Yth. Pak Awang,
dan rekan-rekan G&G yang saya hargai

Kebetulan setahun terakhir ini, saya diberi amanah untuk mengelola kegiatan
eksplorasi Blok Buton-1. Benar sekali apa yang Bapak sampaikan sesuai
penelitian / kegiatan eksplorasi sebelumnya dan sudah dipublikasikan.
Semuanya kami olah lagi dengan tambahan data baru ataupun melihat secara
regional. Secara umum dan dapat diterima bahwa "Petroleum System sudah ada
di Buton" namun beberapa kondisi khusus terutama secara geologi menjadi
tantangan kami untuk menemukan potensi sumber daya migas baik di Buton dan
Wakatobi. Bila Bapak ada waktu nanti kita bisa diskusi ilmiah lebih khusus
tentang prospek khususnya di blok kami, tentunya pengalaman dan rekomendasi
bapak, sangat kami perhatikan.

Khusus untuk Kepulauan Wakatobi yang masuk daerah operasi blok KKKS kami
(PT. Putindo Bintech), kami sudah melakukan analisa G&G, khususnya seismik
spek survei dan gravity regional dan hasilnya menunjukkan potensi yang
sangat bagus meski harus dilakukan studi G&G lagi yang lebih detail, seperti
geologi lapangan dan geokimia. Namun ada kendala besar yang harus kami
selesaikan terutama mengingat *Kepulauan Wakatobi adalah merupakan Taman
Nasional Laut yang dilindungi* dan dilarang untuk survei karena akan
mengganggu ekosistem terumbu karang laut dan lain-lain. Bahkan ada yang
bilang lebih bagus dari Bunaken dan sudah dikenal internasional.

Sedangkan untuk *daratan Kepulauan Wakatobi, sebagian merupakan area Hutan
Lindung*. Masalah ini menjadi perhatian utama kami untuk kelanjutan survei
dan bila memungkinkan pengeboran migas di sana. Bulan lalu tim kami sudah
melakukan koordinasi dari Kementrian Kehutanan dari Jakarta, Kendari dan
sampai di Kab. Wakatobi. Hasilnya harus mendapatkan izin khusus dari pusat
untuk survei di daratan Wakatobi. Dalam waktu dekat ini kami akan
memprosesnya lagi di Kementrian kehutanan di Jakarta dengan pertimbangan
potensi sumber daya migas di sana. Semoga ada hasil positif demi menjaga dan
menambah aset negara (tidak merusak lingkungan namun memberikan tambahan
sumber alam baru bila berhasil ditemukan potensi sumber daya migas di
sana)..

Sementara itu dulu progres dan sharing yang dapat saya berikan.

Salam akhir pekan

Taufik A. Manan



2011/3/25 Awang Satyana <awangsaty...@yahoo.com>

> Rekan-rekan yang bekerja di Sulawesi, khususnya di Lengan Tenggara
> Sulawesi, pasti mengenal publikasi dari John Davidson (1991, IPA
> Proceedings) berjudul “The geology and prospectivity of Buton island, S.E.
> Sulawesi, Indonesia”. Kala itu, John adalah geologist Conoco. Conoco pada
> akhir 1980-an – awal 1990-an menjadi operator di Blok Buton. Buton telah
> dikerjakan oleh perusahaan2 minyak sejak akhir 1960-an, enam sumur
> eksplorasi telah dibor, semuanya belum menemukan akumulasi hidrokarbon,
> meskipun beberapa sumur disertai hydrocarbon shows. Saat ini, Buton
> dikerjakan oleh Japex (WK Buton) dan Putindo (WK Buton I). Eksplorasi masih
> dilakukan, belum ada lagi pengeboran sumur eksplorasi terbaru sejak Conoco
> mengebor sumur Jambu-1 pada tahun 1991.
>
> Buton diingat orang karena tambang aspalnya yang besar dan pernah menjadi
> lapangan/penambangan aspal terbesar di seluruh Asia sebelum Perang Dunia II
> (van Bemmelen, 1949). Berdasarkan studi geokimia, aspal di Buton adalah
> akumulasi minyak yang terbiodegradasi dan/atau tercuci (meteoric water
> flushing). Batuan induk minyak ini berkualitas istimewa, merupakan serpih
> marin Formasi Winto berumur Trias. Hal ini menunjukkan bahwa di area Buton
> telah terjadi generasi, migrasi dan pemerangkapan minyak.
> Perusahaan-perusahaan minyak di sini mengeksplorasi Buton untuk mencari
> perangkap yang utuh sehingga akumulasi minyaknya tak mengalami
> biodegradasi/pencucian. Tektonik Buton terkenal kompleks dan intensif,
> sebagian perangkap rusak oleh tektonik, antara lain menyebakan tererosinya
> lapisan penutup perangkap. Ketidakhadiran atau tidak sempurnanya lapisan
> batuan penutup mudah menyebabkan terjadinya biodegradasi/pencucian.
>
> Secara geologi, Buton juga dikenal sebagai sebuah mikrokontinen yang
> membentur Sulawesi Tenggara. Inilah yang akan saya diskusikan lebih lanjut.
> Sebuah penampang geologi terkenal dari Davidson (1991), yang selalu muncul
> dan digunakan setiap geologist yang bekerja di Buton, menunjukkan ‘double
> collision’, yaitu: (1) Muna dibentur Buton pada Miosen Awal, dan (2) Buton
> dibentur Tukang Besi pada Pliosen Akhir. Muna adalah nama pulau di sebelah
> barat Buton, Tukang Besi adalah nama kepulauan di sebelah timur Buton
> (sebagian publikasi, terutama publikasi2 tentang terumbu modern, menyebut
> Tukang Besi sebagai ‘Wakatobi’). Wakatobi adalah kependekan dari
> ‘Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomea, dan Binongko’. Itulah keempat pulau besar
> penyusun Kepulauan Tukang Besi. Nama  ‘Tukang Besi’ sendiri memang berasal
> dari  para pengrajin besi yang ditemukan di Pulau Tomea dan Binongko.
> Teman-teman yang menyukai olahraga menyelam atau snorkeling, tentu telah
> mengenal
>  ‘Wakatobi’ sebab inilah salah satu tempat terbaik di Indonesia bahkan
> dunia, untuk melihat terumbu koral modern. Jacques Cousteau, oceanographer
> terkenal dari Prancis yang banyak membuat film bawah laut itu, pernah mampir
> ke sini.
>
> Davidson (1991) mempublikasi makalah tentang geologi dan petroleum system
> Buton yang sangat baik dan lengkap, maka tak mengherankan semua geologist
> yang meneliti Buton mengacunya, termasuk saya. Dalam beberapa bulan terakhir
> ini, untuk kepentingan penulisan sebuah makalah, saya melihat-lihat kembali
> secara lebih detail publikasi2 tentang Buton yang tak banyak itu. Analisis
> dilakukan, dibantu dengan data-data tidak dipublikasi dan cek lapangan.
> Berdasarkan itu, maka lahirlah pemikiran alternatif tentang tektonik Buton
> yang intinya adalah bahwa: Tukang Besi tidak membentur Buton, justru Tukang
> Besi dilepaskan Buton. Tentu saja pemikiran ini bertentangan dengan Davidson
> (1991) dan kebanyakan geologist yang pernah/sedang mengerjakan Buton.
>
> Hubungan antara Buton dan Kepulauan Tukang Besi (yang sebagian besar
> merupakan paparan yang tenggelam) tidaklah jelas. Hamilton (1979)
> mengelompokkan Buton Timur dan  Tukang Besi sebagai satu mikrokontinen, yang
> berbeda dari segmen Buton Barat dan Muna.  Fortuin et al. (1990 - Journal of
> Southeast Asian Earth Science, 4, 107–124), dan Davidson (1991) juga makalah
> terbaru tentang Buton di IPA Proceedings (Tanjung et al. -2007) menyatakan
> bahwa Buton dan Tukang Besi adalah dua mikrokontinen yang berbeda yang
> membentuk kompleks double collision dari Muna-Buton-Tukang Besi. Buton
> membentur Muna pada early Miocene, Tukang Besi membentur Buton pada late
> Pliocene. Efek pertama benturan Buton-Tukang Besi disebutkan tercatat pada
> late Pliocene strata, berupa reefs yang berkembang di uplifted blocks
> sedangkan deep marine foraminiferal packstones dan marls berkembang relatif
> di downthrown blocks-nya. Benturan ini mengakibatkan wilayah yang lebih
> terangkat di
>  Buton sebelah selatan dibandingkan sebelah utaranya. Buktinya adalah bahwa
> di sebelah selatan ini banyak teras pantainya dengan Pleistocene reefs
> (teman2 Japex pasti mengetahuinya dengan baik), sementara di sebelah
> utaranya terdapat drowned estuaries dan subsiding atoll.
>
> Adalah Milsom et al. (1999, AAPG Bull.)  berdasarkan atas gravity data,
>  yang pertama kali  meragukan bahwa Tukang Besi membentur Buton. Mereka
> bahkan mengemukakan bahwa Tukang Besi adalah bagian Buton yang lalu ‘lepas’
> sebagai respon post-collision extension. Pemikiran Milsom et al (1999) ini
> menarik dan saya menemukan gejala yang sama di seluruh Indonesia sebagai
> akibat post-collision tectonics (publikasi tentang ini, bila diminati, bisa
> dicari di proceedings IAGI PIT Pekanbaru (Satyana, 2006), proceedings PIT
> IAGI-HAGI-IATMI di Nusa Dua (Satyana et al., 2007) dan proceedings IPA 2008
> (Satyana et al., 2009) tentang collision dan post-collision tectonics. Saat
> menulis makalah2 itu, saya pun masih menggunakan konsep double collision
> Muna-Buton-Tukang Besi ala Davidson (1991). Sekarang, setelah mempelajarinya
> lebih detail, justru post-collision tectonics berupa detachment (pelepasan)
> Tukang Besi dari Buton kelihatannya lebih meyakinkan, daripada
>  membenturnya.
>
> Paparan Tukang Besi terletak di sebelah timur Buton bagian selatan.
> Hamilton (1979) merupakan publikasi pertama yang menyebutkan bahwa paparan
> ini suatu mikrokontinen. Batas paparan ini, menurut Milsom et al. (1999) ada
> pada 2000 m bathymetric contour, yang meliputi area laut dangkal yang cukup
> luas. Di luar batas ini, terdapat lereng yang sangat curam ke sisi-sisi
> utara, timur dan selatan; sementara ke sebelah baratnya ia mendangkal ke
> Buton. Data gravity dari Milsom et al. (1999) menunjukkan bahwa di area
> paparan Tukang Besi, terdapat tiga punggungan yang naik ke permukaan dari
> kedalaman laut 1200-1500 meter  yang lebih kurang sejajar membentuk
> kelurusan BL-tenggara: disebut Punggungan Langkesi (utara), Wangi Wangi
> (tengah) dan Karang Kaledupa (selatan). Trend Tukang Besi yang secara umum
> membentuk kelurusan BL-tenggara dan trend Buton yang lebih kurang
> utara-selatan membuat banyak penulis berpendapat bahwa Buton dan Tukang Besi
> adalah dua
>  mikrokontinen berbeda yang lalu berbenturan pada waktu yang belum lama
> secara geologi (Pliosen akhir). Peta geologi Kepulauan Tukang Besi
> menunjukkan bahwa geologi permukaan pulau-pulau ini hanya disusun oleh
> batuan terumbu dan batuan sedimen lainnya yang berumur Kuarter. Penyelidikan
> geomarin yang pernah dilakukan di sini, di sisi timurlaut paparan, yang
> kebetulan merupakan lokasi Hamilton Fault, dengan cara dredging menemukan
> diabas berumur 9 Ma dan batuan sedimen berumur late-middle Miocene serta
> late Miocene (Silver et al., 1985 - Geology, 13, 687–691). Seismic lines
> dari the Scripps Institution of Oceanography Mariana 9 cruise, yang pernah
> melakukan survei di tepi timurlaut paparan ini menunjukkan kehadiran thin
> cover of young sediments dan  strong angular unconformity antara lapisan
> Neogen dengan  Paleogen atau yang lebih tua, meskipun resolusinya lemah.
>
> Collision atau benturan dua mikrokontinen umumnya akan menjepit kerak
> samudera yang semula terletak di tengah dua mikrokontinen itu, bahkan
> melepaskan ikatan kerak samudera itu dari induknya, sehingga menjadi jalur
> kerak samudera atau ofiolit yang ‘rootless’ alias tak punya akar. Tempat
> benturan dua mikrokontinen itu umum disebut ‘suture’. Publikasi saya tentang
> Meratus ophiolites (Satyana & Armandita, 2008 – proceedings HAGI) sebagai
> studi kasus, membahas hal ini yang dikonfirmasi data dan pemodelan gravity.
> Begitu juga di banyak jalur ofiolit lain di seluruh Indonesia (Satyana et
> al., 2007, proceedings IAGI-HAGI-IATMI). Maka bila Tukang Besi membentur
> Buton, harus ada jalur ofiolit di antara Buton dan Tukang Besi, apalagi
> penampang Davidson (1991) itu menunjukkannya. Masalahnya, tak pernah ada
> jalur ofiolit ditemukan di antara kedua wilayah ini, dan yang lebih
> meragukan lagi bahwa Tukang Besi membentur Buton, tak ada struktur kompresi
>  ditemukan antara Tukang Besi dan Buton. Buton jelas membentur Muna sebab
> kita mendapatkan jalur ofiolit Kapantoreh di bagian selatan Buton, kita juga
> punya banyak struktur kompresi di Buton akibat benturan itu (struktur
> kompresi di Buton bukan akibat benturan Tukang Besi, saya terangkan di bawah
> ini).
>
> Bila Tukang Besi membentur Buton di post-Miocene (Pliosen akhir menurut
> Davidson, 1991), bukti struktur2 kompresif akibat benturan ini mestinya akan
> banyak terjadi di Teluk Kulisusu (di beberapa peta disebut Teluk
> Kolowara-Watabo) yang diperkirakan menjadi suture zone-nya. Tetapi,
> berdasarkan data seismik dari the Scripps Institution of Oceanography
> Mariana 9 cruise di Kulisusu Bay, justru yang muncul adalah
> struktur-struktur ekstensi seperti bekas collapse. Collapse berupa
> sesar-sesar turun, ekstensional umum dijumpai di dekat (sekitar) jalur
> benturan, yang kejadiannya sebenarnya menunjukkan proses isostasi untuk
> mengkompensasi pengangkatan (uplift) karena benturan. Milsom et al. (1999)
> berdasarkan data gravity bahkan menunjukkan bahwa paparan Tukang Besi
> terbagi-bagi menjadi segmen-segmen tertentu yang disebutnya discrete blocks.
> Mekanisme ini diterangkannya sebagai akibat dispersi. Batas-batas blok
> tersegmentasi ini berdasarkan analogi dengan tempat
>  lain tidak pernah merupakan struktur kompresi (thrusting), tetapi
> seringnya merupakan extensional atau transcurrent faults. Berdasarkan hal
> ini, maka benturan Buton terhadap Muna memicu detachment sebagian wilayah
> kerak litosfer yang semula dipertebal oleh  middle Miocene collision
> Muna-Buton, yang menyebabkan isostatic rebound lalu dispersal, seperti
> dialami Tukang Besi. Maka kesan yang dominan atas hubungan Buton-Tukang Besi
> justru adalah fragmentasi Tukang Besi dari Buton, daripada amalgamasi Tukang
> Besi kepada Buton.
>
> Maka , saya memikirkan bahwa Tukang Besi adalah satu mikrokontinen dengan
> Buton. Hal ini beranalogi dengan mikrokontinen lain yang membentur Sulawesi,
> yaitu Banggai-Sula.  Publikasi tentang Banggai-Sula dari Garrard et al.
> (1988, Proceedings IPA) menunjukkan kehadiran extensional dan collapse
> structures di antara Banggai and Sula. Collapse structures di sini merupakan
> isostatic response karena collision bagian frontal mikrokontinen (Banggai
> portion). Atas analogi itu, maka saya menyebut Buton sebagai
> ‘frontal/anterior/head’ part of the microcontinent, sedangkan Tukang Besi
> adalah ‘rear/posterior/tail’ part of the microcontinent. Ketika head Buton
> membentur Muna Block dan menjadi terangkat, maka diikuti oleh kompensasi
> isostatik berupa gaya relaksasi yang membentuk collapse/extensional
> structures di area antara head and the tail parts, yaitu di area  junction
> antara Buton dan Tukang Besi. Detachment Tukang Besi dari Buton adalah
> sebuah isostatic
>  rebound karena lithosphere thickening oleh middle Miocene collision antara
> Buton dan Muna.
>
> Pemikiran alternatif ini tentu akan punya implikasi kepada petroleum
> geology dan petroleum system Buton.
>
> Salam,
> Awang
>
>
>
>
>
> --------------------------------------------------------------------------------
> PP-IAGI 2008-2011:
> ketua umum: LAMBOK HUTASOIT, lam...@gc.itb.ac.id
> sekjen: MOHAMMAD SYAIFUL, mohammadsyai...@gmail.com
> * 2 sekretariat (Jkt & Bdg), 5 departemen, banyak biro...
>
> --------------------------------------------------------------------------------
> Ayo siapkan diri....!!!!!
> Hadirilah Joint Convention Makassar (JCM), HAGI-IAGI, Sulawesi, 26-29
> September 2011
>
> -----------------------------------------------------------------------------
> To unsubscribe, send email to: iagi-net-unsubscribe[at]iagi.or.id
> To subscribe, send email to: iagi-net-subscribe[at]iagi.or.id
> Visit IAGI Website: http://iagi.or.id
> Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:
> Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta
> No. Rek: 123 0085005314
> Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)
> Bank BCA KCP. Manara Mulia
> No. Rekening: 255-1088580
> A/n: Shinta Damayanti
> IAGI-net Archive 1: http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/
> IAGI-net 
> <http://www.mail-archive.com/iagi-net%40iagi.or.id/%0AIAGI-net>Archive 2:
> http://groups.yahoo.com/group/iagi
> ---------------------------------------------------------------------
> DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information posted
> on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. In no event shall
> IAGI or its members be liable for any, including but not limited to direct
> or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting from loss
> of use, data or profits, arising out of or in connection with the use of any
> information posted on IAGI mailing list.
> ---------------------------------------------------------------------
>
>

Kirim email ke