Dendang Perempuan Pendendam
Cerpen oleh : Martin Aleida
Laksana gagak lapar, sudah sejak lama aku menunggu kematiannya, untuk
mengobati kepedihan hatiku. Dendamku takkan pernah kehilangan isi,
meskipun dia masih punya hubungan darah dengan kami. Dia adik Ayah kami
semua. Tapi, aku ingin melihat jasad Pakde Suto tak bisa dimasukkan ke
dalam keranda. Peti matinya beberapa kali harus dibongkar-pasang karena
kurang panjang. Dan di pemakaman, aku ingin menyaksikan kutuk terhadap
dia yang merampas tanah keluarga kami yang tak berayah, dengan menggeser
pematang secara licik. 
Kejahatan itu berlangsung sangat perlahan, seperti tak pernah terjadi.
Namun, pematang sawah tak pernah lupa mencatat kelakuan busuknya itu.
Pakde Suto telah mencaplok sawah Ibuku dua kali seratus meter bujur
sangkar dalam masa hampir empatpuluh tahun. Empatpuluh tahun!
Dia menelan kekayaan Ibu satu-satunya separtikel lumpur demi separtikel
lumpur. Saat menyiangi sawah, dengan liciknya Pakde membiarkan lumpur
yang dia lemparkan ke atas pematang melimpah ke sawah Ibu. Diganggang
matahari, limpahan lumpur itu lantas mengering, dan dengan begitu
menggeser pematang. 
Ibu tak mau mengadukan penjarahan itu dalam rapat desa. Juga tak pernah
mau mengungkit-ngungkitnya dalam percakapan di rumah. Dia selalu
berusaha menenteramkan perasaan kehilangan yang bergejolak di dalam hati
anak-anaknya. Juga di dalam hatinya sendiri. Dia memilih diam untuk
menghindari pertikaian, karena dia tahu, kematian suaminya, Ayah kami,
masih saja dianggap sebagai keniscayaan, karena keterlibatan Ayah dalam
pematokan tanah para tuan-tanah dengan berlindung di balik undang-undang
pokok agraria yang berlaku ketika itu. Ketika aku berusia belasan.
 
Gerimis menyudahi dirinya. Membuat malam membeku sendiri. Emprit
ganthil, yang sejak subuh menyayat-nyayatkan isyarat kemalangan, sudah
terbang meninggalkan bubungan rumah Pakde Suto. Kudengar suara seperti
daun yang gemersik di pekarangan. Kemudian isak-tangis yang mengalun
dari mereka yang tak kuasa menampik kematian. “Mengucaplah Suto…!”
kata-kata itu diulang berkali-kali, diiringi sedu-sedan, dilantunkan ke
kuping Pakde yang meregang dikepung maut. 
Raung kematian kemudian menggunung dari rumah Pakde. “Oh, Gusti…” Para
pelayat menyelinap ke ruang tengah, tempat jasad Pakde terkapar. Di
jalan, terdengar langkah yang tergopoh menuju rumah kematian. Kentongan
titir di persimpangan jalan ditalu satu-satu. 
Dia sudah mati. Tapi, apakah nasib Ibu kami akan berubah? Kalaupun nanti
pematang yang menjarah sawah Ibu sudah digempur, dan Ibu bisa menuai
panen di sawah seluas ketika dia baru menikah dengan Ayah, namun sakit
hati ini tetap tak terdamaikan. Sakit hatiku, hati kami semua, tidak
hanya sebatas pematang itu. Karena Pakde Sutolah Ayah kami mati bukan
dengan jalan sebagaimana halnya dia sendiri menemui maut di ruang tengah
rumahnya, tetapi dengan kepala dipenggal dan dicampakkan seperti bangkai
tikus. 
Takkan terkikis dari ingatanku. Di akhir tahun kekacauan, kebingungan,
dan penuh ketakutan, 1965, Ayah tinggal berpindah-pindah, menghindar
dari kejaran benggolan-benggolan yang dikirimkan kaum tuan-tanah, yang
tanahnya dipatok dan dibagi-bagikan Ayah kepada petani tak bertanah.
Tentara, dengan diiringi gerombolan pemuda, tiada terhitung berapa kali
menggeledah rumah kami seraya membentak dan mengancam Ibu. Penampungan
kotoran yang baru dibuat Ayah, dituduhkan tentara sebagai lubang
penguburan manusia. 
Suatu malam, Ayah menginap di rumah Pakde Samin. Paginya, setelah Ayah
berangkat entah ke mana, Pakde Suto mendatangi rumah adiknya itu dan
mengancam, “Kalau koé lain kali berani menyimpan Paijan, koé akan
kubunuh!” Siangnya, tentara menggedor rumah Pakde Samin, dan dia
digelandang ke dalam jip. Di markas tentara dia disiksa hingga beberapa
kali tak sadarkan diri. Dia selamat dari maut setelah menceritakan bahwa
dari rumahnya Ayah berangkat ke Semarang, berjualan kacang tanah di
salah satu pasar di kota itu. Selang beberapa hari kemudian, dua jip
tentara datang membawa ketakutan yang mencekam. Dengan cara yang sangat
menghinakan, mereka mendorongkan Ayah yang matanya tertutup kain merah,
turun dari jip. Ayah dipertontonkan di depan rumah Pakde Samin, dan
orang sedesa diperingatkan tentara yang mengacungkan pistol,
“Barangsiapa yang berani menyimpan orang macam ini, mati!” 
Ayah diarak ke rumah kami. Kesembilan penghuni rumah dipaksa keluar. Ah,
betapa pedih melihat Ayah dengan tangan terikat ke belakang, mata
tertutup. Ibu, sambil menggendong adikku yang terkecil, dan kami
anak-anak yang lain, hanya merunduk menatap kerikil-kerikil kecil di
pekarangan, mencari kekuatan di situ, tak kuasa melihat orang yang kami
cintai diperlakukan sebagai seorang yang bejat.  
Berminggu-minggu kemudian, sampailah berita yang tak bisa dipastikan
kebenarannya, tapi karena Ayah tak pernah kami lihat lagi, maka kami
mempercayai kabar burung itu. Konon, Ayah digiring ke atas jembatan yang
menghubungkan kedua tebing Bengawan Solo. Di bawah todongan pistol, Ayah
diperintahkan bersujud, mata tertutup. Begitu dia dibentak supaya duduk
kembali, dan manakala dadanya belum tegak benar, seorang pemuda
melayangkan sebilah parang panjang ke tengkuknya, dan kepala Ayah, (Oh,
Tuhan… aku takkan bisa memberikan ampun kepada mereka yang terlibat
dalam pembantaian tiada tara dosanya itu!) kepala Ayah terpelanting ke
bawah, dan dengan cepat tubuhnya ditendang menyusul kepalanya yang lebih
dulu mencebur… Ah, pantaskah sebuah peradaban memberikan ajal serupa itu
kepada Ayah kami?!
Ibu, kami anak-anak, sembunyi-sembunyi membeli bunga ke pasar, supaya
tak ada orang desa yang melihat, dan kami pergi ke jembatan di mana Ayah
kami yakini menemukan kematiannya. Kami larungkanlah bunga yang kami
bawa agar aromanya membuat semerbak dunia di mana Ayah sekarang berada.
Bunga-bunga itu mengambang, cepat dilarikan arus, mencari Ayah, kami
kira.  
Tak pernah kubayangkan ziarah akan mencambuk hidupku. Setelah menikah,
suamiku mengajak aku ke kampung kelahirannya di Sumatera. Dituntunnya
aku berziarah ke makam orangtuanya. Sepulangnya dari ziarah di pulau
seberang itu, dia mendesak, mengapa aku tak pernah bertanya, bukankah
dia juga ingin berziarah, meminta berkah, ke makam Ayahku. Bukannya tak
kuberitahukan kepadanya bahwa Ayahku mati terbunuh pada tahun yang
membingungkan, menakutkan. Tak punya kuburan, tak punya nisan. Suamiku
menjawab dengan kata-kata bersayap, mengharukan. Dia, katanya, takkan
pernah menyesal memperistri aku bagaimana hina pun Ayahku menemukan
ajal. 
Begitulah. Dia kuajak menemui Ibuku di desa. Sebelum menuju bengawan,
kami terlebih dulu berziarah ke makam kakek-nenekku. Dia terpesona
menyaksikan kuburan di pinggir desa itu, di mana salib dan nisan
berbaur. Sesuatu, yang katanya, tidak bakal ditemukan di Aceh sana.
Katanya, sepantasnyalah nisan Ayahku berada di tengah pemakaman itu,
makam yang mempersatukan manakala orang memaknai agama untuk
memecah-belah.  
Ketika tiba di jembatan tempat Ayah dipancung, suamiku berjalan dengan
teguh di sampingku. Cuma, ketika kami menuruni tebing, menghampiri
bengawan, beberapa kali dia tertegun. Mengikuti aku, dengan tangan
gemetar, dia taburkan bunga ke permukaan bengawan. Setelah itu, kami
pulang, dan, Oh Tuhan, itulah akhir perkawinan kami. Walaupun tidak
dikatakannya, aku tahu nisan bagi suku bangsanya adalah tanda bagi pokok
kehidupan satu keturunan. Tanpa itu, ada semacam nista yang akan selalu
melekat. Diperparah lagi dengan kenyataan bahwa setelah perkawinan kami
yang memasuki tahun kelima, dan aku belum hamil juga, maka lengkaplah
alasan suamiku untuk dengan baik-baik meminta maaf, karena dia terpaksa
pergi meninggalkanku. 
 
Pukul dua siang sekarang. Sama seperti ketika menjemput maut, maka pada
saat jasad Pakde Suto diberangkatkan ke pemakaman pun, gerimis mendesah
dari langit. 
Peti matinya diusung menuju pemakaman, dua ratus meter ke arah bengawan.

            Angin yang menerabas gerimis membisikkan ke kupingku tentang
awal dari keributan di antara penggali liang kubur. Suara-suara itu
kemudian semakin nyata. “Turunkan dulu. Letakkan di tanah. Gali lagi
tanah di sebelah kepala…”  Pacul, linggis, bertubi-tubi ditancapkan ke
tanah. “Coba angkat! Letakkan! Cukup…?” kaki-kaki berkecipak di tanah
liat. Bagian kaki dari liang lahat itu sekarang dapat giliran digali,
diperlebar, membukakan gerbang petala bumi bagi sesosok jasad yang
sedang menelan sumpah. Kedua sisi, dari mana mayat akan diluncurkan,
juga dicangkuli, diperlebar nganganya. Setelah berkali-kali liang itu
diperbesar, dan peti mati tetap saja tak bisa diturunkan, maka
mendengunglah keputusasaan: “Gusti… Engkau yang maha pengampun,
maafkanlah umatmu ini. Tunjukkan apa yang harus kami lakukan. Tolong,
terimalah saudara kami ini….” Keranda diangkat dan diamangkan lagi di
mulut liang lahat yang sudah diperlebar. Sia-sia. 
“Sudah berapa kali kami menggali, tapi tak bisa juga, Gusti…! Ingin
berapa kali lagi Gusti? Ampun… ”  Bingung, juga panik, sarat di wajah
para pengantar, terutama mereka yang menggali berlumur tanah.
            Dua orang pengantar jenazah melepaskan diri dari kebingungan
dan kecemasan yang mengerubung di mulut liang lahat. Mereka bergegas ke
perempatan jalan desa. Seperti mengutuk diri sendiri, mereka berbicara
dengan keras ke arah sekeliling. “Ampun… Barangsiapa yang pernah
dirugikan Pakde Suto, sudilah kiranya memaafkan. Ampunilah, biar Gusti
mau menerimanya.”
            Kuhela nafas. Dari celah dinding tepas, kulihat sekelompok
perempuan merapat ke rumah. Ibu keluar menemui mereka di beranda.
Kudengar kata-kata permohonan yang mereka ucapkan dengan nada begitu
rendah, seperti berbisik, mengiba-iba, diiringi isak-tangis. Dengan
kepala tertunduk, perempuan-perempuan itu kemudian menarik diri.
            “Las…,” bujuk Ibu lunglai di bendul pintu kamarku.
“Orang-orang menunggumu di pekuburan” katanya menunduk. Aku tahu dia
ingin aku yang datang ke tengah kerumunan orang yang kebingungan untuk
membukakan pintu maaf buat mayat seorang musuh yang masih sedarah dengan
Ayah. “Kami pasrah. Kau yang jadi kunci. Kalau kau maafkan, orang sedesa
akan tahu siapa kita.” Kata-kata Ibu itu membuatku melangkah menyibak
gerimis.
            Laki-laki yang memonopoli kehormatan tunggal dalam mengantar
jenazah, terpaksa mendobrak adat kebiasaan, menguak membukakan jalan
untukku. Aku maju dengan dada tegak, mendekati peti mati, meminta
pengusung jenazah membukakan tutup keranda. Dengan jijik kucabik kafan
penutup muka Pakde Suto, dan dengan sebal, “cuih…,” kusemburkan ludahku
ke mulutnya. Kain kafan kubebat kembali menutup wajahnya yang pucat
kehitaman, beku.
            Aku membalik, meninggalkan jejak di tanah basah. Beberapa
saat kemudian, kudengar lenguh nafas lega serta gemuruh gumpalan tanah
menghujani peti mati yang sudah tertidur di dasar kubur. 
“Jeng, atas nama jenazah dan keluarganya, kami minta maaf kepadamu.” Itu
diucapkan beberapa orang dari keruman manusia yang kupapasi.
            Aku cuma membatu, terus menjauh. Terlalu pendek waktu untuk
mempertimbangkan sebuah maaf. Karena terlalu lama aku memendam dendam
ini… ***
 
 


[Non-text portions of this message have been removed]





------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Music that listens to you.
LAUNCHcast. What's in your mix?
http://us.click.yahoo.com/8mKGzA/FARHAA/kkyPAA/iPMolB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

=================================================================
"Morning greetings doesn't only mean saying 'Good Morning'.
It has silent message saying that I remember you when I wake up.
Wish you have a Great Day!" -- Ida Arimurti

Jangan lupa simak IDA KRISNA SHOW SENIN HINGGA JUMAT di 99,1 DELTA FM
Jam 4 sore hingga 8 malam dan kirim sms di 0818 333 582.

=================================================================
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/idakrisnashow/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke