Abah, Puisinya mesti dilagukan dengan pupuh kinanti. Buku Pak Ajip saya beli di Gramedia di bagian buku2 baru.
salam, awang "yanto R.Sumantri" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: A wang Terima kasih kanggo sisindiranna, dilagukeun-na nganggo kinanti atanapi pangkur ? Eh, dimana bisa beli itu buku ? Si Abah ________________________________________________________________________ > Abah, > > Mungkiwn saja Ajip akeliru, kemnungkinan itu sudah diakuinya seperti > ditulisnya di kata pengantar bukunya pada halaman 4, > > "Akhirnya saya memohon maaf kalau ternyata ingatan yang saya tulis dalam > otobiografi ini membangunkan macan tidur, tidak mustahil karena ingatan > saya keliru, tetapi mungkin karena mengenai sesuatu kejadian yang kita > alami bersama, masing-masing akan mempunyai kesan dan kenangan yang > berbeda.Yang tersaji dalam otobiografi ini adalah kesan dan ingatan yang > ada pada saya.Orang lain yang juga mengalami peristiwa yang sama dengan > saya mungkin mempunyai kesan dan ingatan yang berbeda." > > Sebenarnya sisi paling menarik dari buku ini adalah bukan soal sekolah > atau gelar, tetapi pengalaman Ajip semasa Ali Sadikin jadi gubernur DKI > (saat Ajip hampir saja diangkat jadi menteri tetapi kemudian "disikut"), > saat Ajip bersama sahabat2nya, pengalaman Ajip sebagai orang Indonesia > di Jepang, pengalaman Ajip mengamati reformasi, dan masih banyak lagi > peristiwa yang menyangkut tokoh2 yang kita kenal yang dia tulis dengan > lugas apa adanya (maka Ajip menulis di kata pengantar, mohon maaf kalau > sampai membangunkan macan tidur). Mungkin ada/banyak orang akan > tersinggung dengan tulisan Ajip ini, bisa saja nanti ada otobiografi > tandingan he2..(seperti Habibie lawan Prabowo). > > Gaya penulisan buku ini mirip puisi Sunda seperti di bawah, ditulis apa > adanya, tanpa berseni, tanpa emosi, tanpa perasaan, hanya menceritakan > fakta dan peristiwa. > > "Ngebul curug Cikapundung, > cai tiguling teu eling, > seahna ayeuh-ayeuhan, > cai mulang cai malik, > leumpang laun reureundeuheun > taya kalali kaeling" > > Hasan Mustopa (1852-1830) > > salam, > awang > > "yanto R.Sumantri" wrote: > > > >> Rekan rekan > > Saya jadi tergelitik ingin memberikan > komentar mengenai orang Sunda yang uar biasa ini. > Ayip adalah manusia > angka yang mempunyai keteguhan daam memegang prinsip dalam menjalani > profesinya sebagai sastrawan. > > Tapi ada yang agak > menjadikan pertanyaan bagi Si Abah > > > Benarkah Ayip tidak > menamatkan SMA- nya , karena dia meihat PADA Masa ITU BEGITU > MUDAHNYA ORANG MENYOGOK , MENCARI BAHAN UJIAN agar dapat lulus > ? > > Saya lebih muda enam atau tujuh tahun dari Ayip , jadi kira > kira Ayip menamatkan SMA-nya pada tahun 1956 / 57 . > Setahu saya > sistim ujian SMA yang nasional sangat tertib , dan angka kelulusan tidak > pernah ada yang 100 % atau sangat jarang. > Ditempat saya di Bandung > SMA yang "terkemuka " seperti SMA III , St Aleysus pun > tidak 100 %. > Saya tidak pernah mendengar pada saat saya SMA ada > bahan ujian bocor , atau nyogok guru dsb untuk lulus > Pada saat > itu guru guru kita hormati , walaupun saya termasuk murid yang bandel , > Kepala Sekolah saya di SMP waktu itu mempunyai rumah di jaan Sultan > Tirtayasa , daerah utara yyang merupakann tempat tinggal penggede di > Bandung. Hal yang sama juga berlaku bagi Kepsek SMA II , SMAIII , jadi > waktu itu kelihatannya hidup mereka lebih dari umayan. > > Saya > tidak tahu apakah memor Ayip agak terganggu .dan agak tercampurkan antara > kejadian tempo doeloe dia dengan dengan kejadian saat ini dimana memang > sering terjadi skandal mengenai ujian nasional ? Ataukah ini hanya dialami > oleh Ayip sendiri ? > Mungkin pak Awang bisa menjawab . > > Memang "nobody is perfect . > > Si Abah > > > > > > Ada seorang putra Indonesia yang tak > punya gelar akademik sama sekali, >> bahkan ijazah SMA pun tak > punya karena ia tidak menamatkan SMA-nya, tetapi >> ia diangkat > sebagai gurubesar di tiga perguruan tinggi di Jepang. >> Bagaimana > bisa ? >> >> Kita barangkali akan sulit meneladani tokoh > yang satu ini, bukannya >> tidak mampu, tetapi kesempatan yang ada > pada masa kita hidup saat ini >> sudah jauh berbeda dengan > kesempatan yang lebar terbuka pada saat >> dahulu. Orang harus > mampu, dan ada kesempatan untuk menunjukkannya, maka >> ia akan > sukses. Memang kesempatan bisa diciptakan, tetapi belum tentu >> > selalu menjadi terbuka. Ini cerita tentang seseorang, barangkali ada >> manfaatnya, paling tidak menekankan : no pain no gain ! >> > >> Sebuah buku baru diterbitkan Pustaka Jaya, Januari 2008. > Tebalnya >> setebal bantal, 1364 halaman, dicetak di kertas HVS. > Meskipun tebal dan >> cetakannya bagus, harganya murah untuk buku > setebal ini, Rp 95.000 >> (bandingkan dengan buku seri Harry Potter > terakhir, Deadly Hollows, >> tebal 1008 halaman, berkertas dengan > kualitas di bawah HVS, berharga Rp >> 175.000). Saat mengetahui > harganya, saya cukup kaget juga, buku-buku >> yang dicetak biasa > (bukan deluks) dengan tebal sekitar 200-300 halaman >> kini harga > rata-ratanya sekitar Rp 35.000-50.000, dengan harga rata2 itu >> > maka buku tebal Pustaka Jaya ini mestinya berharga sekitar Rp 250.000. >> Bagaimana buku setebal 1364 halaman ini harganya hanya Rp 95.000 > ? >> >> Saya mendapatkan jawabannya pada halaman 1329 di > buku ini dalam Ucapan >> Terimakasih. Buku yang akan > saya ceritakan ini memang harga seharusnya >> adalah sekitar Rp > 300.000. Tetapi, siapa yang mau membeli buku setebal >> 1364 > halaman dengan harga Rp 300.000 ? Kata Rosihan Anwar, wartawan dan >> penulis senior itu, tebal buku maksimal yang masih menarik untuk > dibaca >> orang-orang Indonesia adalah sekitar 300-400 halaman. > Memang Rosihan >> Anwar menganjurkan penulis buku ini untuk > memotong bukunya sampai >> menjadi maksimal 400 halaman saja, > tetapi penulisnya merasa sayang >> memotong manuskripnya yang sudah > sampai 1000 halaman, jadi ia tak >> memotongnya sama sekali, maka > akhirnya menjadi 1364 halaman. Harganya ? >> Ada sekitar 100 orang, > sebagian di antaranya tokoh-tokoh terkenal >> Indonesia dan Manca > Negara dari berbagai latar belakang, dari seniman >> sampai > birokrat, dari ilmuwan sampai jenderal, yang bersedia membeli >> > buku ini dengan harga edisi khusus dan terjadilah subsidi silang >> > sehingga >> masyarakat umum dapat membelinya Rp 95.000. Sebuah ide > bagus ! >> >> Baik, saya ceritakan saja buku ini. > Judulnya adalah Hidup Tanpa Ijazah >> : Yang Terekam dalam > Kenangan, sebuah otobiografi Ajip Rosidi, >> sastrawan dan > budayawan Indonesia. Buku ini ditulis dalam waktu kurang >> dari > setahun, ditulis atas anjuran teman-teman Ajip dan mengejar waktu >> agar telah terbit saat Ajip berusia 70 tahun pada 31 Januari 2008. > Buku >> ini ditulis oleh Ajip sendiri, jadi bukan otobiografi > pesanan seperti >> banyak dipesankan oleh para tokoh politik dan > militer (namanya >> otobiografi ya harusnya ditulis sendiri dong, > kalau dituliskan orang >> lain ya namanya biografi). Walaupun buku > ini mulai ditulis tahun 2006, >> Ajip dapat merekam dengan cukup > detail peristiwa2 puluhan tahun >> sebelumnya sejak Ajip anak-anak, > remaja, pemuda, dewasa muda, dewasa, >> sampai usianya sekarang (70 > tahun). Pasti Ajip biasa menulis jurnal >> kegiatan harian sehingga > ia bisa menuliskan kembali peristiwa >> sehari-hari puluhan tahun > ke belakang. >> >> Mengapa Ajip memberi judul buku ini > Hidup Tanpa Ijazah ? Karena Ajip >> tak punya ijazah > apa-apa, ijazah SMA pun tidak, sebab ia keluar sebelum >> ujian > akhir SMA (Taman Madya). Ajip tidak pernah kuliah, bukan sarjana, >> tentu bukan master, apalagi doktor. Ia hanya seorang otodidaktis > (pelaku >> otodidak) tulen. Tetapi, lihat karya, sepak terjang, dan > pengakuannya. >> Itu semua melebihi pencapaian rata-rata sarjana, > master, doktor, dan >> profesor pada umumnya. >> >> > Saya tidak akan menceritakan dengan detail isi buku ini, untuk yang >> berminat silakan membelinya saja. Saya ingin menyoroti mengapa > Ajip >> keluar sekolah, tidak mau meneruskan sekolahnya, > otodidaknya, dan karya, >> sepak terjang, serta pengakuannya. > Dengan sikap dan kiprahnya seperti >> itu Ajip adalah manusia > langka, bukan hanya di Indonesia, di dunia pun >> jarang yang > seperti dia. >> >> Ajip lahir di Jatiwangi, Kabupaten > Majalengka, wilayah yang banyak >> menghasilkan genteng dan kecap > itu, pada 31 Januari 1938. Menempuh >> pendidikan hanya sampai > setingkat SMA yaitu di Taman Madya, Taman Siswa >> Jakarta, itu pun > tidak tamat.Tahun 1956 dia dengan sengaja keluar dari >> sekolahnya > seminggu sebelum ujian akhir dimulai. Pendidikan formalnya >> > berakhir 52 tahun yang lalu. Tetapi, ia tidak pernah berhenti belajar. >> Pendidikan dan belajar tak harus di satu tempat. Pendidikan harus > di >> sekolah, belajar bisa di mana saja. >> >> > Saat Ajip mau menempuh ujian nasional, ramai terjadi kebocoran > soal-soal >> ujian, orang tak segan mengeluarkan uang dalam jumlah > banyak untuk >> membeli soal ujian, guru-guru pun bisa disogok. Di > koran-koran timbul >> polemik tentang manfaat ujian. Dipertanyakan > tentang keabsahan ujian >> untuk menilai prestasi murid yang > sebenarnya. Ajip muda (16 tahun) >> berkesimpulan : orang tidak > segan melakukan perbuatan hina, membeli soal >> ujian atau menyogok > guru, demi lulus ujian. Untuk apa lulus ujian ? >> Untuk dapat > ijazah. Untuk apa ijazah ? Untuk melamar kerja. Untuk apa >> kerja > ? Untuk dapat hidup. Kalau begitu, hidup berarti bergantung kepada >> secarik kertas bernama ijazah ! Ajip terkejut sendiri dengan >> kesimpulannya. Ia saat itu telah empat tahun berkarya (Ajip > mulai >> mengirimkan tulisan2 cerita dan puisi dan dimuat di > koran2 dan majalah2 >> sejak tahun 1952 saat umurnya masih 14 > tahun) dan telah merasa bisa >> hidup cukup mandiri dengan > honorariumnya. Ajip bertanya, apakah seorang >> pengarang >> > membutuhkan ijazah untuk bisa hidup ? Tidak. >> >> Ajip > memutuskan bahwa hidupnya tidak akan digantungkan kepada selembar >> ijazah. Prestasinya tidak akan bergantung kepada selembar > ijazah. >> Menurutnya tak ada sekolah atau universitas yang dapat > menuntunnya >> menjadi seorang pengarang yang baik, apalagi ia > punya pengalaman bahwa >> guru2 bahasa Indonesianya semasa di SMP > dan SMA harus lebih banyak >> membaca daripada dirinya. >> > >> Aku akan dapat meningkatkan pengetahuan dan > kemampuanku dalam bidang >> sastra dan penulisan dengan banyak > membaca. Dan membaca tidak usah di >> sekolah. Tidak usah juga > bersekolah tinggi karena aku sudah mengenal >> huruf-huruf. > Buku-buku dapat dibeli, atau dipinjam dari perpustakaan. >> Dalam > membaca aku dapat melampaui kebanyakan orang yang punya ijazah >> > lebar. Dengan kian luasnya bacaanku, maka tulisanku akan lebih > berbobot. >> Kalau tulisanku berbobot, niscaya orang-orang akan > menghargaiku sebagai >> pengarang. Akhirnya yang penting dalam > hidup adalah prestasi yang diakui >> oleh masyarakat. Berapa banyak > orang yang mempunyai ijazah tinggi dan >> menduduki jabatan penting > dalam masyarakat tetapi tidak pernah >> memperlihatkan prestasi > pribadi ? Mereka akan lenyap dari ingatan >> masyarakat kalau > mereka sudah pensiun atau setelah meninggal. Aku ingin >> tetap > dikenang orang walaupun aku sudah meninggalkan dunia yang fana >> > ini. Dan hal itu hanya dapat dicapai dengan berkerja keras, dengan >> mencipta >> karya yang bagus. Orang akan tetap mengingat > namaku kalau karya-karya >> yang kutulis bermutu begitu > tulis Ajip Rosidi di dalam buku ini halaman >> 167-168. >> > >> Dan, keluarlah Ajip dari sekolah alias drop out, dia menulis > surat >> kepada gurunya di atas kartu pos, saya tidak jadi > ikut ujian nasional >> karena saya akan membuktikan bahwa saya > dapat hidup tanpa ijazah Luar >> biasa keputusan anak > remaja ini, keputusan sendiri, tanpa memberi tahu >> orang tuanya > di Jatiwangi. >> >> Dan puluhan tahun berikutnya adalah > puluhan tahun pembuktian bahwa Ajip >> bisa hidup tanpa ijazah. > Sebuah bakat yang ditekuni secara luar biasa >> akan berhasil luar > biasa juga. Setahun sebelum ia keluar dari SMA, buku >> pertamanya > telah terbit ketika umurnya masih 17 tahun, berjudul >> > Tahun-Tahun Kematian (kumpulan cerpen). Itu adalah buku > pertama yang >> mengawali sebanyak lebih dari 110 judul buku > berikutnya selama puluhan >> tahun kemudian. Ajip menulis buku-buku > baik kumpulan cerpen, kumpulan >> puisi, roman, drama, penulisan > kembali cerita rakyat, cerita wayang, >> bacaan anak-anak, kumpulan > humor, esai dan kritik, polemik, memoar, >> bunga rampai, buku > terjemahan, biografi (ada 10 halaman daftar lengkap >> karya Ajip > di buku otobiografi ini). Ajip menulis baik dalam bahasa >> Sunda > maupun bahasa Indonesia. Banyak karyanya diterjemahkan oleh >> > penerbit internasional ke dalam bahasa-bahasa asing Belanda, Cina, >> Hindi, Inggris, Jepang, Jerman, Kroasia, Prancis, Rusia, Thai, > dan >> lain-lain. >> >> Sepak terjang Ajip tak > hanya dalam dunia penulisan sastra dan >> sekitarnya. Ia adalah > redaktur dan Pemimpin majalah Suluh Pelajar >> (1953-1955) saat > Ajip masih duduk di SMP dan SMA. Juga ia menjadi >> pemimpin > redaksi Majalah Sunda (1965-1967), Budaya Jaya (1968-1979), dan >> > Cupumanik (sejak 2005). >> >> Ajip juga adalah redaktur, > pendiri dan pemimpin usaha2 penerbitan. Ia >> adalah seorang > redaktur Balai Pustaka (1955-1956). Tahun 1962 mendirikan >> > Penerbit Kiwari, tahun 1964-1969 mendirikan dan memimpin Penerbit >> Tjupumanik di Jatiwangi. Tahun 1971 mendirikan Penerbit Pustaka > Jaya dan >> menjadi pemimpinnya. Tahun 1981 mendirikan Penerbit > Girimukti Pusaka, >> Tahun 2000 ia mendirikan dan memimpin Penerbit > Kiblat Buku Utama di >> Bandung. Usaha penerbitannya ada yang terus > berjalan sampai Sekarang >> (Pustaka Jaya), ada juga yang telah > lama berhenti. >> >> Ajip juga sangat giat dalam > berorganisasi, misalnya tahun 1954 (umur 16 >> tahun) menjadi > anggota Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional. Tahun 1956 >> menjadi > anggota Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda. Tahun 1972-1981 menjadi >> > ketua Dewan Kesenian Jakarta (dewan ini juga dibentuk pada tahun 1968 >> atas prakarsa Ajip. Tahun 1973-1979 sebagai ketua Ikatan > Penerbit >> Indonesia (IKAPI). Tahun 1993 Ajip mendirikan Yayasan > Kebudayaan >> Rancage, sebuah yayasan yang mengapresiasi > karya-karya sastra daerah >> dalam bahasa Sunda, Jawa, dan Bali. >> >> Ajip juga menduduki banyak anggota badan-badan > kehormatan. Tahun >> 1960-1962 dia adalah anggota Badan > Pertimbangan Ilmu Pengetahuan bidang >> Sastra dan Sejarah. Tahun > 1978-1980 sebagai staf ahli menteri Pendidikan >> dan Kebudayaan, > tahun 1979-1982 menjadi anggota Dewan Fim Nasional, >> tahun > 1979-1980 menjadi anggota Dewan Pertimbangan Pengembangan Buku >> > Nasional. Tahun 2002 diangkat menjadi anggota Akademi Jakarta. >> > >> Meskipun Ajip tak menamatkan SMA-nya, tak pernah kuliah, > bukan sarjana, >> tentu bukan master, apalagi doktor, tahun 1967 ia > diangkat sebagai dosen >> luar biasa pada Fakultas Sastra > Universitas Padjadjaran di Bandung. Ajip >> pun sering diundang > memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi >> di seluruh > Indonesia. Dan, tahun 1981, Ajip diangkat sebagai Visiting >> > Professor pada Osaka Gaikokugo Daigaku di Osaka, Jepang. Ajip mengajar >> di Jepang sampai tahun 2003. Ajip pun diangkat sebagai Gurubesar > Luar >> Biasa pada tahun 1983-1994 di Tenri Daigaku di Tenri, Nara, > Jepang. >> Tahun 1983-1996 menjadi Gurubesar Luar Biasa pada Kyoto > Sangyo Daigaku >> di Kyoto. Pensiun sebagai guru besar, Ajip pulang > ke Indonesia pada >> tahun 2003. Sekalipun Ajip berada di Jepang > selama 22 tahun, dia tetap >> menulis buku2nya dalam bahasa Sunda > dan Indonesia, tetap berhubungan >> dengan para penggiat sastra di > Tanah Air, dan tetap memantau serta >> mengelola organisasi2 yang > pernah didirikannya dari jauh. >> >> Sebagai penggiat > sastra, tentu Ajip pun banyak menjadi pembicara di >> berbagai > simposium, seminar, kongres, konferensi atau lokakarya mengenai >> > kebudayaan dan kesenian, terutama tentang sastra dan bahasa, baik di >> tingkat daerah, nasional, regional, maupun internasional. Sebagai > orang >> yang mumpuni dalam bidang sastra, Ajip pun kerap diminta > sebagai anggota >> dewan juri dalam menilai berbagai perlombaan > bidang sastra dan kesenian. >> >> Ajip dan organisasinya > pun beberapa kali mendapatkan dana nasional >> maupun internacional > untuk penelitian sastra dan budaya. Tahun 1969-1972 >> Ajip > mendirikan dan memimpin proyek penelitian pantun dan folklor Sunda. >> Tahun 1960-1967 Ajip mendapatkan dana dari the Toyota Foundation > untuk >> meneliti kebudayaan Sunda dalam rangka penyusunan > Ensiklopedi Sunda >> (telah terbit pada tahun 2000). Tahun > 1960-1994 meneliti puisi Sunda, >> dan hasilnya dituliskan dalam > tiga jilid buku dengan tabal total 1700 >> halaman (telah terbit > dua jilid). >> >> Karena dedikasinya yang total lepada > kesustraan dan kebudayaan, Ajip >> beberapa kali diganjar > penghargaan, yaitu 1957 : Hadiah Sastra Nasional >> untuk kumpulan > puisinya, 1960 : Hadiah Sastra Nasional untuk buku >> kumpulan > cerpennya, 1974 : Cultural Award dari Australia, 1993 : Hadiah >> > Seni, 1994 : penghargaan sebagai salah satu dari 10 putra Sunda > terbaik, >> 1999 : penghargaan Order of the Sacred Treasure, Gold > Rays with Neck >> Ribbon dari Jepang, 2003 : penghargaan Mastera > dari Brunei, 2004 : Teeuw >> Award dari Belanda. >> >> Demikian sekilas karya-karya dan pencapaian-pencapai an Ajip. > Ia >> berkarya sejak berumur 14 tahun sampai kini usianya 70 tahun, > menekuni >> sastra dan budaya Sunda dan sastra Indonesia selama 56 > tahun. >> >> Di dalam buku ini, yang berisi 23 bab, kita > bisa mengetahui bahwa >> pergaulan Ajip begitu luas, baik dengan > kalangan sesama sastrawan dan >> budayawan, juga dengan banyak > tokoh dari berbagai bidang baik di >> Indonesia maupun peneliti2 > asing yang datang ke Indonesia untuk meneliti >> sastra dan budaya > Indonesia. Bagaimana pergaulan dan pandangan Ajip >> dengan tokoh2 > seperti Ali Sadikin, Mochtar Lubis, Taufik Ismail, Asrul >> Sani, > Affandi, Gus Dur, Nurcholish Madjid, dan masih banyak lagi bisa >> > dibaca di sini. Pengamatannya tentang kejadian2 penting yang dialami >> Indonesia entah itu pertikaian politik, bencana, korupsi, dan lain2 > dari >> tahun2 1940-an sampai sekarang bisa dibaca juga di sini. > Ajip juga >> menceritakan pikiran dan sikapnya tentang itu semua > dan hal2 yang >> dialaminya, termasuk saat gempa Kobe di Jepang, > sebagaimana layaknya >> sebuah otobiografi. Buku otobiografi > setebal 1364 halaman ini adalah >> salah satu dari buku2 > otobiografi paling tebal yang pernah ditulis. >> >> Kata > seorang pengamat, Ajip adalah seorang langka dengan kelebihan yang >> tidak dimiliki H.B. Jassin, Goenawan Mohamad, dan Soebagio > Sastrowardojo >> (Dr. Faruk dalam Kompas 31 Mei 2003). >> > >> Mungkin ada orang yang membaca buku ini menuduh bahwa > buku ini >> merupakan usaha Ajip untuk memamerkan kehebatannya > sebagai orang yang >> kurang sekolah, tetapi berhasil > mencapai prestasi internasional. Tentu >> saja tuduhan itu sukar > dibantah. Meskipun tentunya sah-sah saja bagi >> orang berprestasi > untuk memamerkan prestasinya, apalagi prestasi ini >> dicapai > melalui perjuangan dan usaha sendiri dengan kerja keras. Ajip >> > sudah merupakan seorang yang dihargai di Indonesia, dia tak akan perlu >> memamerkan diri lagi, buku ini ditulisnya lebih kepada keinginan > untuk >> mengawetkan kenangan2 dan pikiran2-nya, berbagi pengalaman > dengan orang >> lain, begitu tulis Arief Budiman dari > Melbourne, teman karib Ajip, >> dalam kata pengantar otobiografi > ini. >> >> Satu hal yang sangat penting yang merupakan > pesan Ajip melalui buku ini >> adalah : meskipun pendidikan sangat > penting, orang bisa juga berhasil >> meskipun tidak atau kurang > sekolahnya. Ajip telah membuktikan kepada >> kita semua bahwa ia > bisa hidup dan berhasil sampai punya reputasi >> internasional > bahkan sampai menjadi gurubesar di tiga perguruan tinggi >> di luar > negeri meskipun tak punya gelar akademik apa pun, bahkan ijazah >> > SMA pun tak ia miliki, Ajip benar2 : hidup tanpa ijazah. >> >> Ajip akan diterjang kegelisahan yang luar biasa saat ia > mandeg membaca >> dan gagap menulis (Maman S. Mahayana dalam > Panji Mas, Februari 2003). >> >> >> >> > salam, >> awang >> >> >> > --------------------------------- >> Never miss a thing. Make > Yahoo your homepage. > > > _______________________________________________ > Nganyerikeun hate > batur hirupna mo bisa campur, ngangeunahkeun hate jalma hirupna pada === message truncated === --------------------------------- Looking for last minute shopping deals? Find them fast with Yahoo! Search.