Pertahankan Tanah dan Rumah 
Warga Meruya Siap Mati

KEMBANGAN, WARTA KOTA - Kawasan Meruya Selatan bakal menjadi kawasan perang.
Rabu (2/5), ribuan warganya menyatakan siap mati untuk mempertahankan tanah
dan rumah mereka. Sejak Senin (1/5) sejumlah warga bahkan sudah menyiapkan
golok dan tombak untuk berperang. Siap perang ini juga diperlihatkan warga
dengan menyebar lima spanduk yang berisi penolakan dan perlawanan terhadap
aksi penggusuran. 
      
Kegusaran warga Meruya dipicu oleh rencana penggusuran rumah mereka
gara-gara Mahkamah Agung  memutuskan bahwa PT Portinigra adalah pemenang
sengketa tanah dengan tiga orang yang mengaku memiliki 78 hektar  di 10 RW
di Kelurahan Meruya Selatan. Di kelurahan ini terdapat 11 RW. 
     
Putusan MA itu antara lain berisi perintah eksekusi atas bangunan yang ada
di lahan tersebut. Eksekusi  itu sendiri rencananya akan dilaksanakan pada
21 Mei mendatang. Warga ditawari uang kerohiman sekitar Rp 300.000/kepala
keluarga.
    
Padahal di atas lahan yang menjadi sengketa itu, kini berdiri ribuan rumah
milik warga. Tercatat ada 5.563 kepala keluarga atau puluhan ribu jiwa yang
akan kehilangan tempat tinggalnya.  Selain itu,  bangunan  milik Pemerintah
Kotamadya  Jakarta Barat juga terancam tergusur. 
     
Aset-aset milik pemkodya  itu antara lain gedung Kelurahan Meruya Selatan,
tiga puskesmas di Meruya Selatan, sejumlah SDN dan SMPN, lampu-lampu
penerangan jalan, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum lainnya. 
     
Di lahan yang akan dieksekusi juga terdapat kampus Universitas Mercua Buana
(UMB), kompleks DPR  III, perumahan pegawai Pemkodya Jakarta Barat,
sejumlah perumahan elit seperti Meruya Residence, Taman Kebon Jeruk, Gren
Vila, Vila Meruya, beberapa rumah ibadah, serta kantor production house Cek
& Ricek.  
       
Sejumlah warga yang ditemui mengaku heran  dengan putusan MA itu. Sebab,
warga tidak pernah  bersengketa dengan PT Portinigra, apalagi dengan ketiga
orang yang bersengketa dengan perusahaan tersebut. Lurah Meruya Selatan
Syamsul Huda yang dihubungi kemarin juga mengaku tidak banyak mengetahui
kasus tanah itu. Apalagi dirinya yang bertugas menjadi lurah sejak 2005,
tidak pernah dilibatkan dalam proses persidangan baik di Pengadilan Negeri
Jakbar maupun  Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. 
     
"Tahu-tahu saya  diberi undangan oleh Pengadilan Negeri Jakbar untuk rapat
dan diberi lampiran putusan MA. Dalam rapat itu tidak disebutkan batas yang
akan dieksekusi yang mana. Mereka bilang sudah punya girik dan kuitansi,
tapi datanya seperti apa saya tak diberi tahu," ujarnya. Dia menyebut tanah
yang diklaim oleh PT Portinigra sekitar 44 hektar yang 90 persennya sudah
bersertifikat atas nama warga. 
     
Syamsul juga merasa heran bila tiba-tiba keluar putusan MA itu. Apalagi di
buku letter C atau buku induk mengenai tanah di kelurahan itu tak pernah
dicantumkan peristiwa jual-beli antara warga dan PT Portinigra. Padahal,
menurut  prosedur, proses jual beli  harus dicatat dalam buku itu. 
    
Menurut lurah,  putusan MA menyebutkan  tanah seluas 44 hektar itu semula
dibagi dalam 143 girik.  Ini berarti awalnya milik 143 orang. "Tapi, satu
orang bisa punya 1.000 m2. Kemudian proses jual beli dari 143 girik itu ke
banyak orang itu ada datanya di kelurahan. Tapi, jual beli ke PT Portinigra
itu kok tidak ada," tandasnya. 
     
Padahal, untuk kepemilikan tanah seluas 5.000 m2 saja harus ada surat
peruntukan penggunaan tanah (SIPPT) yang dikeluarkan gubernur. Sedangkan
tanah yang diklaim perusahaan ini mencapai 44 hektar (440.000 m2). Bahkan
ada yang menyebut tanah itu mencapai 78 hektar. 
     
Ketika ditanya apakah tahu tiga nama yang bersengketa dengan PT Portinigra,
di antaranya H Juhri dan H Yahya, dia mengatakan, "H Juhri itu sebelumnya
mandor di wilayah tersebut. Dia itu pernah menjadi pegawai di kantor
kelurahan tapi sudah pensiun lama. Sekarang sudah sangat sepuh. Saya tidak
tahu kenapa sampai sengketanya PT Portinigra dengan H Juhri."
       
Rekayasa
    
Warga menilai putusan MA itu  adalah rekayasa yang dibuat-buat untuk
menguasai tanah mereka. Selama ini mereka juga telah memiliki bukti
kepemilikan tanah yang sah berupa sertifikat hak milik atau girik. 
        
Anne Meyanne Alwie,  warga RT 13/02 yang  berprofesi sebagai Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT), juga mengaku heran atas putusan tersebut. "Bagaimana
mungkin putusan itu tiba-tiba muncul tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu,"
katanya. 
     
Dia mengatakan, sejak menjabat  PPAT yang bertugas di wilayah Jakarta Barat
tidak pernah mendapat kabar atau pernyataan bahwa tanah milik dirinya atau
kliennya bermasalah. "Kalau ada tanah yang bermasalah tentu BPN tidak akan
berani mengeluarkan sertifikat. Mereka pasti akan memblokir permohonan
pembuatan sertifikat itu," tuturnya. 
     
Jika BPN berani mengeluarkan sertifikat di atas tanah yang bermasalah, kata
Anne, mereka bisa dipidanakan. "Setahu saya di daerah sini tidak ada tanah
yang bermasalah," ujar pemilik rumah seluas 250 meter persegi yang terancam
tergusur ini. 
     
Kendati masyarakat memiliki bukti kepemilikan yang sah dan mengaku tidak
pernah bersengketa, putusan MA telah dibuat. Berdasarkan putusan itu, ribuan
warga terancam kehilangan rumah. 
      
Untuk melakukan perlawanan terhadap putusan ini, warga membentuk sebuah
forum. Forum itu dinamakan Forum Masyarakat Meruya Selatan. Setelah forum
ini terbentuk mereka lantas memasang lima buah spanduk di wilayah Meruya
Selatan. 
       
Tulisan dalam spanduk itu menyatakan perlawanan dan penolakan masyarakat
terhadap putusan MA itu. Salah satu spanduk itu berbunyi "Kami Siap
Melakukan Perlawanan sampai Titik Darah Penghabisan. Putusan Mahkamah Agung
Ngawur".
     
Ketua Forum Masyarakat Meruya Selatan yang juga menjabat  Ketua Dewan
Kelurahan Meruya Selatan, Kaharudin Dompu, mengatakan warga tidak akan
membiarkan sejengkal pun tanahnya untuk dieksekusi. "Kami akan melakukan
perlawanan sampai tetes darah yang terakhir," katanya, Selasa (2/5). 
    
Kaharudin mengatakan, melalui forum yang dibentuk pada Senin (1/5) malam itu
dia akan terus menggalang kekuatan massa. "Sampai saat ini 80 persen
masyarakat sudah mengetahui permasalahan ini. Semuanya merasa resah dan siap
melakukan perlawanan," tandasnya. 
     
Sejak mengetahui putusan  MA tersebut, warga telah mengadukan permasalahan
ini ke aparat pemerintah setempat. "Namun Lurah Meruya Selatan dan Camat
Kembangan tidak bisa berbuat apa- apa. Bahkan mereka tidak berani komentar
terhadap permasalahan ini," kata Kaharudin. 
     
Sementara itu, setelah menerima pengaduan permasalahan ini, Selasa (2/5)
pagi, Wali Kota Jakarta Barat Fadjar Pandjaitan  telah mengirimkan surat
pengaduan tentang masalah ini ke Gubernur DKI Sutiyoso. Meski harus
menghormati putusan MA, dia mengatakan Pemkodya Jakbar tidak pernah menjual
tanah atau aset pemda yang akan terkena eksekusi itu. 
     
Selain akan melaporkan hal ini, Fajdar juga mengatakan akan mengordinasi
persoalan ini ke jajaran Musyawarah Pimpinan Kodya Jakarta Barat, antara
lain kapolrestro, ketua PN, kepala kejaksaan negeri,  dan komandan kodim. 

Ada unsur politik      
     
Ketua LBH Jakarta, Asfinawati, mengatakan kasus seperti ini sering terjadi
di Indonesia. "Hal ini memang sengaja dilakukan, ada modus di balik putusan
pengadilan tersebut," tuturnya. 
     
Asfinawati menilai ada unsur politik di balik peristiwa di Meruya Selatan.
"Yaitu pendistribusian  lahan yang tidak merata. Sengketa antarkedua pihak
itu  bisa saja merupakan rekayasa, dan telah diatur akan ditunjuk salah satu
pihak menjadi pemenangnya. Hal yang seperti ini sering terjadi," tuturnya. 
     
Selama ini , katanya, warga telah memiliki bukti kepemilikan yang sah dan
benar. Mereka juga tidak pernah berurusan dan beperkara dengan pihak yang
bersengketa. "Kalau bukan rekayasa, ini tidak mungkin terjadi. Apalagi
putusannya keluar secara tiba-tiba dan tidak ada warga yang ikut campur
dalam masalah itu," ucapnya. 



Sumber: Warta Kota



[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke