Pak Awang dan Rekans.
Tanggal 16 - 19 Juli lalu saya berkesempatan mengikuti dan
mempresentasikan makalah (berdua dengan Dr. Aswan)dalam Seminar
Internasional berjudul Peradaban Sriwijaya: Kebangkitan Sebuah Kerajaan
Maritim, yang diselenggarakan di Palembang.Hadir dalam seminar tersebut
para pakar sejarah dan arkeologi dari berbagai bidang disiplin dari
Amerika,Thailand, Belanda, Malaysia, Singapura, Australia,Cina,Scotlandia,
Inggris dan tentunya Indonesia, sedangkan dari ilmu kebumian saya dan Dr.
Aswan dari ITB serta Ir. M. Fadhlan dari Puslit Arkenas-Jakarta.
Dari paparan para pakar sejarah dan arkeologi, semua "masih"sependapat
bahwa pusat Kerajaan Srivijaya adalah di Palembang.
Paper kami berangkat dari data geologi (Kuarter) yang kami kumpulkan dari
lapangan pada tahun 1982 dan 1998,telah membuktikan dan mematahkan
pendapat Obdeyn (1940an - 1944) yang kemudian dianut oleh Soekmono (1954
dan 1978) dan Sartono (1978 dan 1982) serta Tjia dkk.(1968)yang menyatakan
bahwa pertambahan/perkembangan garis pantai di pantai timur Sumatera rata2
pertahunnya berkisar 75 - 100 m/tahun,terutama disungai2 besar seperti
Sungai Musi di Palembang dan Sungai Batanghari di Jambi.Namun dari studi
kami di lapangan, ternyata tidak mendapatkan adanya bukti2 dari Obdeyn
tersebut, dan hasil penelitian kami disupport oleh Mc Kinnon dari
Scotlandia.
Menarik sekali seminar Srivijaya Juli 2008 yang lalu, karena geologi dapat
berkontribusi memberikan data dan pemikiran untuk bidang2 non geologis.

Salam,

Yahdi Zaim
KK Geologi,
Prodi Teknik Geologi - FITB




> Kerajaan Sriwijaya (683-1377 M) adalah kerajaan maritim tertua di
> Indonesia dan merupakan kerajaan pertama di Nusantara yang menguasai
> banyak wilayah : seluruh Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Nusa
> Tenggara, Maluku dan Mindanao. Karena wilayah kekuasaannya itu, Sriwijaya
> di dalam literatur sejarah suka disebut sebagai Negara Nusantara I. Dalam
> hal keberadaannya, Sriwijaya punya periode kekuasaan tiga kali lebih
> panjang daripada Majapahit, meskipun Majapahit juga yang menaklukkan
> Sriwijaya.
>  
> Para ahli sejarah, arkeologi dan ilmu-ilmu yang terkait (termasuk
> geologi), pernah bersilang pendapat soal pusat kerajaan besar ini.
> Literatur-literatur sejarah pernah menyebut pusat-pusat kerajaan ini di :
> Palembang, Jambi, Malaya, Thailand, bahkan Jawa.
>  
> Adalah I-Tsing (Yi-Jing), musafir Cina yang belajar agama Budha di
> Sriwijaya yang menyebutkan bahwa pusat/kota Sriwijaya terletak di daerah
> khatulistiwa. I-tsing mendeskripsikan tempat itu sebagai : “apabila orang
> berdiri tepat pada tengah hari, maka tidak akan kelihatan bayangannya”.
> Coedes, ilmuwan Prancis sejak awal abad ke-20 mengajukan argumen bahwa
> pusat Sriwijaya terletak di sekitar kota Palembang sekarang (dalam
> Robequain, 1964, “Malaya, Indonesia, Borneo, and the Philippines”,
> Longman)
>  
> Sukmono, arkeolog Indonesia pada suatu Kongres Ilmiah Pasifik tahun 1957
> (dipublikasi dalam “Geomorphology and the location of Criwijaya”, Majalah
> Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia, April 1963) menantang argumen/hipotesis Coedes
> dan menyatakan bahwa pusat Sriwijaya di Jambi. Ini didasarkannya kepada
> analisis geomorfologi yang didukung foto udara. Sukmono diinspirasi oleh
> ahli geomorfologi Belanda Obdeyn yang pada tahun 1941-1944 mempublikasi
> seri paper tentang perkembangan geomorfologi Sumatra Selatan (dalam
> Tijdschrift. Kon. Ned. Aardr. Gen no 59-61 – hasil penelitian ini
> digunakan juga oleh Bemmelen (1949) dalam adikaryanya “The Geology of
> Indonesia”.
>  
> Tahun 1954, Sukmono dibantu Angkatan Udara RI merekonstruksi pantai timur
> Sumatra di sekitar Palembang dan Jambi melalui telaah fotogrametri.
> Sukmono menemukan kesimpulan menarik : semua situs peninggalan Sriwijaya
> baik yang di sekitar Palembang maupun Jambi berlokasi bukan di tanah
> aluvial, tetapi di tanah perbukitan berbatuan sedimen Neogen. Penelitian
> ini pun menemukan bahwa Jambi dulunya berlokasi di suatu teluk pada muara
> Sungai Batanghari. Teluk tersebut menjorok masuk ke daratan sampai wilayah
> Muaratembesi sekarang. Sementara itu, Palembang justru terletak di sebuah
> ujung jazirah yang memanjang ke laut berpangkal dari Sekayu sekarang. Baik
> Jambi maupun Palembang saat ini berjarak 75 km dari laut di sebelah
> timurnya.
>  
> Sukmono berkesimpulan, sebagai kerajaan maritim yang besar, Sriwijaya
> sebgai bandar besar lebih mungkin terletak di tepi sebuah teluk yang besar
> daripada di ujung jazirah yang sempit. Sukmono juga mengajukan
> argumen-argumen arkeologi di samping argumen geomorfologi.
>  
> Pendapat Sukmono mendapat dukungan dari Sartono, geolog dan arkeolog ITB,
> juga Slametmuljana, ahli sejarah (dalam Slametmuljana, 1981 “Kuntala,
> Sriwijaya dan Suwarnabhumi”, Yayasan Idayu). Sartono berpendapat bahwa
> teluk di sekitar Jambi saat zaman Sriwijaya begitu besarnya sehingga orang
> mengira bahwa itu merupakan perbatasan antara Swarnadwipa (Jambi ke utara)
> dan Jawadwipa (Palembang, Lampung dan Jawa). Selat Sunda belum diketahui
> adanya atau mungkin belum seluas sekarang, hanya teluk besar saja bukan
> selat (lihat tulisan saya terdahulu soal “para pendahulu Tarumanegara” di
> milis ini). Harrison (1954) “Zuid-Oost Azie : en beknopte geschiedenis”
> berpendapat bahwa Selat Sunda terbentuk akibat tenggelamnya wilayah ini
> akibat volkanisme dan gempa-gempa Krakatau sepanjang masa.
>  
> Masih menurut Sartono, di sekitar Jambi pada zaman Sriwijaya terdapat
> sebuah teluk purba yang dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh. Ini memanjang
> ke arah tenggara dan menjadi perbukitan Bukit Bakar dan Bukit Tutuhan
> serta Teluk Sirih. Ke arah barat, teluk tersebut berhenti di Pegunungan
> Barisan dan bercabang menjadi dua teluk kecil yaitu Teluk Tebo dan Teluk
> Tembesi. Di antaranya, terjepitlah Bukit Duabelas. Di Teluk Tebo bermuara
> Batang Tembesi dan anak-anak sungainya.
>  
> Adapun kota Palembang menempati suatu ujung jazirah sempit yang berupa
> bukit setinggi 26 meter di atas permukaan laut. Inilah yang dinamakan
> Bukit Seguntang (”guntang” dalam bahasa Melayu Kuno berarti terapung).
> Memang, ujung jazirah ini seolah-olah terapung diapit dua teluk sempit.
>  
> Maka berdasarkan analisis paleogeografi (paleogeomorfologi), Sukmono dan
> Sartono berpendapat bahwa kota Sriwijaya yang besar tak mungkin berlokasi
> di suatu wilayah tanah genting berupa ujung jazirah sempit seperti
> Palembang, tetapi di kota Jambi yang terletak di tepi teluk yang besar
> (bandingkan dengan kota Jakarta yang berlokasi di tepi Teluk Jakarta).
>  
> Namun, pendapat Sukmono dan Sartono bukan merupakan pendapat final
> sekalipun cukup meyakinkan.
>  
> Tahun 1982 diadakan kongres internasional khusus mendiskusikan lokasi
> pusat Sriwijaya (Daldjoeni, 1992 ”Geografi Kesejarahan, Alumni). Kongres
> dihadiri para ahli dari Indonesia, Prancis, Belanda dan Thailand. Para
> ahli bersepakat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya pada masa awal berlokasi di
> Palembang kemudian pindah ke Jambi.  Kapan masa awal itu ? Antara abad
> ke-7 sampai abad ke-9, kata Casparis ahli dari Prancis. Casparis pun
> berpendapat mungkin saja kedua kota itu bersama-sama jadi ibukota
> Sriwijaya. Palembang wajar jadi ibukota kerajaan, di samping diapit dua
> teluk, terdapat Pulau Bangka di depannya yang merupakan jalur memutar dari
> Malaka menuju Cina (dulu belum ada jalan laut di antara pulau-pulau
> Kepulauan Riau). Ini posisi strategis sebagai bandar. Manguin, arkeolog
> Prancis mendukung pendapat itu sebab banyak prasasti menyebut Palembang,
> juga ada catatan-catatan dari para pelaut Portugis. Namun reruntuhan pusat
> kerajaan belum ditemukan di
>  Palembang.
>  
> Mengapa Sriwijaya mundur ? Robequain (1964) berpendapat bahwa kemunduran
> terjadi akibat pendangkalan pantai-pantai timur Sumatra dan sedimentasi
> muara-muara sungainya. van Bemmelen (1949) menulis bahwa garis pantai di
> muara Batanghari telah maju setahun rata-rata 75 meter, sedangkan garis
> pantai di muara Musi telah maju setahun rata-rata 125 meter. Sedimentasi
> Musi lebih tinggi dibandingkan Batanghari, mungkin itu pula yang membuat
> Sriwijaya memindahkan ibukotanya ke Jambi.
>  
> Tahun 1377, Raja Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan pasukannya ke Sumatra
> dan tunduklah beberapa kerajaan di Sumatra termasuk Sriwijaya. Itu adalah
> babak terakhir Sriwijaya, sebenarnya Sriwijaya telah lemah sejak abad
> ke-10 saat Dharmawangsa menyerangnya pada tahun 990 M. Perdagangan laut
> yang mundur seiring lajunya sedimentasi Batanghari dan Musi menjadi
> pencetus melemahnya Sriwijaya. Sebuah bukti lagi bahwa alam memainkan
> peranannya dalam bangun dan jatuhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara.
>  
> Sesungguhnya sampai sekarang pun kita terus-menerus dipengaruhi alam.
> Bagaimana menjinakkan semburan LUSI ? Bagaimana mengantisipasi
> penenggelaman pantai utara Jakarta oleh land subsidence dan transgresi ?
> Bagaimana hidup berdampingan secara aman di negeri dengan ratusan
> gunungapi ? Berapa banyak nyawa dan korban harta benda telah direnggut
> gempa dan tsunami ? Alam punya siklus dan tanda-tanda tertentu yang bisa
> manusia pelajari. Semoga bijak kita sikapi. Masa lalu tetap berguna untuk
> masa kini.
>  
> Salam,
> awang
>
>
>



--------------------------------------------------------------------------------
PIT IAGI KE-37 (BANDUNG)
* acara utama: 27-28 Agustus 2008
* penerimaan abstrak: kemarin2 s/d 30 April 2008
* pengumuman penerimaan abstrak: 15 Mei 2008
* batas akhir penerimaan makalah lengkap: 15 Juli 2008
* abstrak / makalah dikirimkan ke:
www.grdc.esdm.go.id/aplod
username: iagi2008
password: masukdanaplod

--------------------------------------------------------------------------------
PEMILU KETUA UMUM IAGI 2008-2011:
* pendaftaran calon ketua: 13 Pebruari - 6 Juni 2008
* penghitungan suara: waktu PIT IAGI Ke-37 di Bandung
AYO, CALONKAN DIRI ANDA SEKARANG JUGA!!!

-----------------------------------------------------------------------------
To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
No. Rek: 123 0085005314
Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
Bank BCA KCP. Manara Mulia
No. Rekening: 255-1088580
A/n: Shinta Damayanti
IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
IAGI-net Archive 2: http://groups.yahoo.com/group/iagi
---------------------------------------------------------------------
DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted on 
its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall IAGI and 
its members be liable for any, including but not limited to direct or indirect 
damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss of use, data or 
profits, arising out of or in connection with the use of any information posted 
on IAGI mailing list.
---------------------------------------------------------------------

Kirim email ke