Nusantara zaman dahulu, dikenal sebagai kepulauan yang 'Nyiur Melambai'. Namun seiring dengan perkembangan zaman, tanaman kelapa yang tumbuh nyaris disetiap pekarangan-pekarangan rumah tinggal para penduduk, tanaman kelapa 'disingkirkan' oleh tanaman kelapa sawit yang menghampar di perkebunan-perkebunan besar. Industri-industri skala rumahan pengolahan minyak kelapa yang yang nyaris tersebar dihampir seluruh pelosok negeri 'disingkirkan' oleh Industri-industri skala besar pengolahan kelapa sawit yang tersentralisasi pada beberapa tempat tertentu saja.
Tempo lalu, pada saat kampanye awal agar rakyat mempergunakan minyak kelapa sawit ini sempat terekam dibenak satu generasi tempo dulu, bahwa menggunakan minyak kelapa tidak baik bagi kesehatan, akan lebih menyehatkan jika menggunakan minyak kelapa sawit. Maka pada tahun 1994 luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat secara pesat menjadi 1,8 juta ha dengan produksi CPO sebesar 4,8 juta ton. Dua belas tahun kemudian, yakni 2006, perkembangannya amat spektakuler sebab luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 5,8 juta hektar. Dengan areal seluas itu, Indonesia mampu memproduksi CPO sebanyak 16 juta ton. Namun, dengan perkembangan kelapa sawit yang sespektakuler itu, menjadikan Indonesia yang sebagai negara yang memiliki areal tanaman kelapa terbesar di dunia, menjadi sebagai negara produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Hari ini, harga minyak goreng kelapa sawit naik secara drastis, akan tetapi kita telah melupakan bahwa Nusantara zaman dahulu adalah kepulauan yang 'Nyiur Melambai'. masa kejayaan bangsa "Nyiur Melambai" Indonesia sebagai produsen minyak kelapa utama di dunia, telah dilupakan. Kita juga telah melupakan bahwa tanaman kelapa yang tumbuhan asli Indonesia yang hanya sebagia bagian dari kejayaan perkebunan masa lalu. Saat ini, rasanya tak berlebihan jika pemerintah harus mulai kembali merevitalisasi perkebunan dengan memfasilitasi para petani kelapa di seluruh Tanah Air, baik berupa modal maupun penyuluhan teknologi, agar masyarakat pedesaan dapat menanam kembali pohon kelapa guna memasok bahan baku minyak goreng di masa datang. Sehingga masa kejayaan bangsa "Nyiur Melambai" Indonesia sebagai produsen minyak kelapa utama di dunia dapat diwujudkan kembali. *** Sungguh mengagetkan jika harga minyak goreng naik secara drastis belakangan ini mengingat Indonesia adalah produsen CPO (crude palm oil) -bahan baku utama minyak goring- kedua terbesar di dunia. Operasi pasar yang telah dilakukan pemerintah belum mampu menurunkan harga dari Rp 8.500 per kilogram ke harga Rp 6.000 per kilogram. Digelarnya operasi pasar (OP) menjadi pertanda minyak goreng sudah menjadi komoditas sangat peka bagi rakyat. Terbuka kemungkinan bahwa di masa datang minyak goreng bisa diposisikan sebagai komoditas politik. Seiring dengan itu harus ada upaya dari semua pihak untuk menstabilkan harga minyak goreng ke posisi normal. Seperti komoditas pangan strategis lainnya, yakni beras, gula, dan terigu, kiranya minyak goreng patut mendapat perhatian lebih besar dari pemerintah guna mencegah tujuan dari pihak-pihak tertentu yang hendak mengganggu stabilitas nasional. Kita bukan hendak mengecilkan upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk menstabilkan pasokan dan harga minyak goreng. Berbagai kebijakan telah dilakukan, dari pengenaan pungutan ekspor CPO hingga kerja sama dengan para pengusaha kelapa sawit dan minyak goreng dalam pelaksanaan OP. Namun, berbagai upaya ini belum mampu menstabilkan harga. Lantas, apa langkah selanjutnya yang harus ditempuh pemerintah untuk mengatasi kelangkaan bahan baku minyak goring ?. MINYAK KELAPA . Jauh sebelum mengenal kelapa sawit sebagai sumber bahan baku minyak goreng, masyarakat Indonesia sudah mengenal dan mengetahui kelapa sebagai sumber minyak goreng. Umumnya minyak goreng ya minyak kelapa. Ini tidak berlebihan sebab kelapa sudah lama menjadi bagian hidup dan menghidupi rakyat. Kelapa lebih dari sekadar sumber minyak goreng. Hampir semua bagian tanaman kelapa memberikan manfaat bagi manusia. Kelapa pun dikenal sebagai pohon kehidupan. Meski kelapa tumbuhan asli Indonesia, saat ini ada anggapan kelapa hanya bagian dari kejayaan perkebunan masa lalu. Sebab, ketika Indonesia krisis minyak goreng, yang dicari adalah minyak kelapa sawit, seolah-olah kita sudah lupa pada kelapa. Padahal, kelapa sawit -berasal dari Afrika- baru masuk ke Indonesia sekitar tahun 1848 dan ditanam pertama kali, berupa dua bibit, di Kebun Raya Bogor. Minyak sawit pun baru dikenal sekitar tahun 1964 dan perkembangannya makin pesat sejak tahun 1980-an. Jika tahun 1980 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia baru mencapai 30.000 ha -arealnya pun terbatas hanya di Sumatera Utara dan Aceh- dengan produksi 750.000 ton CPO, maka pada tahun 1994 luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat secara pesat menjadi 1,8 juta ha dengan produksi CPO sebesar 4,8 juta ton. Dua belas tahun kemudian, yakni 2006, perkembangannya amat spektakuler sebab luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia sudah mencapai 5,8 juta hektar. Dengan areal seluas itu, Indonesia mampu memproduksi CPO sebanyak 16 juta ton. Ini menjadikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit kedua terbesar di dunia setelah Malaysia. Selama kurun waktu 2001-2005, ekspor CPO Indonesia meningkat dari 4,9 juta ton dengan nilai 1,4 miliar dollar AS tahun 2001 menjadi 10,05 juta ton dengan nilai 4,21 miliar dollar AS pada tahun 2005. Peningkatan produksi CPO diramalkan masih terus berlangsung sejalan dengan dukungan teknologi yang kian maju dan tingginya permintaan masyarakat internasional terhadap CPO untuk kebutuhan industri biodiesel. MENATA KEMBALI . Di tengah kekhawatiran semakin tak terkendalinya harga minyak mentah (petro energy) -sempat mencapai 78 dollar AS per barrel- masyarakat dunia menyerukan agar potensi biodiesel berbahan baku minyak sawit segera dioptimalkan untuk mencegah krisis energi di masa datang. Indonesia pun giat menggali energi alternatif murah, ramah lingkungan, berbasis lokal, dan bisa diperbarui. Langkah ini amat penting karena pada saatnya petro energy akan habis. Sayangnya, strategi pengembangannya belum dirancang dengan baik sebab pasar tidak ditata terlebih dahulu. Kini telah terjadi rebutan komoditas minyak sawit oleh pelaku industri makanan dan produsen biodiesel. Kelangkaan pasokan CPO untuk bahan baku minyak goreng pun mulai terjadi dan diprediksi akan sulit diatasi. Perebutan CPO untuk kebutuhan industri minyak goreng dan industri biodiesel kini telah menetaskan harga minyak goreng melambung tinggi. Ini menunjukkan peran minyak sawit di masa datang akan semakin besar sebab minyak nabati yang satu ini memiliki potensi luar biasa menjadi sumber energi alternatif untuk kepentingan industri biodiesel dan kosmetika. Komoditas sawit memang bukan sekadar produk CPO dan minyak goreng, tetapi jauh lebih besar dari itu. Langkah ke depan, pemerintah harus menata kembali kebijakan pengadaan bahan baku industri minyak goreng secara komprehensif sebelum masalah lebih besar muncul pada komoditas strategis ini. Kian mahalnya minyak goreng akibat tingginya permintaan negara-negara maju terhadap CPO untuk kebutuhan industri biodiesel harus diatasi dengan mendorong masyarakat kembali ke minyak kelapa. Sebagai negara yang memiliki areal tanaman kelapa terbesar di dunia -hampir di semua provinsi dapat dijumpai tanaman kelapa- seharusnya Indonesia tidak mengalami kelangkaan pasokan bahan baku minyak goreng. Pemerintah harus memfasilitasi para petani kelapa di seluruh Tanah Air, baik berupa modal maupun penyuluhan teknologi, sehingga masa kejayaan bangsa "Nyiur Melambai" Indonesia sebagai produsen minyak kelapa utama di dunia dapat diwujudkan kembali. Revitalisasi perkebunan kelapa patut dilakukan agar masyarakat pedesaan dapat menanam kembali pohon kelapa guna memasok bahan baku minyak goreng sehingga di masa datang harga kebutuhan pokok yang satu ini terjangkau setiap warga. Kembali ke Minyak Kelapa, Posman Sibuea, Kompas, Kamis, 31 Mei 2007. *** [Non-text portions of this message have been removed]