tulisan berikut sayacopas dari note saya di FB:

***

Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, meminta warga di 45 RT di sekitar  lokasi Lumpur 
Lapindo untuk bersabar dan menerima uji seismik yang akan  dilakukan oleh 
kementerian ESDM di kawasan mereka. Namun, warga menolak  dengan alasan 
khawatir 
bahwa hasil uji seismik akan dipakai sebagai  basis bagi pengambilan kebijakan 
sehubungan dengan daerah mereka  (Tempointeraktif, 31 Maret 2011).
 
Pada dasarnya uji  seismik sangat penting dilakukan di Porong untuk mengetahui 
kondisi  bawah permukaan. Melalui rekaman seismik para ahli akan dapat  
menginterpretasi struktur bawah permukaan di sekitar semburan. Struktur  bawah 
permukaan ini, misalnya saja, berupa patahan-patahan yang ada di  sana yang, 
kalau mengikuti kerangka berfikir geolog, pasti sudah sangat  banyak, terutama 
karena terjadinya amblesan di beberapa tempat. Logika  sederhananya, sebuah 
amblesan akan diikuti oleh patahan.
 
Dalam  kasus Lumpur Lapindo uji seismik menjadi sangat penting karena data ini  
termasuk langka terutama pasca semburan. Berdasarkan publikasi ilmiah  tentang 
Lumpur Lapindo yang dapat saya ikuti, kondisi bawah permukaan  ini menjadi 
salah 
satu lubang karena minimnya data seismik yang  tersedia. Sementara, untuk 
menghasilkan model bawah permukaan yang  bagus, data seismik adalah salah satu 
hal yang sangat dibutuhkan.
 
Data  seismik banyak digunakan oleh para geolog yang bekerja di industri  
minyak 
dan gas untuk memprediksi perangkap-perangkap hidrokarbon yang  ada di bawah 
permukaan. Ini bukan berarti bahwa data seismik hanya dapat  digunakan untuk 
mencari perangkap minyak dan gas, tetap bisa juga untuk  hal yang lain. Salah 
satunya adalah untuk modelling bawah permukaan seperti yang dibutuhkan di 
Porong.
 
Lantas,  seperti apa kita harus memposisikan permintaan Pakdhe Karwo dan  
penolakan warga dalam kasus ini? Benar, dari perspektif sains, saya  percaya 
setiap orang yang belajar geologi akan sangat mendukung  dilakukannya survei 
seismik tersebut. Akan tetapi, perlu kita ingat juga  bahwa kenyataan hidup ini 
bukanlah masalah sains belaka. Banyak hal  lain yang juga perlu 
dipertimbangkan, 
apalagi dalam mengambil sebuah  kebijakan yang menyangkut orang banyak seperti 
korban lumpur.
 
Bagi  saya penolakan yang dilakukan warga sangat masuk akal. Terutama mungkin  
karena mereka belajar dari pengalaman warga dari beberapa Desa yang  sudah 
memiliki payung hukum sebelumnya. Dari tiga generasi Perpres yang  sudah 
dikeluarkan sehubungan dengan Lumpur Lapindo, yaitu Perpres  14/2007, Perpres 
48/2008, dan Perpres 49/2009, belum ada satu pun yang  tuntas dilaksanakan.
 
Untuk Perpres 14/2007, kondisi umum  per Januari 2011, dari sekitar 13.000 
warga 
korban Lumpur Lapindo yang  berada di bawah payung hukum ini, baru sekitar 55% 
yang sudah lunas  dalam artian menerima dana kompensasi untuk jual beli aset 
mereka.  Dengan catatan, mereka yang sudah dilunasi kebanyakan adalah bekas 
warga  Perumtas yang rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang kecil kalau  
dibandingkan dengan mereka yang berasal dari desa (non-perumahan) yang  
rata-rata memiliki kapitalisasi aset yang besar.
 
Lebih  jauh, karena adanya skema pembayaran cicilan yang diciptakan oleh PT  
Minarak Lapindo Jaya, ada korban Lumpur yang dana kompensasinya baru  akan 
lunas 
dalam 38 tahun ke depan. Itupun dengan catatan pembayaran  cicilan lancar 
setiap 
bulannya. Kalau pembayaran cicilan macet-macet  seperti yang sering terjadi, 
maka jangka waktu pelunasan itu akan  semakin lama. Padahal, dalam redaksi 
Perpres 14/2007 Pasal 15 Ayat (2)  dinyatakan bahwa pembayaran dilakukan 
selambat-lambatnya sebulan sebelum  masa kontrak rumah dua tahun habis. Mengacu 
ke waktu pemberian uang  kontrak rumah yang didapatkan oleh korban Lumpur 
Lapindo, maka  seharusnya pembayaran ini sudah selesai pada sekitar akhir tahun 
2008  yang lalu.
 
Bagi warga yang berada di bawah payung hukum  Perpres 48/2008 (Desa Besuki 
sebelah barat tol, Desa Pejarakan dan Desa  Kedungcangkring) nasib mereka tidak 
jauh berbeda. Karena Pasal 15B ayat  (5) Perpres 48/2008 mensyaratkan pelunasan 
dilakukan apabila PT Lapindo  Brantas Inc., (LBI) telah melunasi  
tanggungjawabnya terhadap pembayaran  dana kompensasi bagi korban Lumpur 
Lapindo 
yang tertera dalam Perpres  14/2007. Artinya, selama urusan dalam Perpres 
14/2007 belum tuntas, maka  urusan dalam Perpres 48/2008 juga akan ikut 
terbengkalai.
 
Sementara  bagi warga yang berada di bawah payung hukum Perpres 40/2009 (3 RT 
di  
Desa Mindi, Desa Siring Barat dan Desa Jatirejo Barat), nasib mereka  malah 
lebih buruk lagi. Karena pada saat ini tuntutan mereka baru pada  tahap 
merealisasikan Perpres 40/2009. Sampai saat ini warga belum  menerima dana 
kompensasi atas aset mereka.
 
Berdasarkan  rekam jejak penegakan hukum yang payah pada seputaran kasus Lumpur 
 
Lapindo ini, maka penolakan warga di 45 RT ini sangat dapat dipahami.  
Kekhawatiran mereka bahwa nantinya data seismik akan dipakai sebagai  basis 
untuk membatalkan dikeluarkannya payung hukum yang mengatur  pembayaran dana 
kompensasi untuk wilayah mereka, sangat berasalan.
 
Selain  penegakan hukum yang payah, kekhawatiran ini tampaknya diperparah oleh  
pengalaman adanya perdebatan yang sangat sengit di kalangan geosaintis  tentang 
penyebab terjadinya semburan lumpur. Boleh dikata perdebatan ini  sifatnya 
eksklusif dan detilnya hanya dapat diikuti oleh orang yang  belajar geologi. 
Dan 
kita tahu, meskipun pada pemungutan suara di  konferensi American Association 
of 
Petroleum Geologists (AAPG)  para pakar yang meyakini bahwa semburan lumpur 
terjadi karena adanya  pemboran pada sumur Banjar Panji-1 milik PT LBI 
memenangkannya dengan  mayoritas suara, tetapi kenyataan hukum berbicara lain. 
Pemerintah tidak  pernah secara tegas menyatakan penyebab terjadinya semburan 
lumpur ini  dalam salah satu produk hukumnya. Yang ada hanyalah pernyataan  
sepotong-sepotong di media. Dalam hal ini tentu saja warga pantas  khawatir 
apabila rekaman seismik kelak menjadi objek perdebatan lagi.
 
Apa  yang dapat dilakukan selain mengutuki keadaan ini? Langkah terbaik yang  
dapat diterima oleh akal sehat dan mungkin dilakukan oleh pemerintah  adalah 
mengeluarkan dulu payung hukum bagi 45 RT yang menolak survei  seismik 
tersebut, 
baru kemudian melakukan survei seismik. Karena,  tampaknya ini adalah salah 
satu 
solusi yang untuk sementara dapat  memberikan jawaban bagi kepentingan kedua 
belah pihak. Di satu sisi,  pemerintah (dan juga kalangan sains) sangat 
membutuhkan data seismik  untuk kepentingan modelling bawah permukaan, di sisi 
lain warga  juga akan sedikit merasa tenang karena setidaknya area mereka telah 
 
memiliki payung hukum yang dapat mereka pegang.
 
***
tulisan  ini saya buat sekitar satu bulan yang lalu. sudah saya kirim ke salah  
satu media nasional, tetapi tidak ditanggapi, maka saya share saja di FB
 
salam
bosman

Kirim email ke