Perlukah menghadirkan Karen Armstrong untuk ikut 'meneliti' Lia Aminuddin?

 

Lia Aminuddin yang akrab disapa Lia Eden kini masih menginap di Hotel
Prodeo. Jiwanya amat terguncang karena apa yang ia imani telah diganggu gugat,
bahkan dirinya malah ditangkap polisi dengan tudingan sebagai tersangka
kasus penodaan agama.

 

Dari balik jeruji besi, 'Si Malaikat Jibril' ini sibuk merapal berbagai
kutukan yang ia setrumkan ke Metro TV, MUI dan para dedengkot Islam garis keras

yang mencap  kelompoknya sebagai aliran sesat. Dari balik jeruji besi, ia tangisi para
dombanya yang kini tercerai berai entah kemana. Sementara Lia sebagai
sang penggembala cuma bisa meratapi nasib kaumnya dari kamar pengapnya. Ia
juga menulis rangkaian puisi - entah apa isinya. Apakah itu segepok ayat-ayat untuk
dibukukan menjadi kitab suci?
 
Hingga detik ini, pihak kepolisian baru melibatkan seorang psikolog yaitu
Sarlito Wirawan Sarwono. Ia dimintai bantuan oleh penyidik Satuan Keamanan
Negra Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya untuk memeriksa
kondisi psikologis atau kejiwaan Lia Eden, yang mengaku titisan Jibril
Ruhul Kudus.

 

"Lia memaparkan inti ajaran perenial, yang menurutnya mencakupi seluruh
ajaran agama. Saya terus terang baru tahu ada ajaran perenial ya dari Bu
Lia itulah," ujar Sarlito kepada harian Suara Pembaruan, seusai pemeriksaan psikologis

Lia Eden di Sat Kamneg Dit Reskrimum Polda Metro Jaya, Kamis (5/1) malam.

 

Sarlito mengaku, proses pemeriksaan kondisi kejiwaan Lia Eden relatif
tidak diadang kendala. "Lancar-lancar saja," kata Sarlito lebih jauh.
Ia sendiri menolak memberikan penjelasan, apakah ada gejala gangguan
kejiwaan pada diri Lia Eden. "Maaf, pemeriksaan ini hanya untuk kepentingan
penyidikan saja. Saya tidak boleh bicara soal itu," ujar Sarlito.

 

Sementara di berbagai milis ramai dibincangkan bahwa sosok macam Lia kemungkinan

besar mengidap ayan atau TLE (Temporal Lobe Epilepsy) yang biasanya juga diidap para

tokoh relijius baik di masa lalu maupun masa kini. Salah satu  tandanya adalah tubuh yang

tiba-tiba menggigil, nafas tersengal, keringat dingin, dan gejala lainnya.

 

Di saat itu, orang tersebut lalu merasa sedang 'menerima wahyu', 'trance' (kesurupan),

suaranya berubah menjadi berat, berhalusinasi mengunjungi surga sesuai dengan gambarannya,

bertemu jin, malaikat, bahkan bersua dengan Tuhan. Soal TLE dan God Spot (Titik Tuhan) –

bukan G-Spot yang kerap ditulis oleh Majalah Cosmopolitan - dalam otak manusia  yang lagi

'nyaring berdering' tak bisa hanya dibebankan kepada
seorang psikolog karena bukan bidangnya, tapi lebih tepat menjadi
tugas seorang psikiater.

 

Nah, untuk meneliti sosok macam Lia Aminuddin mustinya tak cuma menghadirkan
seorang psikolog saja. Psikiater, budayawan, dokter media, teolog dan pakar
sejarah juga layak dilibatkan. Mungkinkah mengundang Karen Armstrong
untuk berbincang-bincang santai dengan Lia, juga dengan Madi dan sosok-sosok
yang dicap sesat lainnya sehingga ia bisa menuliskan buku tentang
maraknya berbagai aliran bernuansa relijius di Indonesia, baik yang produk lokal maupun impor?

 

Berikut penuturan seorang psikiater yang menuliskan opininya di Harian
KOMPAS (6/1/06). Menurut  Nalini Muhdi Agung, psikiater di RSU Dr Soetomo

yang juga dosen FK Unair Surabaya, apa yang terjadi pada Lia Aminuddin adalah
gangguan delusi. Lia tak sendiri. Banyak orang mengaku sebagai Nabi,
wakil Tuhan, malaikat, sang juru selamat, sang kudus, dukun-dukun dan
bahkan menabalkan diri sebagai Tuhan!

 

Ingatan kita masih segar dengan kasus sekte Hari Kiamat di Bandung lebih dari setahun lalu.

Atau  kasus aliran Madi di Palu, sinkretisme Islam dengan animisme.
Tidak hanya di Indonesia, di Amerika pun pernah heboh oleh kasus
People's Temple-nya Jim Jones yang berbunuh diri ria bersama 900 pengikutnya
dengan menenggak soft-drink "rasa" sianida di Guyana pada tahun 1978.
Begitu pula pada tahun 1997, masyarakat disana dikejutkan dengan kasus
Heaven's Gate yang melakukan tindakan serupa. Masih banyak lagi
kelompok sewarna yang luput dari pemberitaan.

 

Gejala delusi

 

Masalahnya, tak dapat dipungkiri, tidak sedikit komunitas seperti
itu dipelopori oleh pemimpin yang sejatinya sedang menampilkan gejala
psikiatrik berupa suatu delusi atau waham kebesaran (delusions of
grandeur atau megalomania) yang melekat sebagai gejala gangguan delusional.
Jadilah mereka pemimpin kelompok keagamaan yang sangat karismatik bagi
pengikutnya, atau menjadi dukun, paranormal, atau orang yang punya
kesaktian. Meskipun bukannya menuduh semua orang yang mempunyai "kelebihan"
ini mengidap gangguan jiwa.

 

Waham kebesaran yang kebetulan berisi "pesan religius" bisa berupa
keyakinan absolut bahwa mereka mendapatkan wahyu lewat bisikan atau mimpi
(yang tak lain adalah halusinasi ataupun ilusi) yang mengatakan mereka
adalah titisan orang suci, malaikat, nabi, bahkan Tuhan atau mereka
diberi kekuatan linuwih untuk bisa menyembuhkan orang sakit atau
menyelamatkan umat manusia. Lantas didukung oleh lingkungan yang kebetulan
kondusif bagi mereka dan kian menetap menjadi suatu delusi kebesaran. Tanpa
suatu intervensi psikiatrik yang memadai, gejala tersebut menggelinding
bagai bola salju, kian besar dan aneh, makin menguatkan sistem
delusinya, tetapi uniknya kian diminati oleh pengikutnya.

 

Gangguan delusional oleh DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders) dianggap sebagai suatu gangguan psikiatrik dengan
gejala utama adalah delusi atau waham. Umumnya pengidapnya tak
menampakkan adanya disintegrasi kepribadian atau adanya keanehan pada aktivitas
kesehariannya. Mereka tampak "baik-baik" saja, kecuali menyangkut
sistem wahamnya semata yang abnormal. Tak heran, lingkungannya tak
menganggap mereka sebagai "orang sakit", tetapi justru orang yang sakti
mandraguna dan dipuja. Banyak dari mereka ini lalu mengisolasi diri dari
lingkungan dan hidup secara eksklusif dengan kelompoknya.

 

Kerentanan psikologis

 

Yang menjadi pertanyaan, kenapa ada saja bahkan kian banyak yang rela
menjadi pengikutnya atau memercayai hal-hal yang kerap tak masuk akal
ini? Bila dicermati, umumnya pengikut yang mempunyai kepatuhan luar biasa
ini adalah mereka yang membawa potensi kerentanan psikologis tertentu.
Mereka umumnya sangat penurut (submissive) dan suggestible.

 

Ciri lain adalah orang-orang yang sedang mencari "ketenteraman hati"
untuk mengatasi kecemasan, tekanan hidup, ketegangan, labilitas emosi,
keterasingan, dan serba ketidakpastian dalam memandang masa depan. Mereka
juga rentan menjadi pengikut setia dari kelompok "aliran sesat" maupun
yang dianggap "tidak sesat" (coba amati fenomena maraknya kondisi saat
ini dengan munculnya "kelompok warna-warni" mulai dari kelompok dzikir
nasional yang sampai menangis-nangis histeris, meditasi, tenaga dalam
"jarak jauh", terapi ruqyah, pelatihan kepribadian, dan sederet lain
yang banyak menyedot penonton maupun peminat).

 

Beberapa pemimpin kelompok menyodorkan tawaran yang kerap tidak memberi
solusi yang holistik, bahkan mungkin solusi yang hanya dirasakan
"sesaat" akan terciptanya kondisi 'emotional well-being' yang sedang diburu
pengikutnya ini. Tak jarang-dalam konteks "aliran sesat" - bila pemimpinnya
betul-betul menderita gangguan delusi, pengikutnya juga menjadi rentan
untuk terinduksi oleh sistem waham yang dipunyai pemimpin kelompoknya.
Kondisi yang sebetulnya lebih melibatkan cara pendekatan kesehatan
mental.

 

Munculnya banyak aliran atau kelompok yang dianggap sesat ini tentu ada
faktor pemicu lainnya selain masalah psikiatrik dan psikologis, yaitu
masalah ekonomi, ketidakadilan, ketidakseimbangan sosial, pendidikan,
dan kultural. Masalahnya, mampu dan maukah masyarakat (termasuk
pemerintah, perangkat hukum, serta para pemuka agama) melihat permasalahan

kasus Lia Aminuddin dan sederet lainnya bukan semata-mata permasalahan yang
hanya dilihat dari "bahasa permusuhan dan penghakiman" semata
(Komaruddin Hidayat, Kompas, 3/1/2006)?

 

Kelompok yang langsung direaksi MUI dengan fatwa "aliran sesat" dan
dihakimi masyarakat itu sebetulnya musti dikaji lebih jernih dulu. Lebih
komprehensif dan tidak emosional. Apakah hal ini memang disengaja serta
disadari risikonya oleh si pendiri kelompok sehingga harus diatasi
lewat pendekatan keamanan serta agama, atau sebenarnya tidak sengaja
terbentuk karena "berangkat" dari masalah mental yang diidap pemimpinnya yang
memang sering kali sangat karismatik, terutama dari pancaran sinar
matanya yang menyorot tajam dan mampu membius pengikutnya!

Mari semua komponen duduk satu meja, untuk masalah apa saja, senyampang masih bisa bicara..

 

 



=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida & Krisna

Jangan lupa untuk selalu menyimak Ida Krisna Show di 99.1 DeltaFM
Senin - Jumat, pukul 06.00 - 10.00 WIB
SMS di 0818-333582
=================================================================




SPONSORED LINKS
Radio stations Fm radio Station


YAHOO! GROUPS LINKS




Kirim email ke