Saya pikir statemen itu wajar dan sisi positifnya adalah pemerintah sekarang
supaya lebih transparan atas semua income yang masuk.
Sebab berapa banyak pemasukan yang masuk kepada negara dari dulu sampai
sekarang, baik dari pemasukan perusahaan dan pajak para penduduknya.
Namun kita tidak tahu mengapa negara kita masih dalam krisis ekonomi.
Mungkin ada yang salah dalam pengelolaannya dan harus diperbaiki bersama.

Sudah saat pemerintah mau terbuka terhadap pengelolaan negara dan menerima
dengan iklhas untuk perbaikan di masa depan,
Jujur saja sampai sekarang pemerintah masih belum mampu menjamin
kesejahteraan warga negaranya.
Salah satunya terkait pasal 34 UUD 45 ayat 1 tentang Fakir Miskin dan Anak
terlantar dipelihara negara.
Kenyataannya justru kemiskinan semakin tinggi dan negara belum mampu
mengatasinya secara keseluruhan.

Jadi marilah kita membangun dan mengontrol negara kita, supaya kesejahteraan
rakyatnya lebih baik lagi.
Bila ini gagal dilaksanakan maka akan ada yang tanya "Apa kata dunia?"

Salam

urun rembug dari yang masih peduli dengan nasib bangsa kita tercinta ini.

On Tue, Jun 24, 2008 at 9:19 PM, Amir Al Amin <[EMAIL PROTECTED]>
wrote:

> Saya agak terganggu dengan kutipan wawancara sbb:
>
> "
> *Ada pandangan, perusahaan minyak mengambil keuntungan yang terlalu banyak.
> *Pernahkah pemerintah memberi tahu publik berapa besar pemasukan yang
> disumbangkan industri minyak kepada negara? Tahun lalu, dari bisnis minyak,
> Medco mendapat keuntungan $135 juta. Berapa yang kami setor ke pemerintah?
> Sekitar $1 miliar. Bayangkan! Itu hampir sembilan kali keuntungan kami.
> Soal
> seperti ini mestinya diketahui oleh publik."
>
> $1miliar buat negara yang berpenduduk 250jt
> $135juta buat satu perusahaan (berapa sih jumlah share holdernya? )
>
> Dan jangan lupa isi pasal 33 UUD45.
> Seluruh kekayaan alam Indonesia sebenarnya cukup untuk memakmurkan
> rakyatnya.
> Tetapi  tak akan pernah cukup untuk keserakahan korporasi-konglomerasi.
>
>
>
> On Fri, Jun 13, 2008 at 9:39 AM, OK Taufik <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> > BusinessWeek Indonesia
> > Edisi 18 Juni 2008
> > Hilmi Panigoro (Chairman Medco Energi Internasional Tbk.):
> > *Kita Butuh Satu Cepu Baru per Tahun*
> >
> > Di tengah kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak pada
> > akhir
> > bulan lalu, kembali mencuat pertanyaan mengapa Indonesia tak mampu
> > meningkatkan produksi minyaknya. Pemerintah dan pengamat—juga para
> setengah
> > pengamat—telah saling lempar pendapat serta argumen. Fakta yang
> disepakati:
> > penyebab utama penurunan adalah investasi untuk eksplorasi yang sangat
> > minim. Perusahaan-perusaha an minyak tampak enggan melakukan pengeboran.
> >
> > Survei terbaru yang dilakukan PricewaterhouseCoop ers (PwC) menunjukkan
> > para
> > pelaku industri perminyakan yang beroperasi di Indonesia sebetulnya
> berniat
> > meningkatkan belanja modal untuk mencari cadangan baru. Namun, mereka
> > mengeluhkan sejumlah masalah fiskal, hukum, dan birokrasi sebagai
> > penghambat
> > investasi.
> >
> > Untuk memahami persoalan produksi minyak dari kacamata pelaku industri,
> > BusinessWeek Indonesia berbincang dengan Hilmi Panigoro, Chairman PT
> Medco
> > Energi Internasional Tbk. Lelaki ini memiliki posisi yang dihormati di
> > kalangan perminyakan. Dari sisi keahlian, Hilmi diakui mumpuni karena
> > merupakan sarjana geologi dan telah berkarir panjang dalam industri
> > perminyakan. Dari sisi bisnis, alumnus Institut Teknologi Bandung ini
> > berhasil membangkitkan Medco dari lilitan utang saat krisis ekonomi 1997
> > menjadi perusahaan minyak terdepan di Tanah Air. Berikut ini petikan
> > obrolan
> > di sore hari tersebut.
> >
> >
> > *Apa penyebab mandeknya produksi minyak Indonesia?
> > *Banyak pihak tidak mengerti persoalan engineering reservoir. Padahal,
> > masalah sebenarnya ada di situ. Ini merupakan masalah yang sangat teknis.
> > Karena banyak pihak yang sebetulnya tidak paham ikut bicara, terjadi
> > simpang
> > siur pendapat.
> >
> >
> > *Jadi, secara teknis, apa yang terjadi?
> > *Sekarang ini sekitar 95% lapangan minyak di Indonesia sudah masuk
> kategori
> > mature. Artinya, tingkat produksinya sudah menurun dibandingkan saat
> berada
> > di masa puncak. Bisanya, suatu sumur hanya berproduksi di masa puncak
> > selama
> > lima tahunan. Setelah itu menurun secara cepat dan kemudian penurunannya
> > melambat.
> > Di Indonesia, kebanyakan lapangan minyak sudah berumur di atas 15 tahun.
> > Jadi,
> > produksinya sudah rendah. Untuk sumur-sumur seperti ini, persoalannya
> bukan
> > menaikkan produksi melainkan membuat tingkat penurunan melandai. Upaya
> ini
> > dinamakan secondary recovery. Tetapi, untuk melakukan itu diperlukan
> biaya
> > tambahan karena, misalnya, kita mesti memasukkan bahan kimia guna menjaga
> > tingkat produksi.
> > Yang juga perlu dipahami, meski tingkat produksi turun, ongkos produksi
> > tetap. Sebab, di sumur tua ataupun muda, volume yang diangkat sama saja.
> > Tetapi, kadar minyaknya turun sementara kadar airnya bertambah. Begitulah
> > siklus hidup sumur minyak. Ini bisa dianalogikan sebagai manusia yang
> makin
> > tua semakin membutuhkan perawatan, vitamin, dan sebagainya.
> >
> >
> > *Jadi, kita harus membuka sumur baru?
> > *Ya. Kita harus menemukan ladang-ladang muda baru. Harus dilakukan
> > eksplorasi. Setiap tahun, perusahaan-perusaha an minyak telah
> menganggarkan
> > dana yang besar untuk eksplorasi. Tetapi, ke mana perginya investasi itu?
> > Mereka pergi ke tempat dengan faktor geologi dan ekonomi paling menarik.
> > Sayangnya, Indonesia bukan tempat terbaik untuk investasi eksplorasi.
> > Menurut survei PwC, pelaku industri minyak menganggap faktor geologi
> > Indonesia masih menarik.
> > Memang, faktor geologinya masih menarik. Tetapi, bagaimana dengan faktor
> > lainnya? Saya beri satu contoh. Medco memiliki konsesi di Teluk Meksiko.
> Di
> > sana, kami hanya membayar royalti sebesar 16,7%. That's it! Selebihnya
> > untuk
> > kami semua.
> >
> >
> > *Ini di Teluk Meksiko bagian mana? Amerika Serikat atau Venezuela?
> > *Ini di bagian Amerika Serikat. Padahal, kita tahu, faktor stabilitas
> > politik di negara itu masih yang paling menarik. Jadi, geologinya
> menarik,
> > political stability-nya menarik, dan insentif fiskalnya bagus sekali.
> Nah,
> > kalau Anda menjadi perusahaan minyak besar dan memiliki dana $ 1 miliar
> > untuk eksplorasi, lokasi mana yang akan dipilih? Karena itu, menurut
> saya,
> > pemerintah mesti memberi insentif yang secara signifikan lebih bagus.
> > Sebagai gambaran, insentif di wilayah Afrika Barat, seperti Angola, sudah
> > lebih bagus dari kita. Di Yaman juga demikian.
> > Yang juga harus diingat, potensi minyak terbesar Indonesia saat ini ada
> di
> > wilayah Timur. Kita tahu, di sana infrastrukturnya belum established dan
> > lautnya sangat dalam. Eksplorasi satu sumur bisa menelan $40-50 juta.
> Angka
> > seperti itu bukan bagian perusahaan sekelas Medco. Itu bagiannya the
> major
> > players.
> >
> >
> > *Kembali ke survei PwC, para pelaku industri pesimistis akan terjadi
> > perbaikan iklim investasi.
> > *Akibatnya, kita akan melihat produksi minyak terus menurun. I can
> > guarantee.
> >
> >
> > *Bukankah ada Cepu?
> > *Itu tidak ada artinya.
> >
> >
> > *Bukankah cadangannya besar?
> > *Sekarang ini Indonesia memproduksi sekitar 900.000 barel per hari. Angka
> > itu akan turun sekitar 5% per tahun. Berapa tahun diperlukan untuk
> > mengembangkan Cepu hingga berproduksi? Tiga atau empat tahun? Karena
> > produksi yang lain turun dengan kecepatan 5% per tahun, kehadiran Cepu
> > hanya
> > cukup untuk menahan supaya tidak turun lebih tajam. Ya, nilainya mungkin
> > akan naik sedikit dan kemudian turun lagi. Agar produksi Indonesia naik
> > secara sustainable dalam jangka panjang, harus ada beberapa Cepu. Setiap
> > tahun harus ada Cepu baru.
> >
> >
> > *Mengapa pemerintah tak berstrategi melakukan eksplorasi sendiri?
> Contohnya
> > ada. Di Rusia, mereka mengajak Schlumberger dengan bayaran berupa fee
> yang
> > tetap, bukan bagi hasil.
> > *Itu berarti pemerintah Rusia mau mengambil risiko. Kalau gagal, ternyata
> > sumurnya tak menghasilkan, mereka menanggung 100% sementara Schlumberger
> > harus tetap dibayar.
> > Tetapi, inilah seni dari eksplorasi. Ada unsur risiko. Dalam sistem
> > pembiayaan oleh investor, kalau sukses, diberlakukan sistem bagi hasil.
> > Kalau gagal, seluruhnya ditanggung investor.
> > Tentunya, pemerintah bisa mengambil pilihan seperti di Rusia. Besar uang
> > subsidi yang dialihkan menjadi bantuan langsung tunai kira-kira Rp14
> > triliun. Kalaulah kita ambil Rp2 triliun dari uang itu untuk eksplorasi,
> > jumlahnya sudah banyak sekali. Kalau di darat, paling tidak ia bisa
> > mengebor
> > 10 sumur di tempat yang sulit. Kalau di laut dalam, bisa empat sumur.
> >
> >
> > *Bagaimana dengan probabilitas keberhasilannya?
> > *Ya, itulah persoalannya. Apakah pemerintah mau mengambil risiko? Ini kan
> > soal hilang-hilangan. Sebagai gambaran, di Myanmar kami mengebor tiga
> sumur
> > dan habis uang sekitar $20 juta. Ternyata, semua sumur itu tak
> > menghasilkan.
> > Di Kazakhstan, kami pernah melakukan akuisisi perusahaan minyak.
> Ternyata,
> > kami salah menghitung political risk dan perusahaannya terpaksa dilepas.
> > Kami rugi $50 juta. Tetapi, di Libia, kami mengebor 10 sumur dan 7
> > menghasilkan. Secara umum, tingkat keberhasilan Medco kira-kira 30%, dari
> > tiga sumur yang dibor, satu berhasil.
> >
> >
> > *Ada pandangan, perusahaan minyak mengambil keuntungan yang terlalu
> banyak.
> > *Pernahkah pemerintah memberi tahu publik berapa besar pemasukan yang
> > disumbangkan industri minyak kepada negara? Tahun lalu, dari bisnis
> minyak,
> > Medco mendapat keuntungan $135 juta. Berapa yang kami setor ke
> pemerintah?
> > Sekitar $1 miliar. Bayangkan! Itu hampir sembilan kali keuntungan kami.
> > Soal
> > seperti ini mestinya diketahui oleh publik.
> >
> >
> > *Menyangkut harga minyak dunia yang melambung gila-gilaan, apa yang
> > sebetulnya terjadi?
> > *Ini disebabkan ketidakpastian. Seandainya hari ini pasar merasa
> > comfortable, yakin supply minyak akan stabil dalam 5, 10, 15, atau 20
> tahun
> > ke depan, orang tidak akan panik. Mereka tidak akan melakukan panic
> buying.
> > Saat ini tidak ada kepastian bahwa supply akan ada terus. Maka, orang
> mulai
> > menambah stok cadangannya.
> >
> >
> > *Apa penyebab ketidakpastian ini?
> > *Ada banyak masalah. Yang jelas, dulu, saat harga minyak $30-$40 per
> barel,
> > negara-negara OPEC masih punya kapasitas lebih. Saat harga minyak naik,
> ia
> > bisa menggelontorkan 1 juta barel tambahan ke pasar. Harga minyak kembali
> > turun. Nah, hari ini, kapasitas produksi OPEC sudah maksimum.
> >
> >
> > *Termasuk Arab Saudi yang memiliki cadangan terbesar di dunia?
> > *Ya, termasuk Arab Saudi. Kalau mau menaikkan produksi, mereka harus
> > investasi dari sekarang.
> >
> >
> > *Apakah karena itu OPEC tak mau menaikkan produksi?
> > *Bukan tidak mau. Tetapi, mereka tidak bisa. Produksi OPEC sudah
> maksimum.
> > Sebagai contoh, produksi Indonesia saat ini sudah 400.000 barel di bawah
> > kuota. Tidak ada negara yang menutup kekurangan itu.
> >
> >
> > *Dengan dana demikian melimpah di wilayah Teluk, mengapa para syekh itu
> tak
> > berinvestasi dalam eksplorasi?
> > *Eksplorasi selalu berisiko. Orang-orang itu bukan jenis yang senang
> > mengambil risiko. Mereka lebih senang memasukkan uangnya ke sektor
> > properti.
> > Kalaupun mau investasi di sektor minyak, mereka memilih membeli
> perusahaan
> > yang sudah ada dan tidak menambah kapasitas. Mereka justru membeli
> > cadangan.
> >
> >
> > Untuk berlangganan majalah BusinessWeek Indonesia, hubungi 021 31909160
> > (Ima)
> >
> >
> >
> > --
> > OK TAUFIK
> >
>
>
>
> --
> ***********************************
> Amir Al Amin
> Operations/ Wellsite Geologist
> (62)811592902
> amir13120[at]yahoo.com
> amir.al.amin[at]gmail.com
> ************************************
>

Kirim email ke