Pak Agus (dua-duanya),
Tentu akan sangat naif kalau saya katakan tidak ada sulap-menyulap dalam urusan 
duit yang sedemikian besar ini. Tidak usah CR yang kadang banyak didukung 
bolong-bolongnya kontrak kita, lha wong BLBI aja bisa dikemplang...he..he..he...
Justru di situ intinya, kalau hanya berharap dari aturan kita cuman bisa ngelus 
dada terus dan ujungnya kuciwa juga..... jadi ya yang paling mungkin ya mulai 
dari diri kita sendiri saja lah...dari yang kecil kita bisa berusaha lebih 
efisien dan membantu mengurangi beban CR ini......
Kita ini menyoroti hal-hal yang sebenarnya banyak terjadi di industri lain juga:
- Pupuk Kaltim bisa punya klub sepak bola dan juga stadiun itu pakai duit siapa 
coba.... harga pupuknya disubsidi, gasnya juga pakai harga subsidi (karena 
kalau dijual keluar tentu harganya lebih mahal).... tapi nggak pernah ada yang 
mengkritik khan...? 
Jadi menurut saya agak aneh kalau ComDev  yang dilakukan KPS menjadi bahan 
kritikan terus...sementara yang lainnya kita tutup mata. Yang penting harus ada 
kejujuran dari KPS bahwa uang yang dipakai itu sebagian adalah dari pemerintah 
Indonesia juga (bukan dari kantong mereka)...itulah kenapa setiap ada kegiatan 
semua KPS harus mencantumkan logo BPMIGAS (yang merupakan perwakilan 
pemerintah) supaya orang tahu bahwa duitnya itu bukan murni 100% dari KPS. Dan 
jangan lupa pada beberapa hal KPS juga ada ComDev yang sifatnya non-CR (ini 
mungkin yang dimaksud dengan zis-nya pak Agus ya...)
Kelangsungan operasi menjadi kepentingan semua pihak: operator dan pemerintah 
Indonesia. Jadi menurut saya wajar saja kalau itu ditanggung bersama, selama 
hasilnya dinikmati oleh rakyat Indonesia juga toh.....
salam,


----- Original Message ----
From: Hendratno Agus <[EMAIL PROTECTED]>
To: iagi-net@iagi.or.id
Sent: Friday, June 20, 2008 12:29:11 PM
Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak 
layak


Kita semua prihatin, kalau melihat angka segitu menguap atau tersulap. Saya 
yang awam sering bertanya-tanya secara sederhana, 
Apakah biaya comdev/ CSR dari oil kumpeni selama ini dimasukkan bagian dari CR? 
ataukah bagian dari "zakat/ infaq/ sodaqoh" dari keuntungan perusahaan yang 
telah memperoleh keuntungan dari usaha migas. 

Memulai dari yang kecil-kecil di lingkungan usaha migas / PSC, bisa jadi "tidak 
memasukkan pembiayaan comdev/ CSR sebagai bagian CR". Semoga Pemerintah berani 
memberlakukan aturan ini, dana-dana Comdev..., harusnya adalah bagian dari 
keuntungan produksi migas dari PSC. 
 
salam, agus hendratno (wong kampus) 

--- On Fri, 6/20/08, Agus Budiluhur <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

From: Agus Budiluhur <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: Re: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak 
layak
To: iagi-net@iagi.or.id
Date: Friday, June 20, 2008, 3:20 AM


Noor,

Saya pikir yang (juga) menjadi major issue dalam hal ini, adalah apakah 
pembiayaan2 yang masuk dalam cost recovery ini, tidak ada sulap???Salam,

-abl-


2008/6/19 noor syarifuddin <[EMAIL PROTECTED]>:

Mas Firman yang penuh semangat,
Saya kira tidak perlu menunggu anda ditempatkan menjadi pengawas approval CR 
untuk bisa berperan. Kita semua bisa mulai dari lingkungan kerja kita sendiri 
dengan bekerja lebih profesional, efisien serta inovatif. Dengan itu semua 
paling tidak kita bisa menghindarkan pembengkakan biaya operasional yang 
nantinya akan berujung ke CR.
Marilah kita bertanya kepada diri sendiri setiap kali akan mengambil keputusan 
: apakah saya memang perlu untuk melakukan hal ini....(MDT point, OFA, logging 
suite, log interpretation, seismic reprocessing, perbanyakan dokumen dll). Mari 
kita berpikir secara inovatif dan tidak selalu menerima hal-hal yang sudah 
menjadi KEBIASAAN dalam kita bekerja sehari-hari. Dari hal kecil ini kita 
mungkin bisa berperan secara positif dan langsung untuk mengurangi CR ini.
 
 
salam,
NSy
----- Original Message ----
From: Firman Gea <[EMAIL PROTECTED]>
To: "iagi-net@iagi.or.id" <iagi-net@iagi.or.id>
Sent: Friday, June 20, 2008 8:53:10 AM
Subject: [iagi-net-l] Potensi Rp. 34 Trilyun, biaya cost recovery yg tidak layak


Dear Pejabat BP MIGAS yang membaca, mohon diteruskan ke yang berwenang,
Bagaimana tanggapan pejabat BP MIGAS tentang hal ini? Apa tindak lanjutnya? 
Penyempurnaan sistem pengawasan dan approval Cost Recovery? Atau bahkan 
penghapusan sistem tersebut? Apapun lah metode perbaikannya, saya yang bodoh 
ini cuma menghimbau Bapak-bapak pejabat yang pintar-pintar dan terbukti pintar 
untuk dengan konsistensi dan memperhitungkan hati nurani segera memperbaiki hal 
ini. Rp. 40 trilyun, Pak!! Kalau Bapak-bapak butuh yang muda-muda dan fresh 
untuk berpikir dan bertindak tegas, Bapak tinggal cari saja insinyur-insinyur 
muda yang siap untuk itu, di setiap pelosok negeri ini.
Stop kebocoran uang rakyat dari sistem Cost Recovery, sekarang juga!!! 
Salam,
Firman Fauzi – geologist muda, siap digaji besar yang wajar untuk ditempatkan 
di posisi pengawasan approval Cost Recovery, and I'm not the only one, Sir.
 
Penerimaan Minyak Berpotensi Dikorupsi Rp 228,096 Triliun 
Arin Widiyanti- detikFinance

Tambang MInyak (ist)
 
Jakarta- Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan potensi penyelewengan dalam 
penerimaan minyak selama tahun 2000-2007 sebesar Rp 228,096 triliun.

Hal tersebut disampaikan Koordinator Pusat Data dan Analisis ICW Firdaus Ilyas 
dalam jumpa pers di Kantor ICW Jalan Kalibata Timur IVD, Jakarta, Kamis 
(19/6/2008).

Angka itu timbul dari data resmi perminyakan dari Departemen ESDM selama 
2000-2007. Dari data itu pendapatan yang disimpangkan indikasinya sebesar Rp 
194,097 triliun ditambah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap 
kontrak Kontraktor Kerja Sama minyak (KKSS) pada semester I-2006, semester 
I-2007 dan semester II-2007 dengan temuan cost recovery yang tidak perlu 
dibayarkan sebesar Rp 39,999 triliun. 

Dari angka itu sebesar Rp 6 triliun merupakan angka cost recovery yang layak, 
dengan kata lain mengurangi pendapatan negara dari minyak sebesar Rp 34 triliun.

Firdaus mengatakan apabila pihak BP Migas merasa janggal akan temuan ini dia 
menantang BP Migas untuk membuka data penerimaan minyak yang dimilikinya secara 
head to head dengan ICW sehingga data penerimaan minyak menjadi transparan.

"Temuan ini akan dibawa ke KPK sebagai bahan investigasi KPK apakah ada 
indikasi korupsi dalam pengelolaan minyak karena apabila penyimpangan ini tidak 
ditegakkan maka saya yakin seperti sekolah gratis, dan jaminan kesehatan gratis 
tidak akan teralisasi. Negara terlalu dirugikan dengan penyimpangan ini," 
ujarnya.

Dia meminta pemerintah untuk meninjau ulang regulasi dan otoritas BP Migas 
dalam  pengelolaan minyak dan gas apakah telah melakukan pengawasan dengan 
benar.

Tak lupa dia juga meminta pelaksanaan audit investigasi penerimaan minyak 
secara menyeluruh.

"Riset ini bisa merupakan shock theraphy. Indonesia selalu dirugikan dengan 
cost recovery yang tidak erlu dibayarkan kepada pengusaha minyak," ujarnya.

Hasil audit BPK terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 
2005-2007 dimana ditemukan penerimaan migas yang tidak dicatat dan dibelanjakan 
tanpa melalui APBN senilai Rp 120,329 triliun.
( ddn / qom ) 


      

Kirim email ke