Rekan  

Saya agak berbeda pendapatnya dengan sdri Lily Tyahyandari .
Seorang Periset justru harus berbahagia bahwa apa yang deketemukan atau akan 
diketemukan atau yang dia kemukakan mendapatkan tantangan yang besar. Baik yang 
skeptis dan apriori maupun yang mendasarkan opininya  pada teori ataupun 
evidence yg berbeda.
Jadi adanya tantangan seperti ini tidak perlu kita berprihatin., bahkan  kita 
harus bergembira,
Yang jelas lebih bermutu daripada  perdebatan yang terjadi di Indonesia Liars 
(eh Lawyers ) Club ,
hahahahahaha

Wassalam

si Abah




________________________________
 From: Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>
To: "e_rid...@yahoo.com" <e_rid...@yahoo.com>; IAGI <iagi-net@iagi.or.id> 
Cc: "refere...@yahoogroups.com" <refere...@yahoogroups.com>; 
"alumni_gamais_...@yahoogroups.com" <alumni_gamais_...@yahoogroups.com> 
Sent: Thursday, February 16, 2012 10:14 PM
Subject: [iagi-net-l] Re: Tulisan menarik peneliti Budaya UI
 

Waaa, 
Kalau skeptis itu memang bawaannya saintist. Sains itu diawali dengan keraguan 
bukan semangat dan keyakinan. Jadi kalau ada yg sekptis pada sesuatu penemuan 
bukan berarti ybs menolak. Secara mudah orang skpetis itu baru akan mengikuti 
atau menyetujui adanya hipotesa baru bila sudah menemukan evidence. Tanpa 
evidence kok sudah meyakini sebauh penemuan karena ditemukan si anu yg terkenal 
berarti itu taklid buta ....  Sains ndak mengenal hal taklid seperti itu. 
Banyak saintis bergelar doktor yg tidak sepaham dengan promotornya .... Dan 
sains itu tidak ada loncatan besar yng datangnya "ujug-ujug mak pluk".
Mohon maaf saja .... Sains itu jalannya thimik-thimik, bukan berlari kencang. 
Mirip seperti proses evolusi, pelan tapi pasti.

Nah budaya riset yg menurun itu bukan karena skeptis Tapi mungkin pesimistis 
pada hasil yg akan diperoleh. Saintis murni melakukan penelitian seringkali 
bukan karena tujuan, tapi karena keingintahuan. Ketiadaan rasa ingin tahu bukan 
berarti pesimis atau skeptis loo. Bisa saja tidak menarik karema kemasan atau 
pengungkapan yang rumit. 

Yang penting menurut saya, seorang peneliti sejati seringkali tidak 
memperdulikan dampak dari temuannya ... Sikapnya adalah "persistent" dalam 
bahasa mudahnya "tekun" dalam melakukan riset. Jangan membayangkan atau 
memikirkan hasilnya akan menggelegar. Kebanyakan penemuan besar didunia tidak 
disadari oleh penemunya. Jadi kalau anda telah menemukan sesuatu, jangan punya 
harapan anda akan mendapatkan hasilnya secara instant. No. No .... Bukan 
seperti itu "reward" atau penghargaan yang diperoleh oleh seorang penemu 
sejati. Ketika nanti manusia menyadari, barulah "nama" anda akan dikenal dan 
"dikenang". Syukur-syukur didoakan, ilmu yg bermanfaat adalah sebuah amal 
jariah.

Kalau anda menemukan sesuatu ikhlas saja dengan apa yg ditemukan. Memang kalau 
diamati, hanya penemuan yg berlanjut yang bermanfaat. Jadi satu hal lain yang 
penting adalah sikap dari si peneliti ketika menemukan hasil risetnya. Sikap 
"low profile", lembah manah, sopan, membuat orang memberikan apresiasi atas 
penemuan dan kalau diteruskan maka penemuan itu menjadi sebuah ilmu yg 
bermanfaat. Yang seperti ditulis diatas, menjadi amal jariah.

So,
Kalau anda merasa menemukan sesuatu, uNgkapkan saja apa adanya sejujurnya. 
Duniapun Sekarang tahu bahwa bukan Darwin yg menemukan teori evolusi, dia 
Hanyalah mengembangkan dan menuliskan, namun saat ini semua tahu bahwa Lamark, 
juga Wallace lebih duluan mengemukakan ide evolusi yang fenomenal ini. Malah 
Darwin yg akhirnya dicaci oleh orang yg "tersinggung" karena penemuan teori 
evolusi. 

Salam riset

Rdp

On Thursday, February 16, 2012, e_ridzky <e_rid...@yahoo.com> wrote:
>
> Jangan kapok Jadi Peneliti di Indonesia
> (Quo Vadis Budaya Riset?)
>
> Oleh: Lily Tjahjandari*
>
> Berbagai polemik seputar keberadaan piramida di Garut di ruang media massa 
> yang padat dengan aksi serang menyerang antar ilmuwan untuk mempertahankan 
> logika hasil riset bahwa ada sesuatu yang bermakna di balik gunung Garut 
> patut dicermati dengan perasaan prihatin.
>
> Pertama, prihatin bahwa masyarakat Indonesia tampaknya memang belum siap 
> dengan berbagai hipotesa temuan ilmiah yang dinilai mencengangkan dan 
> berusaha secara skeptis menolak, kedua yang sangat memprihatinkan adalah 
> ketika serangan datang bukan dari masyarakat awam melainkan dari perwakilan 
> akademisi yang terlalu dini untuk mengartikulasikan penolakan bahkan melalui 
> lontaran-lontaran pendapat yang bernada sinis.
>
> Dunia akademisi selayaknya mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang belum 
> diketahui manusia dapat ditelaah secara ilmiah dan membuka ruang kemungkinan 
> bahwa suatu hipotesa layak dibuktikan. Manusia diciptakan untuk mencari, hal 
> itu yang menjadi dasar bagi Plato melalui perumpamaan Hoehlengleichnis 
> (perumpamaan gua). Manusia yang di hidup di gua tidak mampu menangkap hal-hal 
> yang berada di luar gua, namun mereka berusaha meraba melalui 
> bayangan-bayangan yang tampak yang dipantulkan dari yang masuk ke dalam gua 
> dan mereka berusaha menjelaskan tentang keberadaan benda-benda di luar gua.
>
> Esensi pencarian kebenaran memang tampaknya tidak selalu berujung penerimaan 
> positif masyarakat, bahkan sejak masa Galileo Galilei, Christoporus Columbus 
> hingga Charles Darwin, hipotesa ilmiah memng sering berbenturan dengan 
> persepsi subyektif. Namun kadang kebenaran tidak bisa terhindarkan bahkan 
> saat sang perintis telah lama tiada. Filsafat Aufklaerung mengemuka dengan 
> pemikiran Descartes “ Cogito Ergo Sum” mematahkan pandangan kolot masa 
> kegelapan di Eropa. Bahwa segala sesuatu tampak mungkin dan memang sah untuk 
> dibuktikan, perkembangan pesat Aufklaerung di Eropa didukung oleh kematangan 
> berpikir masyarakat dan lebarnya ruang artikulasi ilmiah.
>
> Hipotesa ilmiah layak didiskusikan melalui forum-forum pemikiran yang matang, 
> dan bukan forum-forum saling mengecam serta merendahkan. Apakah kita harus 
> mengulang persitiwa Columbus dan tidak mengambil pelajaran darinya? Jutaan 
> cercaan harus dihadapi columbus saat memperjuangkan hipotesa bahwa bumi 
> memang bulat.
>
> Kita hidup di masa ratusan tahun setelah peristiwa itu dan semestinya ruang 
> artikulasi pemikiran sudah melampaui kematangan. Masyarakat Indonesia 
> menunggu para pemikir nasional yang mampu melakukan terobosan untuk masa 
> mendatang, dan tentu apa yang diungkapkan oleh para peneliti piramida bukan 
> hanya bersandar pada kepentingan saat ini, namun juga mewakili visi bangsa ke 
> depan. Usaha untuk mengupas identitas dan mencari kemungkinan kehidupan di 
> masa lampau selayaknya dihargai dan diberukan ruang untuk mengartikulasikan 
> pemikiran. Hal ini tentu sungguh bertolak belakang dengan apa yang terjadi di 
> luar Indonesia, konkritnya mungkin bagaimana masyarakat barat tidak serta 
> merta memandang skeptis fenomena extraterrestrial. Bahkan mereka mencoba 
> mendekati berbagai temuan dan mendirikan berbagai pusat riset untuk menjawab 
> kemungkinan-kemungkinan tersebut, seperti UFO Studies Center yang menjamur di 
> Amerika dan Eropa. Melihat kenyataan tersebut, tampaknya kita
 perlu merenungkan, apakah kita akan terus bertikai di dalam perjalanan mencari 
identitas kita sendiri, seperti kasus penemuan piramida di Garut dan juga 
hipotesa tentang gunung Padang? Dan bukan melalui ruang-ruang diskusi yang 
hangat dan membuka celah-celah pemikiran baru yang mendukung kemajuan bangsa. 
Entah kapan budaya riset yang sinergis menjadi budaya di kalangan masyarakat 
Indonesia khususnya ilmuwan.
>
> *Penulis adalah peneliti dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
> 

-- 
"Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"

Kirim email ke