From: natali yevonne

Kisah Terciptanya Sajak Foot Prints

Tahukah anda cerita di balik terciptanya sajak 'FOOTPRINTS' (Telah
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul : Jejak - Jejak Kaki).

Sajak tersebut telah menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia. Namun
tidak banyak orang mengetahui siapa pengarang sajak itu. Juga tidak
banyak orang tahu apa latar belakang lahirnya sajak itu. Lebih-lebih
lagi tidak banyak orang tahu bahwa sajak yang berjudul 'Jejak-Jejak Kaki'
(aslinya
: 'Footprints') sebenarnya adalah buah pena masa berpacaran di suatu
senja di tepi danau.

Pengarang sajak itu adalah Margaret Fishback, seorang guru sekolah dasar
Kristen untuk anak-anak Indian di Kanada. Margaret sangat pendek dan
kecil untuk ukuran orang Kanada. Tinggi badannya hanya 147 cm. Tubuhnya
ramping dan wajahnya halus seperti anak kecil. Karena itu walaupun ia
sudah dewasa dan sudah menjadi ibu guru ia sering diberi karcis untuk
anak-anak kalau berdiri di depan loket atau kalau naik bis.

Margaret dibesarkan dalam keluarga yang bersuasana hangat dan penuh
kasih. Namun ada beberapa peristiwa yang terasa pahit dalam kenangan
masa kecilnya. Yang pertama adalah pengalamannya ketika ia menjadi murid
kelas satu sekolah dasar. Ia mempunyai kenangan buruk tentang gurunya.
Margaret berlogat Jerman karena ayahnya berasal dari Jerman. Lalu tiap
kali Margaret melafalkan sebuah kata Bahasa Inggris dengan logat Jerman
jari-jari tangannya langsung dipukul oleh gurunya dengan sebuah tongkat
kayu. Tiap hari jari-jari tangan Margaret memar kemerah-merahan.'Jangan
bicara dengan logat Jerman. Pakai logat yang betul, kalau tidak ... !'
Itulah ancaman dan amarah yang didengar Margaret setiap hari. Dan ia
sungguh takut. 'Tiap hari aku berangkat ke sekolah dihantui oleh rasa
takut. Aku heran mengapa aku dimarahi. Apa salahku ? Apa salahnya orang
berbicara dengan logat Jerman ? Baru kemudian hari aku tahu bahwa pada
waktu itu sedang berlangsung Perang Dunia II, sehingga orang Jerman
dibenci di Amerika dan Kanada,' ucap Margaret mengenang masa kecilnya.

Kenangan pahit lain yang diingat Margaret adalah tentang dua teman
perempuannya di kelasnya. 'Aku akrab dengan semua teman dan mereka
senang bermain dengan aku, kecuali dua orang teman perempuan yang
kebetulan berbadan besar. Kedua teman itu sering menjahati aku. Untung
ada seorang teman laki-laki yang selalu melindungi aku. Namun pada suatu
hari teman laki-laki itu tidak masuk ke sekolah. Lalu kedua teman
perempuan yang berbadan besar itu menjatuhkan aku dan duduk di atas
perutku sambil menggelitiki aku. Aku kehabisan nafas. Untung tiba-tiba
ada orang yang lewat sehingga aku dilepas. Langsung aku lari ketakutan
sampai aku jatuh dan pingsan. Selama beberapa hari aku terbaring sakit.
Tetapi yang lebih parah lagi, selama beberapa bulan aku ketakutan,'
kenang Margaret.

Juga tentang masa dewasanya Margaret mempunyai pengalaman yang
menakutkan. Pada suatu siang yang bercuaca buruk, ketika ia sedang
mengajar di kelas, tiba-tiba jendela terbuka dan petir menyambar sekujur
tubuh Margaret. Ia jatuh terpental di lantai. Setelah dirawat di rumah
sakit, ia tetap mengidap penyakit yang tidak tersembuhkan. Urat
syarafnya terganggu sehingga ia sering bergetar. Bukan mustahil semua
pengalaman buruk itu turut mewarnai lahirnya sajak 'Jejak' ini, yang
dikarang oleh Margaret ketika ia sudah mempunyai tunangan yang bernama
Paul. Hari itu Margaret dan Paul berangkat menuju suatu tempat
perkemahan di utara Toronto untuk memimpin retret. Di tengah perjalanan,
mereka melewati danau Echo yang indah. 'Mari kita jalan di pantai,' usul
Margaret. Dengan semangat mereka melepaskan sepatu lalu berjalan
bergandengan tangan di pantai pasir.

Ketika mereka kembali dan berjalan ke arah mobil mereka, dengan jelas
mereka mengenali dua pasang jejak kaki mereka di pasir pantai. Namun di
tempat-tempat tertentu gelombang air telah menghapus satu pasang jejak
itu. 'Hai Paul, lihat, jejak kakiku hilang,' seru Margaret. 'Itukah
mungkin yang akan terjadi dalam impian pernikahan kita? Semua cita-cita
kita mungkin akan lenyap disapu gelombang air,' lirih Margaret. 'Jangan
berpikir begitu,' protes Paul. 'Aku malah melihat lambang yang indah.
Setelah kita menikah, yang semula dua akan menjadi satu. Lihat itu, di
situ jejak kaki kita masih ada lengkap dua pasang.' Mereka berjalan
terus. 'Paul, lihat, di sini jejakku hilang lagi.' Paul menatap Margaret
dengan tajam, 'Margie jalan hidup kita dipelihara Tuhan.

Pada saat yang susah, ketika kita sendiri tidak bisa berjalan, nanti
Tuhan akan mengangkat kita. Seperti begini...' Lalu Paul mengangkat
tubuh Margaret yang kecil dan ringan itu dan memutar-mutarnya. Malam itu
setibanya mereka di tempat retret, Margaret yang adalah pengarang
kawakan menggoreskan pena dan menuangkan ilham pengalamannya tadi di
pantai. Kalimat demi kalimat mengalir. Dicoretnya sebuah kalimat,
diubahnya kalimat yang lain. Ia berpikir, menulis, termenung, mencoret,
menulis lagi, termenung lagi, mencoret lagi.......Seolah-olah bermimpi,
dalam imajinasinya ia merasa berjalan bersama dengan Tuhan Yesus di tepi
pantai. Ketika berjalan kembali ia melihat dua pasang jejak kaki, satu
pasang jejaknya sendiri dan satu pasang jejak Tuhan. Tetapi... dan
seterusnya. Margaret melihat lonceng. Pukul 3 pagi ! Cepat-cepat
diselesaikannya tulisannya, lalu ia tidur. Keesokan harinya, begitu
bangun, ia langsung membaca ulang tulisannya. Ah, belum ada judulnya.
Margaret berpikir sejenak lalu membubuhkan judul 'Aku Bermimpi'. Ia
mengubah beberapa kata dan kalimat. Dan lahirlah sajak yang sekarang
kita kenal dengan judul 'Jejak'. Pada hari itu juga dalam kebaktian,
sajak itu dibacakan Paul. Paul berkata, '... ada saat di mana kita
merasa seolah-olah Tuhan meninggalkan kita. Musibah menimpa kita dan jalan
hidup kita begitu sulit. Kita bertanya mengapa Tuhan tidak
menolong kita. Sebenarnya Tuhan sedang menolong kita. Tuhan sedang
mengangkat kita.' Lalu Paul membacakan sajak karya Margaret :

One night I dreamed a dream.
I was walking along the beach with my Lord.
Across the dark sky flashed scenes from my life.
For each scene, I noticed two sets of footprints in the sand,
One belong to me and one to my Lord.
When the last scene of my life shot before me,
I looked back at the footprints in the sand.
There was only one set of footprints.
I realized that this was the lowest and the saddest times of my life.
This always bothered me and I questioned the Lord about my dilemma.
'Lord, You told me when I decided to follow,
You would walk and talk with me all the way.
But I'm aware that during the most troublesome times of my life,
There is only one set of footprints.
I just don't understand why, when I need You most, You leave me.'
He whispered, 'My precious child, I love you and will never leave you
never, ever, during your trials and testings.
When you saw only one set of footprints,
It was then that I carried you.'

Seluruh peserta retret duduk terpaku mendengarnya. Mereka termenung
menyimak kedalaman arti yang terkandung sajak itu. Sekarangpun tiap
orang termenung setiap kali membaca sajak itu. Sajak itu mengajak kita
menelusuri perjalanan hidup kita. Dalam perjalanan itu telapak kaki kita
dan telapak kaki Tuhan Yesus membekas bersebelahan. Tetapi pada
saat-saat dimana musibah menimpa dan perjalanan menjadi sulit serta
berbahaya, ternyata yang tampak hanya telapak kaki Tuhan. Telapak kali
kita tidak tampak, padahal telapak kaki Tuhan membekas dengan jelas.
Mana telapak kaki kita ? Telapak kaki kita tidak ada, sebab pada
saat-saat seperti itu kita sedang diangkat dan digendong Tuhan.

JEJAK-JEJAK KAKI

Suatu malam aku bermimpi
Aku berjalan di tepi pantai dengan Tuhan
Di bentangan langit gelap tampak kilasan-kilasan adegan hidupku
Di tiap adegan, aku melihat dua pasang jejak kaki di pasir
Satu pasang jejak kakiku, yang lain jejak kaki Tuhan.
Ketika adegan terakhir terlintas di depanku
Aku menengok kembali pada jejak kaki di pasir.
Di situ hanya ada satu pasang jejak.
Aku mengingat kembali bahwa itu adalah bagian yang tersulit Dan paling
menyedihkan dalam hidupku.
Hal ini menganggu perasaanku maka aku bertanya Kepada Tuhan tentang
keherananku itu.
"Tuhan, Engkau berkata ketika aku berketetapan mengikut Engkau, Engkau
akan berjalan dan berbicara dengan aku sepanjang jalan,
Namun ternyata pada masa yang paling sulit
Dalam hidupku hanya ada satu pasang jejak.
Aku tidak mengerti mengapa justru pada saat aku sangat membutuhkan
Engkau, Engkau meninggalkan aku?"
Tuhan berbisik, "Anakku yang Kukasihi
Aku mencintai kamu dan takkan meninggalkan kamu
Pada saat sulit dan penuh bahaya sekalipun.
Ketika kamu melihat hanya ada satu pasang jejak ,
ltu adalah ketika Aku menggendong kamu."



-- 
Telah Terbit Buku "Mukjizat Kehidupan"
Pengalaman 2 pengusaha yang mengalami mukjizat kehidupan yang nyata dan ada
pesan akhir zaman bagi kita.
Info : http://hadi-kristadi.blogspot.com/
==================================================================================
Nikmati kesaksian-kesaksian yang hidup di :
http://pentas-kesaksian.blogspot.com/


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to