Rekan,
Menilik kalimat*:"Kayaknya kita memang perlu orang-orang dan semangat
militant kayak LSM-LSM
ini untuk menandingi "propaganda" negative ttg tambang".
*
Hal tersebut tentunya sudah dilakukan oleh perusahaan-preusahaan secara
mandiri, artinya mereka menghadapi secara defensive dan presentasi dikala
mereka menghadapi LSM yang pro environment; seperti yang dilakukan oleh:
arutmin, adaro, berau, kem, freeport, dll.

Kebanyakan dari perusahaan yang bisa menghalau (walau sementara) adalah
mereka yang mempunyai data kompilasi dari sejak 'rona awal' sampai pada
kegiatan terakhir di kawasan hutan (eksplorasi/pasca tambang).

Sekarang masalahnya bagaimana caranya menghimpun 'militant-militant' dari
berbagai perusahaan untuk dijadikan suatu komunitas tertentu untuk
merumuskan dan 'menandingi' propaganda negative ttg tambang serta melakukan
penelitian rinci bersama tentang penyebab kerusakan hutan (ya . . . minimal
kita memastikan data statistik dampak dunia pertambangan dengan kerusakan
secara global di tanah air) - kalau hasilnya memang dunia pertambangan
penyumbang terbesar kerusakan hutan, marilah kita berpikir?!

Bagi 'militant' dari perusahaan pertambangan yang tidak mengikuti ketentuan
pertambangan dan lingkungan, supaya tidak ikut dalam komunitas yang
dimaksud?. (*PS: tidak menganggap bahwa semua kegiatan pertambangan telah
dilakukan
dengan baik...)*

Salam,
Slamet Riyadi





On 2/21/08, Sukmandaru Prihatmoko <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Rekan2,
>
>
>
> Di bawah sana Opini di Kompas hari ini ttg PP No.2/ 2008 yang banyak
> disikapi negative oleh kawan-kawan LSM. Di luar esensi PP No.2/ 2008,
> tulisan di bawah terasa sekali menohok dan menjadikan "pertambangan"
> sebagai
> terdakwa utama perusakan/ kerusakan hutan baik hutan lindung maupun hutan
> produksi. ... Dan sudah berulang-ulang kawan2 yg aktif di pertambangan
> (sampai bosan..) menanggapi isu beginian "kenapa tidak dilakukan
> penelitian
> rinci ttg penyebab kerusakan hutan kita ini.??". Sekitar awal 2000-an
> sebenarnyalah ada institusi yg sudah lakukan investigasi ini (lupa
> namanya... ada-kah yg ingat?) dan sector pertambangan hanya-lah menyumbang
> 0.1% (cmiiw).
>
>
>
> Dan ...semua yg diulas di tulisan itu ttg pertambangan adalah sisi
> negative-nya saja - tidak pernah (sangat sedikit) diulas bahwa kehidupan
> kita ini berjalan karena ditopang oleh produksi tambang (mobil, rumah,
> computer . lanjutin sendiri please.aku sering kehabisan energi "nggedebus
> begini" saking berulang-ulangnya). Bahkan pasokan batubara seret karena
> cuaca -pun . terpaksa listrik Jakarta - Banten padam bbrp jam kemarin
> (lihat
> Kompas hari ini).
>
>
>
> Kayaknya kita memang perlu orang-orang dan semangat militant kayak LSM-LSM
> ini untuk menandingi "propaganda" negative ttg tambang.
>
>
>
> Salam - Daru
>
> PS: tidak menganggap bahwa semua kegiatan pertambangan telah dilakukan
> dengan baik...
>
>
>
>
>
> Hutan Lindung dan Masyarakat
>
> Kamis, 21 Februari 2008 | 02:36 WIB
>
> Siti Maemunah
>
> Pelaku pertambangan kembali mendapat keistimewaan. Mereka boleh mengubah
> hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang terbuka hanya
> dengan menyewa Rp 300 per meter. Fungsi lindung dan penyangga kehidupan
> kawasan hutan harganya lebih murah dari sepotong pisang goreng.
>
> Di tengah keprihatinan bencana banjir dan longsor di musim hujan, 4
> Februari
> lalu, Presiden SBY mengeluarkan PP No 2 Tahun 2008. PP ini mengatur jenis
> dan tarif penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan
> kawasan
> hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang
> berlaku
> pada Departemen Kehutanan.
>
> Seharga pisang goreng
>
> PP ini memungkinkan perusahaan tambang mengubah kawasan hutan lindung dan
> hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar hanya dengan membayar
> Rp
> 1,8 juta-Rp 3 juta per hektar. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan
> gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repeater telekomunikasi, stasiun
> pemancar radio, stasiun relai televisi, tenaga listrik, instalasi
> teknologi
> energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Tarif untuk semua itu
> menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.
>
> Itulah harga hutan lindung termurah-kalaupun fungsinya bisa diuangkan-yang
> resmi dikeluarkan negeri ini. Hanya Rp 120-Rp 300 per meter, lebih murah
> dari sepotong pisang goreng. Inilah cara amat buruk menghargai fungsi
> lindung hutan.
>
> Padahal, banjir dan longsor akibat perusakan sumber daya alam, khususnya
> hutan, telah melahirkan bencana dan kerugian triliunan rupiah. Sepanjang
> 2000 hingga 2006, sedikitnya ada 392 bencana banjir dan longsor di pelosok
> negeri. Ada ribuan orang meninggal, sementara ratusan ribu lainnya menjadi
> pengungsi.
>
> Empati pengurus negeri ini dipertanyakan. Benarkah mereka masih menaruh
> perhatian terhadap nasib anak negeri? Kedatangan pejabat ke daerah-daerah
> korban banjir dan longsor terkesan basa-basi, apalagi saat kebijakan yang
> dikeluarkan ke depan justru akan memperbesar timbulnya korban.
>
> PP ini keluar di tengah laju kerusakan hutan rata-rata 2,76 juta hektar,
> sepanjang 2005 dan 2006. Kerusakan hutan terbesar terjadi di Pulau
> Kalimantan dan Sumatera. Dua pulau ini memiliki konsesi tambang yang
> jumlah
> dan luasnya amat besar. Di Kalimantan Selatan saja, sedikitnya ada 400
> perizinan tambang batu bara, sebagian besar keluar pascareformasi.
>
> Banyak peraturan dikeluarkan pemerintah bukannya membuat keselamatan dan
> produktivitas rakyat terjamin, tetapi justru sebaliknya. Peneliti Cifor
> menyebutkan, selama tujuh tahun terakhir telah disahkan 500 lebih
> peraturan
> Menteri Kehutanan untuk mengurus hutan Indonesia. Dalam jangka yang sama,
> luas hutan menyusut 11,2 juta hektar.
>
> Yang paling bersorak tentu pelaku pertambangan. Sejak delapan tahun lalu,
> berbagai perusahaan tambang asing melakukan lobby hingga ancaman membawa
> Indonesia ke arbitrase internasional. Kontrak karya mereka terganjal
> status
> hutan lindung.
>
> Akhirnya, UU Kehutanan Tahun 1999, yang melarang tambang terbuka di hutan
> lindung, berhasil diamandemen dua tahun lalu. Ada 13 perusahaan yang
> mendapat pengecualian meneruskan tambangnya di hutan lindung. Sebagian
> besar
> adalah perusahaan tambang asing raksasa, sekelas Freeport dari AS, Rio
> Tinto
> dari Inggris, Inco dari Kanada, dan Newcrest dari Australia.
>
> Sejak itu, jika mau membuka tambang di hutan lindung, mereka harus mencari
> hutan kompensasi. Tetapi, itu tak cukup. Mereka mengeluhkan lahan
> kompensasi
> sulit didapat. Mereka mau cara lebih mudah dan murah, dan dijawab
> pemerintah
> dengan munculnya PP ini.
>
> Daya rusak tambang
>
> Berlawanan dengan kemanjaan yang diberikan kepada pelaku pertambangan,
> protes penduduk korban yang jatuh bangun menghadapi daya rusak
> pertambangan
> tak didengar pimpinan negeri ini. Padahal, pertambangan berdaya rusak tak
> terpulihkan. Untuk mendapat satu gram emas saja, sedikitnya 2,1 ton limbah
> batuan dan lumpur dibuang ke lingkungan. Dengan ciri itu, lahan hutan yang
> digali tak bisa dipulihkan fungsinya seperti semula.
>
> Di Kalimantan Timur, korban tambang Kelian milik Rio Tinto tak jelas
> nasibnya dan berkonflik satu sama lain, hingga perusahaan tutup. Warga
> Dayak
> Paser terpaksa pindah kampung, tergusur tambang batu bara Kideco Jaya
> Agung.
> Juga Dayak Siang Murung Bakumpai di Kalimantan Tengah, lahannya dirampas
> Aurora Gold. Kasus-kasus ini tak menjadi rujukan memperbaiki pengurusan
> tambang yang lebih adil ke depan.
>
> Warisan lain adalah lubang tambang puluhan hektar dan kedalaman ratusan
> meter yang dibiarkan menganga tak diurus. Lahan rusak itu di antaranya
> lubang Etzberg milik Freeport, Toguraci milik Newcrest di Maluku Utara,
> Serujan milik Aurora Gold, hingga ratusan lubang tambang batu bara di
> Kalimantan Selatan dan seribu lebih lubang tambang timah di Bangka
> Belitung.
>
> Jika tak dicabut, PP ini akan memperparah kerusakan hutan dan kembali
> meletakkan nasib rakyat dan lingkungan pada kerentanan tak tertanggungkan.
>
> Siti Maemunah Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>

Reply via email to