Halo, ya. besok lima tahun lumpur lapindo. banyak yang sudah dikerjakan dan banyak yang belum terkerjakan. saya sendiri sudah menganggap diri saya pensiun (setidaknya untuk sementara) dari isu ini, jelas dalam kerja2 seperti ini pensiun sepenuhnya itu boleh dikatakan mustahil. selama hampir dua tahun di Porong dulu telah saya berikan yang terbaik yang saya bisa. mulai dari secara gagap membaca makalah2 berat, advokasi, mendirikan koperasi perempuan korban lumpur, sampai menulis. tak ada lagi yang dapat saya katakan soal lumpur ini. terlalu banyak.
bagi yang masih terlibat dalam isu ini, selamat berjuang. saya salut dengan Cak Andang misalnya, yang terus bersuara sesuai dengan kapasitasnya soal lumur Lapindo. salah satu poin refleksi yang mungkin dapat saya sampaikan, meskipun saya yakin tak banyak gunanya, ternyata industri yang kita punya sekarang belum bisa menyejahterakan orang banyak. itu tampaknya yang perlu menjadi bahan pikiran kita bersama. Untungnya dulu, saya cukup disiplin mencatat banyak hal soal lumpur lapindo, sehingga jadilah sebuah draft. draft itu sekarang berada di salah satu penerbitan buku di Jogja, semoga mereka mau menerbitkannya. kalau tidak ada yang mau menerbitkannya, mau saya share saja filenya secara terbuka. di bawah ini, sekedar berbagi informasi, saya kopikan pengantar yang kami tulis menyertai draft tersebut. selamat membaca dan merenung. tabik bosman batubara Catatan Penulis untuk (draft): KRONIK LUMPUR LAPINDO: Skandal Bencana Industri Pemboran Migas di Sidoarjo Ide penulisan buku ini datang begitu saja menghampiri kami. Sudah tidak jelas kapan pertama kalinya pikiran seperti itu datang. Mungkin di sekitar tahun 2009. Sebelumnya, kami sudah terlibat sangat jauh dalam permasalahan bencana industri lumpur Lapindo. Jadi, boleh disebut sebenarnya penulisan buku ini adalah sesuatu yang berjalan, hidup di kepala kami, sekaligus memberikan energinya yang ternyata sampai saat ini, dengan tanpa memikirkan betapa besar ataupun kecilnya ia, juga turut serta menyemangati kami. Menulis tentang lumpur Lapindo kadang-kadang tak ada bedanya dengan menulis biografi orang yang masih hidup. Dalam menulis sebuah biografi orang yang masih hidup, seringkali penulisnya merasa terbebani dengan ketakutan bahwa si tokoh yang sedang ia garap bisa saja kelak melakukan sebuah perbuatan tercela sementara di buku yang sedang ia garap bertabur puja-puji. Demikian juga dengan lumpur. Walaupun miskin puja-puji, tetapi harus kami sadari bahwa bencana ini sedang berlangsung. Kejadian-kejadian begitu cepat dan dinamis. Kondisi kemarin sore begitu cepat berubah pagi ini. Dan kamipun, mau tak mau harus menyesuaikan ritme menulis kami dengan dinamika lapangan yang terjadi di Porong. Permasalahan kedua adalah perihal data. Data begitu banyak, pemberitaan soal lumpur Lapindo begitu masif, dan isu yang di-cover juga begitu luasnya. Dalam sebuah obrolan dengan seorang kawan yang tertarik melakukan studi tematik soal lumpur Lapindo, kami hanya sanggup mengatakan bahwa buku yang kami tulis ini pada dasarnya sangatlah jauh dari kesempurnaan. Benar, kami mengcover wilayah yang sangat luas, mulai dari dimensi keteknikan yang mencakup ribuan meter di bawah permukaan Bumi sana, sampai ke wilayah psike korban yang tentu saja tidak akan pernah dapat kita ukur kedalamannya. Dengan demikian, buku ini hanyalah semacam milestone yang menjadi palka akan apa yang telah kami jalani selama beberapa tahun terakhir. Mustahil kami membabat semua tema soal lumpur Lapindo yang, selain karena luas, beragam dan multidimensi itu tadi, juga karena kami bukanlah Superman. Oleh karenanya kami selalu berharap apabila suatu saat entah kapan ada “junior” yang meneruskan pekerjaan ini ke tingkat yang lebih detil, karena dari situlah kita semua dapat belajar. Di tengah-tengah cuaca Porong yang panas dan aroma methane yang tak pernah putus, tanpa berniat membanggakan diri, harus kami katakan bahwa bukanlah hal yang mudah untuk tetap melakukan kerja-kerja pengorganisasian sembari pelan-pelan mengumpulkan data baik skunder maupun primer. Kami tertolong dengan berbagai proyek insidental yang membuat kami bekerja pendek dan cepat. Kerja-kerja insidental itulah yang pada dasarnya menjadi embrio buku ini. Sebuah riset lapangan yang dipercayakan oleh Social Emergency Response Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur kepada kami pada pertengahan tahun 2009, bolehlah kami sebut sebagai salah satu tonggak awal dimana kami memiliki kesempatan untuk mengumpulkan dan mengorganisir segala apa yang kami punya dan ketahui sehubungan dengan lumpur Lapindo. Untuk itu, kami ucapkan terima kasih. Selain itu, tulisan-tulisan pendek untuk media, kebutuhan advokasi, dan riset-riset yang kami lakukan bersama Lafadl Initiatives dan Desantara Foundation, juga sangat membantu kami untuk semakin masuk lebih dalam ke akar-akar permasalahan yang ada sekaligus, pada saat yang bersamaan, melebarkan spektrum bacaan kami terhadap kasus ini. Juga terima kasih. Khusus untuk bab terakhir dalam buku ini, Praktik Bisnis di Banjir Lumpur, sudah pernah dipublikasikan sebagai salah satu bab dalam buku kumpulan riset yang berjudul Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil (Prasetia, H., dan Batubara B., ed., 2010; Desantara Foundation). Pada akhirnya, kami memutuskan untuk tetap mengikutkan fragmen tersebut dalam penerbitan buku ini dengan dua pertimbangan. Pertama, bab tersebut memuat beberapa informasi kunci yang kami butuhkan untuk disebarkan ke dalam beberapa bab dalam buku ini. Jadi meskipun kami katakan “bab itu diterbitkan ulang”, pada dasarnya yang terjadi adalah kami rombak pada bagian-bagian tertentu dan disisipkan ke dalam beberapa bab sehingga alur logika dalam buku ini menjadi lebih runtut, tentu saja kenyamanan pembaca adalah tujuan dari semua ini. Kedua, setelah buku Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil terbit, kami menyadari bahwa ada kesalahan dalam bab Praktik Bisnis di Banjir Lumpur, dan kami tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan penerbitan buku ini sebagai media mengoreksi diri sekaligus meminta maaf apabila ada pihak yang dirugikan sehubungan dengan kesalahan yang telah terjadi itu. Pada saat kami membaca ulang draft yang sudah 95% selesai dan akan melangkah ke sentuhan akhir, kami menyadari ternyata kami menggunakan banyak sekali singkatan dan istilah-istilah asing dan keteknikan. Dalam pengalaman kami membaca, kadang-kadang kehadiran sebuah singkatan di tengah-tengah teks dapat menginterupsi kenyamanan pembaca karena harus mencari-cari lagi di bagian sebelumnya apa kepanjangan dari singkatan tersebut. Interupsi ini kami coba antisipasi dengan menghadirkan daftar singkatan pada bagian awal buku ini. Pun dengan istilah-istilah asing dan keteknikan. Sebisa mungkin kami terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Tetapi itu bukan pekerjaan yang mudah. Sering kami temukan bahwa kami tidak mampu sama sekali menemukan kata atau padanan kata yang menurut hemat kami tepat untuk istilah tersebut. Dalam kasus ini biasanya kami bertahan dengan istilah asing dan keteknikan. Dan untuk mengantisipasi permasalahan rasa terinterupsi yang dialami oleh pembaca tadi, maka kami juga memutuskan untuk membuat sebuah daftar istilah, atau yang dalam buku ini kami sebut Glosarium. Masih ada hubungannya dengan “asing”, dalam buku ini kami banyak menggunakan gambar dan peta yang kami kompilasi dari buku-buku dan artikel berbahasa asing. Sebisa mungkin kami menerjemahkan bagian-bagian dalam gambar dan peta itu ke dalam Bahasa Indonesia dengan menyebutkan sumbernya. Hal ketiga yang ingin kami sampaikan adalah permasalahan waktu. Seperti yang sudah sedikit kami singgung, pada dasarnya buku ini kami kerjakan dalam waktu yang sangat lama dan bertahap-tahap. Sehingga kadang-kadang ketika dulu kami menuliskan “sekarang”, akan tetapi ketika di belakang hari kami membuka kembali draft dan membaca ulang, kami menyadari bahwa kata “sekarang” sudah tidak relevan. Karena itu kami mencoba untuk menyatakan dengan tepat, kapan kira-kira sebuah kejadian yang kami paparkan, dengan kata lain, langsung ke lokus waktu mana sebuah data dan peristiwa mengakar. Hal di atas penting, mengingat banyaknya data dan dinamisnya pegerakan isu yang terjadi di lapangan. Karena itu, sebisa mungkin kami memberikan keterangan soal kapan data yang kami gunakan diambil. Dan, dalam kesempatan ini, kami ingin menyampaikan satu fakta yang sangat penting untuk kasus lumpur Lapindo, yaitu persoalan seberapa besar sebenarnya aset korban lumpur yang sudah terbayar. Dalam sebuah kesempatan pada awal tahun 2011, Aburizal Bakrie (kalau anda meneruskan membaca buku ini, maka dipastikan anda akan familiar dengan namanya), memberikan sebuah pernyataan di media bahwa “korban lumpur jadi miliarder” dan dari 12 ribu KK korban lumpur, hanya 80 orang lagi saja yang belum dibayar, demikian Ical (us.detiknews.com; 25/01/2011). Tentu saja itu tidak benar, karena berdasarkan kondisi yang ada di lapangan dari 13.200 warga korban Lumpur, baru 55% yang sudah lunas. Itupun dengan catatan, mereka yang sudah lunas sebagian besar adalah warga Perumtas yang kapitalisasi asetnya relatif kecil dibandingkan warga korban yang berasal dari desa (non-perumahan) yang memiliki kapitalisasi aset yang jauh lebih besar. Bahkan, karena adanya skema pembayaran cicilan yang diciptakan oleh PT Minarak Lapindo Jaya, kasir PT Lapindo Brantas Inc., ada korban yang baru akan terlunasi asetnya dalam 38 tahun ke depan (us.detiknews.com; 26/01/2011). Dengan catatan, cicilan bulanan dibayar dengan lancar. Kalau cicilan macet-macet, seperti yang sering terjadi, maka tentu saja akan semakin lama itu waktu. Dalam beberapa poin, sebenarnya ada perasaan tidak tega untuk menuliskan hal-hal yang terjadi di Porong sehubungan dengan bencana lumpur Lapindo ini. Sebut saja misalnya, perilaku elit pemimpin yang mengutip bayaran dari warganya. Ini adalah sebuah aib bagi kepemimpinan mereka. Kami sadar, mungkin mereka akan malu. Tetapi, apa boleh buat, itu adalah rahasia yang sudah umum di Porong, kebetulan saja kami mencatatnya. Pembelaan yang dapat kami sampaikan hanyalah, pada dasarnya siapa sajapun bisa terjerembab ke dalam jurang yang sama. Kemiskinan, penderitaan, dan keterdesakan sering membuat orang jadi gelap mata. Dan kalau mau menelisik lebih jauh, tentu saja akar dari semua ini tak lain dan tak bukan adalah bencana lumpur Lapindo itu sendiri. Karena, ia telah menyingkap talenta culas yang pada dasarnya ada dalam setiap orang dan mengekspose permasalahan laten struktural seperti kemiskinan ke wilayah yang lebih rentan. Kami juga sangat sadar dengan keterbatasan kami. Kesalahan sangatlah mungkin ada dalam buku ini. Akan tetapi, kalau anda, sebagaimana kami, adalah termasuk golongan orang yang percaya bahwa menjadi manusia pada hakikatnya adalah pencapaian, tetapi dengan pelbagai kesalahan untuk diperbaiki, maka mari kita bergandengan tangan untuk bersama-sama mendiskusikan kesalahan itu, apabila anda menemukannya. Terakhir, kalau masih ada kata yang melebihi ucapan terima kasih, pasti kami akan memakainya. Karena kata “terima kasih” rasanya sudah defisit untuk mengekspresikan rasa terima kasih kami kepada semua pihak yang sudah bersaham budi dalam proses penggarapan buku ini. Tentu saja terutama sekali semua korban lumpur Lapindo. Dan karenanya, kepada merekalah buku ini dipersembahkan. Selamat membaca. Awal 2011 Porong-Malang-Jogja-Leuven Bosman Batubara Paring Waluyo Utomo