Ada Lomie, Ada Lotek
Satu hari, di Bandung, saya tertegun melihat beberapa perempuan berjilbab sedang makan di kedai lomie. Dengan sangat berhati-hati dan berbisik-bisik, tanpa sepengetahuan mereka, saya bertanya kepada penjualnya. "Ini lomie halal, ya?" Si penjual langsung mengangguk. Dan saya pun lega. Lomie, pada umumnya, adalah mi rebus yang disiram dengan kuah kental dari tulang dan tetelan babi. Di Sukabumi, Pontianak, Semarang, Medan, hampir semua lomie yang dijajakan adalah versi tidak halal. Di Jakarta ada Lomie Karet (di bilangan Karet) yang terkenal. Mi kangkung yang kita kenal di Jakarta pun sebetulnya termasuk kategori lomie - khususnya versi yang berkuah kental. Di Singapura pun lomie merupakan hidangan populer. Tetapi, di Bandung ternyata ada cara kreatif untuk menyajikan lomie secara halal. Tidak heran bila pelanggannya pun ramai. Kuah kentalnya dibuat dari cumi-cumi dan ebi, sehingga menghasilkan citarasa dan aroma yang sungguh khas. Lomie ayam yang kondang di Bandung ini berlokasi di Jalan Imam Bonjol, kurang-lebih di belakang RS Borromeus. Cabangnya ada di Jalan Sulanjana. Mi-nya berpenampang persegi gepeng dan berwarna kuning, disajikan dengan kangkung, tauge, cacahan daging ayam goreng, pangsit, bakso, rajangan daun bawang, dan bawang goreng. Diguyur dengan kuah kental dengan rasa manis yang dominan. Rasa seafood membuntuti di belakang. Mmmm, sedap, euy! Dulu saya berpikir lomie adalah sejenis masakan peranakan. Tetapi, setelah melihat bahwa di Singapura dan Hong Kong pun ada lomie, maka saya menjadi yakin bahwa lomie adalah masakan Tionghoa asli. Ternyata, lo dalam bahasa Hokkien mengacu pada masakan yang berkuah kental karena perebusan yang lama. Terlalu maksain, apa nggak, ya? Di Bandung juga ada makanan populer bernama lotek yang tak ada hubungannya dengan lomie. Lotek juga pasti tak ada hubungannya dengan teknik merebus lama, karena sayur-mayur yang disajikan dalam lotek justru hanya direbus sebentar agar tidak merusak teksturnya. Apa sih lotek itu? Apa bedanya lotek dengan gado-gado? Begitulah pertanyaan yang sering diajukan oleh para pendatang di kota Bandung. Lotek memang bukan pecel atau gado-gado-nya orang Bandung. Lotek adalah khas Bandung, sekalipun mempunyai kemiripan dengan pecel maupun gado-gado. Salah satu lotek Bandung yang terkenal dapat dijumpai di Jalan Kalipah Apo (sudah punya cabang di Jakarta). Sayurnya hanya kangkung, tauge, dan kol yang direbus. Disiram dengan saus kacang pedas. Perbedaannya dengan pecel dan gado-gado adalah bahwa saus kacangnya memakai bumbu kencur (cikur), air asam, dan kentang yang diulek halus. Imbuhan kentang rebus dalam saus kacang itu membuat rasanya lebih legit dan mlekoh. Bumbu-bumbu lainnya mirip sambel pecel, yaitu cabe, cabe rawit, gula merah, bawang merah dan putih. Bila lotek ditambah berbagai "aksesoris" - misalnya kentang, tahu/tempe goreng, telur rebus, dan berbagai sayur lain - maka hidangan itu disebut gado-gado.Artinya, kunci kelezatan lotek Bandung dengan sayuran yang sederhana itu justru terletak pada kelezatan bumbu kacangnya yang mlekoh dengan rasa kencur dan asam yang dominan. Di Jawa, khususnya di sekitar Yogya-Solo, lotek juga populer. Tetapi, lotek di Jawa sangat berbeda dengan lotek Bandung, yaitu karena bumbu kacangnya ditumbuk kasar dan tidak dicampur kentang rebus. Rasanya juga lebih manis karena memakai gula merah lebih banyak. Kalau mau tetap membuat perbandingan, lotek Bandung lebih mirip dengan pecel di Jawa. Apalagi karena pecel Madiun juga bumbu kacangnya memakai kencur. Maklum, pecel dan gado-gado adalah hidangan populer yang punya sangat banyak siblings alias saudara. Selain lotek, ada karedok (Sunda), ketoprak (Betawi), rujak cingur (Surabaya), rujak juhi (Peranakan), rujak Shanghai (Tionghoa), dan lain-lain. Semuanya mempunyai kesamaan, yaitu sayur-mayur yang diberi kuah (kebanyakan kuah kacang). Jenis sayur dan cara memasak sayur - di samping perbedaan saus atau kuahnya - membuat yang satu berbeda dari yang lain. Karedok, misalnya, memakai sayuran yang tidak direbus. Persamaan yang lain adalah berbagai jenis kerupuk yang menyertai semua hidangan yang disebut di atas. Gado-gado cocoknya dengan emping mlinjo atau kerupuk udang. Lotek juga dihidangkan dengan kerupuk udang. Pecel Madiun cocoknya dengan kerupuk gendar atau karak asin yang di sana disebut lempeng. Pecel juga cocok dimakan dengan rempeyek - baik itu rempeyek kacang, rempeyek kedelai, maupun rempeyek teri. Sedangkan ketoprak dimakan dengan kerupuk tapioka. Selain masing-masing jenis makanan yang disebut di atas mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri, tiap-tiap jenis pun punya varian. Gado-gado, misalnya, ada yang berbumbu kacang mede, bukan kacang tanah. Ada pula yang selain memakai air asam juga dibubuhi jeruk limau, sehingga menimbulkan aroma yang khas. Almarhum Ibu saya, seperti orang Jawa Timur pada umumnya, merebus saus kacang untuk bumbu gado-gado dengan sedikit santan. Wah, tentu saja rasanya jadi lebih mlekoh. Kalau tidak salah, gado-gado Padang juga memakai campuran santan untuk saus kacangnya. Ada lagi varian yang lebih high-end, yaitu rujak pengantin. Kalau Anda berkunjung ke restoran yang menghidangkan masakan peranakan, hampir pasti masakan ini tercantum di menu. Rujak pengantin, menurut saya, adalah 'blasteran' antara salad dan gado-gado. Di dasar piring ditata beberapa lembar daun selada (lettuce), kemudian di atasnya ditabur sayur-mayur rebus yang mirip gado-gado. Juga ada irisan kentang rebus (atau goreng) dan ketimun. Di beberapa restoran peranakan, saus kacang untuk rujak pengantin dicampur dengan mayones atau thousand island dressing. Rujak Shanghai ternyata ada kemiripan dengan rujak cingur. Sayur yang dominan pada rujak cingur adalah kangkung, dengan tauge, ketimun, kedondong, irisan tempe/tahu goreng, dan cingur (bagian hidung sapi). Sausnya dari petis udang dibumbui cabe. Rujak Shanghai juga memakai kangkung yang dicelup sebentar dalam air panas. Pengganti cingur adalah cumi rebus yang dipotong-potong. Kemudian disiram dengan kuah kental dari rebusan cumi dan ebi, tanpa cabe. Rasanya manis. Sangat mirip dengan kuah lomie ayam di Bandung yang saya sebut pertama tadi. Jangan bingung! Pecel lele sama sekali tidak ada hubungannya dengan pecel yang disebut di atas. Sebetulnya, istilah resminya adalah pecek lele, yaitu lele goreng atau bakar yang di-pecek dengan sambal. Di Madiun, Kediri, Malang, dan Semarang, pecel sebetulnya bukan hidangan sederhana. Soalnya, pecel disajikan bersama berbagai lauk seperti: empal, telur asin, tempe/tahu bacem, sate kerang, dan lain-lain.BONDAN WINARNO [Non-text portions of this message have been removed]