Pak Kuntadi,
Grey area harus diakui memang ada di banyak regulasi UU, PP, SK, dll., juga di
Kontrak2 PSC. Saya punya banyak kasus bagaimana "pemnfaatan" grey area di
Kontrak2 PSC itu.
Juga, di samping regulasi, ada yang namanya "kebijakan". Kebijakan itu di luar
regulasi. Dan, kebijakan yang satu kepada company A, belum tentu sama dengan
perlakuannya kepada company lain. Saya pikir ini bagian dari proses tarik-ulur
: antara menegakkan regulasi dan mengundang investor. Kebijakan itu bisa
positif, bisa negatif untuk investor.
Banyak ahli hukum di Migas, BPMIGAS, maupun KKKS pernah berkata bahwa aturan2
di regulasi kadang2 harus tegas hitam-putih, kadang2 harus abu2 agar rentang
penafsirannya luas. Nah, yang abu2 itu membolehkan kebijakan. Kalau tidak
dengan kebijakan, bagaimana sebuah KKKS besar & internasional bisa
mempertahankan blok eksplorasinya sampai lebih dari 10 tahun tanpa penuh
melakukan komitmen pastinya yang tercantum di tiga tahun kontrak pertama ?
Tetapi, akhirnya si KKKS itu divonis "mati" setelah Pemerintah memberikan
kesempatan, tetapi tak dimanfaatkan si KKKS.
Kemudian, antara yang tercantum di regulasi dengan mematuhinya atau mengawasi
dan menghukumnya belum tentu sepadan. Ini beranalogi dengan ada rambu berhuruf
S coret, lalu di dekatnya angkot berhenti menurunkan penumpang, nah si polisi
yang berjaga di dekatnya ada yang menegur dan menghukumnya, ada pula yang
membiarkannya saja. Kenapa membiarkannya ? Mungkin malas menegur, mungkin
memang sengaja dibiarkan...
Soal 13 company itu, dan bila mengacu ke PP No. 2/2008, saya tak sependapat
bahwa company baru bisa ikut di situ sebab PP tersebut terutama dibuat untuk
companies yang sudah berada di suatu lahan berhutan yang di kemudian hari lahan
operasinya menjadi kawasan hutanlindung, nah bukan salah si company kan; maka
kompensasinya adalah company ditarik iuran yang dananya akan digunakan untuk
rehabilitasi hutan. LSM2 protes karena berarti itu melegalkan penjualan hutan.
Contohnya, apakah Freeport yang telah ada di situ sejak 1968, bisa didepak saja
sebab sekarang lahannya menjadi hutan lindung ?
BPMIGAS-Migas-KKKS sebenarnya telah dari dulu membentuk pokja (kelompok kerja)
untuk bernegosiasi dengan Departemen Kehutanan soal tumpang tindih hutan.
Tetapi, hasilnya setahu saya minimal. Ini dibuktikan dengan banyak area KKKS
yang berada di hutan lindung tak bisa diapa-apakan dan areanya mesti ditukar,
dicari penggantinya (swap).
Tarik-tarikan antara memanfaatkan sumberdaya migas di bawah hutan yang belum
tentu ada, dengan melestarikan hutan yang memang sudah terancam bukanlah
persoalan gampang. Negara seperti Indonesia yang masih perlu banyak energi,
yang masih perlu banyak devisa, yang ingin meratakan pembangunannya, yang ingin
menumbuhkan ekonominya sampai 4,3 %; tetapi yang juga ingin melestarikan
hutannya akan mengalami kesulitan dalam tarik-tarikan ini.
Salam,
awang
-----Original Message-----
From: Kuntadi, Nugrahanto [mailto:kuntadi.nugraha...@se1.bp.com]
Sent: Monday, February 09, 2009 10:40 C++
To: iagi-net@iagi.or.id
Cc: Geo Unpad
Subject: RE: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG
Terima kasih Pak responsenya,
Saya jadi teringat kepada cerita rekan sekantor saya yang sempat hadir di
kursus nya Pak Ong mengenai regulasi migas (IPA course), dimana dalam satu
diskusi di dalamnya terbetik topik bahwa sesulit apa pun prosedur hukum /
perizinan di negara kita, tidak membuat Indonesia kehilangan calon investor
karena lebarnya ruang "grey area" di sini.
Menyambung cerita di paragraf pertama dengan penjelasan Pak Awang bahwa satu
perusahaan memerlukan waktu sekitar satu tahun untuk perijinan pemboran, namun
di lain waktu barangkali perusahaan "ANU" bisa memakan waktu dua tahun, dan PT
"OK" bisa memakan waktu 4 bulan - dan boleh jadi semuanya sudah melalui
persetujuan DPR. Kalau boleh menarik benang merah dari keduanya, apakah "Grey
area" ini barangkali yang menjadikan Indonesia tetap menarik bagi para calon
investor? Namun di sisi lain apakah ini sudah menjadi solusi yang terbaik bagi
RI saat ini hingga beberapa tahun ke depan lagi ?
Lalu menyambung lagi tentang PP terhadap 13 kumpenis yg mendapat persetujuan
GoI, apakah masih terbuka kesempatan bagi kumpenis lain untuk menegosiasikan
kemungkinan mendapat izin penggunaan lahan hutan / taman nasional ini dari GoI
di kemudian hari? Jika iya, apakah dimungkinkan apabila MIGAS & BPMIGAS bisa
bekerja sama dengan DepHut memberikan wacana kepada para investor perihal
kemungkinan2 ini berikut prosedur2 baku yang diperlukan di dalam proses
pengajuan wilayah tersebut, yang idealnya dapat diakses di internet ?
Saya berharap mungkin MIGAS & BPMIGAS akan melakukan hal di atas ini walaupun
belum mengetahui secara pasti berapa kekayaan migas yang ada di bawah taman
nasional tersebut...atau enggan karena bisa-bisa dicap bikin gara-gara nih sama
LSM-LSM he..he... Tapi jangan jangan, calon investor pun maju mundur untuk
ekplorasi di lahan hutan tersebut karena tidak mengetahui "procedure" baku yang
bisa ditempuh, atau tepatnya kepada siapa mereka harus menanyakan "procedure"
tersebut agar bisa memperkirakan berapa lama dan berapa effort yang diperlukan
untuk melakukan penyelidikan awal / lanjut di suatu lahan hutan tertentu ?
Economic atau tidak dari segi biaya dan waktu ? Dll.. Dll..
Regards
-----Original Message-----
From: Awang Satyana [mailto:awangsaty...@yahoo.com]
Sent: Thursday, February 05, 2009 1:26 PM
To: iagi-net@iagi.or.id
Cc: Geo Unpad
Subject: Re: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG
Pak Kuntadi,
Pertanyaan2 Pak Kuntadi terkait dengan definisi, peta kehutanan, dan prosedur
pengurusan perizinan kegiatan migas di lahan kehutanan menjadi pertanyaan2 saya
juga. Dalam kegiatan migas, beberapa KKKS banyak terkendala oleh hal ini.
Terakhir yang masuk ke BPMIGAS adalah izin menggunakan lahan kehutanan untuk
pemboran sumur2 Nations Rombebai yang memakan waktu sekitar satu tahun. Kawan2
di KKKS yang banyak menangani masalah ini, termasuk di BP, bila sempat
berhubungan dengan masalah tumpang tindih kehutanan-lahan pertambangan, saya
pikir tahu jawaban2 yang tepat atas pertanyaan2 Pak Kuntadi.
Penggunaan lahan hutan lindung (dalam berbagai kriteria) akan selalu menjadi
kepentingan yang bertolak belakang antara keperluan investasi di lahan tersebut
dengan keperluan melestarikan hutan tersebut. Untuk hal ini memang harus diakui
suka ada tekanan internasional atau pihak2 lain yang berkepentingan. Satu
contoh terbaru perbenturan kepentingan itu adalah saat PP No. 2/2008 tentang
Jenis Pajak dan Tarif Atas Jenis Penerimanan Negara Bukan Pajak Yang Berasal
Dari Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan
Kehutanan Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan disahkan pada Februari 2008.
Banyak kalangan pencinta lingkungan protes keras atas PP ini dan meminta
dilakukan judicial review serta mencabutnya. Kalangan ini menganggap PP ini
sebagai landasan legal komersialisasi hutan. Sementara itu, kalangan investor
baru maupun lama (termasuk 13 perusahaan tambang yang Pak Kuntadi sebutkan)
menyambut baik PP ini. Hal2 seperti ini
akan selalu terjadi, apalagi untuk kawasan2 kehutanan di Papua yang dianggap
sebagai the last resort of forest area in Indonesia.
PP kontroversial itu dikatakan berbagai kalangan sebagai Indonesia jual murah
hutannya, bahkan lebih murah daripada sepotong pisang goreng Dikatakan murah
karena PP tersebut mematok tarif hanya Rp 120-300 sebagai kompensasi pengalihan
fungsi hutan lindung dan hutan produksi per meter per tahun menjadi lahan
eksplorasi/produksi pertambangan.
Pemerintah menyatakan bahwa pungutan ini hanya untuk 13 perusahaan yang telah
beroperasi di lahan hutan lindung sebelum ada ketentuan hutan lindung, tetapi
pembatasan itu tak ditemukan di PP tersebut, sehingga dikuatirkan banyak
kalangan hutan lindung akan menjadi lahan komersialisasi investasi. Untuk
kegiatan migas, biaya kompensasinya Rp 150/m2/tahun di kawasan hutan lindung,
atau Rp 120/m2/tahun di kawasan hutan produksi. Murah sekali kan ? Sebuah
organisasi menilai bahwa potensi kerugian yang terjadi akibat PP ini adalah Rp
70 trilyun/tahun karena kerusakan ekologi.
Ketiga belas perusahaan yang sudah ada di lahan hutan lindung itu adalah :
Freeprt Papua, Karimun Granit Riau, Inco Sulawesi, Indominco Kaltim, Aneka
Tambang Maluku Utara, Natarang Mining Lampung, Nusa Halmahera Maluku Utara,
Pelsart Tambang Kencana KalSel, Interex Raya Kaltim-Kalsel, Weda Bay Nickel
Maluku Utara, Gag Nickel Papua, Sorik Mas Mining SumUt, Aneka Tambang Sulawesi
Tenggara - semuanya untuk jenis usaha mineral dan batubara, bukan migas.
Satu lagi, PIKA - Pusat Informasi Konservasi Alam.
salam,
awang
--- On Thu, 2/5/09, Kuntadi, Nugrahanto <kuntadi.nugraha...@se1.bp.com> wrote:
From: Kuntadi, Nugrahanto <kuntadi.nugraha...@se1.bp.com>
Subject: [iagi-net-l] ISU TUMPANG TINDIH HUTAN LINDUNG & KP TAMBANG - Kiamat di
Babo (was : Papua Petroleum Exploration 1930s)
To: iagi-net@iagi.or.id, geoun...@yahoogroups.com
Date: Thursday, February 5, 2009, 8:51 AM
Pak Awang,
Saya tertarik untuk menggeser topik Kiamat Babo ini kepada isu hutan lindung di
wilayah Republik Indonesia yang pada paragraf ke-3 di email Bapak terlampir
tersebut bahwa salah satu kendala tidak tergarapnya Papua dlm usaha2 eksplorasi
migas adalah karena terhambat oleh tumpang tindih dengan wilayah kehutanan -
dan sebenarnya juga dengan wilayah KP tambang aktif.
I. KEPASTIAN STATUS TATA-GUNA HUTAN DI BIDANG MIGAS - ADAKAH STANDARD BAKU NYA?
Kata "hutan" di sini ternyata menurut peta-peta yang dikeluarkan oleh Dephut
tergolong dalam beberapa kategori. Setelah melihat-lihat berbagai peraturan sbb:
- UU RI No.41/1999 Pasal 1 dan 7
- PP RI No.44/2004 Pasal 24
Maka terlihat bahwa banyak sekali kategori hutan terkait dengan izin serta
larangan pemanfaatannya. Yang membuat praktisi industri lebih bingung lagi
bahwa pun terdapat banyak tipe / jenis peta yang berjudul beserta penerbitnya:
- Peta Kawasan Konservasi yang dikeluarkan oleh Badan Pemantapan Kawasan Hutan
Wilayah "X" masing-masing Propinsi.
- Peta Tutupan Hutan Pemerintah RI / Bank Dunia.
- Peta Konservasi PIKA (maaf saya tidak tahu kepanjangannya).
Karena adanya perbedaan peruntukkan suatu kawasan dari beberapa peta dimaksud
berakibat kepada tidak jelasnya kategori "hutan" spt yang tersebut di dalam UU
dan PP di atas. Sehingga dikawatirkan hal ini dapat membuat praktisi bingung
akan kemanakah menanyakan status tata guna hutan guna menunjuang
rencana-rencana eksplorasi di Republik Indonesia.
II. KEPASTIAN PENYERTAAN KP TAMBANG AKTIF DI DALAM USAHA EKSPLORASI MIGAS -
ADAKAH KRITERIA BAKU NYA? KARENA KP BEROPERASI DI PERMUKAAN SEDANGKAN MIGAS DI
BAWAH PERMUKAAN.
Selain isu "hutan", maka tumpang tindih dengan wilayah KP yang masih aktif pun
menjadi kendala di dalam usaha-usaha eksplorasi baik itu migas maupun CBM.
Sehingga isu ini pun menambah daftar panjang ketidak-pastian status hukum bagi
para investor yang ingin melakukan usaha eksplorasi.
III. IJIN MELAKUKAN EKSPLORASI TUMPANG TINDIH - KEMANAKAH MENGAWALINYA?
Di dalam peraturan undang-undang serta pasal lainnya menyebutkan kemungkinan
akan dirubahnya status tata guna hutan lindung. Namun antara satu UU/PP dengan
UU/PP lainnya menyebutkan terlalu banyak pihak yang "terkait" spt:
- UU RI 45/2004 Pasal 14 mengisyaratkan harus seizin pejabat berwenang.
Yang menjadi pertanyaan, siapakah pejabat yang berwenang ini?
- UU RI 41/1999 Pasal 19 disebutkan ijin perubahan ditetapkan oleh Pemerintah
dan disetujui oleh DPR.
- UU RI 41/1999 Pasal 38 dan 50, bahwa izin pinjam pakai dan survey umum bahan
tambang di wilayah hutan harus seizin Menteri dan disetujui oleh DPR.
- UU RI 41/1999 Pasal 66, bahwa Pemerintah pusat menyerahkan "sebagian"
kewenangan kepada Pemda di dalam tata guna hutan.
- KEPPRES RI No. 41/2004 tentang penetapan PERIZINAN ATAU PERJANJIAN DI BIDANG
PERTAMBANGAN YANG BERADA DI KAWASAN HUTAN.
1.Menetapkan 13 (tiga belas) izin atau perjanjian di bidang pertambangan yang
telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini, untuk
melanjutkan kegiatannya di kawasan hutan sampai berakhirnya izin atau
perjanjian dimaksud.
2.Pelaksanaan usaha bagi 13 (tiga belas) perizinan atau perjanjian di bidang
pertambangan di kawasan hutan lindung didasarkan pada izin pinjam pakai yang
ketentuannya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.
Pertanyaannya, siapakah 13 perizinan di bidang pertambangan yang dimaksud ya
teman2? Ada yang bisa kasih clue, manatahu ada rekan iaginet yang menjadi
pegawai di salah satu dari 13 perusahaan itu?
Demikian sekilas kebingungan saya perihal banyaknya UU/PP yang coba saya
kaitkan dengan pernyataan Pak Awang mengenai kurang tergarapnya banyak lahan
darat tertutup hutan oleh usaha-usaha eksplorasi migas / tambang mineral. Apa
yang membedakan hutan di PNG dan hutan di Republik kita sehingga mereka bebas
melakukan eksplorasi, sedangkan kita tidak.
Apakah BANK DUNIA turut berperan di dalam mengkebiri peraturan pemerintah kita?
Wallahu'alam,
Kuntadi