Kulit Luar (Ria H. Coats - Amerika) Tulisan saya ini terilhami dengan tulisan Veera mengenai harga sepatunya yang 5000 euro.
Fenomena membeli barang branded atau designer clothes tidak hanya mewabah di antara bangsa kita tetapi juga dialami oleh bangsa bangsa lainnya di manapun berada. Sometimes dalam lingkup pergaulan, seseorang dianggap sukses dan hebat jika dipundaknya tersampir tas bermerek Louis Vitton, Channel, atau Prada. Atau bajunya bermerek Bebe, Guess, Versace, atau sepatunya bermerek Etienne Aigner dan Manolo Blahnik. Sometimes sewaktu acara 17 Agustusan dan kumpul kumpul saya melihat teman teman saya menjadikan acara tersebut sebagai ajang pamer dan bahkan diantara mereka yang sengaja membeli barang bermerek tersebut khusus untuk menaikkan prestige. Tetapi tahukah anda, jika fenomena itu kadang tidak ditunjang oleh kondisi keuangannya ?. Sebagian besar dari mereka membeli dengan credit card, yang tentu saja mencicil pembayarannya. Atau, membeli dengan trend "after 30 days can be return" ? Saya pribadi pernah menjadi korban mode, membeli barang branded dengan credit card dan mengencangkan ikat pinggang demi sebuah tas Louis. Untuk itu, saya terpaksa makan sandwhich atau hotdog setiap hari dan membayar cicilan credit card selama lebih dari 5 bulan. Sampai akhirnya saya berkenalan dengan salah seorang designer Louis di Jerman. Dia ini orang Jerman tetapi berdomisili di Paris. Dia sudah berkerja untuk Louis Vitton selama 15 tahun sebagai lead designer untuk animal leather production department atau bahasa indonesianya bagian penyamakan kulit. Setelah beberapa kali koresponden melalui email, dua tahun yang lalu Ulrich datang ke US untuk menemui saya, sebagai oleh-olehnya dia membawakan beberapa buah produk Louis berkulit buaya. Bukan main senangnya saya menerima buah tangan Ulrich. Memang tas yang dia bawakan dikategorikan sebagai yang di reject akibat ada cacat sedikit, tetapi, manalah mata awam yang bisa detail mengamati tas tersebut. Yang penting bisa pamer. Hehehe. Lalu Ulrich bercerita bahwa, keuntungan Louis Vitton itu pertahunnya lebih dari 100%,. Karena semakin mereka pasang harga tinggi untuk 1 buah tas, semakin banyak wanita yang berlomba membeli. Padahal setelah ditekan ongkos produksi dan ongkos tenaga pembuatannya, harga tas itu Cuma $ 200 tetapi karena ada merek Louisnya, maka bisa dibandrol menjadi $ 2000. Ulrich juga bercerita bahwa bahan baku tas tersebut kebanyakan berasal dari Indonesia seperti kulit ular, buaya, kulit sapi, lamb dan bahan bahan baku lainnya. Sometimes juga mereka hire produsen tas dari Indonesia untuk mendesign atau meramu tas handmade dan kemudian diangkut ke pabrik Louis dan diberi label Louis. Nah, tas tas yang dari bumi Indonesia inilah yang berseliweran di butik butik Louis di seluruh dunia. Semenjak itu saya jadi males membeli barang branded, buat apalah beli mahal mahal mendingan uangnya saya tanam di stock market, toh tas tersebut made in Indonesia. Tetapi memang, manusia cenderung menilai orang dari kulit luarnya. Contohnya bapak pacar saya yang dari Nepal. Beliau adalah menteri ekonomi di negaranya. Datang ke US dandanannya sederhana sekali, tanpa barang bermerek dan cenderung ndeso. Masuk ke toko di Plaza, tidak dilayani dengan baik. Orang males menjalin komunikasi dengannya. Tetapi, teman saya yang orang Thailand, dari ujung kaki ke rambut sangat glamour, diterima dan dilayani dengan baik. Padahal mereka tidak tahu, kalo barang barangnya itu aseli tapi palsu, dibeli langsung di Thailand. Dan profesinya di US adalah waiters restoran thai. Inti tulisan saya ini adalah, tidak usahlah pamer. Berkata punya BMW seri terbaru atau rumah besar, dan memiliki barang branded. Hidup sederhana, tetapi cukup. Kalau anda mau pamer, pamer prestasi pendidikan anak anak kita. Kalau mereka sudah berhasil sukses menyelesaikan pendidikannya, mendapatkan pekerjaan yang layak, dan syukur syukur bisa menikah dan memiliki keluarga bahagia, barulah anda boleh pamer. Karena mendidik anak menjadi baik dan berguna itu susah, apalagi bagi yang hidup di luar negeri. Tabiik. Penampilan = Respek (Lina - Lampung) Saya punya cerita yang menunjukkan bahwa penampilan seseorang itu memang mempengaruhi respek orang ke kita. saya punya seorang teman yang sekarang sedang bekerja pada salah satu perusahaan minyak asing yang besar di indonesia. Teman saya adalah lulusan S2 dari universitas luar negeri, dan merupakan lulusan terbaik di angkatannya. Masalahnya, kalo dilihat dari penampilan fisiknya (kurus dan tidak terlalu tinggi), mungkin orang tidak menyangka kalau dia sudah termasuk sukses,(kadang saya juga suka mengolok-olok kalau dia punya penyakit cacingan :) karena tidak bisa gemuk). Oleh perusahaan, teman saya mendapat fasilitas kartu kredit American Express dan suatu hari dia ingin membayar tagihan pada kartu tersebut. Didalam ruang pembayaran, dibuat 2 barisan, 1 untuk orang yang langsung membayar tagihannya sendiri (pemilik kartu), dan yang lainnya adalah orang yang diminta membayarkan oleh orang lain (kadang sopir yang dipercaya). Dengan tenangnya, temanku mengantri pada barisan pemilik. Tiba-tiba seorang satpam, dengan nada yang kurang ramah berkata, "antrian buat sopir yang sebelah sana, ini buat pemilik kartu", (he3 ternyata dia dianggap sopir), dengan sebal temanku bilang, "Saya yang punya kartu". dengan rikuh, satpamnya meminta maaf. Udah bete dengan situasi tadi, sampai di counter pembayaran, CSnya bertanya dan lagi-lagi dengan nada kurang ramah, " Kartu ini punya Kamu?" terang aja darah yang tadi udah setengah naik kekepala jadi naik keubun2. Dalam hati temanku menggerundel, emang enak di kamu-kamu. Temanku langsung menatap mata CS tersebut dan bicara pelan2 dengan tekanan tiap kata" Kartu ini PUNYAKU, kamu tidak percaya?", si CS tadi dengan agak gugup malayani teman saya dan memanggilnya dengan sebutan Bapak. Ada juga cerita sewaktu dulu dia akan pergi ke Brunei untuk melanjutkan kuliah, pas di bandara ada petugas yang menanyakan tujuannya dan tahu bahwa temanku orang Padang, langsung petugasnya berkata` "Mau kerja di rumah makan Padang ya" kasian banget, tidak tau apakah karena penampilan temanku, atau orang Indo yang ke Brunei dianggap TKI semua he3.. Begitulah cerita teman saya yang karena penampilan tidak meyakinkan jadi sering diremehkan orang yang hanya melihat penampilan luar saja. Konsumtif (Susan - Jeddah) Sudah jadi rahasia umum banyak dari masyarakat kita yang menganut gaya hidup komsumtif. Negara lain juga banyak. Sebenarnya gak masalah juga asal gak merugikan orang lain orang duit-duit dia. Yang jadi masalah kalo yang bersangkutan sampe babak belur nombokinnya. Yang bikin sebel lagi kalo golongan ini mulai jadi provokator buat yang tipe saver. Saya menulis ini berdasar pengalaman sendiri dengan orang-orang di sekitar. Saya ambil contoh, saya punya temen W namanya, orang Indonesia,ibu rumah tangga, cantik masih muda awal 30an dengan 5 orang anak mulai umur 3th-13th. Bisa dibayangkan berapa ongkos hidup diperantoan. Suaminya karyawan biasa, yang gak kalah komsumtifnya. Mobilnya selalu keluaran terbaru. Saya kenal si W ini 2th lalu, orangnya juga royal ama temen, sering bikin undangan, kalo kerumah temen bawaannya banyak. Soal Fashion no 1. Baik sih orangnya. Tapi dia gak tau prioritas, dengan 5 anak tinggalnya di apartmen 2 kamar, 1 buat dia ama suami, 1 lagi buat ke 5 anaknya, uh kayak ikan pepes. Sumpek karena W suka beli barang. W selalu bilang gak mau bayar rumah mahal, anehnya dia gak sayang buat sepotong baju yang harganya bikin orang tercengang. Dulunya saya pikir si W ini tajir, Di setiap acara keren abis (iri deh saya he..)lama-lama tau nih kalo si W suka tutup lobang buka lobang. Ikut banyak group arisan, dan maunya dapet yang pertama, pusing deh kayak bayar cicilan aja. Sering dia bilang ke saya " lo banyak duit, gak punya anak, beli dong yang lo mau!" Hah..!?? Satu lagi temen sebut saja X, Orangnya baik gak suka ngurusin orang, suaminya staf biasa di suatu instansi pemerintah, saya kenal udah lama mulai dari pertama di Jeddah. Anaknya 5 juga yang sudah besar-besar, Ke 4 anaknya kuliah di luar negri, masih di kawasan asia ,yang ke5 di Jeddah masih SMP. Rumahnya kecil (maaf)dikawasan agak kumuh. Tapi barang-barangnya banyak yang mahal. X pernah cerita betapa sulitnya mengatur keuangan keluarga yang minim. Anehnya lagi X baru pulang tour dari eropa. Beberapa hari yang lalu saya kerumahnya, saya lihat anaknya yang SMP bawa laptop baru padahal sebelumnya udah ada computer. Saya rasa anak ini gak begitu memerlukan laptop selain buat gengsi karena temen-temennya pada punya laptop. Masih banyak contoh lagi tapi gak mungkin di urai satu-satu, bisa habis nih lahan saya srobot sediri. Ini yang perlu di perhatikan oleh sebagian orang tua di Jeddah. Di Jeddah tuh orang Indonesianya banyak sekali bergerombol salinggg...gengsi gede-gedean, kayak sinetron aja. Buat yang tajir nggak terlalu masalah mau gaya hidup komsumtif, gak gangguin keuangannya bodo amat. Tapi... gak ada yang tau hari esok, semuanya hanyut kebanjiran oue.. [Non-text portions of this message have been removed]