Berita Pyramid G. Padang makin ramai setelah diekspose di forum IPA 2013 di
booth IAGI. Melihat tulisan arkeolog yang diposting Bung Rovicky terdahulu
tentang "KONTEKS". Terkait tentang konteks ini, saya sharing apa yang saya
lihat di Channel TV Asing (eqhd) yang menayangkan bangunan ANGKOR WAT dan
ANGKOR TOM beserta "KONTEKSnya". Konteks dalam hal ini adalah hubungan
ANGKOR WAT dan ANGKOR TOM dengan KERAJAAN KMER dan BAGAIMANA RAJA
SURYAVARMAN II MEMBANGUN ANGKOR WAT, dan BAGAIMANA RAJA JAYAVARMAN VIII
MEMBANGUN ANGKOR TOM. Tayangan ini diperagakan dalam film layaknya film
sejarah yang sekuen sejarahnya direkonstruksi berdasarkan dokumen dan
bangunan ANGKOR WAT dan ANGKOR TOM berdasarkan hasil penelitian para ahli
dari Universitas di Jepang, Universitas di Korsel, Universitas di England,
Universitas di Perancis, dan Universitas di Kanada (maaf saya lupa nama
universitasnya). Dalam setiap episode tayangan ditampilkan penjelasan oleh
nara sumber dari masing2 universitas sesuai bidang keahlian masing2.

Angkor Wat sampai saat ini diakui sebagai masterpiece di bidang arsitektur
dan the bigest ancient building. Pembangunannya mulai dari perencanaan
sampai pelaksanaannya dikomando langsung oleh Raja Suryavarman II, ini
berarti yang membangun adalah Negara dengan sistim manajemen terintegrasi
sampai tingkat puncak dengan satu komando langsung dipegang Raja. Rasanya
tak mungkin merancang dan membangun suatu karya bangunan yang MASTERPIECE
kalau ditangani secara parsial manajemennya. Pemilihan lanskap dan jaringan
tata air (drainage-nya) dinilai oleh ahli perancis sistemnya modern walau
dibangun ribuan tahun sebelum Masehi, begitu juga pemilihan quari-nya
sebagai sumber bahan bangunan berupa batu pasir berkualitas prima kata ahli
dari universitas di Kanada. Quarinya terletak di bukit Kuein yang berjarak
25 Mil dari lokasi Angkor Wat, cara memotong quari menggunakan perkakas
besi yang sederhana (Jawa : berbentuk seperti linggis), quari dipotong
berbentuk kubus lalu ditarik gajah ke tepi sungai Mekong selanjutnya
diangkut dengan rakit bambu. Begitu juga alat pahat untuk mengukir relief
dari besi berbentuk sederhana (Jawa: tatah) dan perkakas terbuat dari kayu.
Setiap suatu tahapan selesai Raja memeriksa dan konsultasi dengan para
ahlinya sebelum Raja memutuskan untuk melanjutkan tahap berikutnya. Dalam
film tak terlihat penggunaan semen dalam pembangunan Angkor Wat, penggalian
pondasi dilakukan secara sederhana dengan linggis dan batang kayu yang
diruncingkan salah satu ujungnya, kemudian balok batu pasir dimasukkan
kedalam lubang dipasang interlocking satu balok dengan balok lainnya,
mungkin jaman itu belum ditemukan semen. Begitulah sampai bangunan Angkor
Wat selesai tak terlihat penggunaan semen. KONTEKS yang sangat jelas adalah
pembangunan Angkor Wat dilakukan dengan organisasi yang besar dengan sistim
manajemen terintegrasi langsung dipimpin oleh Raja.

Raja Suryavarman II dibunuh oleh pemberontakan salah satu wilayahnya
dipimpin oleh Jayavarman, lalu Jayavarman naik tahta bergelar Raja
Jayavarman I, wilayah kekuasaan Kmer menciut karena ekspansi kerajaan
tetangga. Kerajaan Kmer berjaya lagi ketika dipimpin oleh Raja Jayavarman
VIII, wilayah kekuasaannya meliputi Kamboja, Laos, Myanmar dan Daivet
(Vietnam). Karena gengsinya Angkor Wat dibangun oleh Dinasti Suryavarman
maka Dinasti Jayavarman membangun Angkor Tom yang dibangun bersamaan dengan
istana baru Jayavarman VIII yang lokasi istana dan Angkor Tom bersebelahan.
Bahan bangunannya juga dari quari di bukit Kuein, lokasi Ankor Tom berjarak
sekitar 3 km dari Angkor Wat. Begitulah gengsi Dinasti, mirip juga di
Istambul ada Masjid Haiya Sofia (sekarang sebagai museum) yang dulunya
Gereja dibangun jaman Romawi dikala Istambul bernama Bizantium, ketika
Kekaisaran Othoman nama Bizantium diganti Istambul dan di Haiya Sofia
dibangun masjid besar Blue Mosque.
Kembali ke Angkor Tom, quari kualitas prima dan utama sudah habis dipakai
membangun Angkor Wat, maka tinggal quari KW dua yang dipakai membangun
Angkor Tom kata ahli dari Universitas di Kanada, makanya Angkor Tom yang
dibangun belakangan cepat rusak dibanding Angkor Wat. Kerusakan Angkor Tom
sekarang mencapai hampir 70%, sedangkan kerusakan Angkor Wat hampir 20%.
Teknik pembangunan Ankor Tom dan pengorganisasian pembangunannya tak
berbeda dengan Angkor Wat, mungkin karena ini yang masuk 7 keajaiban dunia
adalah Angkor Wat dan oleh Unesco sebagai bangunan warisan dunia, sekarang
ada bagian yang direstorasi dengan dana dari Unesco. Konteks pembangunan
Angkor Tom juga erat dengan tata kelola kerajaan baik pengorganisasian,
teknik manajemen maupun pendanaan.

Kembali ke situs Pyramid G. Padang yang konon kabarnya lebih besar dari
Borobudur, Borobudur yang besar dan megah dibangun oleh Raja Syailendra
kalau tak salah 7 tahun sebelum masehi, kira2 pengorganisasian dan teknik
manajemen pembangunannya tak berbeda dengan Angkor Wat, begitu juga teknik
penggalian pondasi, teknik memotong batu maupun teknik membuat relief. Guna
Darma sebagai arsitek tampaknya juga tak punya otoritas penuh, semua
otoritas dipegang oleh Raja Syailendra (begitulah organisasi yang
orthodoks). Borobudur berlatar belakang BUDA sedangkan Angkor Wat berlatar
belakang HINDU.
Begitu juga kalau kita lihat Pyramid Mesir, organisasi pembangunan dan
sistim manajemennya tidak mungkin ditangani secara parsial, pembangunan
Pyramid dilakukan oleh kerajaan jaman Dinasti Ramses II ( Raja Fir'aun) di
era Nabi Musa. Kalau kita masuk kedalam Pyramid Mesir, ruangan (rongga)
berbentuk lorong setinggi setengah badan, jadi masuknya harus nunduk baru
sampai di sentral Pyramid orang bisa berdiri, itupun ruangannya tidak luas
(kebetulan saya sempat berkunjung ke Pyramid Mesir dan masuk ke dalamnya,
maaf belum sempat ke Pyramid G. Padang, saya juga pernah berkunjung ke
Angkor Wat, Angkor Tom dan candi di sekitarnya di Siem Rief, Kamboja,
maupun berkunjung ke Haiya Sofia dan Blue Mosque di Istambul makanya
memberanikan diri untuk sharing di milis ini).
Pyramid G. Padang belum tahu konteksnya, hanya diinterpretasi dari survey
geolistrik, eskavakasi parsial oleh Tim Terpadu (TT), disimpulkan ada
rongga besar (Pyramid Mesir Rongganya/Ruangannya sangat kecil lainnya
tumpukan batu masif), rongga ini ditafsirkan oleh Arkeolog sebagai bangunan
berbentuk Pyramid. Ditemukan potongan dyke yang horisontal dan melengkung
ditafsir kan sebagai undakan dan pintu masuk. Kalau lihat foto potongan
Dyke yang diposting di milis ini mirip sekali dengan Devil Tower yang
pernah disinggung Pak Kusuma di Wyoming dalam renungan beliau sebanyak 7
lembar (dicetak Pak Bandono), renungan beliau saya baca sampai habis 2x
(sangat menarik menurut saya, kagum). Pak Kusuma katakan kalau Dyke di
Devil Tower dikunjungi oleh dosen geologi dan diajarkan sebagai hasil
tangan manusia wah celaka. April 2010 saya berkesempatan mengunjungi Dyke
yang Dyke yang dikenal sebagai Devil Tower yang menjadi Taman Nasional
Amrik, tempatnya dekat kota kecil Rapid City tempat saya menginap di South
Dakota. Saya tak paham persis apakah Devil Tower ini masuk negara bagian
South Dakota atau Montana atau Wyoming seperti disinggung Pak Kusuma. Saya
naik ke Devil Tower sampai bagian bawah Dyke yang bisa didaki, bentuk
keatasnya mengecil mirip segi empat yang mengerucut keatas dan di puncaknya
datar tidak lancip. Secara vertikal Devil Tower ini terdiri dari batangan2
batuan beku memanjang vertikal persis seperti susunan batangan2 kayu yang
disusun berdiri. Bagian bawanya ada debris potongan batangan, ada yang
horisontal dan ada yang melengkung, batangan yang melengkung ini berasal
dari bagian bawah (Devil Tower seperti pohon kelapa yang bagian bawahnya
besar lalu melengkung keatas mengecil). Potongan Dyke di G. Padang persis
debris yang ada di Devil Tower. Dibawah Devil Tower ada taman dan di taman
ini ada pusat informasi Devil Tower yang juga menjual buku2 dan peta
terutama tentang Devil Tower, juga pernak-pernik souvenir. Saya membeli 1
buku yang banyak berisi foto2 Devil Tower, baik Dyke yang masih utuh (Devil
Tower) maupun debrisnya dengan narasi latar belakang geologi (kapan dan
bagaimana terbentuknya yang ditulis secara populer) karena memang ditujukan
untuk turis maupun edukasi untuk masyarakat awam. Minggu depan foto2 yang
ada dibuku ini akan saya reproduksi di milis ini, tapi saya belum tahu cara
memposting foto di milis ini agar tidak bouncing (tolong di-guide
memposting foto di milis ini), saya belum bisa mereproduksi foto sekarang
karena bukunya di rumah, sedangkan saya sedang di Rocky Mountain, Canada.

Saya sharing ini sama sekali jauh dari mengecilkan apa yang dihasilkan oleh
TT apalagi tidak menyemangati TT, saya tetap memberikan semangat untuk
membuktikan apakah itu Pyramid atau bukan, jangan lupa untuk melihat
"Konteks"-nya terutama yang terkait dengan sejarah Kerajaan, karena tak
mungkin situs bangunan purba yang besar pengorganisasian dan manajemennya
ditangani secara parsial, hampir bisa dipastikan ditangani oleh Kerajaan.


Salam,
A. Luthfi

On Tuesday, May 7, 2013, Rovicky Dwi Putrohari wrote:

> Anggota IAGI yang bergairah,
> dibawah ini tulisan Pak Junus Satrio, Ketua IAAI - Ikatan Ahli Arkeologi
> Indonesia.
> Sekarang kita berganti belajar Arkeologi supaya makin mantap interrelasi
> GeoArkeologi kita.
>
> Saya akhirnya lebih mengerti mengapa kawan-kawan Arkeologi sangat khawatir
> ketika ada "pasukan" sukarelawan akan melakukan excavasi. Karena yg
> dibutuhkan bukan tukang angkat batu tetapi arkeolog yg memiliki keahlian
> pengamatan identifikasi artefak (dan arkofak ... apa itu arkofak ?), mereka
> menggunakan kuas, sapu dan sekop.
>
> Salam Blajar !
>
> RDP
> *--
> "**Nasionalisme itu ekspresi perasaan ketika negaramu terpuruk"*
>
>
> ---------- Forwarded message ----------
> From: *Junus Satrio* <junus_sat...@yahoo.com>
> Date: 2013/5/7
> Subject: Fwd: Tulisan pendek untuk teman-teman pelestari cagar budaya
> To: rovi...@gmail.com
>
>
> Tulisan ini saya buat untuk mahasiswa dan peminat arkeologi yang masih
> awam dengan permasalahan Gunung Padang.
>
>
> JSA
>
> *Tulisan ke-1*
> * *
> * *
> *MENGAPA SITUS PURBAKALA PENTING UNTUK DILINDUNGI?*
>
>
> Belakangan ini banyak orang berbicara tentang situs. Istilah ini untuk
> sebagian orang dihubungkan dengan ‘ruang’ di dunia maya, yaitu tampilan di
> internet yang memunculkan informasi. Tapi bagi kalangan kebudayaan,
> pengertian situs ini tidak ada hubungannya dengan internet. Situs adalah
> sebidang tanah yang mengandung tinggalan purbakala, lokasinya bisa berada
> di darat atau laut, di dalam gua, di dasar sungai, atau di pegunungan.
>
> Pada situs biasa ditemukan benda-benda, reruntuhan bangunan, atau struktur
> kuno yang berusia sedikitnya 50 tahun. Candi kuno, masjid kuno, makam kuno,
> atau bangunan megalitik adalah jenis-jenis tinggalan purbakala berupa
> bangunan. Sedangkan sumur, kanal, perahu, sepeda, atau atap rumah bukan
> tergolong sebagai bangunan tetapi disebut struktur karena terdiri dari
> banyak komponen yang bila dipisahkan kehilangan bentuknya. Akan tetapi
> kapak batu, senjata tajam, kancing, baju, sepatu, genteng, atau ubin adalah
> termasuk kelompok benda, yang dalam dunia arkeologi disebut artefak. Jenis
> tinggalan purbakala ini biasanya berukuran kecil dan ringan, walaupun ada
> juga artefak yang berukuran besar dan berat seperti arca-arca Majapahit
> yang masih banyak kita lihat di Jawa Timur. Selain artefak, dikenal juga
> ekofak, yaitu benda-benda alam yang dipakai oleh manusia seperti apa adanya
> tanpa proses pembentukan lebih jauh. Wujudnya bisa tulang binatang sisa
> makanan yang terkubur di dalam tanah, berupa batu alam yang dipakai untuk
> menumbuk biji-bijian, ‘fosil’ daun-daunan yang sudah diolah nenek moyang
> kita sebagai makanan, dan sebagainya.
>
> Secara bersama-sama atau satu-satu, semua tinggalan purbakala ini dapat
> ditemukan pada sebuah lokasi yang disebut situs. Jadi pengertian sebenarnya
> dari situs adalah tempat di mana manusia bekerja dan meninggalkan sisa-sisa
> pekerjaan itu sebagai ungkapan kebudayaan yang berlaku sesuai jamannya.
> Situs penting artinya bagi penelitian arkeologi untuk mempelajari kehidupan
> masa lalu melalui benda, bangunan, atau struktur yang ditinggalkan manusia.
> Penulisan sejarah sangat memperhatikan ketiganya sebagai data untuk
> merekonstruksi masa lalu.
>
> *Pengertian Situs dan Nilai Pentingnya*
>
> Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pengertian
> situs dijelaskan sebagai berikut: “Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang
> berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya,
> Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil
> kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu”.
>
> Adapun pengertian cagar budaya dalam undang-undang adalah: “Warisan
> budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar
> Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya
> di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena
> memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
> dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.
>
> Dari rumusan ini bisa dipahami bahwa Undang-Undang Cagar Budaya memasukkan
> situs sebagai salah satu cagar budaya selian yang berupa benda, bangunan,
> atau struktur. Oleh karena itu seluruh situs dilindungi oleh undang-undang.
> Di permukaan tanah atau di dalam tanah tersimpan banyak informasi yang
> belum terpecahkan. Dibutuhkan ahli dan kehati-hatian untuk bisa mengungkap
> informasi itu sebelum bisa dirangkai menjadi sejarah.
>
> Alasan ini menjadi dasar pertimbangan arkeolog (ahli purbakala) mengapa
> memperlakukan situs ekstra hati-hati, menjaganya dari berbagai kerusakan
> yang bisa menyebabkan kehilangnya jejak peradaban masa lalu selama-lamanya.
>
> *Ekskavasi Situs*
>
> Ekskavasi adalah penggalian yang bertujuan untuk menemukan data arkeologi
> (ilmu purbakala). Kegiatan ini dilakukan sebagai salah satu metode
> penelitian yang bersifat destruktif, atau merusak. Dikatakan demikian
> karena lapisan tanah yang mengandung tinggalan purbakala akan dikikis untuk
> menemukan informasi masa lalu. Pengikisan ini dilakukan perlahan-lahan,
> selangkah demi selangkah sambil mengamati data yang muncul ke permukaan.
>
> Kesadaran tentang nilai penting lapisan tanah situs sudah diajarkan kepada
> semua arkeolog sejak mereka menginjakkan kaki di perguruan tinggi.
> Ditanamkan pengertian mendasar kepada mereka bahwa lapisan-lapisan tanah
> menyimpan informasi yang sangat penting bagi sejarah manusia. Perlakukan
> sembarangan terhadap lapisan tanah itu akan menyebakan rusaknya “rekaman
> masa lalu”. Oleh karena itu arkeolog yang melakukan ekskavasi akan bekerja
> sangat hati-hati ketika  mulai mengamati rekaman itu. Cangkul, linggis,
> atau sekop tidak digunakan dalam ekskavasi. Sebagai gantinya arkeolog
> memilih cetok, kuas, atau kayu-kayu pipih yang dipakai untuk ‘menggaruk’
> tanah secara perlahan-lahan.
>
> Artefak berukuran kecil seperti manik-manik, sisik ikan, serpihan tulang,
> pecahan keramik, atau sisa kain bisa muncul tanpa diduga. Semua bisa hilang
> tanpa kelihatan apabila ekskavasi dilakukan buru-buru menggunakan cangkul
> atau linggis. Perbedaan tempat penemuan antara manik-manik dengan sisik
> ikan misalnya, bisa menunjukkan perbedaan usia apabila berasal dari lapisan
> berbeda. Masing-masing mewakili bentuk aktivitas manusia berlainan, bisa
> jadi juga dari masa peradaban yang berbeda.
>
> Teman-teman bisa membayangkan bagaimana rumit dan lelahnya arkeolog
> melakukan ekskvasi. Belum lagi tanah hasil penggalian yang harus diayak
> untuk menemukan bukti-bukti berukuran kecil tapi penting, sebelum
> dipilah-pilah menurut jenisnya. Dari barang kecil-kecil ini bisa diketahui
> jenis tanaman yang pernah tumbuh, proses geologi, iklim, berapa kali situs
> dipakai untuk hunian, jenis binatang yang hidup, dan masih banyak lagi.
>
> Situs dengan permukaan tanah yang miring memiliki tingkat kesulitan lebih
> besar. Lapisan-lapisan tanah asli yang selama ratusan tahun dibiarkan
> terbuka akan mengalami erosi, turun ke bawah bercampur dengan lapisan
> yang lebih muda. Susunannya bisa terbalik, yang tua justru berada di atas
> dari lapisan tanah yang lebih muda. Bagi yang tidak berpengalaman, sudah
> tentu sukar membedakannya. Apalagi bila proses erosi itu diikuti dengan
> berpidahnya artefak-artefak yang semula berada di bagian atas meluncur ke
> bawah menjadi satu. Seorang arkeolog yang paling senior pun, dengan
> pengalaman puluhan tahun melakukan penelitian, akan sangat hati-hati
> menghadapi gejala seperti ini. Bila ia gegabah, maka ia akan mengacaukan
> “rekaman masa lalu” tanpa menyadari telah berbuat kesalahan: yang muda
> dianggap tua, dan yang tua dianggap muda.
> * *
> *Konteks *
>
> Konteks adalah hubungan-hubungan yang menjelaskan keterkaitan antara satu
> unsur terhadap unsur lainnya. Hubungan-hubungan itu bisa menghasilkan
> informasi baru bersifat dugaan atau pola-pola tertentu. Dalam penelitian
> arkeologi, konteks penting peran untuk menjelasakan mengapa sebuah artefak
> ditemukan berada dekat sungai, misalnya. Berdasarkan lokasi penemuan kapak,
> bisa diduga bahwa kapak artefak ini dibuat di lokasi menggunakan sumber
> batu ada. Si pembuat mungkin datang ke tepi sungai karena lebih mudah
> memilih batu yang dibutuhkan daripada harus menggali tanah. Di tepi sungai
> dia bebas memilih batu yang cocok sebelum ditetak menjadi kapak. Maka,
> antara sungai sebagai sumber batu dengan kapak itu memiliki hubungan, dan
> hubungan itulah yang menjelaskan mengapa manusia datang ke tepi sungai.
> Kehadiran manusia, ketersediaan sumber batu, penemuan artefak, dan penemuan
> pecahan-pecahan batu yang terserak sebagai sampah saat membuat kapak.
> Keeluruhan hubungan inilah yang disebut konteks.
>
> Dengan demikian, dalam setiap ekskavasi para arkeolog tidak boleh lengah
> melihat perubahan warna tanah, unsur pembentuk tanah, susunan tanah, bahkan
> kadang-kadang ‘baunya’ yang berbeda. Ia perlu hati-hati untuk
> mempertahankan konteks tersebut. Sebab setiap  penemuan artefak di lapisan
> berbeda akan menghasilkan rekosntruksi yang khas menurut konteksnya.
>
> Artinya, setiap konteks berpotensi menghasilkan penjelasan yang
> berbeda-beda. Konteks ini tidak bisa dipaksakan oleh pemikiran peneliti
> karena bisa berbeda dengan kenyataan. Justru pikiran si peneliti itulah
> yang harus mengikuti perubahan yang bisa diamati selama ekskavasi
> berlangsung.
>
> Maka, kalau keberhasilan sebuah ekskavasi ditentukan oleh metode dan tata
> cara pengupasan tanah, mengamati konteks merupakan tanggung jawab terbesar.
> Apa pun kesimpulan yang ditarik dari pengamatan itu menuntut sikap jujur si
> peneliti menerjemahkan konteks tersebut menjadi cerita. Ini adalah tanggung
> jawab akademik yang harus dipegang teguh. Intinya para arkeolog, atau
> siapapun yang melakukan penelitian, tidak bisa memaksakan hasil ekskavsi
> supaya sesuai dengan pendapat mereka. Cara-cara ini dalam arkeologi disebut
> sebagai “kejahatan” (*crime*). Mereka yang melakukanya berpotensi
> membohongi sejarah dan publik yang terpaksa menerima hasil rekosntruksi
> mereka seolah-olah benar. Selain tanggung jawab akademik, semua peneliti
> punya tanggung jawab moral dengan menempatan etika serta nilai-nilai dalam
> cakupan pekerjaannya.
>
> *Menemukan Usia*
>
> Tugas ini merupakan salah satu yang terberat. Prinsipnya, semua
> kepurbakalaan cagar budaya harus bisa didukung oleh perkiraan usia. Manusia
> purba pertama di Indonesia yaitu *Homo erectus* misalnya, yang dulu
> disebut *Pithecanthropus erectus*, semula diperkirakan hidup 1,3 juta
> tahun lalu. Perkiraan ini disimpulkan dengan mengamati lapisan tanah yang
> menjadi lokasi penemuannya di lembah Begawan Solo. Kemajuan teknologi
> dibantu oleh aplikasi alat-alat cangkih mutakhir telah mengoreksi usia itu
> lebih tua menjadi 1,8 juta tahun yang lalu. Perbedaan setengah juta tahun
> tentu besar artinya untuk mengetahui bagaimana lingkungan pulau Jawa waktu
> itu yang menjadi tempat hidup mereka. Penemuan fosil gajah, kijang, buaya,
> atau kura-kura di lapisan tanah yang relatif sama dengan fosil-fosil *Homo
> Erectus* setidaknya memberi gambaran bagaimana binatang-binatang yang
> hidup semasa. Penemuan gigi-gigi kuda nil di Sangiran membuktikan bahwa
> hewan ini pernah hidup di Jawa. saat ini hanya tinggal di benua Afrika
> kuda nil bisa dilihat dalam keadaan hidup di alam bebas. Mengingat jumlah
> manusia pada masa itu masih sangat sedikit, ada kemungkinan manusia 
> justrumenjadi mangsa dari binatang buas.
>
> Perubahan usia *Homo erectus* terus berubah dari masa ke masa.
> Berkembangnya teori dan teknologi memang berpengaruh terhadap pemikiran
> para ahli. Akan tetapi tidak ahli yang menempatkan usia itu di bawah 1,3
> juta tahun, paling tidak mas sekarang. Artinya, perkiraan usia sebenarnya
> selalu bersifat relatif, tidak pernah tetap. Ilmuwan yang baik akan selalu
> membuka dirinya untuk menerima kritik. Data yang diperolehnya tetap terbuka
> untuk diuji sampai diperoleh kesimpulan yang paling masuk akal menggunakan
> metode, alat, dan pendekatan beragam.
>
> Mematok usia pada perkiraan tertentu sudah tentu bertentangan dengan
> tujuan dilakukannya penelitian, bahkan sangat bertentangan dengan etika
> keilmuan. Berdasarkan pemikiran ini maka memaksakan pendapat jelas bukan
> ciri ilmuwan yang benar. Demikian pula memaksakan sebuah penelitian untuk
> merealisasikan pemikiran yang belum diuji.
>
> *Situs: Sebuah Kebanggaan*
>
> Nama Borobudur tentunya hampir semua orang Indonesia pernah mendengarnya.
> Nama ini merujuk ke sebuah candi besar yang didirikan pada abad ke-8 Masehi
> oleh orang-orang yang hingga sekarang tidak pernah kita ketahui. Karena
> rusak dan terancam runtuh, dilakukan lah pemugaran besar-besaran untuk
> menyelamatkannya. Hasil kerja puluhan arkeolog dibantu oleh ahli komputer
> dari UNESO bersama para arsitek, ahli geologi, geomorfologi, petrografi,
> kimia, fisika, sipil, mekanika tanah, biologi, potogrametri, dan pemetaan
> selama 10 tahun akhirnya mampu mengembalikan kemegahan candi itu seperti
> sekarang.
>

Kirim email ke