Kalau UU Migas sudah diamputasi pasal-pasalnya dan Revisinya mangkrak. 
Pembatalan UU Sumberdaya Air ini yg semestinya juga menjadi perhatian ahli 
geologi, geohidrologi, hidrogeologi dan kita semua. Menjadi PR baru dalam 
penyusunan UU yang baru. 
Monggo disimak. 

Rdp


Ekspresi Kuasa Hukum Pemohon (Ki-Ka) Tubagus Heru, Jamil Bachtiar dan Ibnu Sina 
Chandranegara usai mendengarkan amar putusan perkara uji materi UU Sumber Daya 
Air (SDA), Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno GEdung MK. Foto Humas/Ganie.
Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan keberlakuan secara keseluruhan 
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) karena tidak 
memenuhi enam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Demikian 
putusan dengan Nomor 85/PUU-XII/2013 dibacakan oleh Ketua MK Arief Hidayat pada 
Rabu (18/2) di Ruang Sidang Pleno MK.

“Mengabulkan permohonan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon IV, Pemohon V, Pemohon 
VI, Pemohon VII, Pemohon VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk 
seluruhnya. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air 
bertentangan dengan UUD 1945,” urai Arief membacakan putusan yang diajukan oleh 
PP Muhammadiyah, Perkumpulan Vanaprastha dan beberapa pemohon perseorangan 
tersebut.

Dalam pendapat Mahkamah yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Anwar Usman, putusan 
terkait UU SDA juga telah dipertimbangkan dalam putusan Putusan Nomor 
058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005. Dalam pertimbangannya, 
MK menyatakan bahwa sumber daya air sebagai bagian dari hak asasi, sumber daya 
yang terdapat pada air juga diperlukan manusia untuk memenuhi kebutuhan 
lainnya, seperti untuk pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan 
untuk keperluan industri, yang mempunyai andil penting bagi kemajuan kehidupan 
manusia dan menjadi faktor penting pula bagi manusia untuk dapat hidup layak.

“Persyaratan konstitusionalitas UU SDA tersebut adalah bahwa UU SDA dalam 
pelaksanaannya harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang hak 
penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air itu dapat dikatakan 
ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat untuk membuat kebijakan 
(beleid), masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan 
(bestuursdaad), tindakan pengaturan (regelendaad), tindakan pengelolaan 
(beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad),” jelas Anwar.

Selain dua aspek tersebut, jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak 
penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam 
menilai konstitusionalitas UU SDA. Jaminan ini terlihat dalam enam prinsip 
dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Keenam prinsip dasar tersebut, 
yakni pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan 
untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air, 
sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di 
atas diperoleh langsung dari sumber air.

Swasta Tidak Boleh Kuasai Pengelolaan Air

Kemudian, konsep hak dalam Hak Guna Air harus dibedakan dengan konsep hak dalam 
pengertian umum dan haruslah sejalan dengan konsep res commune yang tidak boleh 
menjadi objek harga secara ekonomi. Selain itu,Konsep Hak Guna Pakai Air dalam 
UU SDA harus ditafsirkan sebagai turunan (derivative) dari hak hidup yang 
dijamin oleh UUD 1945. Oleh karenanya, pemanfaatan air di luar Hak Guna Pakai 
Air, dalam hal ini Hak Guna Usaha Air, haruslah melalui permohonan izin kepada 
Pemerintah yang penerbitannya harus berdasarkan pada pola yang disusun dengan 
melibatkan peran serta masyarakat yang seluas-luasnya. Oleh karena itu, Hak 
Guna Usaha Air tidak boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan atas 
sumber air, sungai, danau, atau rawa.

Hak Guna Usaha Air merupakan instrumen dalam sistem perizinan yang digunakan 
Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume air yang dapat diperoleh atau 
diusahakan oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus dijadikan 
instrumen pengendalian, bukan instrumen penguasaan. “Dengan demikian, swasta 
tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi 
hanya dapat melakukan pengusahaan dalam jumlah atau alokasi tertentu saja 
sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam izin yang diberikan oleh negara 
secara ketat,” ujar Hakim Konstitusi Aswanto.

Petani Tidak Dikenai Biaya Pengelolaan SDA

Hal lain yang dipertimbangkan MK, terkait prinsip “penerima manfaat jasa 
pengelolaan sumber daya air wajib menanggung biaya pengelolaan” harus dimaknai 
sebagai prinsip yang tidak menempatkan air sebagai objek untuk dikenai harga 
secara ekonomi. Dengan demikian, tidak ada harga air sebagai komponen 
penghitungan jumlah yang harus dibayar oleh penerima manfaat. Di samping itu, 
prinsip ini harus dilaksanakan secara fleksibel dengan tidak mengenakan 
perhitungan secara sama tanpa mempertimbangkan macam pemanfaatan sumber daya 
air. “Oleh karena itu, petani pemakai air, pengguna air untuk keperluan 
pertanian rakyat dibebaskan dari kewajiban membiayai jasa pengelolaan sumber 
daya air,” sambung Aswanto.

Prinsip kelima, terkait hak ulayat masyarakat hukum adat yang masih hidup atas 
sumber daya air diakui, sesuai dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Adanya 
ketentuan tentang pengukuhan kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup 
melalui Peraturan Daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan 
bersifat deklaratif. Terakhir, lanjut Aswanto, pada prinsipnya pengusahaan air 
untuk negara lain tidak diizinkan. Pemerintah hanya dapat memberikan izin 
pengusahaan air untuk negara lain apabila penyediaan air untuk berbagai 
kebutuhan sendiri telah terpenuhi. Kebutuhan dimaksud, antara lain, kebutuhan 
pokok, sanitasi lingkungan, pertanian, ketenagaan, industri, pertambangan, 
perhubungan, kehutanan dan keanekaragaman hayati, olah raga, rekreasi dan 
pariwisata, ekosistem, estetika serta kebutuhan lain. “Berdasarkan seluruh 
pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas tampak bahwa hak penguasaan oleh 
negara atas air adalah ‘ruh’ atau ‘jantung’ dari Undang-Undang SDA sebagaimana 
diamanatkan oleh UUD 1945,” tuturnya.

Dengan alasan tersebut, MK pun memeriksa pelaksanaan dari UU SDA, dalam hal ini 
Peraturan Pemerintah terkait dengan pengujian UU SDA sehingga apabila maksud 
tersebut ternyata bertentangan dengan penafsiran yang diberikan oleh Mahkamah, 
hal itu menunjukkan bahwa Undang-Undang yang bersangkutan memang bertentangan 
dengan Undang-Undang Dasar. Meskipun Pemerintah telah menetapkan enam Peraturan 
Pemerintah untuk melaksanakan UU SDA a quo, namun menurut Mahkamah keenam 
Peraturan Pemerintah tersebut tidak memenuhi enam prinsip dasar pembatasan 
pengelolaan sumber daya air. Oleh karena permohonan para Pemohon berkaitan 
dengan jantung UU SDA maka permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum 
untuk seluruhnya.

Dalam pokok permohonannya, para pemohon menjelaskan ada penyelewengan terhadap 
pertimbangan MK dalam putusan perkara 58-59-60-63/PUU-II/2004 dan perkara 
8/PUU-III/2005, perihal pengujian UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air. 
Penyelewengan norma tersebut  berdampak dalam pelaksanaannya yang cenderung 
membuka peluang privatisasi dan komersialisasi yang merugikan masyarakat. Sejak 
terbitnya PP No. 16/2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (PP 
SPAM), semakin menegaskan kuatnya peran swasta dalam pengelolaan air. Padahal, 
UU SDA menegaskan, pengembangan SPAM merupakan tanggung jawab pemerintah 
pusat/pemerintah daerah, sehingga penyelenggaranya adalah Badan Usaha Milik 
Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Hak Guna Pakai Air menurut UU 
SDA hanya dinikmati oleh pengelola yang mengambil dari sumber air, bukan para 
konsumen yang menikmati air siap pakai yang sudah didistribusikan. (Lulu 
Anjarsari)


Sent from my iPhone
----------------------------------------------------



----------------------------------------------------

Visit IAGI Website: http://iagi.or.id

Hubungi Kami: http://www.iagi.or.id/contact

----------------------------------------------------

Iuran tahunan Rp.250.000,- (profesional) dan Rp.100.000,- (mahasiswa)

Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:

Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta

No. Rek: 123 0085005314

Atas nama: Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI)

Bank BCA KCP. Manara Mulia

No. Rekening: 255-1088580

A/n: Shinta Damayanti

----------------------------------------------------

Subscribe: iagi-net-subscr...@iagi.or.id

Unsubscribe: iagi-net-unsubscr...@iagi.or.id

----------------------------------------------------

DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information 

posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. 

In no event shall IAGI or its members be liable for any, including but not 
limited

to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting 

from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use 
of 

any information posted on IAGI mailing list.

----------------------------------------------------

Kirim email ke