Teman-teman IAGI,

 

Pertama-tama, bagi mereka yang merayakan, saya ucapkan Selamat Tahun Baru 2017. 

 

Membaca laporan "Catatan Akir Tahun 2016", kami ikut bangga dan ingin 
mengucapkan selamat kepada seluruh team IAGI tahun 2016 dibawah pimpinan Bpk 
Daru Prihatmoko.  

 

Namun menurut saya, ada satu yang missing. Banyak dari anggota IAGI kerja di 
perusahaan Asing hingga mereka tau betul dunia Internasional. Tidak demikian 
dengan ESDM yang kebanyakan pegawainya sejak awal adalah pegawai negeri. Maka 
itu input anggota IAGI untuk Pemerintah dalam pengambilan kebijakan adalah 
sangat penting. Kelangsungan hidup anggota IAGI tergantung dari policy dan 
keibijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah.  

 

Dalam bukunya Soetayo Sigit yang diluncurkan pada PIT IAGI, bulan Oktober 2016, 
tercatat tulisannya Almarhum pada penganugerahan gelar Doctor HC di ITB.  
Nasehat yang diberikan sangat berbobot karena keluar dari seorang tokoh yang 
bisa dikatakan adalah Bapak Pertambangan Indonesia. Beliau seakan-akan ingin 
memberi pesan terakhirnya kepada bangsa ini:    

"Tingkat perkembangan dan kemajuan pertambangan di suatu negara, bukannya 
terutama ditentukan oleh potensi sumberdaya mineralnya betapapun juga kayanya, 
tetapi lebih banyak bergantung pada kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa 
dalam menciptakan iklim yang diperlukan".

 

Banyak orang berpendapat termasuk penjabat tinggi dan bahkan Presiden, sering 
mengemukakan bahwa Indonesia kaya dan mineral resources Indonesia luar biasa 
besarnya. Umpama, bahwa lebih dari 50% Geothermal dunia berada di Indonesia. 
Gas Indonesia baru 6% terpakai. Minyak Indonesia masih banyak kalau di explore 
dengan benar. Gas Natuna cadangannya terbesar didunia. Indonesia kaya energi 
baru dan terbarukan. Dsb. Selain itu, beberapa tulisan anggota IAGI menunjukan 
betapa kayanya dan besarnya potensi bumi Indonesia ini. Prinsip explorer yang 
selalu didengungkan adalah bahwa kalau diberi dana, pasti akan ditemukan 
cadangan baru.  

 

Namun semua kekayaan SDM tidak ada artinya kalau kebijakan Pemerintah keliru 
seperti yang dikemukan oleh Pak Sigit. Kalau kebijakan tidak mendukung 
eksplorasi. Kalau the cost of doing business terlalu mahal. Kalau harga 
commodity yang diberikan  tidak wajar dan diluar harga commercial. Hal terakir, 
kewajaran harga, akan kita bahas disini.

 

Sejak 2002 Oil companies meminta/mengemis untuk diberikan harga commercial 
berdasarkan British Themal Unit, untuk produksi gas yang mereka supply ke PLN. 
Karena gas adalah monopoli PLN, harga diteken $2-4/mmbtu, atau jauh dibawah 
harga import diesel berdasarkan BTU content. Oil Co. juga minta supaya credit 
rating PLN dinaikkan karena PLN sering menunggak. Pemerintah menolak permitaan 
K3S tsb. Konsekwensinya,  marginal gas field yang terdapat di Sumatra Selatan, 
Jawa Barat maupun Jawa Timur tidak berkembang. Demikian juga sekitar 25 
perusahaan CBM di Sumatra Selatan yang memerlukan harga lebih tinggi dari gas 
alam untuk pengembangannya, semuanya tumbang.  

 

Tahun 2012, PLN Muara Karang beli LNG dari Bontang yang seharusnya dijual ke 
Taiwan dengan harga $17/mmbtu, dialihkan lewat PT Regassing Nusantara untuk 
dipakai di PLN Muara Karang untuk keperluan listrik Jakarta. Biaya transport 
LNG, biaya regassing, dan keuntungan PT, diperkirakan harga gas menjadi 
$21-23/mmbtu, hingga listrik di Jakarta termasuk termahal didunia. Seandainya 
PLN pada waktu itu berani menawarkan kepada K3S harga gas US$21/mnmbtu fob. 
Muara Karang, pasti gas South Sumatra termasuk CBM dan gas di Jawa Barat, yang 
pada waktu itu cuma dihargai S2-6/mmbtu, akan dikembangkan. Dengan harga tsb., 
K3S akan langsung melakukan pemboran dan pembangunan infrastruktur gas ke 
Jakarta.       

 

PGN diberi monopoli distribusi gas dengan membangun infrastruktur pipa gas, 
hingga keuntungan PGN cukup significant dengan risiko kecil. Namun, keuntungan 
PGN yang seharusnya dipakai untuk membangun infrastruktur pipa gas, telah 
dipakai untuk mendirikan perusahaan minyak dan berkompetisi dengan Pertamina.  
PGN melakukan eksplorasi dan bahkan melakukan investasi E&P di luar Negeri, 
semua berrisiko tinggi, sesuatu yang baru baginya. PGN lalai salah satu tugas 
utamanya, yaitu melayani Oil companies dengan membangun infrastruktur gas untuk 
membawa produksi gas K3S ke market, yaitu kota-kota industri.   

 

Harga yang wajar untuk energy baru dan terbarukan (EBT) juga merupakan impian 
saja. Kecuali di US, semua negara mengenakan pajak import untuk minyak yang 
besarnya bervariasi, rata-rata mungkin 100%. Perusahaan EBT disuru bertanding 
dengan harga minyak yang dikenakan pajak tsb. Untuk Indonesia tidak demikian; 
perusahaan EBT Indonesia dianjurkan Pemerintah tetapi mereka harus bertanding 
dengan harga minyak subsidi (non-commercial). 

 

Kesimpulan. Untuk gas baru yang akan dibeli PLN untuk Jawa sebaiknya 
disesuaikan dengan harga commercial.  Demikian juga dengan harga Geothermal 
yang diberikan kepada pengembang. Keduanya perlu diekivalenkan berdasarkan BTU 
dengan harga import minyak diesel yang masih banyak dipakai oleh PLN untuk 
pembangkit listriknya. Selain patokan diesel, bisa juga dipakai patokan 
pembelian LNG untuk pembangkit listrik sejak 2012. Pemerintah saat ini sudah 
punya tiga regassing plant yang beroperasi dan sedang membangun yang lainnya. 
Supaya fair, harga import LNG, meskipun mahal, perlu dijadikan sebagai harga 
commercial yang wajar hingga K3S (termasuk Geothermal, CBM, dan shale gas) bisa 
berlomba mencari gas/energy baru. Perlombaan ini akan menurukan harga gas. 
Dengan adanya commercial dan fair prices tersebut, Geologist kita bisa bersaing 
dan bergairah untuk mencarikan resources yang baru yang selama ini didasarkan 
pada harga non-commercial, yaitu subsidized dan fictive prices. 

 

Salam,

 

HL Ong

 

Catatan:

Kalau IAGI ingin memuat tulisan ini di majalah IAGI, silahkan. 

 

 

 

          

 

 

 


----------------------------------------------------



Geosea XIV and 45TH IAGI Annual Convention 2016

Bandung , October 10-13 2016

for further information please visit our website at 
http://geosea2016.iagi.or.id or email to secretar...@geosea2016.iagi.or.id



----------------------------------------------------



Iuran tahunan Rp.250.000,- (profesional) dan Rp.100.000,- (mahasiswa)

Pembayaran iuran anggota ditujukan ke:

Bank Mandiri Cab. Wisma Alia Jakarta (a/n IAGI)

No. Rek: 123 0085005314

Bank BCA KCP. Manara Mulia (A/n: Shinta Damayanti)

No. Rekening: 255-1088580



----------------------------------------------------

Subscribe: iagi-net-subscr...@iagi.or.id

Unsubscribe: iagi-net-unsubscr...@iagi.or.id

----------------------------------------------------

DISCLAIMER: IAGI disclaims all warranties with regard to information 

posted on its mailing lists, whether posted by IAGI or others. 

In no event shall IAGI or its members be liable for any, including but not 
limited

to direct or indirect damages, or damages of any kind whatsoever, resulting 

from loss of use, data or profits, arising out of or in connection with the use 
of 

any information posted on IAGI mailing list.

Kirim email ke