Kalau dg logika yg sama artinya semua SDA tidak hanya Migas spt Minerba dan Geothermal harus dikuasai Negara , jadi tidak hanya UU migas yg direvisi tapi juga UU Minerba dan Pabum
Sementara ini hub antara Pemerinrah sbg pemegang kuasa pertambangan dg Badan Usaha sbg pelaksana kuasa pertambangan kalau di Minerba dan Pabum diberikan dg Perijinan {IUP } shg kedudukan Pemerintah lbh tinggi sedangkan kalau di migas dg Kontrak shg sama sama kedudukannya sbg para pihak yg berkontrak Powered by Telkomsel BlackBerry® -----Original Message----- From: aluthfi...@gmail.com Sender: <iagi-net@iagi.or.id> Date: Thu, 21 Feb 2013 01:40:38 To: <iagi-net@iagi.or.id> Reply-To: iagi-net@iagi.or.id Subject: Re: [iagi-net] IMG00583-20130220-1528.jpg Yang ini juga ulasan pak Djek Zahar: Dasar Pijakan (Basic Premis) utk Revisi UU Migas = Psl 33 UUD45 Kita perlu sepakat dulu “basic premis” utk Revisi UU Migas = Psl 33 UUD45 = Visi Rakyat bagi Demokrasi Ekonomi. Revisi UU Migas sbgmn semua UU harus sesuai & menjabarkan ketentuan2 Konstitusi, tdk boleh nyimpang. Apa ketentuan isi Psl 33 UUD45? Ada 3 sektor yg hrs dikuasai Negara = (1) Cab2 Prod yg penting bagi Negara, (2) Cab2 Prod yg mempe-ngaruhi hajat hidup org banyak, (3) Kekayaan Alam, utk tujuan se-besar2nya kemakmuran Rakyat. Kata kunci tujuannya = kepentingan & kemakmuran Rakyat (= syarat Demokrasi). Agar tercapainya Tujuan ini bisa terjamin, Kuasa Negara harus efektif berperan! “Cabang2 Prod” itu apa? = Sektor2 (pengusahaan) produksi yg harus dikuasai Negara, agar tujuannya tercapai. Maka “Kuasa Negara” tsb hrs tetap effektif sepanjang proses pengusahaan prod tsb sampai hasilnya diterima Rakyat, agar bisa terjamin tercapainya maksimal kepentingan & kemakmuran Rakyat. Dlm hal Sektor Migas, Kuasa Negara tsb = “Kuasa (Usaha) Pertamb.” = KP yg harus efektif hingga ke tataran pelaksanaannya, agar terjamin terapainya tujuan tadi. [Tdk boleh direduksi, sesuai Pandangan MK = yurisprudensi] Jadi Usaha Pertamb.Migas = strictly Usaha Negara! Dan Kegiatan “Usaha Pertamb.Migas” itu hrs meliputi seluruh spektrumnya y.i. EP, Pengol-Petrkim, Transp, Storage & Niaga; yg tdk boleh di-pecah2. Kalau di-pecah2 (“Unbundling”) = memecah KP = buka profit centers utk pihak ke-3 yg mengurangi pendapatan Negara & menambah beban biaya Rakyat. Ini bertentangan dng ketentuan Psl 33 UUD45. Contoh mecah2 KP / Kuasa Negara a.l.= sistem beri Izin2 di Hilir, Kilang LNG dipisah dari PTM utk swasta. KP = Kuasa Negara utk melaksanakan Usaha Pertambangan; yg merupakan Fungsi Pengusahaan. Sesuai Psl 33 UUD45, Usaha Pertamb Migas = strictly usaha Negara, namun tdk dilaksanakannya sendiri. Maka dibentuklah BUMN PTM sbg pelaksananya, dan karenanya diberi/memegang KP ekslusif dng caku-pan yg terbatas pada WK (Wilayah Kerja); yg penentuan + pemberiannya = wewenang Pmrth! Fungsi Pengusahaan itu = fungsi BUMN, bukan Fungsi Pemerintah yg cakupannya jauh lbh besar & luas sbg penyelenggasa Kedaulatan Negara. Mengapa BUMN-nya hrs PTM? Karena PTM semula memang didirikan utk itu, lagipula Fungsi Pengusahaan perlu memiliki ‘entrpr-ship’ & kebolehan Mgt & Ops, yg sdh dimiliki PTM dng pengalamannya selama 54 thn. Wewenang portofolio Men ESDM sdh mencakupi seluruh Sektor Pertamb Migas di seluruh Tanah Air; tdk lagi perlu pegang KP yg sempit & terbatas dlm setiap WK. Menghambat/melarang PTM memegang KP = menghambat efektifnya Kuasa Negara sampai ke tujuannya = melanggar Psl 33 UUD45. Tugas Pokok BUMN PTM = Di Hilir sbg Penyedia+Penyalur BBM yg dibutuhkan Rakyat; dan di Hulu = memproduksi & mengembangkan Basis Cadangan Migas Nasional, agar terjamin terlaksananya Tugas Pokoknya di Hilir. Jadi jelaslah tujuan BUMN PTM dulu yg didirikan dng UU 44/1960 dan UU 8/1971 = agar terlaksananya ketentuan Psl 33 UUD45. Perangkat UU pendirian PTM ini, (walau dituding tanpa dasar beri monopoli kpd PTM) = konsisten menjabarkan Psl 33 UUD45, namun diabolisi oleh UU Migas no.22/2001 buatan Pejabat2 Negara yg notabene berikrar menegakkan Konstitusi tatkala dilantik. Abolisi ini tdk absah karena jelas melawan Konstitusi. Basis Cadangan Migas Nasional sbg ‘sokoguru’ Ketahanan Energi Nasional, memiliki artian strategis vital, yg perlu terus dipelihara & ditingkatkan, yg terus terkuras produksi. Maka BUMN PTM sejak awal telah mengadakan PSC yg berkarakter Kontrak Jasa dng para Investor (Asing). Dng PSC yg demikian, KP tetap berada di tangan BUMN PTM demi efektifnya Kuasa Negara hingga di tataran pelaksanaan Usaha Migas. Sdr2, demikian saya kemukakan prinsip2 guna kita renungkan bersama, dan jika setuju, wajiblah kita jadikan ‘dasar pijakan’ bagi Revisi UU Migas, agar konsisten menjabarkan ketentuan Psl 33 UUD45. Issues Revisi UU Migas Pemerintah sbg pemegang KP. Dlm UU Migas no.22/2001, KP (Kuasa Usaha Pertambangan) diberikan Negara kpd Pmrt utk menyelenggarakan usaha kegiatan Hulu. “Menyelenggarakan” = ngurus/ngatur pelaksanan Usaha Migas. Namun Pmrt bukan Pelaku Usaha, Artinya, pelaksanaannya dimaksudkan (harus) dilakukan Pihak luar = Investor (Asing). Antara “menyeleng-garakan” & “melaksanakan” itu beda sekali. Pemberian pelaksanaan Usaha Migas kpd Swasta ini tentu menuntut tgg-jawab & akuntabilitas dari Pihak Pelaksananya = Kontraktor (Asing). Tgg-jawab & akuntabilitas itu selalu bareng (tak pernah terpisah) dng pemberian Wewenang (Kuasa). Jadi, pelaksanaan usaha Migas yg diberikan Pmrt kpd Kontraktor (Asing) tsb tdk bisa lepas dari pemberian Wewenang (Kuasa) utk melaksanakannya. Jadi wewenang yg diberikan Pmrt ini, tak lain adalah KP. Ini = memberi Konsesi atau melepas Kuasa Negara kepada pihak Investor (Asing); yg berarti KP sbg Kuasa Negara tdk dapat efektif sampai di tataran pelaksanaannya. Ini termuat dlm UU Migas No.22/2001 dlm pasalnya yg ditolak MK (2003). Lagi pula Pmrt berkontrak langsung dng Investor (Asing) merendahkan kedudukan Pmrt jadi setara dng Kontraktor dlm ikatan Kontrak. Ini membawa komplikasi dlm aspek kebebasan Pmrt dlm penyelenggaraan Kedaulatan Negara. Karena itulah KP utk melaksanakan Usaha Migas, seharusnya diberikan kpd BUMN PTM secara tunggal (eksklusif) sbg ekstensi Kuasa Negara. BUMN fungsinya = Pengusahaan; yg menurut Konstitusi bukanlah fungsi Pmrth. Walau KP di tangan BUMN PTM, otoritas & kedudukan Pmrt atas Sektor Migas tetap utuh & takkan berkurang sbg Lembaga Eksekutif Negara. Secara konstitusional, Menteri ESDM = pembantu Presiden yg wewenang portofolio-nya meliputi & membawahi Sektor Migas termasuk BUMN PTM. Jadi dapat disimpulkan bhw memberikan KP kpd Kontr. (Asing), bertentangan dng ketentuan Psl 33 UUD45. Tdk diberikannya KP kpd BUMN PTM, tetapi oleh UU Migas no.22/2001 dipegang Pmrt yg memberikannya kepada Investor (Asing), berarti menghalangi efektifitas Kuasa Negara sampai ke tataran pelaksanaan pengusahaan Migas, yg menghalangi terjaminnya pencapaian tujuan Psl 33 UUD45. Kerancuan ini ditambah dng ketentuan UU Migas no.22/2001 bhw Pmrt (Men-ESDM) & BP Migas (dan demikian pula SKK kini) sama2 bertgg-jawab kpd Pres, padahal Sektor Migas itu sesuai Konstitusi, sdh termasuk portofolio wewenang & tgg jawab Menteri ESDM sbg pembantu Pres yg ber-tgg jawab kpd Pres. Soal BP Migas. BP Migas, yg didirikan utk melakukan pengawasan dan pengendalian (kontrol) atas Usaha para Kontraktor Migas, tidak bisa efektif, karena tidak punya wewenang utk Pengelolaannya, sebab BP Migas tidak mempunyai KP, yg sudah diberikan Pmrt kpd Kontraktor (Asing). Kontraktor (Asing) adalah Pelaku, Pelaksana, Pengelola dan Pemilik Usaha Migas di dlm WK-nya yg telah diberikan Pmrth kepadanya. Jadi BP Migas hanyalah sbg lengan Pmrt utk membantu menyelenggarakan & mengendalikan (ngontrol) pelaksana-an Usaha Migas; dan juga membantu merundingkan KKS & menanda-tanganinya, tanpa punya wewenang KP. Dng BP Migas tanpa KP yg berada di tangan Kontraktor (Asing), memangkas efektifitas Kuasa Negara atas kegiatan usaha Hulu; hal mana bertentangan dng Psl 33 UUD45. Hal ini akibat tidak diberikannya KP kpd BUMN PTM. Dng konstruksi demikian, maka KKS ini secara hukum = transaksi langsung antara Pmrt sbg pemegang KP dan Investor sbg pihak yg diberi wewenang pelaksanaan usaha Migas, yaitu KP !, Dng demikian, lembaga BP Migas ini, dlm konstruksi seperti itu, di mana MK memandang bhw KP seharusnya diberikan kepada BUMN, membuat kehadiran BP Migas redundant & bertentangan dng Psl 33 UUD45. Kehadiran SKK Migas (Satuan Kerja Khusus Migas) kini yg tidak lagi bersifat sementara, sesungguhnya hanya menggantikan nama BP Migas saja, karenanya tetap bertentangan dng Psl 33 UUD45. Pemerintah berkontrak langsung dng Investor (Asing) dlm KKS. Dng demikian Pmrt sbg pemangku & penyelenggara kedaulatan Negara, menjadi mitra usaha yg setara kedudu-kannya dng Pihak Investor (Asing) dlm keterikatan Kontrak Komersial (KKS); yg konsekuensinya memangkas (merendahkan) Hak Daulat Pmrt sbg penyelenggara Kuasa Negara, a.l. sbb. : (1) Pmrt jadi berfungsi ganda sbg “mitra usaha” sekaligus “regulator” yg dikhotomis dan saling menghambat, (2) dlm hal penyelesaian perselisihan antar mitra-KKS diadakan Arbitrase; maka Pmrt sbg ‘souvereign’ dan Lemba-ga Eksekutif Negara, tdk patut (tdk boleh) hrs tunduk pada Putusan Mahkamah Arbitrase yg eksekusinya diserahkan pula kpd Lembaga Yudikatif, yg sesuai Konstitusi, kedudukannya sama dng Pmrt sbg Lembaga Eksekutif; (3) dlm aspek ‘Liability’, seluruh asset Negara jadi teragunkan kepada “pledge” mitra usahanya = Investor (Asing); sedangkan dlm hal BUMN PTM sbg pemegang KP, liability-nya terbatas; (4) sbg ‘mitra usaha’, suatu tindakan Pmrt yg dirasa merugikan pihak Kontraktor (Asing), tdk ‘excusable’ dan tdk lagi bisa diterima sbg ‘Force Majeure’ (Kahar). Bila KP dipegang BUMN PTM, apapun tindakan Pmrt, itu berada di luar kekuasaan PTM, dan karenanya ‘excusable’ sbg Force Majeure. [5] Cadangan Migas yg nyata & terbukti ditemukan oleh usaha Kontraktor (Asing) atas risiko sendiri; dlm lingkungan Hukum Int’l dan Arbitrase Int’l, dapat mereka klaim sbg miliknya berdasarkan Property Law di Barat; krn Cadangan Migas = konkrit dan merupakan tangible & bankable asset; sedangkan Sumberdaya Migas hanya abstrak! Soal2 tsb ini memangkas Hak Daulat Pmrt sbg penyelenggara Kuasa Negara (Kedaulatan Rakyat), maka bertentangan dng Konstitusi. Singkatnya, keterikatan Pmrt di dlm suatu Kontrak Komersial (KKS) dng Investor (Asing), membuat Pmrt jadi subjek yg wajib tunduk pada azas Konvensi Hukum Perjanjian, yakni Pacta Sunt Servanda (Perjanjian itu harus dipatuhi & dilayani), yg membatasi & merendahkan kedudukan Pmrt dlm kewenangannya sbg penyelenggara Kedaulatan Negara yg sifatnya sefihak dlm ikatan Konstitusi. Maka kondisi ini bertentangan dng UUD45. Soal Unbundling Usaha Pertambangan itu secara umum didefinisikan sbg proses “monetasi” (peng-Uang-an) Bahan Galian yg mencakup seluruh spektrum pencarian dan penggalian (carigali), produksi, pengolahan dan penjualan bahan2 (galian) mineral, dng motif & tujuan pertambahan nilai dan buru-laba. Dlm konteks Psl 33 UUD45, definisi ini, motif dan tujuannya adalah ‘Manfaat’, yakni melayani hajat hidup orang banyak dan se-besar2nya kemakmuran Rakyat. Maka Usaha Pertambangan Migas itu hrs meliputi seluruh spektrum usahanya, mulai dari kegiatan eksplorasi sam-pai kpd penyediaan dan distribusi BBM diterima orang banyak; yakni meliputi kegiatan EP, Pengol-Petrkim, Transp, Storage dan Niaga, dari Hulu s/d Hilir. Maka seluruh spektrum Usaha Pertambangan Migas ini hrs efektif dikuasai Negara, dan karenanya dilaksanakan oleh BUMN PTM, agar dapat tercapainya tujuan Psl 33 UUD45 = se-besar2-nya kemakmuran Rakyat. Spektrum tsb karenanya, tak boleh di-pecah2. Kalau di-pecah2 (“Unbundling”) menjadi segmen2 usaha utk diberikan kpd pihak ke-3, itu berarti memecah (mereduksi) KP utk tujuan buka profit centers bagi pihak ke-3 yg akan menurunkan income Negara, dan menambah beban biaya bagi Rakyat sbg ‘end-user’. Unbundling ini difasilitasi dlm UU Migas no.22/2001, yg memecah seluruh spektrum Usaha Pertamb. Migas, yg dijabarkan berupa pemberian “Izin” (= lisensi wewenang, kuasa, konsesi) kpd Badan2 Usaha Swasta (Asing) utk mengusahakan segmen2 Usaha Pertamb.Migas di Hilir yg di-pecah2 dan dipisah dari usaha EP di Hulu. Hal ini hakekatnya me-mecah2 KP sbg Kuasa Negara bagi kepentingan pihak ke-3 yg motif dan tujuan usahanya = “buru laba”, dan bukannya utk melayani kepentingan orang banyak atau se-banyak2nya kemakmuran Rakyat. Karenanya “Unbundling” ini bertentangan dng ketentuan Psl 33 UUD45. PTM dituding berfungsi ganda sbg Regulator dan Pelaku Usaha + Monopoli Tudingan ini yg dilemparkan sementara Pejabat Tinggi kpd Publik dan kpd MK, dirasa perlu diluruskan karena amat menyesatkan. Tudingan ini tdk ada dasar hukumnya, karena dlm ikatan PSC antara PTM dan Kontraktor, sdh jelas tertera ketentuan2 hak, wewenang dan kewajiban masing2 Pihak, sbg hasil negosiasi kedua Pihak tanpa adanya paksaan. PSC tdk pernah memuat fungsi PTM sbg Regulator. Adapun “Regulator” itu berarti pembuat Peraturan berikut enforcement-nya secara sefihak sesuai UU, yg wewenangnya eksklusif berada pd Pmrt sbg Eksekutif dari Kedaulatan Negara ini; yg tidak pernah didelegasikan kepada siapa pun termasuk PTM di dlm sektor Industri Migas. Tudingan bhw PTM melakukan Monopoli Usaha Migas juga tdk ada dasarnya. Utk jelasnya, “Monopoli” berarti praktek atau kondisi usaha yg mengeliminasi kompetisi, yg motif dan tujuannya melulu maksimasi Buru-Laba. Sedangkan PTM sbg BUMN mengemban “Misi Sosial”, yakni menyediakan dan menyalurkan BBM sbg pemenuhan hajat hidup Rakyat banyak sampai di pelosok2 Tanah Air dng harga sama yg ditetapkan Pmrt! Dan usaha EP yg dilakukannya sendiri maupun dng jasa Kontraktor (Asing), adalah demi kontinuitas suplai BBM kepada Rakyat banyak. Lagi pula, dlm UU ttg Larangan Monopoli & Persaingan Usaha tidak Sehat no.5/1999, BUMN PTM dan PLN jelas dan eksplisit tidak termasuk sbg usaha Monopoli. Pihak Swasta Nasional maupun Asing mana saja yg mampu dan memenuhi persyaratan, termasuk Anak Perusaha-an PTM, dapat saja berkiprah dlm sektor EP Migas di Tanah Air ini lewat PSC yg berkarakter Kontrak Jasa, dng kesempatan dan persyaratan yg sama, tanpa diistimewakan. Tidak ada Monopoli! PSC = Production Sharing Contract. Berkaitan langsung dng Tugas Pokok PTM di Hulu, adalah berupaya agar Eksplorasi Migas berjalan berkelanjutan, guna menunjang kontinuitas Tugas Pokok PTM di Hilir sbg Penyedia & Penyalur BBM. Eksplorasi berkelanjutan perlu guna restorasi, memelihara & meningkatkan Basis Cadangan Migas Nasional yg terus terkuras laju prod yg kini sekitar 850-ribu bbl per hari (@ 350 jt bbl setahun), dan kian menurun, dng sisa cadangan minyak yg kurang dari 3 milyar bbl. Explorasi butuh sekali investasi Risk Capital yg besar, karena risikonya tinggi serta Capital & Technology Intensive. Bayangkan, biaya pemboran satu sumur eksplorasi saja, di darat sudah belasan USD dan di offshore 30 hingga 140 jt USD. Risk Capital hanya dimiliki MNC’s yg kita butuhkan. Kebanyakan Pengusaha Nas’l tidak punya. Eksplorasi belum tentu bisa menemukan cadangan Migas; dan risiko kegagalan sepenuhnya ditanggung Kontraktor. Maka BUMN PTM sbg pemegang KP secara (tunggal) eksklusif sebatas setiap WK, sejak awal telah mengadakan PSC dng Investor Asing yg bersifat Kontrak Jasa. Ketersediaan Risk Capital MNC’s di dunia = terbatas, maka kita hrs berkompetisi dng Negara2 lain utk menariknya. Maka persyaratan PSC perlu kompetitif & atraktif dibanding negara2 lain. Terutama soal “Cost Recovery”, yg kini terus jadi mainan utak-atik para politisi. Maka sistem Cost Recovery dlm PSC, perlu dijadikan ketentuan UU Migas, karena sistemnya yg FIFO dan Depresiasi DDB memfasilitasi Risk Capital Turnover yg tinggi. Feature ini membuat PSC kita kompetitif sekali utk menarik risk investment. Pd sistem PSC yg konsisten Psl 33 UUD45, WK hanya diberikan kpd BUMN PTM sbg otoritas tunggal utk melakukan Usaha Pertamb.Migas sebatas WK tsb. Pd PSC yg harus berkarakter Kontrak Jasa, lahan WK - BUMN PTM tsb, didefinisikan hanya sbg “Contr.Area”. Maka dng KP di tangan PTM, Usaha Migas di dlm WK ybs, adalah seutuhnya usaha milik PTM c.q. Negara, dng konsekuensi bhw Mgt-nya ada di tangan PTM, berikut kepemilikan atas prod., cad.migas serta seluruh instal.& peralatan prod-nya; sedangkan Kontraktor hanya sbg pemberi jasa financing dan teknologi saja, disamping jadi Operator yg wajib bertanggung jawab kepada PTM. Lalu sbg imbalan jasanya tsb, Kontraktor mendapatkan hak atas sebagian dari produksi. Maka BUMN PTM di dlm setiap WK-nya, hanya mengadakan PSC yg berkarakter Kontrak Jasa dng Investor, sbg pembantu pemberi jasa kpd Usaha PTM ybs. Dng demikian Kuasa Negara akan tetap efektif sampai ke tataran pelaksanaan pengusahaan Migas, guna menjamin tercapainya tujuan Psl 33 UUD45. Akhirnya, membuat Revisi UU Migas yg konsisten dng ketentuan Psl 33 UUD45, akan memberikan kepastian hukum bagi Investor Asing berikut investasi Risk Capitalnya yg amat kita butuhkan guna menunjang kontinuitas eksplorasi; yg telah terbengkalai 10 thn sejak terbitnya UU Migas no.22/2001. Sent from my BlackBerry® powered by Sinyal Kuat INDOSAT -----Original Message----- From: Parvita Siregar <parvita.sire...@awexplore.com> Sender: <iagi-net@iagi.or.id> Date: Thu, 21 Feb 2013 07:48:15 To: 'iagi-net@iagi.or.id'<iagi-net@iagi.or.id> Reply-To: iagi-net@iagi.or.id Subject: RE: [iagi-net] IMG00583-20130220-1528.jpg Ini ada berita dari SP Pertamina yang say abaca semalam. Mudah2an Mahakam dikelola oleh putra-putri bangsa ya. Kita sanggup kok. ----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- BALIKPAPAN, KOMPAS.com - Serikat Pekerja Mathilda-Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu mendesak pemerintah untuk mendukung Pertamina sebagai pengelola dan menjadi operator Blok Mahakam, blok migas di Kalimantan Timur. Ada tujuh butir pernyataan sikap SP Mathilda-FSPPB yang dibacakan Farid Rawung, Ketua Umum SP Mathilda-FSPPB. Serikat Pekerja (SP) Mathilda merupakan satu dari 23 serikat pekerja yang tergabung dalam FSPBB. SP Mathilda membawahkan area seluruh Kalimantan. "Beri kesempatan kepada perusahaan di negeri ini untuk mengelola migas sebagai national oil company di negerinya sendiri," kata Farid di kantor SP Mathilda, Balikpapan. Tujuh butir pernyataan sikap mereka adalah pertama, meminta pemerintah agar segera memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak Blok Mahakam dengan Total E&P I.donesie dan Inpex Corporation melalui penerbitan PP atau keppres secara terbuka. Kedua, menunjuk dan mendukung penuh Pertamina sebagai BUMN untuk mengelola dan menjadi operator Blok Mahakam sejak April 2017. Ketiga, membebaskan keputusan kontrak Blok Mahakam dari perburuan rente dan upaya meraih dukungan politik dan logistik guna memenangi Pemilu/Pilpres 2014. Keempat, mengikis habis oknum pejabat-pejabat pemerintah yang telah menjadi kaki tangan asing dengan berbagai cara antara lain dengan sengaja atau tidak sengaja, secara langsung atau tidak langsung memanipulasi informasi, melakukan kebohongan publik, melecehkan kemampuan SDM bangsa sendiri dan BUMN khususnya Pertamina dan merendahkan martabat bangsa. Kelima, mendorong dan mendukung KPK untuk terlibat aktif mengawasi penyelesaian status kontrak Blok Mahakam secara menyeluruh, serta kontrak-kontrak sumber daya alam lain. Keenam, menuntut pemerintah dalam mengangkat direksi pertamina tidak digunakan untuk kepentingan yang jauh dari etika bisnis, apalagi menjadi transaksi dagang sapi menuju 2014. Direksi Pertamina haruslah yang profesional dan memiliki jiwa merah putih serta berpihak kepada rakyat. Ketujuh, apabila pemerintah tidak mengindahkan pernyataan sikap ini, pekerja Pertamina Kalimantan siap melakukan industrial action sesuai instruksi FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu). Editor : Tjahja Gunawan Diredja Parvita Siregar | Senior Geologist | AWE (NorthWest Natuna) Pte Ltd | AWE Limited P +62 21 2934 2934 | D ext 107 | F +62 21 780 3566 | M +62 811 996 616 | E mailto:parvita.sire...@awexplore.com -----Original Message----- From: iagi-net@iagi.or.id [mailto:iagi-net@iagi.or.id] On Behalf Of aluthfi...@gmail.com Sent: Thursday, February 21, 2013 6:51 AM To: iagi-net@iagi.or.id Subject: [iagi-net] IMG00583-20130220-1528.jpg Menyambung email pak Avi, ini ada pernyataan Dirut Pertamina KA di media, bahwa Pertamina siap berinvestasi dan sanggup mengelola blok Mahakam, bahkan siap kalau ditunjuk sebagai operator. Sent from my BlackBerry(r) powered by Sinyal Kuat INDOSAT