BusinessWeek Indonesia Edisi 18 Juni 2008 Hilmi Panigoro (Chairman Medco Energi Internasional Tbk.): *Kita Butuh Satu Cepu Baru per Tahun*
Di tengah kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada akhir bulan lalu, kembali mencuat pertanyaan mengapa Indonesia tak mampu meningkatkan produksi minyaknya. Pemerintah dan pengamat—juga para setengah pengamat—telah saling lempar pendapat serta argumen. Fakta yang disepakati: penyebab utama penurunan adalah investasi untuk eksplorasi yang sangat minim. Perusahaan-perusaha an minyak tampak enggan melakukan pengeboran. Survei terbaru yang dilakukan PricewaterhouseCoop ers (PwC) menunjukkan para pelaku industri perminyakan yang beroperasi di Indonesia sebetulnya berniat meningkatkan belanja modal untuk mencari cadangan baru. Namun, mereka mengeluhkan sejumlah masalah fiskal, hukum, dan birokrasi sebagai penghambat investasi. Untuk memahami persoalan produksi minyak dari kacamata pelaku industri, BusinessWeek Indonesia berbincang dengan Hilmi Panigoro, Chairman PT Medco Energi Internasional Tbk. Lelaki ini memiliki posisi yang dihormati di kalangan perminyakan. Dari sisi keahlian, Hilmi diakui mumpuni karena merupakan sarjana geologi dan telah berkarir panjang dalam industri perminyakan. Dari sisi bisnis, alumnus Institut Teknologi Bandung ini berhasil membangkitkan Medco dari lilitan utang saat krisis ekonomi 1997 menjadi perusahaan minyak terdepan di Tanah Air. Berikut ini petikan obrolan di sore hari tersebut. *Apa penyebab mandeknya produksi minyak Indonesia? *Banyak pihak tidak mengerti persoalan engineering reservoir. Padahal, masalah sebenarnya ada di situ. Ini merupakan masalah yang sangat teknis. Karena banyak pihak yang sebetulnya tidak paham ikut bicara, terjadi simpang siur pendapat. *Jadi, secara teknis, apa yang terjadi? *Sekarang ini sekitar 95% lapangan minyak di Indonesia sudah masuk kategori mature. Artinya, tingkat produksinya sudah menurun dibandingkan saat berada di masa puncak. Bisanya, suatu sumur hanya berproduksi di masa puncak selama lima tahunan. Setelah itu menurun secara cepat dan kemudian penurunannya melambat. Di Indonesia, kebanyakan lapangan minyak sudah berumur di atas 15 tahun. Jadi, produksinya sudah rendah. Untuk sumur-sumur seperti ini, persoalannya bukan menaikkan produksi melainkan membuat tingkat penurunan melandai. Upaya ini dinamakan secondary recovery. Tetapi, untuk melakukan itu diperlukan biaya tambahan karena, misalnya, kita mesti memasukkan bahan kimia guna menjaga tingkat produksi. Yang juga perlu dipahami, meski tingkat produksi turun, ongkos produksi tetap. Sebab, di sumur tua ataupun muda, volume yang diangkat sama saja. Tetapi, kadar minyaknya turun sementara kadar airnya bertambah. Begitulah siklus hidup sumur minyak. Ini bisa dianalogikan sebagai manusia yang makin tua semakin membutuhkan perawatan, vitamin, dan sebagainya. *Jadi, kita harus membuka sumur baru? *Ya. Kita harus menemukan ladang-ladang muda baru. Harus dilakukan eksplorasi. Setiap tahun, perusahaan-perusaha an minyak telah menganggarkan dana yang besar untuk eksplorasi. Tetapi, ke mana perginya investasi itu? Mereka pergi ke tempat dengan faktor geologi dan ekonomi paling menarik. Sayangnya, Indonesia bukan tempat terbaik untuk investasi eksplorasi. Menurut survei PwC, pelaku industri minyak menganggap faktor geologi Indonesia masih menarik. Memang, faktor geologinya masih menarik. Tetapi, bagaimana dengan faktor lainnya? Saya beri satu contoh. Medco memiliki konsesi di Teluk Meksiko. Di sana, kami hanya membayar royalti sebesar 16,7%. That's it! Selebihnya untuk kami semua. *Ini di Teluk Meksiko bagian mana? Amerika Serikat atau Venezuela? *Ini di bagian Amerika Serikat. Padahal, kita tahu, faktor stabilitas politik di negara itu masih yang paling menarik. Jadi, geologinya menarik, political stability-nya menarik, dan insentif fiskalnya bagus sekali. Nah, kalau Anda menjadi perusahaan minyak besar dan memiliki dana $ 1 miliar untuk eksplorasi, lokasi mana yang akan dipilih? Karena itu, menurut saya, pemerintah mesti memberi insentif yang secara signifikan lebih bagus. Sebagai gambaran, insentif di wilayah Afrika Barat, seperti Angola, sudah lebih bagus dari kita. Di Yaman juga demikian. Yang juga harus diingat, potensi minyak terbesar Indonesia saat ini ada di wilayah Timur. Kita tahu, di sana infrastrukturnya belum established dan lautnya sangat dalam. Eksplorasi satu sumur bisa menelan $40-50 juta. Angka seperti itu bukan bagian perusahaan sekelas Medco. Itu bagiannya the major players. *Kembali ke survei PwC, para pelaku industri pesimistis akan terjadi perbaikan iklim investasi. *Akibatnya, kita akan melihat produksi minyak terus menurun. I can guarantee. *Bukankah ada Cepu? *Itu tidak ada artinya. *Bukankah cadangannya besar? *Sekarang ini Indonesia memproduksi sekitar 900.000 barel per hari. Angka itu akan turun sekitar 5% per tahun. Berapa tahun diperlukan untuk mengembangkan Cepu hingga berproduksi? Tiga atau empat tahun? Karena produksi yang lain turun dengan kecepatan 5% per tahun, kehadiran Cepu hanya cukup untuk menahan supaya tidak turun lebih tajam. Ya, nilainya mungkin akan naik sedikit dan kemudian turun lagi. Agar produksi Indonesia naik secara sustainable dalam jangka panjang, harus ada beberapa Cepu. Setiap tahun harus ada Cepu baru. *Mengapa pemerintah tak berstrategi melakukan eksplorasi sendiri? Contohnya ada. Di Rusia, mereka mengajak Schlumberger dengan bayaran berupa fee yang tetap, bukan bagi hasil. *Itu berarti pemerintah Rusia mau mengambil risiko. Kalau gagal, ternyata sumurnya tak menghasilkan, mereka menanggung 100% sementara Schlumberger harus tetap dibayar. Tetapi, inilah seni dari eksplorasi. Ada unsur risiko. Dalam sistem pembiayaan oleh investor, kalau sukses, diberlakukan sistem bagi hasil. Kalau gagal, seluruhnya ditanggung investor. Tentunya, pemerintah bisa mengambil pilihan seperti di Rusia. Besar uang subsidi yang dialihkan menjadi bantuan langsung tunai kira-kira Rp14 triliun. Kalaulah kita ambil Rp2 triliun dari uang itu untuk eksplorasi, jumlahnya sudah banyak sekali. Kalau di darat, paling tidak ia bisa mengebor 10 sumur di tempat yang sulit. Kalau di laut dalam, bisa empat sumur. *Bagaimana dengan probabilitas keberhasilannya? *Ya, itulah persoalannya. Apakah pemerintah mau mengambil risiko? Ini kan soal hilang-hilangan. Sebagai gambaran, di Myanmar kami mengebor tiga sumur dan habis uang sekitar $20 juta. Ternyata, semua sumur itu tak menghasilkan. Di Kazakhstan, kami pernah melakukan akuisisi perusahaan minyak. Ternyata, kami salah menghitung political risk dan perusahaannya terpaksa dilepas. Kami rugi $50 juta. Tetapi, di Libia, kami mengebor 10 sumur dan 7 menghasilkan. Secara umum, tingkat keberhasilan Medco kira-kira 30%, dari tiga sumur yang dibor, satu berhasil. *Ada pandangan, perusahaan minyak mengambil keuntungan yang terlalu banyak. *Pernahkah pemerintah memberi tahu publik berapa besar pemasukan yang disumbangkan industri minyak kepada negara? Tahun lalu, dari bisnis minyak, Medco mendapat keuntungan $135 juta. Berapa yang kami setor ke pemerintah? Sekitar $1 miliar. Bayangkan! Itu hampir sembilan kali keuntungan kami. Soal seperti ini mestinya diketahui oleh publik. *Menyangkut harga minyak dunia yang melambung gila-gilaan, apa yang sebetulnya terjadi? *Ini disebabkan ketidakpastian. Seandainya hari ini pasar merasa comfortable, yakin supply minyak akan stabil dalam 5, 10, 15, atau 20 tahun ke depan, orang tidak akan panik. Mereka tidak akan melakukan panic buying. Saat ini tidak ada kepastian bahwa supply akan ada terus. Maka, orang mulai menambah stok cadangannya. *Apa penyebab ketidakpastian ini? *Ada banyak masalah. Yang jelas, dulu, saat harga minyak $30-$40 per barel, negara-negara OPEC masih punya kapasitas lebih. Saat harga minyak naik, ia bisa menggelontorkan 1 juta barel tambahan ke pasar. Harga minyak kembali turun. Nah, hari ini, kapasitas produksi OPEC sudah maksimum. *Termasuk Arab Saudi yang memiliki cadangan terbesar di dunia? *Ya, termasuk Arab Saudi. Kalau mau menaikkan produksi, mereka harus investasi dari sekarang. *Apakah karena itu OPEC tak mau menaikkan produksi? *Bukan tidak mau. Tetapi, mereka tidak bisa. Produksi OPEC sudah maksimum. Sebagai contoh, produksi Indonesia saat ini sudah 400.000 barel di bawah kuota. Tidak ada negara yang menutup kekurangan itu. *Dengan dana demikian melimpah di wilayah Teluk, mengapa para syekh itu tak berinvestasi dalam eksplorasi? *Eksplorasi selalu berisiko. Orang-orang itu bukan jenis yang senang mengambil risiko. Mereka lebih senang memasukkan uangnya ke sektor properti. Kalaupun mau investasi di sektor minyak, mereka memilih membeli perusahaan yang sudah ada dan tidak menambah kapasitas. Mereka justru membeli cadangan. Untuk berlangganan majalah BusinessWeek Indonesia, hubungi 021 31909160 (Ima) -- OK TAUFIK