LOW TRUST SOCIETY 

 

Saya baru saja memeriksa ujian mahasiswa saya. Ketika akan menyerahkan nilai
akhir mereka, saya terpaksa menoleh kepada berita acara ujian yang
mencantumkan nama beserta tanda tangan mereka masing-masing. 

Astaga. Tak ada satu pun nama yang dapat saya kenali dari tanda tangannya.
Hal ini mengingatkan saya pada peristiwa unik yang saya alami hampir tujuh
tahun silam ketika baru saja memulai program doktoral saya di Amerika
Serikat. Baru tiba beberapa hari, adviser saya menyuruh saya membuka bank
account dibank mana saja di kota itu. Saya pun menurutinya. Maklum, tanpa
punya buku cek, hidup di Amerika akan terasa sulit. Hampir semua transaksi
dilakukan melalui pos. Bayar listrik, telepon, air, tagihan kartu kredit,
beli buku,bayar pajak, kena tiket lalu lintas (tilang), sampai bayar uang
sekolah. Semuanya menggunakan cek. Tanpa cek, hidup di Amerika kok rasanya
susah sekali. 

Setelah punya bank account dan mulai berbelanja dengan menggunakan
cek,ternyata saya pun mengalami kesulitan. Pasalnya, petugas bank memanggil
saya karena mengalami kesulitan membaca tanda tangan saya. Saya mencoba
menjelaskannya bahwa itu benar tanda tangan milik saya, dan saya
melakukannya kembali di depan petugas itu. Petugas tetap menolak dan
mengatakan itu bukan tanda tangan. Kalau bukan tanda tangan lantas apa?"Itu
urek-urek!"ujarnya sambil tersenyum. Sejak itu saya pun mulai berlatih
membuat tanda tangan baru, yaitu tanda tangan yang namanya mudah
teridentifikasi. Maka, sejak saat itu saya mulai terbiasa memiliki dua jenis
tanda tangan. Saya menyebutnya satu tanda tangan lokal (yang dikatakan
urek-urek tadi) dan satu lagi tanda tangan Amerika. Kalau Anda pernah hadir
dalam seminar saya dan meminta saya menandatangani buku saya yang Anda baru
beli, Anda pasti ingat bahwa saya selalu mengatakan itu adalah tanda tangan
Amerika: mudah dibaca dan diidentifikasi. Ada juga pembaca yang minta
dua-duanya, dan ada kalanya saya pun meluluskannya.

Tanda tangan lokal itu biasanya hanya saya gunakan untuk urusan bank Dan
menandatangani transkrip nilai mahasiswa. Dalam salah satu seminar saya
pernah meminta agar para peserta menggoreskan tanda tangannya di atas kertas
dan meminta rekan di sebelahnya yang baru dikenalnya mengenali nama mereka.
Ternyata tak banyak di antara mereka yang dapat mengenali nama orang dari
tanda tangannya. Ketika ditanya mengapa mereka membuat tanda tangan seruwet
itu, semuanya menjawab bak koor: "Biar tidak mudah ditiru orang
lain."Mengapa kita semua melakukan hal yang sama? Mudah ditebak jawabnya.
Sejak kecil Kita telah diajari orang-orang tua dan guru-guru Kita agar tidak
mudahpercaya pada orang lain. "Buatlah tanda tangan yang tidak mudah ditiru
agar jangan sampai dipalsukan orang lain." Kita menurutinya, dan tanpa kita
sadari roh-roh ketidakpercayaan ini sudah melekat dalam pikiran kita.

"Trust," kata Francis Fukuyama, adalah "the social virtues and the
creationof prosperity."Rasa percaya adalah suatu ikatan sosial yang penting
untuk menciptakan kemakmuran. Kalau tidak ada rasa percaya, mestinya tidak
ada bisnis.Bagaimana mungkin kita berbisnis dengan orang yang tidak Kita
percaya? Rasa percaya itu pula yang akan menentukan bangunan organisasi
perusahaan saudara. Makin rendah rasa percaya kita terhadap orang lain,
makin banyak pula kita melibatkan sanak saudara kita, teman sealmamater,
sesuku dan sebagainya terlibat dalam bisnis kita. Kita makin menutup pintu
bagi oranglain. Dan akibatnya potensi kita untuk menjadi besar akan
terhambat.Pengalaman lainnya yang saya dapatkan di Amerika barangkali dapat
menjelaskan betapa berbedanya tingkat rasa percaya. 

Menjelang pulang ketanah air, setelah menyelesaikan program studi, saya pun
melakukan moving sale melego barang-barang yang nilai bukunya masih cukup
tinggi. Misalnya saja ada sebuah dish washer (mesin pencuci piring) elektrik
yang usianya baru tiga tahun dan nilainya masih cukup tinggi namun harus
dilepas dengan harga yang sangat murah. Pembelinya tentu saja masyarakat
komunitas tempat tinggal kami, yang umumnya adalah keluarga muda atau para
mahasiswa asing yang dari mancanegara.
Kalau calon pembelinya datang dari negara-negaraseperti Rusia, Yugoslavia,
Ceko, Turki, Portugal, Brazil, Irak, Pakistan,India, atau negara-negara
Afrika, biasanya transaksi berjalan tersendat-sendat. Mereka umumnya tidak
percaya terhadap kualitas mesin(apakah masih tetap baik) dan harga yang
ditawarkan. Mereka mengutak-atik mesin, menghabiskan waktu berjam-jam,
mengajukan pertanyaan, lalu menawar dibawah separo dari harga yang
ditawarkan. Prosesnya sama seperti Anda menawar harga sepasang sepatu di
pasar Senen atau pasar lainnya di Indonesia. Dan akhirnya pun dapat diterka:
tidak ada transaksi.

Hal yang berbeda dialami kalau pembelinya berasal dari negara-negara
yangbarangkali dapat kita sebut sebagai high trust society, seperti
Amerika,Inggris, Finlandia, bahkan Jepang yang rata-rata sudah lebih makmur
hidupnya. Mereka cuma bertanya tiga hal: mengapa dijual, apakah ada
kerusakan, dan berapa harganya. Kalau mereka suka, mereka tidak
menawar,langsung angkat. Dalam kepala mereka, kalau barang ini rusak maka
mereka akan kembalikan segera. Mereka percaya bahwa orang lain dapat
dipercaya, dan kalau mereka menipu mereka akan ditangkap polisi, diadili,
dan dijatuhi hukuman.

Pembaca, apakah implikasi melakukan kegiatan bisnis di sebuah low
trustsociety? Mudah-mudahan Saudara sudah dapat menangkapnya: jangan
langsung melakukan transaksi. Selalu mulailah dengan membangun rasa percaya
dari lawan-lawan bisnis Anda. Jangan sesekali melakukan penawaran kalau
lawan bisnis Anda di sini belum mengenal betul Anda. Kalau ada jalan pintas
yang dapat ditawarkan, barangkali cuma satu ini: carilah jembatan melalui
orang-orang yang sudah dikenal dan dipercaya oleh lawan bisnis Anda. Tanpa
itu, Anda cuma melakukan upaya sia-sia. Saya merindukan, kelak anak-anak
kita akan membuat tanda tangan yang namanya dapat dibaca oleh orang lain.

Rheinald Khasali

 



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke