He..he...Jatiwangi nostalgic masa kecil..., Abah Anom kebetulan lulus dr
SD Sutawangi IV di blk Alun-Alun Jatiwangi. Kalau pulang sekolah suka
berenang di S. Cikeruh (dekat SMPN Jatiwangi). (Alm) Bapak saya sih
belasan tahun tinggalnya di Emplacement Pabrik Gula, sebelum
pindah-pindah ke Kadipaten, Karangsuwung, Sindang Laut dan terakhir
sebelum pensiun (1990) di PG. GEMPOL (Palimanan). 
Salut atas karya-karya Kang AYIP yg diakui di mancanegara. Tapi kondisi
dulu dengan sekarang 'pasti berbeda'. Se jenius apapun, kalo hanya
lulusan SLTA dan melamar kerja, saat ini paling paling di perusahaan
swasta 'jadi satpam, recepcionist atau OB' padahal kalo S1 jadi STAF
(biarpun tdk pinter dan ijazahnya abra kadabra). Sementara kalo jd PNS,
Gol II/a vs Gol III/a (kalau naik pangkat reguler sekali dlm 4 th,
lulusan SLTA butuh waktu 16 tahun masa kerja untuk bisa berada di Gol
III/a) dan hampir mustahil bisa jadi 'pemimpin'.
Generasi kita dan anak cucu kita sebaiknya memang di 'push' untuk selalu
belajar...baik formal maupun informal...Yang formalnya paling tidak yah
S1? Agar entry point saat masuk kerja sudah pada level STAF sehingga
berpeluang mencapai 'top carrier' sebagai seorang profesional. Kecuali
kalau mau anak-anak kita di didik untuk jadi 'enterpreneur'..barangkali
ijazah formal menjadi 'kurang perlu'.

Salam
Abah ANOM



-----Original Message-----
From: Nana Djumhana [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Tuesday, March 25, 2008 4:07 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Subject: Spam:Re: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah

Terimakasih atas uraian tentang Ayip Rosidi. Sebagai tambahan info, 
kebetulan keluarga kami (terutama ayah saya) dan keluarga Kang Ayip
sangat 
dekat, karena   rumahnya di Jatiwangi tidak jauh dan saling belakangan 
terpisah sawah dengan rumah kami. Meskipun terkenal sampai mancanegara, 
namun kehiduapannya sederhana, tengok saja rumahnya yang di Jatiwangi
maupun 
yang di Pasar Minggu Jakarta, semuanya biasa-biasa saja. Sebagai
sastrawan, 
dia  memang otodidak, tak punya ijazah sekolah tinggi (berbeda dengan 
adiknya, Ayat Rochaedi yang doktor sastra dengan disertasinya tentang 
lingguistik bahasa Jawa Cirebon). Tampaknya dia mirip dengan pamannya,
yaitu 
pelukis Afandi (alm.) yang terkenal di mancanegara, namun tidak punya
ijazah 
sekolah seperti halnya Kang Ayip.

Salam,
ndh
----- Original Message ----- 
From: "Awang Satyana" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "IAGI" <iagi-net@iagi.or.id>; "Forum HAGI" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Tuesday, March 25, 2008 1:04 PM
Subject: [iagi-net-l] OOT : Hidup Tanpa Ijazah


> Ada seorang putra Indonesia yang tak punya gelar akademik sama sekali,

> bahkan ijazah SMA pun tak punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya,
tetapi 
> ia diangkat sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. 
> Bagaimana bisa ?
>
>  Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh yang satu ini, bukannya
tidak 
> mampu, tetapi kesempatan yang ada pada masa kita hidup saat ini sudah
jauh 
> berbeda dengan kesempatan yang lebar terbuka pada saat dahulu. Orang
harus 
> mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka ia akan sukses. 
> Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu selalu menjadi 
> terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada manfaatnya,
paling 
> tidak menekankan : no pain no gain !
>
>  Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. Tebalnya
setebal 
> bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS.  Meskipun tebal dan 
> cetakannya bagus, harganya murah untuk buku setebal ini, Rp 95.000 
> (bandingkan dengan buku seri Harry Potter terakhir, Deadly Hollows,
tebal 
> 1008 halaman, berkertas dengan kualitas di bawah HVS, berharga Rp 
> 175.000). Saat mengetahui harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku
yang 
> dicetak biasa (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman kini

> harga rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu
maka 
> buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. 
> Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 ?
>
>  Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di buku ini dalam
"Ucapan 
> Terimakasih". Buku yang akan saya ceritakan ini memang harga
seharusnya 
> adalah sekitar Rp 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal

> 1364 halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan
dan 
> penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk
dibaca 
> orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. Memang Rosihan
Anwar 
> menganjurkan penulis buku ini untuk memotong bukunya sampai menjadi 
> maksimal 400 halaman saja, tetapi penulisnya merasa sayang memotong 
> manuskripnya yang sudah sampai 1000 halaman, jadi ia tak memotongnya
sama 
> sekali, maka akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? Ada sekitar 100

> orang, sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal Indonesia dan Manca 
> Negara  dari berbagai latar belakang, dari seniman sampai birokrat,
dari 
> ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli buku ini dengan harga
edisi 
> khusus dan terjadilah subsidi silang sehingga
> masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide bagus !
>
>  Baik, saya ceritakan saja buku ini. Judulnya adalah "Hidup Tanpa
Ijazah : 
> Yang Terekam dalam Kenangan", sebuah otobiografi Ajip Rosidi,
sastrawan 
> dan budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang dari
setahun, 
> ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu agar telah
terbit 
> saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. Buku ini ditulis oleh

> Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi pesanan seperti banyak dipesankan

> oleh para tokoh politik dan militer (namanya otobiografi ya harusnya 
> ditulis sendiri dong, kalau dituliskan orang lain ya namanya
biografi). 
> Walaupun buku ini mulai ditulis tahun 2006, Ajip dapat merekam dengan 
> cukup detail peristiwa2 puluhan tahun sebelumnya sejak Ajip anak-anak,

> remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, sampai usianya sekarang (70
tahun). 
> Pasti Ajip biasa menulis jurnal kegiatan harian sehingga ia bisa 
> menuliskan kembali peristiwa sehari-hari puluhan tahun ke belakang.
>
>  Mengapa Ajip memberi judul buku ini "Hidup Tanpa Ijazah" ? Karena
Ajip 
> tak punya ijazah apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar
sebelum 
> ujian akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan
sarjana, 
> tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis
(pelaku 
> otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan pengakuannya.
Itu 
> semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, master, doktor, dan
profesor 
> pada umumnya.
>
>  Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang 
> berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa Ajip
keluar 
> sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, otodidaknya, dan karya,
sepak 
> terjang, serta pengakuannya. Dengan sikap dan kiprahnya seperti itu
Ajip 
> adalah manusia langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun jarang
yang 
> seperti dia.
>
>  Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten Majalengka, wilayah yang banyak 
> menghasilkan genteng dan kecap itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh 
> pendidikan hanya sampai setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman
Siswa 
> Jakarta, itu pun tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari

> sekolahnya seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya 
> berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar.

> Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus di 
> sekolah, belajar bisa di mana saja.
>
>  Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran
soal-soal 
> ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk
membeli 
> soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di koran-koran timbul polemik 
> tentang manfaat ujian. Dipertanyakan tentang keabsahan ujian untuk
menilai 
> prestasi murid yang sebenarnya. Ajip muda (16 tahun) berkesimpulan :
orang 
> tidak segan melakukan perbuatan hina, membeli soal ujian atau menyogok

> guru, demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? Untuk dapat ijazah.
Untuk 
> apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa kerja ? Untuk dapat hidup.

> Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada secarik kertas bernama 
> ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan kesimpulannya. Ia saat itu telah

> empat tahun berkarya (Ajip mulai mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi

> dan dimuat di koran2 dan majalah2 sejak tahun 1952 saat umurnya masih
14 
> tahun) dan telah merasa bisa hidup cukup mandiri dengan honorariumnya.

> Ajip bertanya, apakah seorang pengarang
> membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak.
>
>  Ajip memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada
selembar 
> ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar ijazah. 
> Menurutnya tak ada sekolah atau universitas yang dapat menuntunnya
menjadi 
> seorang pengarang yang baik, apalagi ia punya pengalaman bahwa guru2 
> bahasa Indonesianya semasa di SMP dan SMA harus lebih banyak membaca 
> daripada dirinya.
>
>  "Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan kemampuanku dalam bidang

> sastra dan penulisan dengan banyak membaca. Dan membaca tidak usah di 
> sekolah. Tidak usah juga bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal 
> huruf-huruf. Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan. 
> Dalam membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah 
> lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih
berbobot. 
> Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan menghargaiku
sebagai 
> pengarang. Akhirnya yang penting dalam hidup adalah prestasi yang
diakui 
> oleh masyarakat. Berapa banyak orang yang mempunyai ijazah tinggi dan 
> menduduki jabatan penting dalam masyarakat tetapi tidak pernah 
> memperlihatkan prestasi pribadi ? Mereka akan lenyap dari ingatan 
> masyarakat kalau mereka sudah pensiun atau setelah meninggal. Aku
ingin 
> tetap dikenang orang walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana
ini. 
> Dan hal itu hanya dapat dicapai dengan berkerja keras, dengan mencipta
> karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat namaku kalau karya-karya
yang 
> kutulis bermutu" begitu tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman 
> 167-168.
>
>  Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis surat
kepada 
> gurunya di atas kartu pos, "saya tidak jadi ikut ujian nasional karena

> saya akan membuktikan bahwa saya dapat hidup tanpa ijazah"  Luar biasa

> keputusan anak remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu orang

> tuanya di Jatiwangi.
>
>  Dan puluhan tahun berikutnya adalah puluhan tahun pembuktian bahwa
Ajip 
> bisa hidup tanpa ijazah. Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa
akan 
> berhasil luar biasa juga. Setahun sebelum  ia keluar dari SMA, buku 
> pertamanya telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul 
> "Tahun-Tahun Kematian" (kumpulan cerpen). Itu adalah buku pertama yang

> mengawali sebanyak lebih dari 110 judul buku berikutnya selama puluhan

> tahun kemudian. Ajip menulis buku-buku baik kumpulan cerpen, kumpulan 
> puisi, roman, drama, penulisan kembali cerita rakyat, cerita wayang, 
> bacaan anak-anak, kumpulan humor, esai dan kritik, polemik, memoar,
bunga 
> rampai, buku terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap karya

> Ajip di buku otobiografi ini). Ajip menulis baik dalam bahasa Sunda
maupun 
> bahasa Indonesia. Banyak karyanya diterjemahkan oleh penerbit 
> internasional ke dalam bahasa-bahasa asing Belanda, Cina, Hindi,
Inggris, 
> Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, dan lain-lain.
>
>  Sepak terjang Ajip tak hanya dalam dunia penulisan sastra dan
sekitarnya. 
> Ia adalah redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar (1953-1955) saat

> Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi pemimpin redaksi
Majalah 
> Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan Cupumanik (sejak
2005).
>
>  Ajip juga adalah redaktur, pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia

> adalah seorang redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962
mendirikan 
> Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit 
> Tjupumanik di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka Jaya
dan 
> menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit Girimukti Pusaka, 
> Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin Penerbit Kiblat Buku Utama di 
> Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus berjalan sampai Sekarang 
> (Pustaka Jaya), ada juga yang telah lama berhenti.
>
>  Ajip juga sangat giat dalam berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur
16 
> tahun) menjadi anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun
1956 
> menjadi anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981
menjadi 
> ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968
atas 
> prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan Penerbit Indonesia

> (IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage, sebuah

> yayasan yang mengapresiasi karya-karya sastra daerah dalam bahasa
Sunda, 
> Jawa, dan Bali.
>
>  Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan kehormatan. Tahun 
> 1960-1962 dia adalah anggota Badan Pertimbangan Ilmu Pengetahuan
bidang 
> Sastra dan Sejarah. Tahun 1978-1980 sebagai staf ahli menteri
Pendidikan 
> dan Kebudayaan, tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional,
tahun 
> 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku
Nasional. 
> Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta.
>
>  Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, bukan
sarjana, 
> tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia diangkat sebagai
dosen 
> luar biasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran di Bandung.
Ajip 
> pun sering diundang memberikan kuliah umum di berbagai perguruan
tinggi di 
> seluruh Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting 
> Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka,  Jepang. Ajip
mengajar di 
> Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar Luar
Biasa 
> pada tahun 1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara, Jepang. Tahun 
> 1983-1996 menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto Sangyo Daigaku di
Kyoto. 
> Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang ke Indonesia pada tahun 2003. 
> Sekalipun Ajip berada di Jepang selama 22 tahun, dia tetap menulis 
> buku2nya dalam bahasa Sunda dan Indonesia, tetap berhubungan dengan
para 
> penggiat sastra di Tanah Air, dan tetap memantau serta mengelola 
> organisasi2 yang pernah didirikannya dari jauh.
>
>  Sebagai penggiat sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di 
> berbagai simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya
mengenai 
> kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa, baik di 
> tingkat daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai
orang 
> yang mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta sebagai
anggota 
> dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan bidang sastra dan
kesenian.
>
>  Ajip dan organisasinya pun beberapa kali mendapatkan dana nasional
maupun 
> internacional untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972 Ajip

> mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda.
Tahun 
> 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation untuk
meneliti 
> kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan Ensiklopedi Sunda (telah
terbit 
> pada tahun 2000). Tahun 1960-1994 meneliti puisi Sunda, dan hasilnya 
> dituliskan dalam tiga jilid buku dengan tabal total 1700 halaman
(telah 
> terbit dua jilid).
>
>  Karena dedikasinya yang total lepada kesustraan dan kebudayaan, Ajip 
> beberapa kali diganjar penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra
Nasional 
> untuk kumpulan puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku
kumpulan 
> cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 : Hadiah Seni,
1994 
> : penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda terbaik, 1999 : 
> penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold Rays with Neck Ribbon
dari 
> Jepang, 2003 : penghargaan Mastera dari Brunei, 2004 : Teeuw Award
dari 
> Belanda.
>
>  Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. Ia
berkarya 
> sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, menekuni sastra
dan 
> budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 tahun.
>
>  Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita bisa mengetahui bahwa 
> pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan kalangan sesama sastrawan dan 
> budayawan, juga dengan banyak tokoh dari berbagai bidang baik di
Indonesia 
> maupun peneliti2 asing yang datang ke Indonesia untuk meneliti sastra
dan 
> budaya Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip dengan tokoh2

> seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Asrul Sani,
Affandi, 
> Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa dibaca di sini.

> Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami Indonesia entah
itu 
> pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2 dari tahun2 1940-an
sampai 
> sekarang bisa dibaca juga di sini. Ajip juga menceritakan pikiran dan 
> sikapnya tentang itu semua dan hal2 yang dialaminya, termasuk saat
gempa 
> Kobe di Jepang,  sebagaimana layaknya sebuah otobiografi. Buku
otobiografi 
> setebal 1364 halaman ini adalah salah satu dari buku2 otobiografi
paling 
> tebal yang pernah ditulis.
>
>  Kata seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka dengan kelebihan
yang 
> tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio
Sastrowardojo 
> (Dr. Faruk dalam Kompas 31 Mei 2003).
>
>  "Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa buku ini
merupakan 
> usaha Ajip untuk memamerkan kehebatannya sebagai orang yang "kurang 
> sekolah", tetapi berhasil mencapai prestasi internasional. Tentu saja 
> tuduhan itu sukar dibantah. Meskipun tentunya sah-sah saja bagi orang 
> berprestasi untuk memamerkan prestasinya, apalagi prestasi ini dicapai

> melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras. Ajip sudah 
> merupakan seorang yang dihargai di Indonesia, dia tak akan perlu 
> memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya lebih kepada keinginan untuk

> mengawetkan kenangan2 dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman dengan
orang 
> lain", begitu tulis Arief Budiman dari Melbourne, teman karib Ajip,
dalam 
> kata pengantar otobiografi ini.
>
>  Satu hal yang sangat penting yang merupakan pesan Ajip melalui buku
ini 
> adalah : meskipun pendidikan sangat penting, orang bisa juga berhasil 
> meskipun tidak atau kurang sekolahnya. Ajip telah membuktikan kepada
kita 
> semua bahwa ia bisa hidup dan berhasil sampai punya reputasi
internasional 
> bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga perguruan tinggi di luar
negeri 
> meskipun tak punya gelar akademik apa pun, bahkan ijazah SMA pun tak
ia 
> miliki, Ajip benar2 : hidup tanpa ijazah.
>
>  "Ajip akan diterjang kegelisahan yang luar biasa saat ia mandeg
membaca 
> dan gagap menulis" (Maman S. Mahayana dalam Panji Mas, Februari 2003).
>
>
>
>  salam,
>  awang
>
>
> ---------------------------------
> Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage. 


------------------------------------------------------------------------
--------
PIT IAGI KE-37 (BANDUNG)
* acara utama: 27-28 Agustus 2008
* penerimaan abstrak: kemarin2 s/d 30 April 2008
* pengumuman penerimaan abstrak: 15 Mei 2008
* batas akhir penerimaan makalah lengkap: 15 Juli 2008
* abstrak / makalah dikirimkan ke:
www.grdc.esdm.go.id/aplod
username: iagi2008
password: masukdanaplod

------------------------------------------------------------------------
--------
PEMILU KETUA UMUM IAGI 2008-2011:
* pendaftaran calon ketua: 13 Pebruari - 6 Juni 2008
* penghitungan suara: waktu PIT IAGI Ke-37 di Bandung
AYO, CALONKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!!

------------------------------------------------------------------------
-----
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information
posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no
event shall IAGI and its members be liable for any, including but not
limited to direct or indirect damages, or damages of any kind
whatsoever, resulting from loss of use, data or profits, arising out of
or in connection with the use of any information posted on IAGI mailing
list.
---------------------------------------------------------------------


--------------------------------------------------------------------------------
PIT IAGI KE-37 (BANDUNG)
* acara utama: 27-28 Agustus 2008
* penerimaan abstrak: kemarin2 s/d 30 April 2008
* pengumuman penerimaan abstrak: 15 Mei 2008
* batas akhir penerimaan makalah lengkap: 15 Juli 2008
* abstrak / makalah dikirimkan ke:
www.grdc.esdm.go.id/aplod
username: iagi2008
password: masukdanaplod

--------------------------------------------------------------------------------
PEMILU KETUA UMUM IAGI 2008-2011:
* pendaftaran calon ketua: 13 Pebruari - 6 Juni 2008
* penghitungan suara: waktu PIT IAGI Ke-37 di Bandung
AYO, CALONKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!!

-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke