Matakuliah Geologi Kuarter di Geologi UGM yg menjadi matakuliah pilihan sejak kurikulum 1994 sampai kurikulum 2011 selalu kurang peminat, pernah mencapai 15 mhs sekali sj dlm rentang waktu tsb. Berbeda dg Geologi Batubara, Teknik Reservoar sbg matakuliah pilihan mampu menembus 40 mhs lebih. Bahkan pernah dlm 2 th (2009- 2010) matakuliah pilihan Geologi Kuarter tidak ada peminatnya sama sekali. Rata rata memang mhsw sangat minat pd matakuliah pilihan yg bermuara pd eksplorasi sumberdaya alam. Namun topik topik skripsi yg terkait dg Geologi Arkeologi, Geomorfologi, Endapan Paleo.tsunami, Kebencanaan Geologi di skitar situs arkeologi seperti di Kedulan, Gedongsongo, Prambanan, Borobudur dlm 2 th (2011-2012) ini mulai bermunculan meramaikan topik skripsi yg sdh favorit sejak dulu spt eksplorasi mineral logam, eksplorasi migas, batubara, geothermal, fasies sedimentasi tersier, petrogenesis, geologi teknik, hidrogeologi. Pilihan apa pun oleh mhsw adalah sah sah sj.
Demikian share singkat, krn keseringan dpt mandat mengawal perubahan / transisi kurikulum teknik geologi ugm 2001, 2006, 2011. Salam, agus hend Kebetulan anggota tim pengajar mt.kuliah geologi kuarter di geologi ugm. Sent from my iPad On 26 Feb 2012, at 11:35, "Danny Hilman Natawidjaja" <danny.hil...@gmail.com> wrote: Mohon tidak dicampur-adukan dengan Kualitas Lulusan Pak. Yang saya ulas hanya tentang pengembangan/pendidikan bidang geologi yang mempelajari proses dan bentang alam muda/sekarang (Kuarter – Resen), termasuk Geologi Kuarter, patahan aktif, gunung api, kebencanaan, dan arkeo-geologi. Senada dengan apa yang dikemukakan olek Pak Zaim ttg kurangnya minat mahasiswa di bidang yang beliau ajarkan. Silahkan teman-teman dosen yang lebih punya pengetahuan tentang masalah ini berkontribusi, supaya berimbang wacana-nya. Sejalan dengan wacana ini, alangkah baiknya melihat “the big picture” dibalik masalah ‘piramida’ , tidak terlalu di‘cupat’kan ( J maap… nebeng istilah ADB). Salam DHN Catatan: Sekedar sharing pengalaman, ketika diawal-awal saya belajar earthquake geology untuk S3, tidak mudah bagi saya untuk melihat proses geologi dibalik bentang alam yang kita lihat karena sebelumnya sudah demikian terbiasa dengan ‘pengajaran geologi singkapan’. Dalam setiap fieldtrip di masa kuliahnya, saya ‘dipaksa’ untuk menjelaskan setiap benjolan dan lekukan yang ada di bentang alam. Dan itu tidak mudah kalau belum terlatih. Sampai sekarang pun terus terang bagi saya masih tidak mudah karena dalam satu decade terakhir lebih banyak waktu dihabiskan untuk memelototi geologi-koral-mikroatol di Mentawai, jadi masih harus banyak belajar lagi J. Sebelum gempa Chi-Chi di Taiwan tahun 1999 itu, para ahli geologi di sana sangat sukar menerima keberadaan jalur patahan aktif kalau ‘hanya’ berdasarkan analisis morpho tektonik. Dalam konsep mereka, jalur patahan hanya bisa dibuktikan kalau ada zona sesar yang terlihat dalam singkapan… Sekarang tentunya tidak lagi… From: miko [mailto:m...@cbn.net.id] Sent: Sunday, February 26, 2012 10:38 AM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net-l] Fwd: ARTIKEL KORAN PR Pak Danny, Semoga dosen-dosen geologi dasar, geologi struktur, geomorfologi dll, khususnya di lingkungan ITB tidak membaca judgement /penilaian Anda tentang kualitas para lulusannya. Kata-kata celoteh, bungkam, lack of knowledge, dll. rasanya kurang pantas ditujukan kepada mereka yang telah digembleng oleh Prof. Katili, Prof Sukendar, Prof Koesoema, Prof.Sampurno, Prof Tjia Hong Djin, Prof Sartono, Prof Zaim, dll. Semoga lain kali lebih bijak ya Pak, Salam prihatin, Mang Okim From: "Danny Hilman Natawidjaja" <danny.hil...@gmail.com> Date: Sun, 26 Feb 2012 09:52:49 +0700 To: <iagi-net@iagi.or.id> ReplyTo: <iagi-net@iagi.or.id> Subject: RE: [iagi-net-l] Fwd: ARTIKEL KORAN PR Artikel yang sangat menarik dan bagus. Konsep yang diketengahkan olek Pak Zaim dalam artikel ini juga menjadi konsep dasar yang kami terapkan, plus hipotesis bahwa perkembangan peradaban termasuk IPTEK, khususnya sejak masa pra-sejarah, itu tidak kontinyu tapi terputus atau dapat ter-reset oleh bencana katastrofis. Demikian juga konsep IPTEK (macam, prinsip, teknik) di masa lalu tidak harus sama dengan yang kita kenal sekarang. Pak Zaim menguraikan proses alam pada masa sejarah yang didominasi oleh susut laut – turunnya muka airlaut, sehingga banyak wilayah yang terkena dampak sedimentasi dan pendangkalan. Ini benar karena dari Mid-Holocene sampai kurang lebih 100 tahun lalu muka airlaut global turun sekitar 2-3 meter. Sebaliknya, dari 20.000 tahun (puncak Zaman Es) sampai Mid-Holocene, muka air laut naik 130 meter. Jadi tentu banyak peradaban yang ‘terendam’. Interaksi dari perubahan muka airlaut yang drastis, yang banyak diduga juga berkaitan dengan kejadian bencana katastropik seperti letusan gunung api, dengan perkembangan peradaban manusia ini belum banyak dieksplorasi. Kami menduga kuat ada “ketidakselaran” budaya yang besar yang memisahkan Jaman Sejarah dan Pra Sejarah; bahkan dari Jaman Kerajaan ke Jaman kita sekarang pun kelihatannya ‘tidak selaras’. Jangan-jangan ini salah satu penyebab budaya kita sekarang jadi ‘kurang waras’ J (bercanda). Salah satu alasan utama kenapa penelitian arkeo-geologi yang sudah dirintis oleh Alm. Pak Sartono, kemudian Pak Sampoerno, kemudian juga diteruskan oleh Pak Zaim ini kurang/tidak berkembang adalah karena ilmu geologi Kuarter Indonesia tidak berkembang. Ahli geologi kita umumnya mendapatpengajaran dan training untuk ‘membaca’ sejarah geologi dari masa pra-manusia (jutaan-puluhan juta tahun lalu) yang ter-rekam pada lapisan bebatuan, baik pada singkapan ataupun pada data bor, karena tujuannya untuk eksplorasi tambang. Tapi kita umumnya tidak terlatih untuk membaca proses dan sejarah geologi dari BENTANG ALAM yang kita lihat disekitar kita sekarang. Geologiawan Indonesia umumnya akan pandai berceloteh kalau ketemu singkapan, tapi akan bungkam kalau disuruh mengidentifikasi mana teras-teras sungai mana tebing patahan aktif, mana alluvial mana collovial, dlsb; dan bagaimana proses geologi yang membentuk bentang alam ‘destruktif’ dan ‘konstruktif’ yang terlihat sekarang. Belum lagi tentang proses-proses gunung api Kuarter-Holosen dan produk-produknya. “Alot’nya membahas ‘masalah piramid’ tidak terlepas dari “lack of knowledge” kita dibidang ini. Mudah-mudahan ‘isue piramid’ dapat memberikan angin segar kepada bidang yang dianggap kering ini, sehingga nyanyian orang yang berkiprah di bidang ini tidak lagi terlalu serak tapi menjadi serak-serak basah sehingga merdu. Selamat berakhir pekan. DHN From: Rovicky Dwi Putrohari [mailto:rovi...@gmail.com] Sent: Saturday, February 25, 2012 11:04 PM To: IAGI Subject: [iagi-net-l] Fwd: ARTIKEL KORAN PR Fyi, ---------- Forwarded message ---------- From: Date: Sunday, February 26, 2012 Subject: ARTIKEL KORAN PR To: rovi...@gmail.com Cc: z...@gc.itb.ac.id Ass.w.w., Pak Rovicky, Maaf saya pakai Japri karena kalau pakai jalur IAGI tidak bisa kirim file. Terlampir dalam attach file saya kirim tulisan saya di Koran Harian Pikiran Rakyat yang terbit di tahun 1997. Tulisan tersebut saya temukan tidak sengaja ketika beres2 dan bongkar2 berkas saya yang berantakan di kantor. Saya kirim copy artikel ini sekedar untuk diketahui bahwa saya sudah lama mencoba memasyarakatkan Geologi untuk bidang Budaya (baca:arkeologi). Telah lama sebenarnya saya di bawah dan bersama Almarhum Prof. Sartono mengembangkan Geologi Kuarter dan Geoarkeologi di ITB dan Indonesia. Dari sekian upaya kami, salah satunya adalah melalui tulisan populer di koran yaitu Pikiran Rakyat. Sekedar bacaan Akhir Pekan. Wslm, Zaim -- "Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"