SIAPAKAH SESUNGGUHNYA PENDIDIK BAGI ANAK USIA DINI ? Suara Pembaruan, 22/11/2004 Opini Oleh Neni Utami Adiningsih*
Beberapa waktu lalu, sebuah stasiun televisi menayangkan acara peresmian sebuah Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Acaranya biasa-biasa saja, laiknya acara seremonial yang sarat dengan basa-basi. Hal menarik justru terjadi ketika seorang pejabat melontarkan sebuah pertanyaan singkat kepada seorang anak perempuan, murid sebuah TK (tampak dari baju seragam yang dikenakannya), sebut saja si Cerdas, yang sedang asyik membaca. " Siapa yang mengajari membaca?" Dengan spontan si Cerdas menjawab, " Ibu guru." Di satu sisi jawaban si Cerdas tersebut menggambarkan bahwa sudah semakin banyak anak usia dini (0-6 tahun) yang mampu mengakses institusi pendidikan anak usia dini (PAUD). Bagi Pemerintah, tentu hal ini sungguh melegakan sebab di tengah sulitnya ekonomi, ternyata semakin besarnya peran masyarakat dalam PAUD. Selama ini Pemerintah kerap sekali mensosialisasikan data akan banyaknya jumlah anak usia dini yang tidak dapat mengakses layanan PAUD. Baik yang berupa layanan formal seperti Taman Kanak-Kanan (TK) / Raudatul Atfal (RA), maupun layanan yang non formal seperti Tempat Penitipan Anak (TPA) ataupun Taman Bermain (TB). Hitungan Pemerintah menunjukkan bahwa dari 26,1 juta anak usia dini, baru 7,1 juta (28 persen) yang bisa mengakses layanan PAUD. Namun di sisi lain, jawaban si Cerdas tersebut juga memunculkan pertanyaan "Mengapa ia tidak belajar membaca dari orang tuanya?" Apakah karena orang tuanya tidak bisa membaca, sehingga tidak bisa mengajarinya membaca? Mungkin saja. Sebab menurut data Biro Pusat Statistik [BPS] 2003, masih ada 2,34 persen laki-laki dan 4,51 persen perempuan dari keseluruhan jumlah penduduk yang berusia 10-44 tahun yang buta aksara. Tapi kemungkinan itu sangat kecil, sebab data tersebut juga menyatakan bahwa sesungguhnya sebagian besar penduduk usia 10 - 44 tahun, yaitu 97,66 persen laki-laki dan 95,49 persen perempuan, sudah bisa membaca. Artinya sebenarnya sebagian besar orang tua, termasuk orang tua si Cerdas, mempunyai potensi untuk mengajari anaknya membaca. Namun, mengapa untuk pelajaran yang sangat mendasar itu, si Cerdas mesti memperolehnya dari orang lain)? Pengalihan Tugas Tidak bisa dipungkiri bahwa kian hari semakin banyak yang tidak diajarkan orang tua kepada anak-anaknya, terutama yang masih berusia dini. Tidak mengajarkan membaca-menulis hanyalah salah satu diantaranya. Hanya selang 3-4 bulan sejak kelahirannya, bayi-bayi mungil itu sudah 'diserahkan' oleh ibunya kepada para pengasuh anak atau baby sitter. "Harus kembali sibuk mencari uang (untuk anaknya ?), itulah alasan yang kerap diungkapkan. Benarkah demikian? Dengan logika sederhana, alasan ini sangat mudah dipatahkan. Karena bila sang ibu sampai harus ikut mencari uang, berarti keluarga tersebut sedang kekurangan uang. Dengan kondisi seperti ini, pastilah ia tidak akan mampu menggaji pembantu, tetapi kenyataannya mereka tinggal di perumahan yang layak bahkan mewah dan bisa menggaji pembantu (bahkan lebih dari satu). Lalu mengapa mereka tetap sibuk mencari uang? Tidak tertutup kemungkinan, karena tidak ingin obsesi pribadinya terganggu oleh kesibukan mengasuh dan mendidik anak. Akibatnya, segeralah bayi mungilnya melewatkan hari-hari bersama si pengasuh, termasuk ketika si pengasuh asyik menonton sinetron atau acara tv yang tidak sesuai untuk pendidikan si kecil. Orang tua, hanya bisa terkaget-kaget ketika bayi mungilnya mengucapkan kata-kata ataupun melakukan tindakan yang tidak pantas diucapkan / dilakukan oleh anak seusianya. Tidaklah aneh bila anak menjadi lebih mendengarkan kata pengasuhnya daripada nasehat orang tuanya. Bila tidak demikian, proses pendidikan anaknya, diserahkan pada guru. Semakin trend, anak-anak usia 4 tahun sudah disibukkan dengan aneka jadwal les. Bahkan anak-anak (tepatnya bayi) yang belum juga genap 1 tahun sudah dimasukkan ke sekolah.. Mereka mempelajari ketrampilan hidup seperti berjalan, makan, minum, tidur, buang air kecil, dsb, dari para guru. Sangat menyedihkan. Sebab sesungguhnya, orang tualah guru terbaik bagi anak usia dini. Ada sentuhan kasih, yang tidak dapat digantikan ibu guru. Sambil mandi , ibu bisa mengajar tentang kebersihan, kesehatan, anatomi tubuh, berbahasa (asing), berhitung, menulis bahkan pelajaran agama. Sambil memasak, ibu bisa mengajar berhitung, mengenal warna, mengenal bentuk, mencintai tanaman, dsb. Sambil menonton televisi, ibu bisa mengasah imajinasi anak, meningkatkan kosakatanya, dsb. Karena semua itu diajarkan di rumah, dalam suasana bermain, oleh sosok yang sangat dekat dengan anak, dalam suasana yang santai dan penuh kasih sayang, yang tidak terbatasi oleh waktu dan sangat fleksibel, maka maka potensi keberhasilannya lebih besar. Terlebih bila hal-hal tersebut diajarkan pada saat tepat, yaitu pada masa pekanya. Menurut Dr. Maria Montessori masa peka untuk belajar tertib dan teratur adalah ketika ia berusia 2,5 - 3,5 ta-hun. Sedangkan umur 3,5 - 4,5 tahun anak lebih mudah belajar menulis. Untuk belajar membaca dan mengerti angka adalah antara umur 4 - 5 tahun. Sedangkan menurut Glenn Doman dan Dr. Carl Delacato, waktu terbaik untuk mengajar membaca kira - kira bersamaan dengan waktu ketika anak mulai belajar bicara. Dalam hal belajar bahasa ke-dua (atau lebih), paling baik dilakukan pada tahun - tahun pertama, demikian pendapat Dr. Penfield. Sedangkan dalam hal kreativitas, mulai meningkat saat anak berusia 3 tahun dan mencapai puncaknya antara umur 4 - 4 , 5 tahun. Lalu menurun pada umur 5 tahun ketika ia mulai masuk sekolah (mungkin karena adanya tekanan guru dan teman yang menuntutnya untuk menyesuaikan diri), demikian hasil pengamatan Dr Torrance. Tidak Disadari Sayangnya, potensi orang tua sebagai pendidik anak tersebut tidak saja diabaikan oleh para orang tua, tetapi juga tidak disadari oleh sebagian besar pengambil kebijakan di negeri ini. Setidaknya nampak dari materi Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Anak Usia Dini (RPP PAUD). Dalam RPP PAUD, Pemerintah hanya memberikan atensi pada pendidikan PAUD dari jalur formal dan nonformal, yang direfleksikan dari banyaknya pasal yang membahas kedua jalur PAUD tersebut. Bahkan ada bahasan khusus tentang upaya memberdayakan guru-guru PAUD baik dari jalur formal maupun non formal. Sementara untuk PAUD dari jalur informal, yaitu pendidikan yang berbasis keluarga, RPP PAUD hanya membahasnya secara global, itupun hanya dalam satu pasal (pasal 1) dari 45 pasal yang ada. Sungguh sebuah ketimpangan yang nyata. Selain itu juga tampak dari keseriusan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dalam mempersiapkan kurikulum PAUD jalur pendidikan non-formal. Tentu saja langkah ini bukan hal yang buruk, namun hendaknya diimbangi dengan atensi Pemerintah untuk mencari cara agar para orang tua semakin mempunyai kemampuan menjadi guru bagi anaknya. Memang benar bahwa untuk mendukung PAUD di setiap rumah, mulai tahun 2005 akan dimulai pelatihan PAUD di tengah masyarakat. Saat ini sudah ada 20 master trainee yang telah lulus untuk memberikan pelatihan PAUD sesuai dengan standar internasional. Selain itu sudah disiapkan 9 buku panduan yang dapat mendukung pelaksanaan PAUD di setiap lapisan masyarakat. Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan bahwa dalam implementasinya nanti, para master trainee tersebut bukannya memberikan pendidikan kepada para orang tua namun lebih condong membantu para pengelola PAUD formal / non formal. Terlebih, Direktur PAUD, Gutama, pernah mengeluhkan adanya kendala pendanaan untuk mensosialisasikan materi PAUD. "Untuk memperbanyak materi dan memberikan itu pada orang tua perlu dana yang tidak sedikit", demikian ungkapnya (Suara Pembaruan 23/10/04). Bila dibandingkan dengan para orang tua, tentu saja para institusi PAUD formal / non formal itulah yang mampu dalam hal pendanaan. Semoga dalam peringatan Hari Anak Sedunia (World Children's Day) ke -15 ini tidak berhenti hanya dalam tataran seremonial belaka. Hendaknya mampu membuat kita semua, semakin beratensi terhadap proses pendidikan bagi anak usia dini. Sebagai orang tua, hendaklah kita selalu ingat bahwa sesungguhnya kitalah pendidik utama bagi anak-anak, terutama yang masih berusia dini. Sementara bagi Pemerintah, hendaklah berupaya keras mencari cara dan dana untuk memintarkan para orang tua, sehingga mereka bisa memberikan pendidikan bagi anak-anaknya dengan optimal. Ingat, Pemerintah telah mengadopsi komitmen Education for All (Jomtien - Thailand, 1990) yang dipertegas lagi melalui Deklarasi Dakar-Sinegal (2000) dan komitmen World Fit for Children (New York, 2002). Selain itu juga telah ada UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang melengkapi UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dimana kian menegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9 ayat 1). Yang tidak kalah penting adalah Pemerintah sudah meratifikasi Konvensi Hak Anak dalam Kepres no 36/1990. Semua itu jangan sekedar pajangan aturan semata. Akhirnya, semoga kelak anak-anak kita menjawab "Orang tua yang mengajari saya membaca.", ketika ia ditanya "Siapa yang mengajarinya membaca?" Sungguh membahagiakan. *Neni Utami Adiningsih, Ir., M.T, adalah ibu rumah tangga yang sangat berminat pada masalah anak, perempuan dan keluarga. Penggagas Forum Studi Pemberdayaan Keluarga (Family Empowerment Studies Forum) [Non-text portions of this message have been removed]