kesalahan pencatatan waktu 3 tahun ya
wajar saja. Artinya, punya potensi bahwa "sirna ilang krtaning bhumi "
seperiode dengan "guntur pawatugunung". Kalau kita mengikuti makna ke-2
sirna ilang krtaning bhumi, maka dapat saja ditafsirkan bahwa Majapahit
mundur dan habis oleh bencana semacam erupsi (bisa gunungapi, bisa
gununglumpur ala LUSI). "sirna ilang krtaning bhumi" akibat "guntur
pawatugunung".



Alasan politik memang kuat mengakhiri Majapahit, tetapi bencana geologi
pun besar potensinya untuk mengakhiri Majapahit - ini berdasarkan kajian
geologi di mana dulu Majapahit berlokasi, dan peninggalan2 dalam catatan
sejarah.



Pentingnya faktor kebencanaan dalam akhir Majapahit beberapa kali pernah
dikemukakan oleh Prof. Sampurno dari ITB. Presentasi Pak Sampurno di PIT
IAGI 83 Yogya dijadikan berita di Kompas tanggal 2 Mei 1983, berjudul
"Hancurnya Majapahit Bukan Akibat Munculnya Sistem Nilai Baru, tetapi
Terlanda Bencana Alam" (oleh J. Purwanto). Dalam wawancara dengan
wartawan Pikiran Rakyat pada acara purna bakti Pak Sampurno tahun 2004,
Pak Sampurno menyatakan masih akan mengejar meneliti hal ini seusai
pensiun nanti. Saya tak punya proceedings PIT IAGI 1983, dan tak punya
artikel Kompas tahun 1983 untuk konfirmasi; tahu bahwa Pak Sampurno
pernah mengemukakan hal itu dari buku Daldjoeni (1984) - geografi
kesejarahan. Awal tahun 1980-an katanya ITB pernah melakukan studi
lapangan di sekitar situs Majapahit, yang akhirnya menuju ke hipotesis
bahwa Majapahit telah runtuh oleh bencana alam. Barangkali bapak2 dosen
ITB anggota milis ini bisa konfirmasi ke Pak Sampurno (Pak Yahdi Zaim,
Pak Eddy Subroto, Pak Andri Subandrio, dan bapak/ibu dosen ITB lainnya
?).



Soal ini sudah saya komunikasikan sejak beberapa bulan yang lalu melalui
ulasan2 sementara saya  di milis ini soal  Majapahit. Menarik mencoba
mengulasnya dengan pendekatan catatan2 sejarah, buku-buku lama, kajian
geologi wilayah Majapahit, bencana terkini ala LUSI, cerita
rakyat/folklore, dan kesimpulan2 dari hasil peneltian yang katanya
pernah dilakukan ITB awal 1980an.



Majapahit adalah suatu kerajaan terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Bagaimana ia berawal, bagaimana ia naik ke puncak dan bagaimana ia
berakhir sama-sama penting untuk dipelajari, siapa tahu kita bisa
menarik suatu pelajaran daripadanya.



salam,

awang













----------------------------------------------------------------------------
Hot News!!!
EXTENDED ABSTRACT OR FULL PAPER SUBMISSION:
228 papers have been accepted to be presented;
send the extended-abstract or full paper
by 16 August 2007 to [EMAIL PROTECTED]
Joint Convention Bali 2007
The 32nd HAGI, the 36th IAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and 
Exhibition,
Bali Convention Center, 13-16 November 2007
----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke