Mohon ijin, ikut nimbrung, mungkin salah besar.

Wah kalau keselarasan pra sejarah ke sejarah agak sulit yaa, krn buktinya tidak 
banyak, meskipun ada. Lha ini kan yang sedang dilacak oleh :DHN AB EJ AA SBY
 TuranggaSeta, juga para arkeolog meskipun konsepnya beda.

Kalau jaman kerajaan ke sekarang yaa jelas selaras, semua tercatat. Bukti 
peninggalan berupa karya pujangga masih digunakan di banyak kalangan, perilaku 
sopan santun, acara adat, bela diri, musik, ilmu pengobatan dll masih ada dan 
masih nyambung.

Mungkin erosi budaya dan pendidikan "sekuler" itu yang menyebabkan rasa ketidak 
selarasan para ilmuwan muda karena bertentangan dgn pola pikir "dunia 
barat/baru".

Lha budaya tidak waras itu apakah budaya yang tidak punya kaitan dengan budaya 
kearifan yang masih dipergunakan oleh masyarakat umum, atau budaya yang tidak 
nurut pola pikir "dunia modern"?
Wah aku kagak ngerti juga; mari pencetus ungkapan, jelaskan apa yang sdr 
maksud, lha aku kan bukan budayawan
Salam n selamat pagi.
Powered by Telkomsel BlackBerry®

-----Original Message-----
From: bosman batubara <bosman200...@yahoo.com>
Date: Sun, 26 Feb 2012 10:09:53 
To: iagi-net@iagi.or.id<iagi-net@iagi.or.id>
Reply-To: <iagi-net@iagi.or.id>
Subject: Re: [iagi-net-l] Fwd: ARTIKEL KORAN PR
Saya justru tertarik dengan candanya Pak DHN. Bisa dieksplorasikah Pak bagian 
"ketidakselarasan budaya" dan budaya yang "kurang waras"? Makasih duluan...

 
tabik
bosman batubara 


________________________________
 From: Danny Hilman Natawidjaja <danny.hil...@gmail.com>
To: iagi-net@iagi.or.id 
Sent: Sunday, February 26, 2012 3:52 AM
Subject: RE: [iagi-net-l] Fwd: ARTIKEL KORAN PR
 

Artikel yang sangat menarik dan bagus. 
Konsep yang diketengahkan olek Pak Zaim dalam artikel ini juga menjadi konsep 
dasar yang kami terapkan, plus hipotesis bahwa perkembangan peradaban termasuk 
IPTEK, khususnya sejak masa pra-sejarah, itu tidak  kontinyu tapi terputus atau 
dapat ter-reset oleh bencana katastrofis.  Demikian juga konsep IPTEK (macam, 
prinsip, teknik) di masa lalu tidak harus sama dengan yang kita kenal 
sekarang.  Pak Zaim menguraikan proses alam pada masa sejarah yang didominasi 
oleh susut laut – turunnya muka airlaut, sehingga banyak wilayah yang terkena 
dampak sedimentasi dan pendangkalan.  Ini benar karena dari Mid-Holocene sampai 
kurang lebih 100 tahun lalu muka airlaut global turun sekitar 2-3 meter.  
Sebaliknya, dari 20.000 tahun (puncak Zaman Es) sampai Mid-Holocene, muka air 
laut naik 130 meter.  Jadi tentu banyak peradaban yang ‘terendam’.   Interaksi 
dari perubahan muka airlaut yang drastis, yang banyak diduga juga berkaitan 
dengan kejadian bencana
 katastropik seperti letusan gunung api, dengan perkembangan peradaban manusia 
ini belum banyak dieksplorasi.  Kami menduga kuat ada “ketidakselaran” budaya 
yang besar yang memisahkan Jaman Sejarah dan Pra Sejarah; bahkan dari Jaman 
Kerajaan ke Jaman kita sekarang pun kelihatannya ‘tidak selaras’.  
Jangan-jangan ini salah satu penyebab budaya kita sekarang jadi ‘kurang waras’  
J(bercanda).
 
Salah satu alasan utama kenapa penelitian arkeo-geologi yang sudah dirintis 
oleh Alm. Pak Sartono, kemudian Pak Sampoerno, kemudian juga diteruskan oleh 
Pak Zaim ini kurang/tidak berkembang adalah karena ilmu geologi Kuarter 
Indonesia tidak berkembang.  Ahli geologi kita umumnya mendapatpengajaran dan 
training untuk ‘membaca’ sejarah geologi dari masa pra-manusia (jutaan-puluhan 
juta tahun lalu) yang ter-rekam pada lapisan bebatuan, baik pada singkapan 
ataupun pada data bor, karena tujuannya untuk eksplorasi tambang.  Tapi kita 
umumnya tidak terlatih untuk membaca proses dan sejarah geologi dari BENTANG 
ALAM yang kita lihat disekitar kita sekarang.  Geologiawan Indonesia umumnya 
akan pandai berceloteh kalau ketemu singkapan, tapi akan bungkam kalau disuruh 
mengidentifikasi  mana teras-teras sungai mana tebing patahan aktif, mana 
alluvial mana collovial, dlsb;  dan bagaimana proses geologi yang membentuk 
bentang alam ‘destruktif’ dan
 ‘konstruktif’ yang terlihat sekarang.  Belum lagi tentang proses-proses gunung 
api Kuarter-Holosen dan produk-produknya.  “Alot’nya membahas ‘masalah piramid’ 
tidak terlepas dari “lack of knowledge” kita dibidang ini.  Mudah-mudahan ‘isue 
piramid’ dapat memberikan angin segar kepada bidang yang dianggap kering ini, 
sehingga  nyanyian orang yang berkiprah di bidang ini tidak lagi terlalu serak 
tapi menjadi serak-serak basah sehingga merdu.
 
Selamat berakhir pekan.
DHN
 
 
 
From:Rovicky Dwi Putrohari [mailto:rovi...@gmail.com] 
Sent: Saturday, February 25, 2012 11:04 PM
To: IAGI
Subject: [iagi-net-l] Fwd: ARTIKEL KORAN PR
 
Fyi,

---------- Forwarded message ----------
From:
Date: Sunday, February 26, 2012
Subject: ARTIKEL KORAN PR
To: rovi...@gmail.com
Cc: z...@gc.itb.ac.id


Ass.w.w.,
Pak Rovicky,
Maaf saya pakai Japri karena kalau pakai jalur IAGI tidak bisa kirim file.
Terlampir dalam attach file saya kirim tulisan saya di Koran Harian
Pikiran Rakyat yang terbit di tahun 1997. Tulisan tersebut saya temukan
tidak sengaja ketika beres2 dan bongkar2 berkas saya yang berantakan di
kantor. Saya kirim copy artikel ini sekedar untuk diketahui bahwa saya
sudah lama mencoba memasyarakatkan Geologi untuk bidang Budaya
(baca:arkeologi). Telah lama sebenarnya saya di bawah dan bersama Almarhum
Prof. Sartono mengembangkan Geologi Kuarter dan Geoarkeologi di ITB dan
Indonesia. Dari sekian upaya kami, salah satunya adalah melalui tulisan
populer di koran yaitu Pikiran Rakyat.
Sekedar bacaan Akhir Pekan.
Wslm,
Zaim


-- 
"Sejarah itu tidak pernah usang untuk terus dipelajari"

Kirim email ke