KUDETA

 


Oleh: Samuel Mulia Penulis mode dan gaya hidup 

Judul itu bukan nama sebuah bar kondang di Bali, tempat saya biasanya
leyeh-leyeh kalau sedang berakhir pekan di Pulau Dewata, seperti kebanyakan
manusia Jakarta yang senantiasa membuat pulau eksotis itu menjadi rumah
kedua mereka. 

Di tempat ini saya menikmati birunya langit Pulau Dewata yang nyaris tak
pernah saya lihat di Jakarta. Kemudian mendengar debur air laut yang juga
tak bisa didengar di Jakarta, kecuali "debur" busway dan teman-temannya
bernama Kopaja, dan saudara lainnya bernama bajaj. 

Tentu puncak dari semuanya itu adalah mengobrol ke sana kemari sambil
membicarakan kehidupan orang lain, atau gejolak industri media yang semakin
menarik. Siapa yang ditendang dan siapa yang menendang, siapa yang
mengakuisisi dan siapa yang siap dan rela-atau harus rela-diakuisisi. 

Suatu sore beberapa bulan lalu saya sedang duduk-duduk sendiri di sebuah
warung kopi. Kemudian telepon genggam saya yang sudah cukup lama menemani
saya, cukup tahan banting dan nyaris hilang berkali-kali, bergetar di
kantong celana. Getarannya cukup menggelitik. Saya sampai berpikir, dengan
fasilitas getarnya telepon genggam juga tak hanya bisa digunakan untuk ini
dan itu, tetapi juga untuk "hal-hal" yang kita inginkan. Belum lagi dengan
fasilitas 3G-nya. Selain Anda bisa tergetar sendiri, orang lain juga dapat
melihat Anda menggelinjang digetarkan. Apakah Anda tergelinjang karena
kesetrum atau hal lain, itu urusan Anda sendiri. 

Kudeta satu 

Melalui telepon genggam itu teman saya mengajak untuk bertemu, katanya ada
yang ingin diceritakan. "Gue sudah enggak tahan nih," katanya. 

Saya lalu mengajaknya bertemu di mal. "Enggak ah, enggak mau di mal lagi. Lo
tuh Miss Mall ya?" katanya lagi. Padahal saya bukan miss. 

Saya mengalah, kemudian kami bertemu dan memutuskan untuk makan malam di
daerah Gondangdia, di sebuah kedai yang sudah berdiri sejak zaman ibu saya
masih muda. Melihat suasana dan pramusajinya saja saya bisa mengerti bila
ada yang mengatakan kedai ini sudah waktunya masuk museum, termasuk
pramusajinya. Eh. salah, seragam pramusajinya, maksud saya. 

Harus saya akui, malam beberapa bulan lalu itu saya cukup menikmati kedai
tua tersebut. Saya membayangkan ibu saya waktu muda dahulu, mungkin ia
menghabiskan waktu ngerumpi-nya di tempat seperti ini. Sementara sekarang,
saya senantiasa berada di mal-mal yang berserakan di Jakarta. Mungkin karena
itu saya mendapat predikat Miss Mall. Entah, ibu saya mendapat predikat apa.


Teman saya mulai bercerita. Menurutnya ia baru saja dikudeta bawahan dan
atasannya sekaligus. Wah, saya langsung memberi komentar ia menghadapi
kejadian yang tak berbeda dengan Tuan Thaksin beberapa waktu lalu. 

"Waktunya bersamaan lagi bo. Bedanya, gue lagi di Jakarta, doi lagi di New
York," katanya. "Gue sakit hati banget," lanjutnya lagi. 

Ia bercerita, bawahannya itu melaporkan ke atasannya teman saya itu
menyebarkan gosip mengenai atasannya yang melakukan hal yang tidak benar. 

"Padahal gosip itu sudah lama beredar. Semua orang di kantor gue dan tembok
saja tahu doi itu enggak bener," kata teman saya kesal. Gara-gara itu, maka
pecahlah perang dunia ketiga di kantornya yang menyebabkan ia kehilangan
pekerjaannya secara tidak langsung. 

"Gila aja gue mau ditransfer ke bagian yang enggak punya masa depan,"
katanya lagi. Ia masih meneruskan ceritanya bahwa ia sebetulnya sedang
memperjuangkan pada atasannya untuk menaikkan bawahannya itu menjadi
manajer. 

"Sekarang bisa-bisanya bawahan gue itu menusuk gue dari belakang," katanya
lagi. Saya jadi ingat seorang bernama Brutus. "Itu bagian bawahnya ayam,"
katanya. 

"Itu brutu Neng, bukan Brutus," jawab saya. 

Kudeta dua 

Dua hari setelah cerita itu saya diantar seorang teman lama pulang ke
apartemen setelah makan malam di sebuah mal (lagi). 

Setelah saya pikir-pikir, memang sepantasnya saya menyandang predikat Miss
Mall. "Mungkin setelah Miss Universe, setelah Miss World, lo bisa menjadi
pencetus pemilihan Miss Mall," kata teman saya yang memberi predikat itu
kepada saya. 

Buat saya, idenya itu sangat menarik. Semoga pemilik salah satu mal di
Jakarta membaca Parodi ini dan mau membeli ide teman saya itu, lalu
menghubungi saya untuk mewujudkan ide menarik itu. Jadi, yang mendapat
keuntungan saya, dan bukan teman saya. 

Di dalam mobil teman saya bercerita. Ia bekerja di sebuah sekolah musik
sebagai pengajar. Ia belajar sekolah musik di Eropa selama beberapa tahun.
Atasannya terbiasa menanyakan seluk-beluk mengenai dunia musik, khususnya
musik untuk sebuah paduan suara, kepada teman saya itu. 

Kebiasaan atasannya itu melahirkan perasaan iri pada teman sekerjanya.
Kemudian si teman sejawat itu mulai menyebarkan gosip bahwa banyak
murid-murid yang mengeluh saat teman saya memberi pelajaran musik di
kelasnya. Si penyebar gosip tak sedap itu menambahkan, yang pandai soal
musik untuk paduan suara bukan hanya teman saya saja. 

Karena kehebatan cerita miring yang tak benar itu, ia nyaris kehilangan
pekerjaannya. Menurut cerita teman saya, ia merasa beruntung atasannya tak
termakan omongan tak benar itu. 

"Makanya Mas, kalau mau kerja jangan cuma mikirin gaji melulu. Minta sama
Tuhan supaya disediakan atasan yang kupingnya enggak tipis," kata teman saya
sambil tersenyum mengakhiri ceritanya. 

Baru saja mendengar dua cerita kudeta itu saya jadi ketar-ketir apakah
pengkhianatan ala Brutus itu bisa terjadi pada saya, kapan pun itu. 

"Yaaaa. pasti ada kemungkinannya bo. Lo sok naif deh," kata teman saya. Ia
kemudian menjelaskan hal-hal semacam itu tak akan pernah bisa dihindari
meski seseorang sudah berbuat baik sekalipun. 

Ia menutup komentarnya demikian, "Di mana ada gula di sana ada semut. Di
mana ada orang gila, di sana ada orang kesemutan." 

Et tu Brute 

1. Judul itu adalah judul berbahasa Latin yang berarti and you Brutus?
Kalimat dalam opera Julius Caesar karya William Shakespeare itu masih
dipakai sekarang sebagai sebuah ekspresi atau ungkapan perasaan disakiti
atau perasaan dikhianati. 

2. Ini adalah daftar pengkhianat. Brutus, teman dekat Julius Caesar; Yudas
Iskariot, salah satu murid Yesus Kristus; Cassius, leading man-nya Julius
Caesar; dan. Saya. Anda? 

3. Banyak hal yang menyebabkan seseorang dapat menjadi seperti pengkhianat.
Lemah, seperti Brutus. Ia tak berniat menghabiskan Caesar, tetapi Cassius
terlalu kuat baginya. Tamak, seperti Yudas. Iri hari, seperti saya. Anda?
Saya tak tahu, tetapi mungkin Anda bisa mengevaluasi diri. Mumpung hari
Minggu. 

Pertama, takut kehilangan pamor dan tak suka bawahan Anda lebih terkenal
dari Anda. Kedua, Anda merasa bawahan atau teman sejawat Anda merupakan
ancaman untuk Anda. Tiga, kurang pandai dan tak berprestasi, kemudian
mengambil jalan lain menjadi seperti Yudas Iskariot, bahkan kemudian Anda
menemukan itu adalah kepandaian Anda yang terpendam. Empat, cari muka
padahal sudah punya muka. Kalaupun dapat muka lagi, mau ditaruh di mana,
saya juga tak pernah tahu. Lima, ingin dianggap manusia berprestasi dan
sangat membutuhkan perhatian karena jarang atau bahkan belum pernah
mendapatkannya. Enam, mencari keuntungan. Terakhir, memang berniat menendang
orang keluar dari pekarangan rumah atau kantor Anda. Silakan menambahkannya
kalau Anda menemukan alasan lain. 

4. Sudah ngalor-ngidul bicara soal pengkhianat, tahukah pengkhianat itu
artinya apa? Mari saya jelaskan dalam bahasa Inggris yang saya sadur dari
kamus Oxford. Be-tray itu berarti, Satu, to give information about somebody
or something to an enemy. Dua, to hurt somebody who trusts you especially by
not being loyal or faithful to them. Tiga, to ignore your beliefs in order
to achieve something or gain an advantage for yourself. Empat, to tell
somebody or make them aware of a piece of information, usually without
meaning to. ***

 


 




 

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke