Kerajaan Sriwijaya (683-1377 M) adalah kerajaan maritim tertua di Indonesia dan
merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang menguasai banyak wilayah : seluruh
Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Mindanao.
Karena wilayah kekuasaannya itu, Sriwijaya di dalam literatur sejarah suka
disebut sebagai Negara Nusantara I. Dalam hal keberadaannya, Sriwijaya punya
periode kekuasaan tiga kali lebih panjang daripada Majapahit, meskipun
Majapahit juga yang menaklukkan Sriwijaya.
Para ahli sejarah, arkeologi dan ilmu-ilmu yang terkait (termasuk geologi),
pernah bersilang pendapat soal pusat kerajaan besar ini. Literatur-literatur
sejarah pernah menyebut pusat-pusat kerajaan ini di : Palembang, Jambi, Malaya,
Thailand, bahkan Jawa.
Adalah I-Tsing (Yi-Jing), musafir Cina yang belajar agama Budha di Sriwijaya
yang menyebutkan bahwa pusat/kota Sriwijaya terletak di daerah khatulistiwa.
I-tsing mendeskripsikan tempat itu sebagai : “apabila orang berdiri tepat pada
tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”. Coedes, ilmuwan Prancis
sejak awal abad ke-20 mengajukan argumen bahwa pusat Sriwijaya terletak di
sekitar kota Palembang sekarang (dalam Robequain, 1964, “Malaya, Indonesia,
Borneo, and the Philippines”, Longman)
Sukmono, arkeolog Indonesia pada suatu Kongres Ilmiah Pasifik tahun 1957
(dipublikasi dalam “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah
Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963) menantang argumen/hipotesis Coedes dan
menyatakan bahwa pusat Sriwijaya di Jambi. Ini didasarkannya kepada analisis
geomorfologi yang didukung foto udara. Sukmono diinspirasi oleh ahli
geomorfologi Belanda Obdeyn yang pada tahun 1941-1944 mempublikasi seri paper
tentang perkembangan geomorfologi Sumatra Selatan (dalam Tijdschrift. Kon. Ned.
Aardr. Gen no 59-61 – hasil penelitian ini digunakan juga oleh Bemmelen (1949)
dalam adikaryanya “The Geology of Indonesia”.
Tahun 1954, Sukmono dibantu Angkatan Udara RI merekonstruksi pantai timur
Sumatra di sekitar Palembang dan Jambi melalui telaah fotogrametri. Sukmono
menemukan kesimpulan menarik : semua situs peninggalan Sriwijaya baik yang di
sekitar Palembang maupun Jambi berlokasi bukan di tanah aluvial, tetapi di
tanah perbukitan berbatuan sedimen Neogen. Penelitian ini pun menemukan bahwa
Jambi dulunya berlokasi di suatu teluk pada muara Sungai Batanghari. Teluk
tersebut menjorok masuk ke daratan sampai wilayah Muaratembesi sekarang.
Sementara itu, Palembang justru terletak di sebuah ujung jazirah yang memanjang
ke laut berpangkal dari Sekayu sekarang. Baik Jambi maupun Palembang saat ini
berjarak 75 km dari laut di sebelah timurnya.
Sukmono berkesimpulan, sebagai kerajaan maritim yang besar, Sriwijaya sebgai
bandar besar lebih mungkin terletak di tepi sebuah teluk yang besar daripada di
ujung jazirah yang sempit. Sukmono juga mengajukan argumen-argumen arkeologi di
samping argumen geomorfologi.
Pendapat Sukmono mendapat dukungan dari Sartono, geolog dan arkeolog ITB, juga
Slametmuljana, ahli sejarah (dalam Slametmuljana, 1981 “Kuntala, Sriwijaya dan
Suwarnabhumi”, Yayasan Idayu). Sartono berpendapat bahwa teluk di sekitar Jambi
saat zaman Sriwijaya begitu besarnya sehingga orang mengira bahwa itu merupakan
perbatasan antara Swarnadwipa (Jambi ke utara) dan Jawadwipa (Palembang,
Lampung dan Jawa). Selat Sunda belum diketahui adanya atau mungkin belum seluas
sekarang, hanya teluk besar saja bukan selat (lihat tulisan saya terdahulu soal
“para pendahulu Tarumanegara” di milis ini). Harrison (1954) “Zuid-Oost Azie :
en beknopte geschiedenis” berpendapat bahwa Selat Sunda terbentuk akibat
tenggelamnya wilayah ini akibat volkanisme dan gempa-gempa Krakatau sepanjang
masa.
Masih menurut Sartono, di sekitar Jambi pada zaman Sriwijaya terdapat sebuah
teluk purba yang dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh. Ini memanjang ke arah
tenggara dan menjadi perbukitan Bukit Bakar dan Bukit Tutuhan serta Teluk
Sirih. Ke arah barat, teluk tersebut berhenti di Pegunungan Barisan dan
bercabang menjadi dua teluk kecil yaitu Teluk Tebo dan Teluk Tembesi. Di
antaranya, terjepitlah Bukit Duabelas. Di Teluk Tebo bermuara Batang Tembesi
dan anak-anak sungainya.
Adapun kota Palembang menempati suatu ujung jazirah sempit yang berupa bukit
setinggi 26 meter di atas permukaan laut. Inilah yang dinamakan Bukit Seguntang
(”guntang” dalam bahasa Melayu Kuno berarti terapung). Memang, ujung jazirah
ini seolah-olah terapung diapit dua teluk sempit.
Maka berdasarkan analisis paleogeografi (paleogeomorfologi), Sukmono dan
Sartono berpendapat bahwa kota Sriwijaya yang besar tak mungkin berlokasi di
suatu wilayah tanah genting berupa ujung jazirah sempit seperti Palembang,
tetapi di kota Jambi yang terletak di tepi teluk yang besar (bandingkan dengan
kota Jakarta yang berlokasi di tepi Teluk Jakarta).
Namun, pendapat Sukmono dan Sartono bukan merupakan pendapat final sekalipun
cukup meyakinkan.
Tahun 1982 diadakan kongres internasional khusus mendiskusikan lokasi pusat
Sriwijaya (Daldjoeni, 1992 ”Geografi Kesejarahan, Alumni). Kongres dihadiri
para ahli dari Indonesia, Prancis, Belanda dan Thailand. Para ahli bersepakat
bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya pada masa awal berlokasi di Palembang kemudian
pindah ke Jambi. Kapan masa awal itu ? Antara abad ke-7 sampai abad ke-9, kata
Casparis ahli dari Prancis. Casparis pun berpendapat mungkin saja kedua kota
itu bersama-sama jadi ibukota Sriwijaya. Palembang wajar jadi ibukota kerajaan,
di samping diapit dua teluk, terdapat Pulau Bangka di depannya yang merupakan
jalur memutar dari Malaka menuju Cina (dulu belum ada jalan laut di antara
pulau-pulau Kepulauan Riau). Ini posisi strategis sebagai bandar. Manguin,
arkeolog Prancis mendukung pendapat itu sebab banyak prasasti menyebut
Palembang, juga ada catatan-catatan dari para pelaut Portugis. Namun reruntuhan
pusat kerajaan belum ditemukan di
Palembang.
Mengapa Sriwijaya mundur ? Robequain (1964) berpendapat bahwa kemunduran
terjadi akibat pendangkalan pantai-pantai timur Sumatra dan sedimentasi
muara-muara sungainya. van Bemmelen (1949) menulis bahwa garis pantai di muara
Batanghari telah maju setahun rata-rata 75 meter, sedangkan garis pantai di
muara Musi telah maju setahun rata-rata 125 meter. Sedimentasi Musi lebih
tinggi dibandingkan Batanghari, mungkin itu pula yang membuat Sriwijaya
memindahkan ibukotanya ke Jambi.
Tahun 1377, Raja Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan pasukannya ke Sumatra dan
tunduklah beberapa kerajaan di Sumatra termasuk Sriwijaya. Itu adalah babak
terakhir Sriwijaya, sebenarnya Sriwijaya telah lemah sejak abad ke-10 saat
Dharmawangsa menyerangnya pada tahun 990 M. Perdagangan laut yang mundur
seiring lajunya sedimentasi Batanghari dan Musi menjadi pencetus melemahnya
Sriwijaya. Sebuah bukti lagi bahwa alam memainkan peranannya dalam bangun dan
jatuhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara.
Sesungguhnya sampai sekarang pun kita terus-menerus dipengaruhi alam. Bagaimana
menjinakkan semburan LUSI ? Bagaimana mengantisipasi penenggelaman pantai utara
Jakarta oleh land subsidence dan transgresi ? Bagaimana hidup berdampingan
secara aman di negeri dengan ratusan gunungapi ? Berapa banyak nyawa dan korban
harta benda telah direnggut gempa dan tsunami ? Alam punya siklus dan
tanda-tanda tertentu yang bisa manusia pelajari. Semoga bijak kita sikapi. Masa
lalu tetap berguna untuk masa kini.
Salam,
awang