----- Original Message -----
Sent: Friday, November 11, 2005 11:28
AM
Subject: [Ida-Krisna Show] DOA KANG SUTO
(Mohammad Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991)
mungkin bisa jadi cermin agar hati
kita tetap terjaga kebrsihannya sampai ramadhan berikutnya....
doni
DOA KANG SUTO
Pernah saya tinggal di Perumnas
Klender. Rumah itu dekat
mesjid yang
sibuk. Siang malam orang pada ngaji. Saya tak
selalu bisa ikut. Saya
sibuk ngaji yang lain.
Lingkungan sesak itu saya amati. Tak
cuma di mesjid. Di
rumah-rumah pun
setiap habis magrib saya temui kelompok
orang
belajar membaca Al Quran. Anak-anak,
ibu-ibu dan
bapak-bapak, di tiap gang giat mengaji. Ustad pun
diundang.
Di jalan Malaka bahkan ada kelompok serius bicara
sufisme.
Mereka cabang sebuah tarekat yang inti ajarannya
berserah
pada Tuhan. Mereka banyak zikir. Solidaritas
mereka kuat.
Semangat agamis, pendeknya, menyebar di mana-mana.
Dua
puluh tahun lebih di Jakarta, tak saya temukan
corak
hidup macam itu sebelumnya. Saya bertanya: gejala apa
ini?
Saya tidak heran Rendra dibayar dua belas juta untuk
membaca
sajak di Senayan. Tapi, melihat Ustad Zainuddin
tiba-tiba
jadi superstar pengajian (ceramahnya
melibatkan panitia,
stadion, puluhan ribu jemaah dan
honor besar), sekali lagi
saya dibuat bertanya: jawaban
sosiologis apa yang harus
diberikan
buat menjelaskan gairah Islam, termasuk
di
kampus-kampus sekular kita? Benarkah ini wujud santrinisasi?
Di
Klender yang banyak mesjid itu saya mencoba
menghayati
keadaan. Sering ustad menasihati,
"Hiasi dengan bacaan
Quran, biar rumahmu teduh."
Para
"Unyil" ke mesjid, berpici dan ngaji. Pendeknya, orang
seperti
kemarok terhadap agama.
Dalam suasana ketika tiap orang yakin
tentang Tuhan, muncul
Kang Suto, sopir bajaj, dengan jiwa gelisah.
Sudah lama ia
ingin salat. Tapi salat ada bacaan dan doanya.
Dan dia tidak
tahu. Dia pun menemui pak ustad
untuk minta bimbingan,
setapak demi setapak.
Ustad
Betawi itu memuji Kang Suto sebagai teladan. Karena,
biarpun sudah
tua, ia masih bersemangat belajar.
Katanya,
"Menuntut ilmu wajib hukumnya, karena amal tanpa
ilmu tak
diterima. Repotnya, malaikat yang mencatat amal
kita cuma
tahu bahasa Arab. Jadi wajib kita paham Quran agar amal
kita
tak sia-sia."
Setelah pendahuluan yang bertele-tele,
ngaji pun dimulai.
Alip, ba, ta, dan seterusnya. Tapi di
tingkat awal ini Kang
Suto sudah keringat dingin. Digebuk pun tak
bakal ia bisa
menirukan pak ustad. Di Sruweng,
kampungnya, 'ain itu tidak
ada. Adanya cuma ngain. Pokoknya, kurang lebih,
ngain.
"Ain, Pak Suto," kata Ustad Bentong bin H.
Sabit.
"Ngain," kata Kang Suto.
"Ya kaga bisa nyang begini mah,"
pikir ustad.
Itulah hari pertama dan terakhir
pertemuan mereka yang
runyem itu. Tapi
Kang Suto tak putus asa. Dia cari guru
ngaji lain.
Nah, ketemu anak PGA. Langsung Kang
Suto
diajarinya baca Al-Fatihah.
"Al-kham-du ...," tuntun guru
barunya.
"Al-kam-ndu ...," Kang Suto
menirukan. Gurunya bilang,
"Salah."
"Alkhamdulillah
...," panjang sekalian, pikir gurunya itu.
"Lha kam ndu lilah ...,"
Guru itu menarik napas. Dia merasa
wajib meluruskan. Dia bilang,
bahasa Arab tidak sembarangan.
Salah bunyi lain arti. Bisa-bisa kita
dosa karena mengubah
arti Quran.
Kang Suto takut. "Mau
belajar malah cari dosa," gerutunya.
Ia tahu, saya tak paham soal
kitab. Tapi ia datang ke rumah,
minta pandangan keagamaan
saya.
"Begini Kang," akhirnya saya menjawab. "Kalau ada ustad
yang
bisa menerima ngain, teruskan ngaji. Kalau tidak, apa
boleh
buat. Salat saja sebisanya. Soal diterima tidaknya,
urusan
Tuhan. Lagi pula bukan bunyi
yang penting. Kalau Tuhan
mengutamakan ain, menolak ngain, orang
Sruweng masuk neraka
semua, dan surga isinya cuma Arab
melulu."
Kang Suto mengangguk-angguk.
Saya ceritakan kisah
ketika Nabi Musa marah pada orang yang
tak fasih berdoa. Beliau langsung
ditegur Tuhan. "Biarkan,
Musa. Yang
penting ketulusan hati, bukan
kefasihan
lidahnya."
"Sira guru nyong," (kau guruku) katanya,
gembira.
Sering kami lalu bicara agama dengan sudut
pandang Jawa.
Kami menggunakan sikap semeleh,
berserah, pada Dia yang
Mahawelas dan Asih. Dan saya pun tak
berkeberatan ia zikir,
"Arokmanirokim," (Yang Pemurah,
Pengasih).
Suatu malam, ketika Klender sudah lelap dalam tidurnya,
kami
salat di teras mesjid yang sudah tutup, gelap dan sunyi.
Ia
membisikkan kegelisahannya pada Tuhan.
"Ya Tuhan,
adakah gunanya doa hamba yang tak fasih ini.
Salahkah
hamba, duh Gusti, yang hati-Nya luas tanpa
batas
..."
Air matanya lalu bercucuran. Tiba-tiba dalam
penglihatannya,
mesjid gelap itu seperti mandi cahaya. Terang-benderang.
Dan
kang Suto tak mau pulang. Ia sujud, sampai pagi ...
Mohammad
Sobary, Editor, No.21/Thn.IV/2 Februari 1991
=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna
Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================
YAHOO! GROUPS LINKS