Jangkrik dan tektonik lempeng ternyata berhubungan (!). 
   
  Wilayah endemisme jangkrik (cicada) di Papua tepat mengikuti batas-batas 
terrane yang beramalgamasi menyusun Papua. Itu yang terlihat bila kita melihat 
peta area endemisme jangkrik di Papua, Papua New Guinea (PNG), dan Pasifik 
Barat. Artikel tentang area jangkrik di Papua tersebut ditulis oleh dua orang 
ahli serangga dari University of Amsterdam : Hans Duffels dan Arnold de Boer 
(2007), berjudul, “Cicada Endemism in Papua”. Artikel ini muncul di buku baru 
Periplus “Ecology of Papua” halaman 532-538. Buku ekologi ini merupakan judul 
terakhir dari seri buku-buku ekologi Indonesia yang terbit sejak 1981. 
   
  Bila tertarik, buku ekologi Papua ini (dua volume) bisa dibeli di gerai 
Periplus yang biasa ada di bandara. Harganya masih mahal, Rp 900.000 untuk dua 
volume (mungkin nantinya akan berkurang harganya – biasanya begitu seperti 
untuk judul-judul yang lain). Volume Papua ini lama dinanti, direncanakan dari 
awal 1990-an, baru terwujud setelah sekitar 15 tahun, itu pun dengan model yang 
berbeda dari judul-judul pulau lainnya, volume Papua ini berbentuk kumpulan 
artikel yang disunting (edited), bukan model sintesis seperti judul-judul 
sebelumnya.
   
  Kembali ke jangkrik, Duffels dan de Boer (2007) menulis bahwa para jangkrik 
yang suka bernyanyi keras (keluarga Hemiptera dan Cicadoidea) ini terwakili 
dengan baik untuk setiap wilayah di Papua dan PNG. Plotting distribusi 
spesies-spesies jangkrik ini bisa dikelompokkan ke dalam lima wilayah 
endemisme, yaitu : (1) Kepala Burung, (2) North New Guinea, (3) Central Range 
of Papua-PNG, (4) South New Guinea, dan (5) Papuan/PNG Peninsula. Kelima 
wilayah endemisme jangkrik Papua-PNG ini secara geologi merupakan 
kesatuan-kesatuan geologi (provinsi geologi/mandala geologi/terrane geologi) 
yang berbeda-beda. 
   
  Berdasarkan pengetahuan tektonik Papua (misalnya rekonstruksi Hall, 2002 - 
Journal of Asian Earth Sciences, 20 (2002); atau van Ufford dan Cloos, 2005 – 
AAPG Bull v. 89, no. 1; atau publikasi saya dkk.–Satyana et al., 2007-PIT IAGI 
Bali, dan Satyana et al., 2008 di PIT IPA besok) amalgamasi terrane2 pembentuk 
Papua-PNG seperti sekarang ini terjadi secara berurutan. Terrane2 ini 
mengakresi wilayah inti Papua-PNG yaitu South New Guinea yang merupakan bagian 
lempeng benua Australia (bagian selatan Papua-PNG sekarang). Central Range 
berakresi 25 Ma, Papuan Peninsula 15 Ma, North New Guinea 10 Ma, dan Kepala 
Burung 10 Ma.
   
  Mengapa endemisme bisa terjadi mengikuti terrane ? Menurut Duffels dan de 
Boer sebab jangkrik-jangkrik ini lama terisolasi di wilayah-wilayah terrane 
yang terpisah sebelum terrane tempat habitatnya berakresi. Apakah setelah 
berakresi para jangkrik ini tidak berbaur dengan jangkrik-jangkrik tetangganya 
? Secara dominan tidak, atau kalau terjadi pun minimal. Ini bisa dipahami sebab 
secara biologi jangkrik menghabiskan sebagian besar masa hidupnya sebagai larva 
di bawah tanah memakan akar tanaman. Bentuk dewasanya yang bersayap tak terbang 
jauh sebab paling lama mereka hanya hidup beberapa minggu.
   
  Terrane Kepala Burung punya 19 spesies jangkrik yang endemik (51 % dari total 
spesies yang ditemukan di Kepala Burung). Terrane Central Range Papua punya 22 
spesies jangkrik endemik (46 % dari total spesies yang ditemukan di Central 
Range). Jangkrik-jangkrik di wilayah ini ditemukan dari wilayah kaki pegunungan 
sampai ke ketinggian 3250 meter. Terrane North Papua punya 21 spesies jangkrik 
endemik (28 % dari total spesies di wilayah ini). Terrane South Papua punya 7 
spesies jangkrik endemik (30 % dari total spesies di wilayah ini). 
   
  Tingkat endemisme paling tinggi terjadi di Kepala Burung. Memahaminya secara 
tektonik, sebab terrane ini paling lama terisolasi sebelum terakresi membentuk 
Papua. Kepala Burung pun merupakan composite geological origins : mikrokontinen 
dan fragmen busur kepulauan. Sifat komposit ini tercermin dalam hubungan 
filogenetik genus-genus jangkrik di Kepala Burung. Genus Aedeastria dan 
Rhadinopyga menunjukkan ciri-ciri hubungan ke Papuan Peninsula dan Kepulauan 
Solomon, sedangkan genus Arfaka menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan spesies 
yang ditemukan di Sulawesi. Perlu diketahui bahwa Pegunungan Arfak di sebelah 
selatan Manokwari itu dibatasi Sesar Sorong di sebelah baratnya. Dan kita tahu 
pula bahwa sebagian kerak benua di Kepala Burung ini telah dipindahkan ke 
Sulawesi melalui Sesar Sorong-Sula pada Kala Miosen-Pliosen.
   
  De Boer (1995) bahkan mengeluarkan terminologi ini : ‘cicadas drift’ dalam 
makalah panjang lebar, “Islands and cicadas adrift in the West-Pacific, 
biogeographic patterns related toplate tectonics” (Tijdschrift voor Entimologie 
138, hal. 169-244). Cicadas drift indicated continental drift.
   
  Dulu saat saya masih belajar di SD, saya punya jangkrik bernama si Pelung, 
besar dibandingkan rata-rata ukuran jangkrik, kepalanya coklat, sungutnya 
mengerikan, membuat takut jangkrik-jangkrik lain. Saat malam-malam ia 
bernyanyi, tikus-tikus enggan keluar. Badannya kecil, tetapi suaranya menggema 
ke seluruh pojok rumah. Mencari penjual jangkrik sulit sekarang ini, jangkrik 
liar pun langka, rindu juga mendengarkannya. Di Pasar Senen saya pernah membeli 
jangkrik, jangkrik emas, terbuat dari logam, tersimpan di kotak, saat dibuka 
tutupnya, berbunyilah ia senyaring si Pelung, asal ada cahaya mengenainya. 
Jangkrik elektronik.
   
  Dulu anak-anak (ada juga orang dewasa) suka membenturkan jangkrik dengan 
sesamanya alias diadu, tetapi di Papua, ahli-ahli jangkrik yang tekun ternyata 
menemukan bahwa para jangkrik membuktikan benturan-benturan antar terranes. 
Luar biasa...
   
  salam,
  awang

       

Kirim email ke