Pak Zaim yth,
Terimkasih infonya. Itulah sebabnya kami di PP-IAGI sangat konsen dengan
"disclaimers". IAGI sangat menghargai dan sangat mendorong serta mendukung
riset-riset yang dilakukan anggotanya. Namun juga perlu mengerti bahwa
setiap kata, setiap kalimat, dan setiap statemen itu memiliki konsekuensi.
Salam

RDP

2012/2/17 yahdi zaim <z...@gc.itb.ac.id>

> **
> Pak RDP dan Rekans,
> Di koran Pikiran Rakyat hari ini di halaman 19 di sudut kanan atas ada
> berita: "Budayawan Akan Ajukan 'Class Action' ke LIPI" yg berita
> singkatnya, Class Action tsb akan diajukan ke LIPI berkaitan dengan
> pemboran Gunung Padang yang dikatakan tanpa ijin.
> Wah bakal tambah ramai nih...
> Wslm,
> Zaim
> Powered by Telkomsel BlackBerry®
> ------------------------------
> *From: * Rovicky Dwi Putrohari <rovi...@gmail.com>
> *Date: *Thu, 16 Feb 2012 22:14:23 +0700
> *To: *e_rid...@yahoo.com<e_rid...@yahoo.com>; IAGI<iagi-net@iagi.or.id>
> *ReplyTo: * <iagi-net@iagi.or.id>
> *Cc: *refere...@yahoogroups.com<refere...@yahoogroups.com>;
> alumni_gamais_...@yahoogroups.com<alumni_gamais_...@yahoogroups.com>
> *Subject: *[iagi-net-l] Re: Tulisan menarik peneliti Budaya UI
>
> Waaa,
> Kalau skeptis itu memang bawaannya saintist. Sains itu diawali dengan
> keraguan bukan semangat dan keyakinan. Jadi kalau ada yg sekptis pada
> sesuatu penemuan bukan berarti ybs menolak. Secara mudah orang skpetis itu
> baru akan mengikuti atau menyetujui adanya hipotesa baru bila sudah
> menemukan evidence. Tanpa evidence kok sudah meyakini sebauh penemuan
> karena ditemukan si anu yg terkenal berarti itu taklid buta ....  Sains
> ndak mengenal hal taklid seperti itu. Banyak saintis bergelar doktor yg
> tidak sepaham dengan promotornya .... Dan sains itu tidak ada loncatan
> besar yng datangnya "ujug-ujug mak pluk".
> Mohon maaf saja .... Sains itu jalannya thimik-thimik, bukan berlari
> kencang. Mirip seperti proses evolusi, pelan tapi pasti.
>
> Nah budaya riset yg menurun itu bukan karena skeptis Tapi mungkin
> pesimistis pada hasil yg akan diperoleh. Saintis murni melakukan penelitian
> seringkali bukan karena tujuan, tapi karena keingintahuan. Ketiadaan rasa
> ingin tahu bukan berarti pesimis atau skeptis loo. Bisa saja tidak menarik
> karema kemasan atau pengungkapan yang rumit.
>
> Yang penting menurut saya, seorang peneliti sejati seringkali tidak
> memperdulikan dampak dari temuannya ... Sikapnya adalah "persistent" dalam
> bahasa mudahnya "tekun" dalam melakukan riset. Jangan membayangkan atau
> memikirkan hasilnya akan menggelegar. Kebanyakan penemuan besar didunia
> tidak disadari oleh penemunya. Jadi kalau anda telah menemukan sesuatu,
> jangan punya harapan anda akan mendapatkan hasilnya secara instant. No. No
> .... Bukan seperti itu "reward" atau penghargaan yang diperoleh oleh
> seorang penemu sejati. Ketika nanti manusia menyadari, barulah "nama" anda
> akan dikenal dan "dikenang". Syukur-syukur didoakan, ilmu yg bermanfaat
> adalah sebuah amal jariah.
>
> Kalau anda menemukan sesuatu ikhlas saja dengan apa yg ditemukan. Memang
> kalau diamati, hanya penemuan yg berlanjut yang bermanfaat. Jadi satu hal
> lain yang penting adalah sikap dari si peneliti ketika menemukan hasil
> risetnya. Sikap "low profile", lembah manah, sopan, membuat orang
> memberikan apresiasi atas penemuan dan kalau diteruskan maka penemuan itu
> menjadi sebuah ilmu yg bermanfaat. Yang seperti ditulis diatas, menjadi
> amal jariah.
>
> So,
> Kalau anda merasa menemukan sesuatu, uNgkapkan saja apa adanya sejujurnya.
> Duniapun Sekarang tahu bahwa bukan Darwin yg menemukan teori evolusi, dia
> Hanyalah mengembangkan dan menuliskan, namun saat ini semua tahu bahwa
> Lamark, juga Wallace lebih duluan mengemukakan ide evolusi yang fenomenal
> ini. Malah Darwin yg akhirnya dicaci oleh orang yg "tersinggung" karena
> penemuan teori evolusi.
>
> Salam riset
>
> Rdp
>
> On Thursday, February 16, 2012, e_ridzky <e_rid...@yahoo.com> wrote:
> >
> > Jangan kapok Jadi Peneliti di Indonesia
> > (Quo Vadis Budaya Riset?)
> >
> > Oleh: Lily Tjahjandari*
> >
> > Berbagai polemik seputar keberadaan piramida di Garut di ruang media
> massa yang padat dengan aksi serang menyerang antar ilmuwan untuk
> mempertahankan logika hasil riset bahwa ada sesuatu yang bermakna di balik
> gunung Garut patut dicermati dengan perasaan prihatin.
> >
> > Pertama, prihatin bahwa masyarakat Indonesia tampaknya memang belum siap
> dengan berbagai hipotesa temuan ilmiah yang dinilai mencengangkan dan
> berusaha secara skeptis menolak, kedua yang sangat memprihatinkan adalah
> ketika serangan datang bukan dari masyarakat awam melainkan dari perwakilan
> akademisi yang terlalu dini untuk mengartikulasikan penolakan bahkan
> melalui lontaran-lontaran pendapat yang bernada sinis.
> >
> > Dunia akademisi selayaknya mengisyaratkan bahwa segala sesuatu yang
> belum diketahui manusia dapat ditelaah secara ilmiah dan membuka ruang
> kemungkinan bahwa suatu hipotesa layak dibuktikan. Manusia diciptakan untuk
> mencari, hal itu yang menjadi dasar bagi Plato melalui perumpamaan
> Hoehlengleichnis (perumpamaan gua). Manusia yang di hidup di gua tidak
> mampu menangkap hal-hal yang berada di luar gua, namun mereka berusaha
> meraba melalui bayangan-bayangan yang tampak yang dipantulkan dari yang
> masuk ke dalam gua dan mereka berusaha menjelaskan tentang keberadaan
> benda-benda di luar gua.
> >
> > Esensi pencarian kebenaran memang tampaknya tidak selalu berujung
> penerimaan positif masyarakat, bahkan sejak masa Galileo Galilei,
> Christoporus Columbus hingga Charles Darwin, hipotesa ilmiah memng sering
> berbenturan dengan persepsi subyektif. Namun kadang kebenaran tidak bisa
> terhindarkan bahkan saat sang perintis telah lama tiada. Filsafat
> Aufklaerung mengemuka dengan pemikiran Descartes “ Cogito Ergo Sum”
> mematahkan pandangan kolot masa kegelapan di Eropa. Bahwa segala sesuatu
> tampak mungkin dan memang sah untuk dibuktikan, perkembangan pesat
> Aufklaerung di Eropa didukung oleh kematangan berpikir masyarakat dan
> lebarnya ruang artikulasi ilmiah.
> >
> > Hipotesa ilmiah layak didiskusikan melalui forum-forum pemikiran yang
> matang, dan bukan forum-forum saling mengecam serta merendahkan. Apakah
> kita harus mengulang persitiwa Columbus dan tidak mengambil pelajaran
> darinya? Jutaan cercaan harus dihadapi columbus saat memperjuangkan
> hipotesa bahwa bumi memang bulat.
> >
> > Kita hidup di masa ratusan tahun setelah peristiwa itu dan semestinya
> ruang artikulasi pemikiran sudah melampaui kematangan. Masyarakat Indonesia
> menunggu para pemikir nasional yang mampu melakukan terobosan untuk masa
> mendatang, dan tentu apa yang diungkapkan oleh para peneliti piramida bukan
> hanya bersandar pada kepentingan saat ini, namun juga mewakili visi bangsa
> ke depan. Usaha untuk mengupas identitas dan mencari kemungkinan kehidupan
> di masa lampau selayaknya dihargai dan diberukan ruang untuk
> mengartikulasikan pemikiran. Hal ini tentu sungguh bertolak belakang dengan
> apa yang terjadi di luar Indonesia, konkritnya mungkin bagaimana masyarakat
> barat tidak serta merta memandang skeptis fenomena extraterrestrial. Bahkan
> mereka mencoba mendekati berbagai temuan dan mendirikan berbagai pusat
> riset untuk menjawab kemungkinan-kemungkinan tersebut, seperti UFO Studies
> Center yang menjamur di Amerika dan Eropa. Melihat kenyataan tersebut,
> tampaknya kita perlu merenungkan, apakah kita akan terus bertikai di dalam
> perjalanan mencari identitas kita sendiri, seperti kasus penemuan piramida
> di Garut dan juga hipotesa tentang gunung Padang? Dan bukan melalui
> ruang-ruang diskusi yang hangat dan membuka celah-celah pemikiran baru yang
> mendukung kemajuan bangsa. Entah kapan budaya riset yang sinergis menjadi
> budaya di kalangan masyarakat Indonesia khususnya ilmuwan.
> >
> > *Penulis adalah peneliti dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI
> > 
>
> --
> *"Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"*
>



-- 
*"Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"*

Kirim email ke